Koproporfiria herediter


Koproporfiria herediter (HCP) adalah penyakit langka berupa kelainan yang disebabkan karena defek pada gen koproporfirinogen-III oksidase (CPOX). Kelainan ini merupakan jenis porfiria hati yang diturunkan secara autosom dominan. CPOX adalah enzim keenam dalam proses biosintesis heme (disebut juga jalur porfirin).[1][2][3][4]

Porfiria diklasifikasikan berdasarkan jaringan yang menjadi tempat utama akumulasi metabolit antaranya berada serta berdasarkan onsetnya apakah akut atau kronis. HCP sendiri diklasifikasikan ke dalam porfiria hati akut.[2][5] Gen koproporfirinogen-III oksidase berada di kromosom 3q11.2 membawa 14 kb dan terdiri dari 10 ekson-ekson yang menyandi protein prekursor asam amino 454.[2][6][7] HCP adalah penyakit langka yang serangan pertama kalinya pada usia awal 20 atau 30 atau setelah pubertas dan jarang terjadi sebelum pubertas dengan onset akut. Gejalanya adalah nyeri perut hebat, konstipasi atau diare, dan gejala neurologis seperti kelemahan dan nyeri otot. Sensitifitas kulit terhadap cahaya (paparan sinar matahari) akan memberikan gangguan kulit berupa kulit melepuh dan timbul bisul. Ada juga HCP yang tanpa gejala. Diagnosis ditegakkan dengan hasil protoporfirin dalam darah atau feses yang meningkat, ekskresi koproporfirin-III yang berlebih dalam urine dan pemeriksaan genetik molekuler. Pengobatan penyakit ini adalah dengan mencari tahu faktor pencetusnya agar bisa dihindari dan pengobatan simptomatik sesuai gejala yang timbul. Prognosis penyakit ini ditentukan oleh berat tidaknya gejala dan komplikasi yang timbul dan onset serangan, namun dengan terapi yang adekuat akan memberikan hasil yang memuaskan.[3][4][5][8]

Pendahuluan sunting

Kasus HCP pertama yang dilaporkan secara resmi oleh Berger dan Goldberg pada tahun 1955, adalah anak laki-laki dari Swiss yang orangtuanya memiliki hubungan sepupu secara langsung. Pada mereka bertiga (anaknya, ibu dan ayahnya) serta tante dari pihak ayahnya, ditemukan ekskresi koproporfirin-III dalam jumlah yang sangat besar dalam urinenya. Sebelumnya, pada tahun 1936 Dobriner melaporkan kasus seorang wanita yang dirawat di bangsal psikiatri dengan koproporfirin dalam jumlah besar di dalam urinenya. Lalu ada Watson pada tahun 1949 dengan dua kasus yang sama, koproporfirin III yang tinggi dalam urine namun tanpa disertai gejala apapun.[9] Pada koproporfiria herediter yang terganggu adalah biosintesis heme. Heme adalah bagian penting dari protein yang mengandung zat besi yang disebut hemoprotein. Hemoglobin adalah salah satu contoh hemoprotein ini. Perannya sangat penting karena merupakan pembawa oksigen di dalam darah. Saat metabolisme porfirin terganggu, akan terjadi penumpukan porfirin di dalam tubuh. Koproporfiria adalah jenis porfiria hati karena koproporfirin (senyawa porfirin) berkumpul di hati dalam jumlah yang besar. Mutasi ini akan menyebabkan menurunnya proses pembentukan heme hingga 50%.[3] HCP disebut juga porfiria campuran karena dapat memberikan bukan hanya manifestasi klinis neuroviseral tapi juga kelainan di kulit.[10]

Penyebab sunting

Koproporfiria herediter disebabkan oleh mutasi gen CPOX di kromosom 9 yang bertanggung jawab terhadap produksi heme. HCP bersifat autosom dominan, artinya hanya butuh satu cetakan gen abnormal untuk timbulnya penyakit. Gen abnormal ini dapat diwarisi dari ibu atau bapak atau bahkan bisa timbul secara spontan sebagai mutasi baru (de novo).[1][2][3][8] HCP ini bersifat penetran inkomplet (penetran artinya proporsi seorang individu membawa varian gen atau genotipnya).[7][11]

Pada penyakit ini, selalu ada faktor pencetus hingga manifestasi klinis, mengingat ada yang bisa hidup dengan kelainan ini tanpa keluhan yang berarti. Faktor pencetusnya terbagi dua, faktor eksternal dan internal. Pemicu eksternal adalah rangsangan dari lingkungan, pola makan yang makanan yang tidak lazim (kelaparan atau diet ketat), penyalahgunaan obat ilegal, alkoholisme, penggunaan obat-obat tertentu. Pemicu internal adalah stres emosional dan psikologikal, menstruasi pada wanita, infeksi atau penyakit lain, serta faktor hormonal.[3][5][8]

Tanda dan gejala sunting

Gejala yang timbul berasal dari penumpukan koproporfirin di dalam tubuh (dalam hal ini di hati) ini berbeda-beda pada setiap orang. Ada yang bahkan tidak merasakan keluhan apapun padahal terdiagnosis dengan penyakit ini. Pasien biasanya datang dengan nyeri atau kram perut, diare atau konstipasi, retensi urin, mata dan kulit kuning. Kulit pasien jadi sangat sensitif pada cahaya matahari karenanya mudah terjadi inflamasi dengan sensasi terbakar, melepuh, timbul hiperpigmentasi dan jaringan parut serta pertumbuhan rambut yang berlebih. Koproporfiria herediter juga memberikan gangguan neurologis seperti neuropati perifer (mati rasa, timbul rasa geli atau sensasi terbakar pada tungkai), kelemahan dan nyeri otot (letargi), jika otot-otot pernapasan juga terlibat pasien akan mengalami kesulitan bernapas, kejang pada beberapa kasus. Selain itu juga ada gejala psikiatrik berupa bingung, paranoid, disorientasi, delirium, psikosis, halusinasi dan perubahan suasana hati. Urine akan mengalami perubahan warna menjadi kemerahan.[3][5][6][8]

Pada pasien yang sudah pernah mengalami serangan sebelumnya, nyeri badan yang hilang timbul di daerah perut dan punggung bagian bawah biasanya merupakan tanda akan timbul serangan berikutnya. Intensitas nyerinya akan meningkat seiring waktu dan menyebar ke daerah leher, bokong, kaki dan tangan. Nyeri perut yang hebat akan diikuti dengan mual dan muntah. Pada beberapa pasien terjadi peningkatan dan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan tekanan darah. Namun sebagian justru menderita penurunan tekanan darah saat perubahan posisi (hipotensi ortostatik)[3][5][6][8]

Dari data yang dibuat oleh Human Phenotype Ontology (HPO), yang terus diperbarui, 80-99% pasien datang dengan nyeri perut, kecemasan, kebingungan, depresi, mudah marah, nyeri otot, mual dan muntah dan penipisan kulit. 30-79% pasien dengan kulit yang melepuh, konstipasi, kulit yang sensitif terhadap sinar matahari (fotosensitif) dan hiperpigmentasi pada kulit. 5-29% pasien dengan nyeri sendi, halusinasi suara, hipertrikosis (pertumbuhan rambut yang berlebih di seluruh badan dan tidak tergantung pada jenis kelamin, ras dan usia), hiponatremia, kesulitan bernapas, takikardia (denyut jantung meningkat), kejang dan halusinasi visual. Dan beberapa temuan atau hasil pemeriksaan tambahan yang datanya belum tersedia di HPO seperti, hasil laboratorium yang tidak normal, episode akut gangguan neuropati, riwayat positif kelainan autosom dominan, anemia hemolitik kongenital, diare, halusinasi sensorik, hepatomegali (pembesaran hati), hipertensi, insomnia, penetran inkomplet, ikterik (kulit kuning), paranoid, neuropati perifer dan splenomegali (pembesaran limpa).[3]

Diagnosis sunting

Penegakan diagnosis koproporfia herediter dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan darah, urine dan feses. Hal ini dilakukan untuk membedakan koproporfiria herediter dengan porfiria jenis yang lainnya. Pemeriksaan genetik adalah alat diagnostik terbaik untuk menegakkan diagnosis ini.[3][5] Anderson dan kawan-kawan, pada tahun 2005[12] serta Whatley dan kawan-kawan, pada tahun 2009[13] mempublikasikan kriteria diagnostic untuk kelainan ini. Seseorang yang masuk rumah sakit dengan mual setidaknya 48 jam, nyeri perut, punggung dan tungkai selama 48 jam, kejang, hiponatremia, riwayat keluarga dengan porfiria harus dicurigai menderita HCP.[5]

Kadar porfirin darah, urine dan feses harus diperiksa. Pada tes saring urine (24 jam), warna urine akan berubah menjadi merah kecoklatan di bawah paparan sinar matahari (karena adanya senyawa porfirin kompleks) jika urine diperiksa saat fase akut. Dalam urine juga akan ditemukan asam aminolevulinat (ALA) delta dan porfobilinogen (PBG) saat serangan akut. Pada pemeriksaan darah dan feses, kadar koproporfirin akan meningkat. Hasil pemeriksaan natrium dan magnesium biasanya rendah.[3][5][6][8]

Pada bayi baru lahir dengan riwayat HCP dalam keluarga dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan aktivitas enzim koproporfirinogen oksidase dan pemeriksaan molekuler genetik.[5][8]

Komplikasi sunting

Komplikasi yang bisa timbul dari kondisi ini adalah stres emosional pada mereka karena nyeri hebat yang timbul. Penyakit ini juga menyebabkan infeksi kulit berulang, masalah kosmetik karena kulit yang melepuh di daerah wajah, leher atau tangan. Anemia karena rendahnya hemoglobin pembawa oksigen, akan meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah. Jika neuroendokrin otak terpengaruh, akan menyebabkan hiponatremia dan hipomagnesemia yang akan membawa komplikasi lanjut lainnya. Yang lebih berat, dapat berkembang menjadi penyakit hati dan ginjal.[5]

Penatalaksanaan sunting

Pengobatan penyakit ini bersifat simptomatik, atau sesuai dengan gejala yang timbul, karena kelainan genetik tidak bisa disembuhkan. Penanganannya merupakan kerja sama berbagai bagian yang melibatkan pediatrisian, neurolog, hematolog, dermatolog, hepatolog, kardiolog dan psikiater. Saat diagnosis pertama kali ditegakkan, pasien diberikan glukosa oral atau intravena (glukosa dosis awal) dan diet tinggi karbohidrat. Bila nyeri yang timbul hebat, dapat diberikan penghilang rasa nyeri dosis tinggi (analgesik narkotik atau opiat). Pemberian obat anti psikosis (klorpromazine) bila timbul keluhan neurologis. Penyekat beta seperti propranolol untuk permasalahan kardiovaskuler seperti hipertensi dan takikardia. Bila timbul kejang diberikan gabapentin sebagai anti kejangnya atau benzodiazepin dan magnesium. Untuk mengurangi akumulasi senyawa metabolik dapat diberikan heme atau hematin intravena, dan ini merupakan terapi HCP yang terbukti sangat efektif. Hematin diberikan setelah pemberian glukosa dosis tinggi sebelumnya.[3][5][8]

Pada pasien wanita yang sudah mengalami menstruasi dan menjadi pemicu HCP, dapat diberikan pil KB atau obat peptida sintetis (agonis hormon pelepas LH). Permasalahan pada kulit bisa diatasi dengan pemberian krim anti sinar matahari atau semaksimal mungkin menghindari paparan sinarnya. Bila perlu, jendela rumah dan mobil dilapisi dengan vinil atau film. Hanya saja perlu diingat, untuk mengkonsumsi suplemen vitamin D yang tidak bisa didapatkan dari sinar matahari. Bila anemia yang timbul berat (hemoglobin di bawah 7), dilakukan tranfusi darah dan bisa dipertimbangkan untuk tindakan splenektomi (pengangkatan limpa) untuk meringankan perdarahan. Dan untuk kasus-kasus sangat berat, perlu dipertimbangkan untuk dilakukan transplantasi sum-sum tulang.[5][8]

Diet ekstrim rendah karbohidrat diketahui dapat memicu kondisi ini, karenanya edukasi kepada pasien perlu dilakukan untuk mencegah kekambuhan di kemudian hari. Mengingat faktor pencetus yang berbeda-beda pada tiap orang, penting bagi pasien mengetahui apa faktor pemicunya agar dapat dihindari. Peran dokter sangat penting untuk edukasi semacam ini.[3][5][8]

Prognosis sunting

Prognosisnya tergantung pada manifestasi klinis serta kapan onsetnya timbul. Keluhan yang timbul pada usia yang lebih muda, memberikan prognosis yang lebih jelek. Namun secara umum, dengan pengobatan yang adekuat, prognosisnya baik. Walaupun pada mereka yang memperlihatkan gejala neurologis, proses penyembuhannya mungkin lebih lama dan pada beberapa kasus dapat berkembang menjadi penyakit hati dan ginjal. Jika dilakukan tindakan preventif terhadap faktor pencetus, rekurensi penyakit ini bisa dikendalikan.[3][5][6]

Faktor risiko sunting

Faktor risiko utama kondisi ini adalah adanya riwayat kondisi serupa dalam keluarga. Namun penting untuk digarisbawahi bahwa memiliki riwayat keluarga tidak serta merta menyebabkan seseorang akan menderita penyakit ini. Itu hanya menunjukkan bahwa kemungkinannya untuk terkena HCP lebih besar dibandingkan mereka yang tidak memiliki riwayat dalam keluarganya.[5]

Epidemiologi sunting

Koproporfiria herediter adalah kelainan genetik dengan prevalensi 1 kasus dalam 5.000.000 populasi di Amerika Serikat dan 1-9 kasus dalam 1.000.000 populasi di Eropa. Sedikit lebih banyak terjadi pada wanita dibanding pria dan tidak dipengaruhi oleh ras atau etnis manapun.[6][8]

  1. ^ a b Rubenstain, Ruben (2005). Kedokteran Klinis. Jakarta: Erlangga. hlm. 197. ISBN 9789797818234. 
  2. ^ a b c d "Hereditary hepatic coproporphyria". www.pathologyoutlines.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-01-29. Diakses tanggal 2020-01-29. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m "Hereditary coproporphyria | Genetic and Rare Diseases Information Center (GARD) – an NCATS Program". rarediseases.info.nih.gov. Diakses tanggal 2020-01-29. 
  4. ^ a b "Hereditary Coproporphyria". Sema4 (dalam bahasa Inggris). 2017-04-30. Diakses tanggal 2020-01-30. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Wang, Bruce; Bissell, D. Montgomery (1993). Adam, Margaret P.; Ardinger, Holly H.; Pagon, Roberta A.; Wallace, Stephanie E.; Bean, Lora JH; Stephens, Karen; Amemiya, Anne, ed. GeneReviews®. Seattle (WA): University of Washington, Seattle. PMID 23236641. 
  6. ^ a b c d e f RESERVED, INSERM US14-- ALL RIGHTS. "Orphanet: Hereditary coproporphyria". www.orpha.net (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-30. 
  7. ^ a b "OMIM Entry - # 121300 - COPROPORPHYRIA, HEREDITARY; HCP". omim.org. Diakses tanggal 2020-01-30. 
  8. ^ a b c d e f g h i j k "Hereditary Coproporphyria". NORD (National Organization for Rare Disorders) (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-29. 
  9. ^ Berger, H.; Goldberg, A. (1955-07-09). "Hereditary Coproporphyria". Br Med J (dalam bahasa Inggris). 2 (4931): 85–88. doi:10.1136/bmj.2.4931.85. ISSN 0007-1447. PMID 14378650. 
  10. ^ "UpToDate". www.uptodate.com. Diakses tanggal 2020-01-30. 
  11. ^ "Coproporphyria, Hereditary disease: Malacards - Research Articles, Drugs, Genes, Clinical Trials". www.malacards.org. Diakses tanggal 2020-01-30. 
  12. ^ Anderson, Karl E.; Bloomer, Joseph R.; Bonkovsky, Herbert L.; Kushner, James P.; Pierach, Claus A.; Pimstone, Neville R.; Desnick, Robert J. (2005-03-15). "Recommendations for the diagnosis and treatment of the acute porphyrias". Annals of Internal Medicine. 142 (6): 439–450. doi:10.7326/0003-4819-142-6-200503150-00010. ISSN 1539-3704. PMID 15767622. 
  13. ^ Whatley, Sharon D.; Mason, Nicola G.; Woolf, Jacqueline R.; Newcombe, Robert G.; Elder, George H.; Badminton, Michael N. (2009-07). "Diagnostic strategies for autosomal dominant acute porphyrias: retrospective analysis of 467 unrelated patients referred for mutational analysis of the HMBS, CPOX, or PPOX gene". Clinical Chemistry. 55 (7): 1406–1414. doi:10.1373/clinchem.2008.122564. ISSN 1530-8561. PMID 19460837.