Handayaningrat
( Ki Ageng Pengging I )
Sri Makurung Prabu Handayaningrat
Adipati Pengging Ke-1
PenerusKi Ageng Pengging
Informasi pribadi
KelahiranMajapahit
AyahHarya Pandaya III
IbuDyah Retna Mundri
PasanganRatu Ratna Pembayun
AnakKebo Kanigara

Kebo Kenanga

Kebo Amiluhur

Asal-Usul sunting

Menurut bagan yang tertera di Pasareyan Wotgaleh ini, Sri Makurung Prabu Handayaningrat atau Ki Ageng Pengging Sepuh ini merupakan putra dari Harya Pandaya III dan Dyah Retna Mundri. Apabila ditarik secara garis keturunan maka diketahui bahwa Harya Pandaya III atau yang dikenal sebagai Harya Bubaran ini merupakan cucu buyut dari seorang Mahapatih Majapahit yang terkenal namanya, yaitu Rakryan Mapatih Jirnnodhara atau yang dikenal sebagai Mahapatih Gajah Mada.

Sedangkan ibunya yang bernama Dyah Retna Mundri adalah seorang putri dari Bhre Pandansalas II yang jumeneng nata sebagai Prabu Brawijaya IV dengan Dewi Tapen. Bahkan Dyah Retna Mundri ini juga merupakan seorang Putri Sekar Kedhaton, yang berarti putri ini yang harum namanya tidak hanya karena cantik parasnya namun juga memiliki keahlian untuk menata serta memimpin keputren sebagai tempat tinggal para putri karaton, maka tidak heran secara bobot bibit bebet jelas tergenapi semua. Baik ayahnya hingga para pangeran tak terkecuali abdi dan kawula semuanya menghormat kepada beliau.

Walaupun masih keturunan raja dan memiliki darah patih, Sri Makurung Prabu Handayaningrat ini terlahir dengan nama Jaka Sengara. Nama ini diberikan oleh ayahnya sebagai pengingat dan wasiat karena disaat lahir kondisi dan suasana suhu perpolitikan Majapahit sedangan mengalami panas akibat banyaknya adipati dan bupati yang memisahkan diri dan berusaha ‘mbalela’ atau membelot pada raja yang sah pada saat itu.

Harya Pandaya III yang mewarisi nama besar kakeknya dan diangkat sebagai menantu raja yang bertahta secara sah juga tak luput dari kekejaman politik masa itu. Sehingga memiliki nama lain yaitu : Harya Bubaran, julukan akibat carut marutnya tatanan masa itu. Kendati demikian sebelum meninggal sempat menitipkan wasiat kepada Jaka Sengara agar tetap berbakti dan mengabdikan diri ke Majapahit sebagaimana dirinya, walaupun harus menjadi korban kekejaman intrik politik.

Mengabdi Pada Majapahit sunting

Ketika terjadi alih kepemimpinan di Majapahit yang kini dipimpin oleh Bhre Kertabhumi yang kini telah bertahta sebagai Prabu Brawijaya V, maka Jaka Sengara pun mengabdikan diri di Majapahit yang pada saat itu sedang bermusuhan dengan Blambangan yang kini sedang dipimpin oleh Adipati Menak Daliputih. Permusuhan ini berawal dari Adipati Menak Daliputih yang nekat menculik sang Putri Sekar Kedhaton anak dari Prabu Brawijaya V dengan Dewi Amarawati yang bernama Retna Pembayun. Sehingga Majapahit pun menggelar sayembara dan mencari jago tanding untuk membebaskan Retna Pembayun dari tangan Adipati Menak Daliputih.

Mengetahui adanya ancaman namun juga sekaligus kesempatan untuk membaktikan diri ke Majapahit, Jaka Sengara pun mengikuti sayembara tersebut dengan konsekuensi harus mau bertanding dengan penguasa Blambangan tersebut. Banyak yang berusaha mengalahkan Adipati Menak Daliputih, namun semua gagal tanpa hasil hingga kini Jaka Sengara yang datang untuk melawan. Tak heran masih memiliki darah patih yang bisa mempersatukan Nusa Antara (pulau-pulau) di bawah panji besar Majapahit, dengan mudahnya Adipati Menak Daliputih bisa tunduk takluk dihadapan Jaka Sengara.

Karena Retna Pembayun dapat direbut kembali dengan bonus Blambangan ikut tunduk dan kembali ke rengkuhan Majapahit, kemudian Prabu Brawijaya V yang masih terhitung paman sendiri memerintahkan Jaka Sengara untuk dijadikan anak menantu dan dijodohkan dengan Retna Pembayun.

Karena jasanya yang besar maka tidak hanya sekedar diangkat menjadi menantu saja, namun juga diberikan ‘siti lenggah’ atau tanah pemberian raja sebagai wilayah bebas pajak dan berhubungan langsung dengan Majapahit. Dipilihlah tanah Majalengka atau Majagung (kini bernama Pengging) di sisi barat Gunung Lawu untuk dikelola dan dipimpin oleh Jaka Sengara. Oleh karena dinisbatkan menjadi pemimpin wilayah setara dengan Kadipaten maka nama beliau pun diganti menjadi Adipati Handayaningrat.

Keluarga sunting

Dari pernikahan Adipati Handayaningrat dan Retna Pembayun dikaruniai tiga orang putra yang bernama : Raden Kebo Kanigara, Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Amiluhur. Namun sayang Raden Kebo Amiluhur meninggal di usia yang relatif muda sebelum ayah ibunya wafat, kemudian dimakamkan di daerah Malangan, Pengging. Sehingga tinggal dua orang putra saja yang menjadi idaman penerus penguasa Pengging Witaradya.

Dalam kondisi panasnya dunia politik pada masa itu, Raden Kebo Kanigara dan Raden Kebo Kenanga sendiri memilih jalan hidup dan dunia spiritualitas sesuai jalannya masing-masing, namun mereka tetap saling rukun satu sama lain. Raden Kebo Kanigara yang tidak mau tahu mengenai urusan perpolitikan diisukan tetap setia pada agama lama hingga meninggal saat bertapa di puncak Gunung Merapi.

Namun banyak yang menyangsikan hal tersebut karena banyak masyarakat meyakini Raden Kebo Kanigara yang hengkang dari Pengging tetap melanjutkan hidup namun sebagai seorang penyebar agama Islam di berbagai tempat hingga menetap di Jatingarang (kini masuk wilayah Weru, Sukoharjo). Terlebih Raden Kebo Kanigara dan Raden Kebo Kenanga diketahui memeluk agama Islam di bawah bimbingan Syekh Siti Jenar.

Konflik dengan Demak Bintara sunting

Dibawah kepemimpinan Adipati Handayaningrat, kondisi Pengging nampak tenang dan damai berjalan normal, namun ternyata hal itu tak berlangsung lama sebab keprabon Majapahit kembali digoyang dengan adanya makar yang ditimbulkan oleh Raden Patah, putra Prabu Brawijaya dengan seorang putri berdarah china. Raden Patah yang berusaha meng-Islam-kan terkendala dengan perlawanan pihak Majapahit yang melindungi raja.

Hingga akhirnya keadaan Majapahit semakin tidak aman dan tidak terkendali akibat invasi dari Raden Patah dengan kekuatan dari Demak yang ia pimpin bisa menguasai kotaraja. Bahkan dengan terpaksa Prabu Brawijaya V harus mengungsikan diri ke arah Bali namun dicegah oleh Sunan Kalijaga di daerah Banyuwangi. Kemudian Prabu Brawijaya V sedang berusaha memutar arah namun tidak kembali ke arah Majapahit karena dilaporkan di kotaraja sudah diduduki oleh pasukan Demak yang berjaga disana.

Melihat Majapahit yang makin tidak karuan, maka Adipati Handayaningrat di Pengging merasa bahwa Majapahit harus tetap ada raja yang bertahta walaupun kini kerajaannya sedang diserang demi menyelamatkan kedaulatan dan nama besar Majapahit serta mencegah lepasnya kekuasaan ke tangan lain. Retna Pembayun sebagai putra dari permaisuri yang diharapkan ‘nglintir keprabon' Majapahit mau tidak mau harus melakukan langkah penyelamatan agar orang tetap tahu bahwa Majapahit masih tetap ada di tangan yang sah.

Maka dibentuklah pusat pemerintahan darurat di Pengging agar tetap aman dengan menunjuk Adipati Handayaningrat yang dinilai mempunyai lebih kapasitas sebagai pemimpin. Setelah itu beliau mengubah namanya menjadi Sri Makurung Prabu Handayaningrat. Mengapa memakai nama Sri Makurung di depan? Dikarenakan pemindahan kekuasaan ini juga dilakukan secara diam dan tetap ‘sidhem' agar tidak terendus pihak Demak Bintara, namun semua rakyat mengakui bahwa beliau ini sebagai pemimpin dan juga penerus Majapahit saat ini. Selain itu agar tidak terlalu mencolok, beliau memakai nama samaran menjadi “Ki Ageng Wuking ing Pengging”.

Namun akhirnya pengangkatan Adipati Handayaningrat yang berganti nama menjadi Sri Makurung Prabu Handayaningrat alias Ki Ageng Wuking itu tetap saja terendus oleh telik sandi atau mata-mata dari Demak Bintara. Oleh karena itu, Sultan Syah Alam Akbar atau Sultan Patah pun mengirim surat yang isinya menyatakan Pengging harus tunduk pada kerajaan baru yang bernama Kasultanan Demak Bintara.

Perang dan Wafatnya Prabu Handayaningrat sunting

Merasa ditantang oleh kesombongan sultan baru tersebut, maka Sri Makurung Prabu Handayaningrat tetap kukuh pada pendiriannya bahwa ia adalah penerus Majapahit yang nyaris hilang walau hanya sekedar menantu raja. Pepatah mengatakan “sadumuk bathuk, sanyari bumi”, maka tidak mungkin Pengging menyerahkan diri pada Demak kecuali harus dibela dengan tetesan darah penghabisan. Akibatnya meletuslah peperangan hebat di antara Demak dan Majapahit (yang diwakili oleh Pengging) di Wirasaba.

Di perang tersebut, putra tertua yaitu : Raden Kebo Kanigara tampil maju perang sebagai senapati yang memimpin pasukan dari Pengging Witaradya, sedangkan di pihak Demak Bintara dipimpin oleh Sunan Ngudung. Di perang inilah, posisi Sri Makurung Prabu Handayaningrat selalu didesak hingga kondisi beliau semakin terpojok dan gugur di medan laga akibat luka tusukan keris milik Sunan Ngudung. Karena putranya menganut Islam Kejawen, maka jenazah Sri Makurung Prabu Handayaningrat pun dimakamkan seperti halnya Muslim walaupun menganut seperti keyakinan Hindu Jawi. Peristiwa gugurnya Adipati Handayaningrat sebagai kusuma bangsa akan selalu diingat atas kobaran semangat kebangsaan untuk tidak menyerah pada penakluk yang ambisius.

Setelah Pasca Perang Wirasaba sunting

Karena pemimpin Pengging telah jatuh, maka pasukan Pengging menjadi kocar-kacir. Raden Kebo Kanigara pun memerintahkan pasukan untuk mundur kembali ke Pengging. Sementara pasukan Demak Bintara yang hendak membuntuti segera dicegah agar tidak terjadi korban kembali. Namun diam-diam Sunan Ngudung membuntuti Raden Kebo Kanigara untuk bertemu dan berdiplomasi.

Di tengah jalan Sunan Ngudung berhasil bertemu dengan Raden Kebo Kanigara, beliau meminta agar Raden Kebo Kanigara bersedia menjadi pengganti ayahnya dan dijanjikan akan menjadi Adipati Pengging dibawah kekuasaan Demak Bintara. Namun penawaran tersebut ditolak oleh Raden Kebo Kanigara dan menyatakan tetap tidak akan bergeming walau hendak dijadikan raja sekalipun. Karena ia berpendapat dengan takluknya Pengging pada Demak Bintara secara otomatis ia juga harus tunduk patuh pada musuhnya.

Gagal membujuk Raden Kebo Kanigara, utusan Demak Bintara pun beralih menemui adiknya yang bernama Raden Kebo Kenanga selaku keluarga yang masih tersisa untuk diangkat sebagai pengganti ayahnya yang telah wafat. Raden Kebo Kenanga pun menyanggupi, walau dengan konsekuensi Pengging harus tunduk pada pemerintahan Demak Bintara. Setelah itu Raden Kebo Kenanga pun diangkat menjadi pemimpin daerah Pengging dengan bergelar Ki Ageng Pengging II, sedangkan ayahnya yang telah wafat diberikan gelar kehormatan sebagai Ki Ageng Pengging Sepuh, karena beliaulah yang memimpin Pengging pertama kali.

Makam Adipati Handayaningrat sunting

Jaka Sengara / Sri Makurung Prabu Handayaningrat / Ki Ageng Wuking I / Pengging Sepuh dimakamkan di dekat putranya, Raden Kebo Amiluhur, yang lebih dulu mendahului wafat. Makamnya dapat dijumpai dan diziarahi di Dukuh Malangan, Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Di sisi kanan makam beliau adalah makam dari Retna Pembayun juga ikut dimakamkan di sisi beliau. Selain itu di sisi barat terdapat sebuah arca Durga Mahisasuramardini yang dijuluki Nyai Bendrong.

Sedangkan di sisi timur terdapat makam pamijen milik Nyai Endang Widuri yang merupakan seorang abdi kinasih dan masih terhitung kerabat dari Adipati Handayaningrat yang berasal dari daerah Banyubiru. Semasa Hidup beliau ditugaskan untuk menjaga keselamatan keluarga dari Sri Makurung Prabu Handayaningrat secara fisik maupun spiritual di Pengging Witaradya. Maka tidak heran jika Nyai Endang Widuri ini menjadi abdi kinasih, bahkan ketika meninggal pun diperkenankan untuk dimakamkan di dekat keluarga Retna Pembayun.