Kerukunan Keluarga Luwu Raya

Kerukunan Keluarga Luwu Raya (KKLR) adalah wadah organisasi tempat berhimpunnya warga masyarakat yang berasal dari Tana Luwu di manapun ia berada. Organisasi ini dibangun untuk mempererat tali persaudaraan antar sesama keluarga besar Wija to Luwu yang berdiaspora di luar wilayah Tana Luwu.

Selain itu, KKLR juga diharapkan dapat menjadi forum komunikasi dan pembelajaran buat generasi muda agar dapat memahami sejarah serta dapat bersatu padu mengawal jalannya pembangunan di Tana Luwu yang berbasis adat dan budaya masyarakat.

Sejarah sunting

Zaman purba sunting

Tana Luwu adalah tempat asal mula munculnya peradaban di Sulawesi Selatan. Fakta dan sejarah tekait hal ini tertuang dalam sejarah awal tentang masyarakat Luwuyang tertuang dalam buku I Lagaligo, Wanua Manurung dapat diartikan sebagai tempat lahirnya awal peradaban dan berakhirnya mitos tentang adanya perkawinan silang antara kerajaan bumi dan kerajaan langit

Berawal dari cerita rakyat tentang Sawerigading yang merupakan seorang putera raja Luwu dari Kerajaan Luwu Purba, Sulawesi Selatan, Indonesia, Wanua Manurung adalah kawasan penting dalam catatan perjalanan tokoh tersebut. Dalam bahasa setempat Sawerigading berasal dari dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas (lahir), dan ri gading yang berarti di atas bambu betung. Jadi nama Sawarigading berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di atas bambu betung. Nama ini dikenal melalui cerita yang termuat dalam Sureq Galigo (Periksa Edisi H. Kern 1939), dimulai ketika para dewa dilangit bermufakat untuk mengisi dunia ini dengan mengirim Batara Guru anak patotoe di langit dan Nyilitomo anak guru ri Selleng di peretiwi (dunia bawah) untuk menjadi penguasa di bumi. Dari perkawinan keduanya lahirlah putra mereka yang bernama Batara Lattu’, yang kelak menggantikan ayahnya penguasa di Luwu.

Dari perkawinan Batara Guru dengan beberapa pengiringnya dari langit serta pengiring We Nyilitomo dari peretiwi lahirlah beberapa putra mereka yang kelak menjadi penguasa di daerah-daerah Luwu sekaligus pembantu Batara Lattu’. Setelah Batara Lattu’ cukup dewasa, ia dikawinkan dengan We Datu Sengeng, anak La Urumpassi bersama We Padauleng ditompottikka. Sesudah itu Batara Guru bersama isteri kembali kelangit. Dari perkawinan keduanya lahirlah Sawerigading dan We Tenriabengsebagai anak kembar emas yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan.

Mengenai masa hidup Sawerigading terdapat berbagai versi di kalangan ahli sejarah. Menurut versi Aluk Todolo Toraja, Sawerigading lahir pada tahun 564 M. Jika versi ini dihadapkan dengan beberapa versi lain, maka data ini tidak terlalu jauh perbedaanya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan tiga versi mengenai masa hidup Sawerigading, yaitu:

  1. Versi Sulawesi Tenggara, abad V;
  2. Versi Gorontalo, 900 dikurangi 50 = 850;
  3. Versi Kelantan - Terengganu, tahun 710.

Fakta sejarah memberi pandangan bahwa cerita Sawerigading mempunyai nilai sejarah yaitu adanya kronik di Bone, Soppengdan Wajo yang menyatakan bahwa raja pertama mereka adalah Tomanurung yang bersumber dari keturunan Sawerigading. Demikian pula kaum bangsawan di Sulawesi Selatan, termasuk Luwu, menganggap bahwa La Galigo dan Sawerigading adalah nenek-moyang mereka. Dalam silsilah raja-raja di Sulawesi Selatan Lontara Panguriseng, di puncak silsilah itu terdapat tokoh-tokoh La Galigo, Sawerigading, Batara Lattu’ dan Batara Guru. Menurut Mills, yang menciptakan silsilah itu raja-raja itu sendiri untuk memperoleh legitimasi magis-religius yang menurut dugaan meniru model-model kronik Jawa. Sebenarnya mereka tidak menyebut tokoh Sawerigading sebagai tokoh sejarah, tetapi mereka mengklaim bahwa tokoh-tokoh itu benar-benar ada, walaupun sebagian besar ceritanya adalah fiksi.

Zaman kerajaan sunting

Kerajaan Luwu adalah kerajaan tertua, terbesar, dan terluas di Sulawesi Selatan yang wilayahnya mencakup Tana Luwu, Tana Toraja, Kolaka, dan Tanah Mori[1]. Luwu adalah suku bangsa yang besar yang terdiri dari 12 anak suku. Walaupun orang sering mengatakan bahwa Luwu termasuk suku Bugis, tetapi orang-orang Luwu itu sendiri menyatakan mereka bukan suku Bugis, tetapi suku Luwu. Sesuai dengan pemberitaan lontara Pammana yang mengisahkan pembentukan suku Ugi’ (Bugis) di daerah Cina Rilau dan Cina Riaja, yang keduanya disebut pula Tana Ugi’ ialah orang-orang Luwu yang bermigrasi ke daerah yang sekarang disebut Tana Bone dan Tana Wajo dan membentuk sebuah kerajaan. Mereka menamakan dirinya Ugi’ yang diambil dari akhir kata nama rajanya bernama La Sattumpugi yang merupakan sepupu dua kali dari Sawerigading dan juga suami dari We Tenriabeng, saudara kembar dari Sawerigading.

Kerajaan Luwu diperkirakan berdiri sekitar abad X yang dibangun oleh, sekaligus sebagai raja pertama adalah Batara Guru (Tomanurung).Kerajaan Luwu merupakan kerajaan paling sepuh di antara beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan karena asal-usul setiap raja di Sulawesi Selatan berasal dari Luwu. Seperi dalam kerajaan Gowa, mereka meyakini bahwa raja pertama mereka mempunyai asal-usul dari kerajaan Luwu begitu halnya dengan kerajaan Bone dan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan.Pusat kerajaan Luwu (Ware’) pertama adalah di daerah Ussu(Manussu).Sebelum agama Islam masuk ke Tana Luwu, masyarakat mulanya menganut Aluk Todolo. Setelah sepuluh abad lebih berdiri, kerajaan Luwu baru menerima agama Islam sekitar abad ke-15, yaitu pada tahun !593. Kerajaan Luwu merupakan kerajaan pertama di Sulawesi Selatan yang menganut agama Islam. Agama Islam sendiri di bawa ke Tana Luwu oleh Dato’ Sulaiman dan Dato’ ri Bandang yang berasal dari Minangkabau. Hal-hal mistik banyak mewarnai proses awal masuknya Islam di Luwu. Diyakini bahwa Dato Sulaiman dan Dato ri Bandang datang ke Luwu dengan menggunakan kulit kacang. Mereka pertama kali tiba di Luwu tepatnya di desa Lapandoso, kecamatan Bua, kabupaten Luwu.

Setelah sampai, Datu Sulaiman lalu dipertemukan dengan Tandipau (Maddikka Bua saat itu). Sebelum menerima agama yang dibawa oleh kedua Datu itu, Tandipau terlebih dahulu menantang Datu Sulaiman. Tantangan itu adalah Tandipau akan menyusun telur sampai beberapa tingkat, apabila Datu Sulaiman mengambil telur yang ada di tengah-tengah tetapi telur itu tidak jatuh atau bergeser sedikitpun, maka Tandipau akan mengakui ajaran agama Islam yang dibawa oleh Datu Sulaiman. Tandipau berani disyahadatkan asalkan tidak diketahui oleh Datu’ karena ia takut durhaka bila mendahului Datu’. Sebelum ke Malangke (Ware’) untuk menghadap Datu’, ke dua Dato’ itu terlebih dahulu membangun sebuah masjid di Bua tepatnya di desa Tana Rigella yang dibangun sekitar tahun 1594 Masehi yang merupakan masjid tertua di Sulawei Selatan.Masjid ini pernah dimasuki oleh tentara NICA pada zaman penjajahan lalu menginjak dan merobek-robek Al-Qur’an yang ada di dalam masjid. Hal inilah yang memicu kemarahan rakyat Luwu lalu terjadilah perang semesta rakyat Luwu pada tanggal 23 Januari 1946 yang selalu diperingati oleh masyarakat Luwu setiap tahunnya.

Setelah membuat masjid di Bua, Dato’ Sulaiman lalu diantar ke Ware’ (Malangke) untuk menemui Datu’ Pattiware’. Setelah terjadi dialog siang dan malam antara Datu’ dengan Dato’ Sulaiman mengenai ajaran agama yang dibawanya, maka Datu’ Pattiware’ pun bersedia diislamkan bersama seisi istana. Pada Waktu itu Pattiware’ sudah memiliki tiga orang anak, yaitu Pattiaraja (12 tahun), Pattipasaung (10 tahun, yang kemudian menjadi Pajung / Datu Luwu ke 16 menggantikan ayahnya) dan Karaeng Baineya (3 tahun), serta adik iparnya Tepu Karaeng (25 tahun). Islam lalu dijadikan sebagai agama kerajaan dan dijadikan pula sebagai sumber hukum. Walaupun sudah dijadikan sebagai agama kerajaann, penduduk yang jauh dari Ware’ dan Bua masih tetap menganut kepercayaan Sawerigading. Mereka mengatakan bahwa ajaran Sawerigading lebih unggul dibanding ajaran agama yang daibawa oleh Dato’ tersebut.

Setelah berhasil mengislamkan Datu’ Pattiware’, Dato’ ri Bandang atau Khatib Bungsu lalu pergi untuk menyebarkan Islam didaerah lain di Sulawesi Selatan. Sedangkan Dato’ Sulaiman tetap tinggal di Luwu agar bisa mengislamkan seluruh rakyat Luwu karena hal ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Beliau lalu wafat dan dikuburkan di Malangke, tepatnya di daerah Pattimang, dan ia pun diberi gelar Dato’ Pattimang.

Saat pusat kerajaan Luwu (Ware’) dipindahkan dari Malangke ke Palopo, Andi Pattiware’ yang bergelar Petta Matinro’e ri Pattimang (1587-1615 M) Datu’ pada zaman itu, memerintahkan untuk membuat suatu masjid yang dapat digunakan oleh masyarakat Palopo untuk menunaikan Shalat secara berjamaah yang letaknya tidaklah jauh dari “Salassae” istana Luwu. Masjid itu sendiri dibuat oleh Pong Mante pada tahun 1604 Masehi dimana makamnya terdapat dalam masjid Djami itu sendiri, tepatnya di bawah mimbar yang besar. Konon batu yang dipakai untuk membangun masjid itu dibawa dari Toraja dengan cara orang-orang berjejer dari Toraja sampai ke Palopo lalu batu-batu itu dioper satu per satu. Sedangkan bahan yang dipakai untuk merekatkan batu yang satu dengan yang lainnya adalah putih telur yang diambil dari kecamatan Walenrang, kabupaten Luwu.

Nama Palopo itu sendiri yang sudah lama kita kenal berasal dari kata “Pallopo’ni” yang diucapkan oleh orang-orang saat ingin menancapkan tiang masjid yang besar. Panjang tiang utama masjid ini sekitar 16 meter dan kayu yang dipakai adalah kayu Cina Guri, namun sekarang kayu jenis ini sudh tidak ada lagi. Konon kayu jenis Cina Guri ini dikutuk sehingga sekarang hanya menjadi rerumputan kecil yang biasa diberikan pada ternak sebagai makanan. Arti kata “Pallopo’” yang secara bebas berarti “masukkan dengan tepat”. Menurut kepercayaan masyarakat, seseorang belum bisa dikatakan menginjak Palopo jika ia belum pernah masuk ke dalam Masjid Djami.

Setelah empat abad lebih, bangunan masjid Jami’ masih utuh dan tetap terawat dengan baik sehingga pada tahun 2002 yang lalu Masjid Djami’ Palopo memperoleh penghargaan sebagai Masjid Tua terbaik se-Indonesia mengalahkan ribuan masjid tua lainnya di Nusantara. Setelah berkembang selama kurang lebih empat abad, agama Islam kini menjadi agama yang mayoritas dianut oleh warga Tana Luwu dan Sulawesi Selatan pada umumnya.

Daftar raja Luwu sunting

  • Datu Luwu ke-1: Batara Guru, bergelar To Manurung merupakan Pajung
  • Datu Luwu ke-2: Batara Lattu’, merupakan Pajung, memerintah selama 20 tahun.
  • 1268-1293: Datu Luwu ke-3: Simpurusiang, merupakan Pajung
  • 1293-1330: Datu Luwu, ke-4: Anakaji,(Anak puang lakipadada, Puang patta la bunga) merupakan Pajung
  • 1330-1365: Datu Luwu ke-5: Tampa Balusu, merupakan Pajung
  • 1365-1402: Datu Luwu ke- 6: Tanra Balusu, merupakan Pajung
  • 1402-1426: Datu Luwu ke-7: Toampanangi, merupakan Pajung
  • 1426-1458: Datu Luwu ke-8: Batara Guru II, merupakan Pajung
  • 1458-1465: Datu Luwu ke-9: La Mariawa, merupakan Pajung
  • 1465-1507: Datu Luwu ke-10: Risaolebbi, merupakan Pajung
  • 1507-1541: Datu Luwu ke-11: Dewaraja, bergelar Maningoe’ ri Bajo merupakan Pajung
  • 1541-1556: Datu Luwu ke-12: Tosangkawana, merupakan Pajung
  • 1556-1571: Datu Luwu ke-13: Maoge, merupakan Pajung
  • 1571-1587: Datu Luwu ke-14: We Tenri Rawe’, merupakan Pajung
  • 1587-1615: Datu Luwu ke-15: Andi Pattiware’ Daeng Parabung atau Pattiarase, bergelar Petta Matinroe’ Pattimang (Datu Pattimang) merupakan Pajung
  • 1615-1637: Datu Luwu ke-16: Patipasaung (Datu Malangke) merupakan Pajung
  • 1637-1663: Datu Luwu ke-17: La Basso atau La Pakeubangan atau Sultan Ahmad Nazaruddin, bergelar Petta Matinroe’ ri Gowa (Lokkoe’) merupakan Pajung
  • 1663-1704: Datu Luwu ke-18 dan ke-20: Settiaraja, bergelar Petta Matinroe’ ri Tompoq Tikkaq merupakan Pajung
  • Datu Luwu ke-19: Petta Matinroe’ ri Polka, merupakan Pajung, memerintah ketika Settiaraja pergi membantu Gowa menghadapi VOC.
  • 1704-1715: Datu Luwu ke-21: La Onro Topalaguna, bergelar Petta Matinroe’ ri Langkanae’ merupakan Pajung
  • 1706-1715: Datu Luwu ke-22: Batari Tungke, bergelar Sultan Fatimah Petta Matinroe’ ri Pattiro merupakan Pajung
  • 1715-1748: Datu Luwu ke-23: Batari Tojang, bergelar Sultan Zaenab Matinroe’ ri Tippulue’ merupakan Pajung
  • 1748-1760 & 1765-1778: Datu Luwu ke-24 dan ke-26: We Tenri Leleang, bergelar Petta Matinroe’ ri Soreang merupakan Pajung
  • 1760-1765: Datu Luwu ke-25 : Tosibengngareng, bergelar La Kaseng Patta Matinroe’ ri Kaluku Bodoe’ merupakan Pajung
  • 1778-1810: Datu Luwu ke-27 : La Tenri Peppang atau Daeng Pali’, bergelar Petta Matinroe’ ri Sabbangparu merupakan Pajung
  • 1810-1825: Datu Luwu ke-28 : We Tenri Awaru atau Sultan Hawa, bergelar Petta Matinroe’ ri Tengngana Luwu merupakan Pajung
  • 1825-1854: Datu Luwu ke-29 : La Oddang Pero, bergelar Petta Matinroe’ Kombong Beru merupakan Pajung
  • 1854-1880: Datu Luwu ke-30 : Patipatau atau Abdul Karim Toapanyompa, bergelar Petta Matinroe’ ri Limpomajang, merupakan Pajung
  • 1880-1883: Datu Luwu ke-31 : We Addi Luwu, bergelar Petta Matinroe’ Temmalullu merupakan Pajung
  • 1883-1901: Datu Luwu ke-32 : Iskandar Opu Daeng Pali’, bergelar Petta Matinroe’ ri Matakko merupakan Pajung
  • 1901-1935: Datu Luwu ke-33 : Andi Kambo atau Siti Husaimah Andi Kambo Opu Daeng Risompa Sultan Zaenab, bergelar Petta Matinroe’ ri Bintanna merupakan Pajung
  • 1935-1945 & 1950-1965 : Datu Luwu ke-34 dan ke-36: Andi Djemma, bergelar Petta Matinroe’ ri Amaradekanna merupakan Pajung
  • 1945-1950 Datu Luwu ke-35 : Andi Jelling, merupakan Pajung, memerintah ketika Andi Djemma ditahan dan diasingkan oleh Belanda.
  • 1965-1987 : Datu Luwu ke-37 : Andi Bau Alamsyah, bergelar Petta MatinroE ri Tellu Boccona
  • 1987-1994 : Datu Luwu ke-38 : Hj. Andi Bau Tenripadang, bergelar Opu Datu
  • 1994-2012 : Datu Luwu ke-39 : We Andi Addi Luwu, bergelar Opu Daengna Patiware Petta MatinroE ri AlebbirEnna
  • 2012-Sekarang : Datu Luwu ke-40 : La Maradang Andi Makulau S.H, bergelar Opu to Bau

Zaman Hinda Belanda sunting

Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang ditantang oleh hulubalang Kerajaan Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya membangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah diseluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Morowali[2], dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tana Toraja. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:

  • Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
  • Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.

Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:

  • Morowali[3] (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
  • Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
  • Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.

Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:

  • Onder Afdeling Palopo, dengan ibu kotanya Palopo.
  • Onder Afdeling Makale, dengan ibu kotanya Makale.
  • Onder Afdeling Masamba, dengan ibu kotanya Masamba.
  • Onder Afdeling Malili, dengan ibu kotanya Malili.
  • Onder Afdeling Mekongga, dengan ibu kotanya Kolaka.

Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Nippon, Pemerintah Jepang tidak mengubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah " Andi Kambo Opu Tenrisompa" kemudian diganti oleh putranya "Andi Patiware" yang kemuadian bergelar "Andi Djemma".

Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pajung Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling Luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo, Masamba, Malili, Tana Toraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Soediro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Djemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.

Atas jasa-jasa dia terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Djemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum dia wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan Panaikang' Makassar, yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam XIV/Hasanuddin.

Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk kedalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Djemma yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia".

Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di Kota Palopo.

Pemekaran sunting

Pemekaran Wilayah Luwu berawal dari

  • Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar.
  • Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.

Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:

  • Kewedanaan Palopo
  • Kewedanaan Masamba dan
  • Kewedanaan Malili

Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Provinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.

Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961, dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu:

  • Wara
  • Larompong
  • Suli
  • Bajo
  • Bupon
  • Bastem
  • Walenrang (Batusitanduk)
  • Limbong
  • Sabbang
  • Malangke
  • Masamba
  • Bone-Bone
  • Wotu
  • Mangkutana
  • Malili
  • Nuha

Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi Kecamatan. Dengan berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.

Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota Administratif (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.

Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52 Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Provinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9 Maret 1983 tentang penetapan luas provinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.

Luas Wilayah Provinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan nyata dilapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas wilayah antar provinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sul-Sel dan Topdam VII/Wirabuana, Pemerintah Provinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luas wilayah provinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan di daerah Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor: SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas wilayahKabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan Pembantu.

Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.

Tepatnya pada tanggal 10 Februari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Februari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun 1999.

Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:

  1. Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tana Toraja, dari 16 kecamatan, yaitu:
    • Kecamatan Lamasi
    • Kecamatan Walenrang
    • Kecamatan Pembantu Telluwanua
    • Kecamatan Warautara
    • Kecamatan Wara
    • Kecamatan Pembantu Wara Selatan
    • Kecamatan Bua
    • Kecamatan Pembantu Ponrang
    • Kecamatan Bupon
    • Kecamatan Bastem
    • Kecamatan Pembantu Latimojong
    • Kecamatan Bajo
    • Kecamatan Belopa
    • Kecamatan Suli
    • Kecamatan Larompong
    • Kecamatan Pembantu Larompong Selatan
  2. Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:
    • Kecamatan Sabbang
    • Kecamatan Pembantu Baebunta
    • Kecamatan Limbong
    • Kecamatan Pembantu Seko
    • Kecamatan Malangke
    • Kecamatan Malangke Barat
    • Kecamatan Masamba
    • Kecamatan Pembantu Mappedeceng
    • Kecamatan Pembantu Rampi
    • Kecamatan Sukamaju
    • Kecamatan Bone-Bone
    • Kecamatan Pembantu Burau
    • Kecamatan Wotu
    • Kecamatan Pembantu Tomoni
    • Kecamatan Mangkutana
    • Kecamatan Pembantu Angkona
    • Kecamatan Malili
    • Kecamatan Nuha
    • Kecamatan Pembantu Towuti
  3. Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan dengan jumlah Kecamatan:
    • Kecamatan Wara
    • Kecamatan Wara Utara
    • Kecamatan Wara Selatan
    • Kecamatan Telluwanua
    • Kecamatan Wara Timur
    • Kecamatan Wara Barat
    • Kecamatan Mungkajang
    • Kecamatan Bara
    • Kecamatan Sendana
  4. Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:
    • Kecamatan Angkona
    • Kecamatan Burau
    • Kecamatan Malili
    • Kecamatan Mangkutana
    • Kecamatan Nuha
    • Kecamatan Wasuponda
    • Kecamatan Tomoni
    • Kecamatan Tomoni Timur
    • Kecamatan Towuti
    • Kecamatan Wotu

Setelah pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah ditetapkan, yaitu:

  • Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2
  • Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
  • Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
  • Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2.

Terbentuknya Organisasi sunting

Perintis sunting

  • Andi Massiara Dg Matteru
  • Andi Mario Toaddiware
  • Andi Achmad Opu To Addi Luwu
  • H. Samad Suaib
  • H. Andi Attas
  • H. Andi Baso Rachim
  • H. Ramli Yakub
  • H. Hamzah Yakub

Tokoh Legenda sunting

Tokoh sunting

Referensi sunting

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ KEDATUAN LUWU WILAYAHNYA SAMPAI KERAJAAN MORI, Baca Datu ri Tana mau memberontak kepada Kedatuan Luwu sehingga dapat gelar Datu ri Tana. [1].
  2. ^ KEDATUAN LUWU WILAYAHNYA SAMPAI MOROWALI, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH. [2].
  3. ^ Baca Datu ri Tana mau memberontak kepada Kedatuan Luwu sehingga dapat gelar Datu ri Tana Marunduh. [3].