Karet

Polimer hidrokarbon yang terkandung pada lateks beberapa jenis tumbuhan

Karet adalah polimer hidrokarbon yang terkandung pada lateks beberapa jenis tumbuhan. Sumber utama produksi karet dalam perdagangan internasional adalah para atau Hevea brasiliensis (suku Euphorbiaceae). Beberapa tumbuhan lain juga menghasilkan getah lateks dengan sifat yang sedikit berbeda dari karet, seperti anggota suku ara-araan (misalnya beringin), sawo-sawoan (misalnya getah perca dan sawo manila), Euphorbiaceae lainnya, serta dandelion.

Lateks karet tengah disadap.

Pada masa Perang Dunia II, sumber-sumber ini dipakai untuk mengisi kekosongan pasokan karet dari para. Sekarang, getah perca dipakai dalam kedokteran (guttapercha), sedangkan lateks sawo manila biasa dipakai untuk permen karet (chicle). Karet industri sekarang dapat diproduksi secara sintetis dan menjadi saingan dalam industri perkaretan.

Penyadap karet di Jambi, Sekitar tahun (1920)

Biokimia sunting

Karet adalah polimer dari satuan isoprena (politerpena) yang tersusun dari 5000 hingga 10.000 satuan dalam rantai tanpa cabang. Diduga kuat, tiga ikatan pertama bersifat trans dan selanjutnya cis. Senyawa ini terkandung pada lateks pohon penghasilnya. Pada suhu normal, karet tidak berbentuk (amorf). Pada suhu rendah ia akan mengkristal. Dengan meningkatnya suhu, karet akan mengembang, searah dengan sumbu panjangnya. Penurunan suhu akan mengembalikan keadaan mengembang ini. Inilah alasan mengapa karet bersifat elastik.

Biosintesis sunting

Lateks dibentuk pada permukaan benda-benda kecil (disebut "badan karet") berbentuk bulat berukuran 5 nm sampai 5 μm yang banyak terdapat pada sitosol sel-sel pembuluh lateks (modifikasi dari floem). Sebagai substratnya adalah isopentenil difosfat (IPD) yang dihasilkan sel-sel pembuluh lateks. Dengan bantuan katalisis dari prenil transferase, pemanjangan terjadi pada permukaan badan karet yang membawa suatu polipeptida berukuran 14 kDa yang disebut rubber elongation factor (REF). Sebagai bahan pembuatan starter, diperlukan pula 3,3—dimetilalil difosfat sebagai substrat kedua. Suatu enzim isomerase diperlukan untuk tugas ini.

Budidaya tanaman karet sunting

Kebanyakan karet komersial berasal dari getah pohon para karet (para rubber tree) atau Hevea brasiliensis. Hevea brasiliensis berasal dari Brazilia, Amerika Selatan, mulai dibudidayakan di Sumatera Utara pada tahun 1903 dan di Jawa pada tahun 1906. Tanaman ini berasal dari sedikit semai yang dikirimkan dari Inggris ke Bogor pada tahun 1876, sedangkan semai-semai tersebut berasal dari biji karet yang dikumpulkan oleh H. A. Wickman, kewarganegaraan Inggris, dari wilayah antara Sungai Tapajoz dan Sungai Medeira di tengah Lembah Amazon.[1] Tanaman karet merupakan tanaman tahunan yang dapat tumbuh sampai umur 30 tahun. Habitus tanaman ini merupakan pohon dengan tinggi tanaman dapat mencapai 15 – 20 meter. Tanaman karet memiliki sifat gugur daun sebagai respon tanaman terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan (kekurangan air/kemarau). Tanaman karet juga memiliki sistem perakaran yang ekstensif/menyebar cukup luas sehingga tanaman karet dapat tumbuh pada kondisi lahan yang kurang menguntungkan. Tanaman karet memiliki masa belum menghasilkan selama lima tahun (masa TBM 5 tahun) dan sudah mulai dapat disadap pada awal tahun ke enam. Secara ekonomis tanaman karet dapat disadap selama 15 sampai 20 tahun.[2]

Tanaman karet sunting

Tanaman karet memiliki perakaran yang ekstensif, akar tunggangnya mampu tumbuh menembus tanah sampai 2 m, sedangkan akar lateralnya menyebar sepanjang lebih dari 10 m. Tanaman karet berbentuk pohon dengan tinggi 15–25 m, tipe pertumbuhan tegak dan memperlihatkan pola pertumbuhan berirama (ritme), yakni terdapat masa tumbuh dan masa istirahat (latent) yang bergantian dalam periode sekali dalam dua bulan. Batangnya berkayu, dengan susunan dari luar ke dalam sebagai berikut:

  • kulit keras, terdiri dari lapisan gabus, kambium gabus, lapisan sel batu;
  • kulit lunak, di dalamnya terdapat floem dan pembuluh lateks;
  • kambium;
  • kayu/xylem.[3]

Pembuluh lateks melingkar di dalam jaringan floem seperti spiral, membentuk sudut 3,70 - 50 terhadap garis vertikal dari kanan (atas) ke kiri (bawah). Daun tanaman karet merupakan daun majemuk, dimana satu tangkai daun umumnya memiliki 3-5 anak daun. Tangkai daun panjangnya 3–20 cm, anak daun eliptis memanjang dengan ujung runcing, tepi rata dan gundul. Daun tumbuh pada buku-buku membentuk karangan daun yang disebut payung. Termasuk tanaman decidious, menggugurkan daunnya pada musim kering. Bunga tersusun dalam rangkaian (malai) berbentuk seperti kerucut. Termasuk tanaman monoceous (bunga jantan dan betina letaknya terpisah dalam satu malai), bunga jantan terletak di bagian bawah/pangkal dari cabang-cabang malai sedangkan bunga betina terletak di ujung malai. Bunga betina memiliki 3 bakal buah yang beruang 3 dengan kepala putik yang duduk, bunga jantan memiliki 10 benang sari yang bersatu membentuk tiang, serbuk sari lengket, kecil dengan diameter 25-30 mikron. Buah karet mempunyai garis tengah antara 3–5 cm, dengan bagian ruang yang berbentuk setengah bola; biji besar, berbercak/bernoda (khas dan beracun). Masak buah yang normal sekitar 5 bulan, buah masak pecah dengan kuat menurut ruang.[3]

Karakterisasi pertumbuhan tanaman karet sunting

Kondisi geografis sunting

Tanaman karet adalah tanaman daerah tropis. Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zona antara 150 LS dan 150 LS. Bila di tanam di luar zone tersebut, sehingga memulai pertumbuhannya pun lebih lambat, sehingga memulai produksinya pun lebih lambat.[4] Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15–25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Di beberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal lateks. Memang, tanaman karet tergolong mudah diusahakan. Apalagi kondisi Negara Indonesia yang beriklim tropis, sangat cocok untuk tanaman yang berasal dari Daratan Amerika Tropis, sekitar Brazil. Hampir di semua daerah di Indonesia, termasuk daerah yang tergolong kurang subur, karet dapat tumbuh baik dan menghasilkan lateks. Karena itu, banyak rakyat yang berlomba-lomba membuka tanahnya untuk dijadikan perkebunan karet. Luas lahan karet yang dimiliki Indonesia mencapai 2,7-3 juta hektar. Ini merupakan lahan karet yang terluas di dunia. Perkebunan karet yang besar banyak diusahakan oleh pemerintah serta swasta. Sedangkan perkebunan-perkebunan karet dalam skala kecil pada umumnya dimiliki oleh rakyat.[5]

Tanaman karet banyak ditanam pada ketinggian 0–500 m dpl, dengan ketinggian optimum 0–200 m; semakin tinggi tempat penanaman pertumbuhan lambat sehingga saat buka sadap menjadi tertunda. Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara ketinggian tempat dengan rata-rata umur buka sadap adalah sebagai berikut:

  • 0–200 m dpl; < 6 tahun
  • 200–400 m dpl; 7 tahun
  • 400–600 m dpl; 7,5 tahun
  • 600–800 m dpl; 8,6 tahun
  • 800–1000 m dpl; 10,2 tahun[3]

Tanaman karet tumbuh baik pada lintang 6o LU - 6o LS, namun masih bisa tumbuh baik pada lintang 10o LU - 10o LS. Membutuhkan daerah panas dan lembap dengan suhu yang dikehendaki antara 24o - 28o C. Curah hujan tidak kurang dari 1500–2000 mm/th, yang terdistribusi merata sepanjang tahun; paling baik curah hujan 2500–3000 mm/th dengan 100-150 hari hujan.[3]

Tanaman karet dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dengan kemiringan tanah kurang dari 10%. Kedalaman efektif lebih dari 100 cm, tekstur tanah terdiri lempung berpasir dan liat berpasir, pH tanah berkisar antara 4,3 – 5,0, dengan drainase tanah sedang.[3]

Waktu sunting

Waktu yang tepat untuk menanam karet adalah saat musim penghujan sehingga intensitas penyiraman bisa dikurangi. Bibit yang sudah siap ditanam adalah bibit yang mempunyai payung daun terakhir yang sudah tua. Bibit diletakkan di bagian tengan lubang tanam dan ditimbun dengan tanah. Setiap 1-2 minggu, pemeriksaan bibit perlu dilakukan sehingga bibit yang mati bisa segera diganti untuk mempertahankan populasi tanaman karet. Penyulaman dilakukan guna mengganti bibit yang tidak tumbuh baik selama proses pertumbuhan di media tanam.[6]

Pemanenan sunting

 
Hutan karet di Pegunungan Gumitir, Jember, Jawa Timur.

Lateks diperoleh dengan melukai kulit batangnya sehingga keluar cairan kental yang kemudian ditampung. Cairan ini keluar akibat tekanan turgor dalam sel yang terbebaskan akibat pelukaan. Aliran berhenti apabila semua isi sel telah "habis" dan luka tertutup oleh lateks yang membeku.[7]

Penyadapan sunting

Tanaman karet siap sadap bila sudah matang sadap pohon. Matang sadap pohon tercapai apabila sudah mampu diambil lateksnya tanpa menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan dan kesehatan tanaman. Kesanggupan tanaman untuk disadap dapat ditentukan berdasarkan “umur dan lilit batang”. Diameter untuk pohon yang layak sadap sedikitnya 45 cm diukur 100 cm dari pertautan sirkulasi dengan tebal kulit minimal 7 mm dan tanaman tersebut harus sehat. Pohon karet biasanya dapat disadap sesudah berumur 5-6 tahun. Semakin bertambah umur tanaman semakin meningkatkan produksi lateksnya.[8] Mulai umur 16 tahun produksi lateksnya dapat dikatakan stabil sedangkan sesudah berumur 26 tahun produksinya akan menurun.

Penyadapan dilakukan dengan memotong kulit pohon karet sampai batas kambium dengan menggunakan pisau sadap. Jika penyadapan terlalu dalam dapat membahayakan kesehatan tanaman, dan juga untuk mempercepat kesembuhan luka sayatan maka diharapkan sadapan tidak menyentuh kayu (xilem) akan tetapi paling dalam 1,5 mm sebelum kambium.[9]

Sadapan dilakukan dengan memotong kulit kayu dari kiri atas ke kanan bawah dengan sudut kemiringan 30˚ dari horizontal dengan menggunakan pisau sadap yang berbentuk V. Semakin dalam sadapan akan menghasilkan banyak lateks. Pada proses penyadapan perlu dilakukan pengirisan. Bentuk irisan berupa saluran kecil, melingkar batang arah miring ke bawah. Melalui saluran irisan ini akan mengalir lateks selama 1-2 jam. Sesudah itu lateks akan mengental. Lateks yang mengalir tersebut ditampung ke dalam mangkuk aluminium yang digantungkan pada bagian bawah bidang sadap. Sesudah dilakukan sadapan, lateks mengalir lewat aluran V tadi dan menetes tegak lurus ke bawah yang ditampung dengan wadah.[10]

Waktu penyadapan yang baik adalah jam 5.00 – 7.30 pagi dengan dasar pemikirannya: Jumlah lateks yang keluar dan kecepatan aliran lateks dipengaruhi oleh tekanan turgor sel Tekanan turgor mencapai maksimum pada saat menjelang fajar, kemudian menurun bila hari semakin siang Pelaksanaan penyadapan dapat dilakukan dengan baik bila hari sudah cukup terang.[11]

Tanda-tanda kebun mulai disadap adalah umur rata-rata 6 tahun atau 55% dari areal 1 hektar sudah mencapai lingkar batang 45 Cm sampai dengan 50 Cm. Disadap berselang 1 hari atau 2 hari setengah lingkar batang, denga sistem sadapan/rumus S2-D2 atau S2-D3 hari.[12]

Waktu bukaan sadap adalah 2 kali setahun yaitu, pada (a) permulaan musim hujan (Juni) dan (b) permulaan masa intensifikasi sadapan (bulan Oktober). Oleh karena itu, tidak secara otomatis tanaman yang sudah matang sadap lalu langsung disadap, tetapi harus menunggu waktu tersebut di atas tiba.[10]

Penemuan sunting

Karet diyakini dinamai oleh Joseph Priestley, yang pada 1770 menemukan lateks yang dikeringkan dapat menghapus tulisan pensil. Ketika karet dibawa ke Inggris, dia diamati bahwa benda tersebut dapat menghapus tanda pensil di atas kertas. Ini adalah awal penamaan rubber dalam bahasa Inggris.

Di tempat asalnya, di Amerika Tengah dan Amerika Selatan, karet telah dikumpulkan sejak lama. Peradaban Mesoamerika menggunakan karet dari Castilla elastica. Orang Amerika Tengah kuno menggunakan bola karet dalam permainan mereka (lihat: permainan bola Mesoamerika). Menurut Bernal Diaz del Castillo, Conquistador Spanyol sangat kagum terhadap pantulan bola karet orang Aztek dan mengira bahwa bola tersebut dirasuki roh setan.

Di Brasil orang lokal membuat baju tahan air dari karet. Sebuah cerita menyatakan bahwa orang Eropa pertama yang kembali ke Portugal dari Brasil dengan membawa baju anti-air tersebut menyebabkan orang-orang terkejut sehingga ia dibawa ke pengadilan atas tuduhan melakukan ilmu gaib.

Manfaat sunting

Karet adalah bahan utama pembuatan Ban, beberapa Alat-alat kesehatan, alat-alat yang memerlukan kelenturan dan tahan goncangan. Dibeberapa tempat salah satunya Perkebunan karet di Jember biji karet bisa dijadikan camilan dengan proses tetentu, rasanya gurih namun bila berlebihan kadang membuat pusing kepala.

Komoditas sunting

Karet merupakan salah satu komoditas terbesar Indonesia setelah minyak kelapa sawit, dan 85% produksinya dilakukan oleh petani kecil. Karet terdiri dari polimer senyawa organik isoprena, senyawa organik lainnya dan air.[13] Kebanyakan karet komersial berasal dari getah pohon para karet (para rubber tree) atau Hevea brasiliensis.

Sebagai produsen karet terbesar kedua di dunia, jumlah suplai karet Indonesia penting untuk pasar global. Sejak tahun 1980-an, industri karet Indonesia telah mengalami pertumbuhan produksi yang stabil. Kebanyakan hasil produksi karet negara ini - kira-kira 80% - diproduksi oleh para petani kecil. Oleh karena itu, perkebunan Pemerintah dan swasta memiliki peran yang kecil dalam industri karet domestik. Kebanyakan produksi karet Indonesia berasal dari provinsi-provinsi berikut:

  1. Sumatera Selatan
  2. Sumatera Utara
  3. Riau
  4. Jambi
  5. Kalimantan Barat[14]

Total luas perkebunan karet Indonesia telah meningkat secara stabil selama satu dekade terakhir. Pada tahun 2015, perkebunan karet di negara ini mencapai luas total 3,65 juta hektar. Karena prospek industri karet positif, telah ada peralihan dari perkebunan-perkebunan komoditas seperti kakao, kopi dan teh, menjadi perkebunan-perkebunan kelapa sawit dan karet. Jumlah perkebunan karet milik petani kecil telah meningkat, sementara perkebunan Pemerintah dan swasta telah agak berkurang, kemungkinan karena perpindahan fokus ke kelapa sawit.[14]

Sekitar 85% dari produksi karet Indonesia diekspor. Hampir setengah dari karet yang diekspor ini dikirimkan ke negara-negara Asia lain, diikuti oleh negara-negara di Amerika Utara dan Eropa. Lima negara yang paling banyak mengimpor karet dari Indonesia adalah Amerika Serikat (AS), Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Jepang, Singapura, dan Brazil. Konsumsi karet domestik kebanyakan diserap oleh industri-industri manufaktur Indonesia (terutama sektor otomotif).[14]

Di Jawa Barat sendiri, menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat,[15] tahun 2018, produksi karet oleh perkebunan rakyat sebanyak 4734 ton dengan luas area 16.055 hektar. Produksi karet oleh perkebunan besar swasta adalah 14.388 ton dengan luas areal 21.526 hektar. Untuk produksi karet oleh perkebunan besar negara adalah sebesar 17.345 ton dengan luas areal 24.834 hektar.

Dibandingkan dengan negara-negara kompetitor penghasil karet yang lain, Indonesia memiliki level produktivitas per hektar yang rendah. Hal ini ikut disebabkan oleh fakta bahwa usia pohon-pohon karet di Indonesia umumnya sudah tua dikombinasikan dengan kemampuan investasi yang rendah dari para petani kecil, sehingga mengurangi hasil panen. Sementara Thailand memproduksi 1.800 kilogram (kg) karet per hektar per tahun, Indonesia hanya berhasil memproduksi 1.080 kg/ha. Baik Vietnam (1.720 kg/ha) maupun Malaysia (1.510 kg/ha) memiliki produktivitas karet yang lebih tinggi.[14]

Produk karet sunting

Kementerian Perindustrian mencatat industri karet dalam negeri sejauh ini baru menyerap sekitar 550 ribu ton per tahun dari total produksi karet alam yang mencapai 3 juta ton per tahun. Dari total karet alam yang terserap, 55 persen dimanfaatkan oleh industri ban, 17 persen digunakan oleh industri sarung tangan dan benang karet, 11 persen digunakan oleh industri alas kaki, dan 9 persen digunakan oleh industri barang-barang karet lainnya.[16]

Produk primer sunting

Produk primer dari tanaman karet adalah karet alam. Karet alam sudah banyak diperdagangkan untuk kegunaannya sebagai bahan mentah dalam sejumlah produk. Pada hari ini lebih dari 90% karet di dunia berasal dari Asia Tenggara.[17]

Kultivasi dari karet sendiri memiliki konsekuensi dari segi ekonomi, sosial dan ekologi. Resiko dari segi sosialnya yaitu berupa land grabbing (contohnya di Laos, Kamboja), pekerja anak (contohnya di Kamboja, Laos, Myanmar), pekerja paksa (Myanmar), penghasilan rendah, kesehatan pekerja akibat terpapar zat kimia, dan kesehatan konsumen akhir (alergi lateks). Dari segi ekonomi terdapat beberapa risiko dari kultivasi karet berupa, profitabilitas penanaman, pemasukan untuk pemegang kepentingan, ketergantungan dengan harga global, diversitas produk (pasar untuk karet perdagangan dan karet alam tidak adil). Sedangkan dari segi ekologi terdapat beberapa konsekuensi berupa diversitas genetik, berkurangnya habitat beberapa spesies, berkurangnya spesies (akibat berkurangnya habitat), erosi (akibat hilangnya tanaman), penebangan hutan, perubahan iklim, dan berkurangnya ecosystem service.[17]

Standar kualitas produk primer sunting

Produk utama dari tanaman karet yaitu karet alam. Kualitas karet alam diatur oleh Badan Standar Nasional (BSN) melalui Standard Indonesian Rubber (SIR) pada tahun 1999.[18] Standard Indonesian Rubber adalah karet alam yang diperoleh dengan pengolahan bahan olah karet yang berasal dari getah batang pohon Hevea Brasiliensis secara mekanis dengan atau tanpa kimia, serta mutunya ditentukan secara spesifikasi teknis.

SIR digolongkan dalam 9 jenis mutu yaitu:

  • SIR 3 CV (Constant Viscosity)
  • SIR 3 L (Light)
  • SIR 3 WF (Whole Field)
  • SIR LoV (low viscosity)
  • SIR 5
  • SIR 10
  • SIR 10 CV/VK (constant viscosity)
  • SIR 20
  • SIR 20 CV/VK

Perbedaannya adalah pada tingkat kadar kotoran, dan pada bahan olahan yang dipakai. SIR 3 CV, SIR 3 L dan SIR 3 WF berasal dari lateks kebun. SIR 5 berasal dari karet lembaran dan/atau koagulum segar. SIR 10, SIR 10 CV/VK, SIR 20, SIR 20 CV/VK dibuat dari koagulum lapangan.[19]

Untuk memilih jenis bahan olah yang sesuai dengan rencana produksi, produsen SIR dapat berpedoman kepada SNI 06-2047 revisi terakhir (Standar Bahan Olah Karet). Adapun SNI 06-2047 yang harus diikuti yaitu, persyaratan teknis bahan olahan komoditas ekspor Standard Indonesian Rubber (Bokor SIR) yang meliputi:

  • Tidak mengandung kontaminan vulkanisat karet
  • Tidak mengandung kontaminan berat
  • Mengandung kontaminan ringan maksimum 5%
  • Penggumpalan secara alami atau menggunakan bahan penggumpal.

Produk sekunder sunting

Pelanggan paling penting dari karet alam adalah industri otomotif. Hampir 70% karet alam kemudian diolah menjadi ban mobil. Selain menjadi ban, karet alam juga digunakan untuk ikat pinggang di beberapa negara. Hampir 70% karet alam kemudian diolah menjadi ban mobil. Selain menjadi ban, karet alam juga digunakan untuk ikat pinggang di beberapa negara.[17]

Standar kualitas produk sekunder sunting

Untuk standardisasi kualitas ban telah dilakukan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) oleh Badan Standar Nasional. Terdapat 6 produk yang terkena SNI wajib. Keenam produk ban yang terkena SNI Wajib tersebut adalah jenis ban untuk mobil penumpang (Pos Tarif/HS No. 4011.10.00.00), ban truk ringan (4011.10.00.00), ban truk bus (4011.20.10.00), ban sepeda motor (4011.40.00.00). Selain itu terdapat ban dalam kendaraan bermotor untuk mobil penumpang, truk ringan, truk dan bus, sepeda motor. Untuk kategori ini, pemerintah membaginya dalam tiga nomor pos tarif. Pos tarif No. 4013.10.11.00 untuk ban dalam mobil penumpang dan truk ringan, HS No. 4013.10.21.00 (ban dalam truk dan bus) serta HS No. 4013.90.20.00 (ban dalam sepeda motor). Untuk standar yang dilihatnya meliputi sifat tampak, dimensi, penunjuk keausan telapak, ketidak dudukan bead untuk ban tanpa ban dalam, ketahanan saat tekanan angin rendah, endurance.[20]

Kajian metabolomik sunting

Kajian metabolomik yang telah dilakukan dalam komoditas ini yaitu penentuan pengaruh dari batang bawah (rootstock) terhadap anakan Hevea brasiliensis melalui analisis metabolit sampel lateks dengan NMR. Dalam penelitian Nascimento, et al, 2011,[21] efek batang bawah terhadap pencangkokan melalui analisis metabolik sampel lateks (Hevea brasiliensis) diverifikasi oleh resonansi magnetik nuklir 1H (NMR) dan analisis data multivariat. Enam belas metabolit hadir dalam sitosol lateks ditandai oleh NMR. Analisis PCA menunjukkan bahwa sampel lateks kelompok RR dan GR dapat dibedakan. Sampel kelompok GR menyajikan profil metabolisme yang mirip dengan sampel kelompok RR, sedangkan kelompok RG berada pada posisi tengah antara kelompok RR dan GG. Sukrosa dan format berkontribusi besar terhadap pemisahan yang diperoleh PCA, menghadirkan korelasi yang baik antara hasil. 1H NMR adalah teknik yang efisien untuk membedakan sampel lateks dari berbagai jenis batang bawah dan pencangkokan dan di masa depan dapat digunakan untuk memprediksi produksi karet dengan analisis lateks.

Permasalahan dalam produksi karet adalah lamanya waktu produksi. Pohon karet baru dapat disadap setelah berumur 5-6 tahun, sehingga untuk produksinya perlu menunggu waktu 6 tahun dari penanamannya. Untuk itu dilakukan pencarian sumber alternatif untuk produksi karet selain Hevea brasiliensis. Karet dari tanaman tersebut memiliki struktur molekul yang kuat dan massa molekul yang tinggi, sehingga karet ini menunjukkan performa yang baik yang tidak dapat ditiru oleh polimer sintetik. Performa yang baik tersebut meliputi kelentingan, elastisitas, resistensi terhadap abrasi, pembuangan panas yang efisien, dan memengaruhi resistensi. Sarung tangan karet untuk medis perlu sesuai ukurannya, tidak mudah robek, nyaman, dan efektif menjadi penghalang untuk patogen. Karakter tersebut tidak dapat dipenuhi oleh karet sintetik. Pada penelitian Mooibroek dan Cornish pada tahun 2000,[22] dicari alternatif sumber karet alam, yaitu guayule (Parthenium argentatum) sebagai sumber dari lateks berkualitas tinggi. Rekayasa metabolik dapat memungkinkan produksi dari pertanian dirancang untuk mengakumulasi metabolit isoprenoid, yaitu karet dan karotenoid.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ Semangun. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  2. ^ admin (2013-06-15). "Tanaman Karet". Puslitbang Perkebunan. Diakses tanggal 2019-04-25. 
  3. ^ a b c d e Ty, Yana (Rabu, 27 Agustus 2014). "TANAMAN PERKEBUNAN: Teknik Budidaya Tanaman Karet (1)". TANAMAN PERKEBUNAN. Diakses tanggal 2019-04-25. 
  4. ^ Setyamidjaja, 1993. Karet budidaya dan Pengolahan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
  5. ^ Tim Penulis PS. 1999. Panduan Lengkap Karet. Jakarta: Penebar swadaya
  6. ^ Jodyf (2016-06-07). "Cara Menanam dan Budidaya Karet - Artikel Pertanian Terbaru | Berita Pertanian Terbaru". Pertanianku (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-25. 
  7. ^ Ali, Farida; Astuti, Wulan N; Chairani, Nahdia. 2015. PENGARUH VOLUME KOAGULAN, WAKTU KONTAK DAN TEMPERATUR PADA KOAGULASI LATEKS DARI KAYU KARET DAN KULIT KAYU KARET. Jurnal Teknik Kimia No. 3, Vol. 21, Halaman 27-35
  8. ^ "Karet". Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 2018-08-08. 
  9. ^ "prabumulihdusunlaman" (dalam bahasa Portugis). Diakses tanggal 2019-04-25. 
  10. ^ a b Anwar, C., 2001. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. Medan: Pusat Penelitian Karet. Medan.
  11. ^ Nazaruddin dan F.B. Paimin, 1998. Karet. Jakarta: Penebar Swadaya
  12. ^ Maryadi., 2005. Manajemen Agrobisnis Karet. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  13. ^ Greve, Heinz-Hermann (2000-06-15). Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, ed. Ullmann's Encyclopedia of Industrial Chemistry (dalam bahasa Inggris). Weinheim, Germany: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA. doi:10.1002/14356007.a23_225. ISBN 9783527306732. 
  14. ^ a b c d "Karet | Indonesia Investments". www.indonesia-investments.com. Diakses tanggal 2019-04-25. 
  15. ^ "Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat". jabar.bps.go.id. Diakses tanggal 2019-04-25. 
  16. ^ "Kemenperin: Kemenperin Dorong SCG Kembangkan Produk Turunan Industri Kimia dan Karet". www.kemenperin.go.id. Diakses tanggal 2019-04-25. 
  17. ^ a b c "Natural Rubber". www.business-biodiversity.eu. Diakses tanggal 2019-04-25. 
  18. ^ Badan Standar Nasional. 1999. Standard Indonesian Rubber. SNI 06-1903-2000
  19. ^ Badan Standar Nasional. 2011. Karet Spesifikasi Teknis. SNI 1903-2011.
  20. ^ "6 Produk Ban kena SNI wajib - BSN - Badan Standardisasi Nasional - National Standardization Agency of Indonesia - Setting the Standard in Indonesia ISO SNI WTO". www.bsn.go.id. Diakses tanggal 2019-04-25. 
  21. ^ Nascimento, Eduardo Sanches Pereira do; Oliveira, Clayton Rodrigues de; Souza Gonçalves, Paulo de; Costa, Reginaldo Brito da; Rogério Manoel Biagi Moreno; Mattoso, Luiz Henrique Capparelli; Ferreira, Antonio Gilberto. 2011. Effect of rootstock on the scion of Hevea brasiliensis through metabolic analysis of latex samples by 1H NMR. Crop Breeding and Applied Biotechnology S1: 82-88
  22. ^ Mooibroek, H.; Cornish, K. (2000-04-12). "Alternative sources of natural rubber". Applied Microbiology and Biotechnology. 53 (4): 355–365. doi:10.1007/s002530051627. ISSN 0175-7598. 

Kesalahan pengutipan: Parameter dalam tag <references> tidak sah;