Jejak Sang Ajudan: Sebuah Biografi Pierre Tendean

Jejak Sang Ajudan: Sebuah Biografi Pierre Tendean adalah sebuah buku biografi berlatar belakang sejarah Indonesia tentang tokoh Kapten Czi. (Anumerta) Pierre Andries Tendean yang dirilis pada tahun 2018. Buku ini merupakan Buku Biografi Pertama tentang Pahlawan Revolusi termuda yang gugur pada peritiwa Gerakan 30 September 1965 tersebut yang terbit di era tahun 2000-an, sekaligus menjadi buku pertama di Indonesia yang berisi foto-foto bersejarah yang telah direstorasi (diwarna ulang/ re-coloring). Ditulis oleh Ahmad Nowmenta Putra dan Agus Lisna sejak Februari 2018 dengan proses pendalaman sejak tahun 2014 dan kemudian baru dirilis pada Agustus 2018.

Jejak Sang Ajudan: Sebuah Biografi Pierre Tendean
PengarangAhmad Nowmenta Putra, Agus Lisna
BahasaIndonesia
GenreBiografi
PenerbitLeutikaPrio
Tanggal terbit
2018
Halamanxii + 214 hlm
ISBNISBN 978-602-371-621-0

Sinopsis sunting

Awan mendung yang menyelimuti bangsa Indonesia di pekan pertama Oktober 1965 adalah antitesis yang melegitimasi peralihan Orde Lama menuju rezim Orde Baru. Titik balik dari hegemoni kekuasaan itu pun tercatat sebagai sejarah kelam yang meletupkan banyak tumbal. Dari warga sipil hingga 7 perwira TNI AD ikut gugur sebagai perisai bangsa dalam peristiwa G30S.

Pada raga yang telah terbaring, tak ada kata sia-sia untuk sebuah pengorbanan demi berpendarnya ideologi Pancasila. Maka mendengungkan kisah tentang kesetiaan, nama Kapten Czi (Anumerta) Pierre Tendean yang kala itu menjadi ajudan sekaligus korban salah sasaran di rumah Jenderal A.H. Nasution adalah salah satu yang terus terkenang. Seketika karier cemerlangnya harus kandas terkubur bersama raga yang teramat belia. Namun, pengorbanan dan dedikasi pada pilihan hidup membuatnya layak disemati gelar sebagai Pahlawan Revolusi.

Pribadi yang begitu hidup dan sifat kestaria yang sudah terpancar semenjak kecil adalah alasan Pak Nas menunjuk Pierre sebagai ajudannya. Pun demikian dengan segenap kiprah serta prestasi monumentalnya di dunia militer Indonesia yang membuat namanya terus diperbincangkan hingga beberapa dekade sejak kematiannya.

Banyak yang mengernyitkan dahi, mengapa sosok se-flamboyan Pierre yang blasteran Prancis - Minahasa itu memilih jalan untuk menjadi seorang prajurit. Namun justru berangkat dari sinilah benang merah takdir perjalanan hidup si ‘Robert Wagner Van Bumi Panorama’ itu dibentangkan. Apa yang melatarbelakangi pilihannya dan bagaimana sosok sang ajudan tersebut dalam lingkaran kehidupannya? Ramuan dalam buku ini akan mengajak para generasi muda untuk mereguk nilai-nilai keteladanan, perjuangan, serta saripati sejarah dengan suguhan visual yang lebih berwarna!

Buku ini dirancang dengan cara bertutur dan kemasan yang lebih kekinian agar diharapkan mampu menggugah kesadaran generasi millennial untuk mencintai kembali sejarah bangsa Indonesia.

Profil Tokoh sunting

Pierre Andries Tendean terlahir dari pasangan Dr. A.L Tendean, seorang dokter yang berdarah Minahasa, dan Cornet M.E, seorang wanita Indo yang berdarah Prancis, pada tanggal 21 Februari 1939 di Batavia (kini Jakarta), Hindia Belanda. Pierre adalah anak kedua dari tiga bersaudara; kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan Rooswidiati. Tendean mengenyam sekolah dasar di Magelang, lalu melanjutkan SMP dan SMA di Semarang tempat ayahnya bertugas. Sejak kecil, ia sangat ingin menjadi tentara dan masuk akademi militer, namun orang tuanya ingin ia menjadi seorang dokter seperti ayahnya atau seorang insinyur. Karena tekadnya yang kuat, ia pun berhasil bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung pada tahun 1958.[1]

Setelah lulus dari akademi militer pada tahun 1961 dengan pangkat letnan dua, Tendean menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan. Setahun kemudian, ia mengikuti pendidikan di sekolah intelijen di Bogor. Setamat dari sana, ia ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata ke Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia; ia bertugas memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Malaysia. Pada tanggal 15 April 1965, Tendean dipromosikan menjadi letnan satu, dan ditugaskan sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution.[1][2]

Pada pagi tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September (G30S) mendatangi rumah Nasution dengan tujuan untuk menculiknya. Tendean yang sedang tidur di ruang belakang rumah Jenderal Nasution terbangun karena suara tembakan dan ribut-ribut dan segera berlari ke bagian depan rumah. Ia ditangkap oleh gerombolan G30S yang mengira dirinya sebagai Nasution karena kondisi rumah yang gelap. Nasution sendiri berhasil melarikan diri dengan melompati pagar. Tendean lalu dibawa ke sebuah rumah di daerah Lubang Buaya bersama enam perwira tinggi lainnya. Ia ditembak mati dan mayatnya dibuang ke sebuah sumur tua bersama enam jasad perwira lainnya.

Tendean bersama keenam perwira lainnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Untuk menghargai jasa-jasanya, Tendean dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 111/KOTI/Tahun 1965. Pasca kematiannya, ia secara anumerta dipromosikan menjadi kapten.[1][3]

Referensi sunting

  1. ^ a b c Tokoh Indonesia, Pierre Tendean.
  2. ^ Pusindo 2008, hlm. 142.
  3. ^ Sekretariat Negara Republik Indonesia, Bintang Republik Indonesia.