Ilias (bahasa Yunani Kuno: Ἰλιάς, translit. Iliás, artinya "[syair] tentang Ilion") adalah salah satu dari dua wiracarita Yunani Kuno yang diyakini sebagai hasil karya pujangga Homeros. Wiracarita ini adalah salah satu tinggalan karya sastra tertua yang masih banyak diminati khalayak modern. Sama seperti Odiseya, wiracarita ini terbagi menjadi 24 pupuh dan dianggit seturut kaidah heksametrum daktilis. Versinya yang berterima umum terdiri atas 15.693 larik. Dengan latar suasana menjelang kesudahan Perang Troya, perang pengepungan kota Troya selama satu dasawarsa oleh persekutuan negara-negara kota Yunani Mikene, wiracarita ini mengisahkan kejadian-kejadian penting pada minggu-minggu terakhir perang itu, khususnya tentang pertengkaran sengit Raja Agamemnon dengan Akhiles, sang wirawan ternama. Ilias terbilang sebagai salah satu karya sastra utama di dalam lingkup sastra wiracarita, dan jamak dianggap sebagai karya sastra Eropa pertama yang berbobot.

Ilias
karya Homeros
Papan bertuliskan larik 468–473, buku pertama Ilias, dari rentang waktu 400–500 Masehi, ditemukan di Mesir, terpajang di Museum Inggris
Judul asliἸλιάς
DitulisSekitar abad ke-8 Pramasehi
NegaraYunani Kuno
BahasaBahasa Yunani Homeros
GenreSyair wiracarita
Larik15.693 larik
DisusulOdiseya
Teks utuh
Iliad at Wikisource
Ilias at Greek Wikisource

Agaknya Ilias maupun Odiseya ditulis dalam bahasa Yunani Homeros, bahasa sastra bauran bahasa Yunani dialek Yonia dengan dialek-dialek lainnya, kemungkinan besar sekitar akhir abad ke-8 atau permulaan abad ke-7 Pramasehi. Pada zaman Klasik, jarang sekali ada orang yang meragukan bahwa kedua wiracarita itu adalah hasil karya pujangga Homeros, tetapi dewasa ini para sarjana pada umumnya menduga bahwa Ilias dan Odiseya bukanlah hasil karya satu orang pujangga yang sama, dan kisah-kisah yang terangkum di dalamnya merupakan bagian dari suatu tradisi lisan yang panjang. Wiracarita ini dilantunkan oleh para pelantun syair Homeros profesional yang disebut rapsoidos.

Pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam wiracarita ini antara lain adalah kleos (kemuliaan), ujub, takdir, dan murka. Sekalipun terkenal lantaran kisah-kisahnya yang tragis dan mencekam, terselip pula kisah-kisah jenaka dan gelak-tawa.[1] Meskipun hanya meliput peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam beberapa minggu pada tahun terakhir Perang Troya, Ilias memaparkan dan sedikit mengungkit berbagai legenda Yunani terkait perang pengepungan tersebut. Kejadian-kejadian penting yang terjadi sebelum beberapa minggu tersebut, seperti berhimpunnya para wirawan Yunani sebelum berangkat ke medan laga, biang keladi perang, dan kejadian-kejadian terkait lainnya cenderung muncul di awal cerita. Isi cerita selanjutnya meliput peristiwa-peristiwa yang diramalkan bakal terjadi kemudian hari, misalnya peristiwa gugurnya Akhiles dan kejatuhan kota Troya, kendati cerita tamat sebelum peristiwa-peristiwa tersebut terlaksana. Meskipun demikian, karena peristiwa-peristiwa tersebut sudah diramalkan dan berulang kali diungkit kembali, wiracarita ini kurang lebih sudah menyajikan keseluruhan kisah Perang Troya.

Selayang pandang sunting

 
Larik-larik mukadimah Ilias
Perhatian: Nomor buku (dalam tanda kurung) mendahului rangkuman isi buku.

(1) Sesudah menyeru para Musai, cerita langsung bergulir in medias res (ke bagian inti) mendekati kesudahan perang antara orang Troya dan orang Akhaya. Syahdan Krises, pendeta Dewa Apolon di Troya, menawarkan harta kekayaan kepada para pejuang Akhaya sebagai imbalan pembebasan anak perempuannya, Kriseis, yang ditawan Agamemnon, pemimpin orang Akhaya. Meskipun banyak pejuang Akhaya yang tergiur, Agamemnon tidak bersedia melepaskan tawanannya. Krises akhirnya menyeru sesembahannya agar sudi mengulurkan pertolongan, maka Dewa Apolon pun menulahi pihak Akhaya dengan wabah penyakit.

Sesudah sembilan hari lamanya pihak Akhaya didera tulah, Akhiles, pemimpin laskar Mirmidon, menggelar rapat untuk mencari jalan keluar. Karena terdesak, Agamemnon bersedia memulangkan Kriseis kepada ayahnya, tetapi memutuskan untuk mengambil Briseis, tawanan Akhiles, sebagai ganti rugi. Akhiles naik pitam lalu mengumumkan bahwa ia maupun laskarnya sudah tidak sudi berjuang bagi Agamemnon dan akan bertolak pulang ke tanah air. Odiseus mengambil sebuah kapal dan memulangkan Kriseis kepada ayahnya, sehingga Dewa Apolon akhirnya berkenan mengakhiri tulah.

Akhiles sangat kesal ketika para pesuruh Agamemnon datang mengambil Briseis. Sambil duduk di pantai, ia menyeru ibunya, Tetis,[2] agar memohon Dewa Zeus membuat pihak Akhaya dipojokkan pihak Troya, sehingga Agamemnon sadar bahwa pihak Akhaya membutuhkan Akhiles. Tetis menuruti kemauan anaknya, dan permohonannya dikabulkan Dewa Zeus.

(2) Melalui mimpi, Dewa Zeus menghasut Agamemnon untuk menyerbu Troya. Agamemnon bertindak mengikuti petunjuk mimpinya, tetapi lebih dulu ingin menguji semangat juang angkatan perang Akhaya dengan menyuruh mereka pulang ke tanah air. Muslihatnya malah menjadi senjata makan tuan, dan hanya berkat campur tangan Odiseus yang diilhami Dewi Atena sajalah keberangkatan pulang para pejuang Akhaya dapat dicegah.

Odiseus menghardik dan menghajar Tersites, seorang prajurit biasa yang menyuarakan ketidaksenangannya berjuang bagi Agamemnon. Usai bersantap, para pejuang Akhaya dikerahkan laskar demi laskar ke padang Troya. Sang pujangga memanfaatkan bagian ini untuk menguraikan asal-usul tiap-tiap laskar pejuang Akhaya.

Ketika kabar pengerahan laskar-laskar Akhaya dipersembahkan ke hadapan Raja Priamos, pihak Troya pun menanggapinya dengan melancarkan serangan-serangan dadakan ke padang. Pada bagian ini, sang pujangga menjabarkan kekuatan tempur negara kota Troya beserta laskar-laskar sekutunya.

(3) Kedua belah pihak bergerak saling mendekat, tetapi sebelum bentrok terjadi, Paris mohon kepada Hektor, abangnya sekaligus panglima angkatan bersenjata Troya, agar diizinkan bertarung satu lawan satu dengan Menelaos demi menghindari pertumpahan darah besar-besaran. Pada bagian ini sang pujangga mengungkit akar masalah yang memicu terjadinya perang dengan menceritakan bahwa Helene "menyulam sengketa antara orang Troya dan orang Akhaya, maka Dewa Ares membuat kedua belah pihak saling memerangi demi dirinya." Perkara pemicu perang diperjelas sang pujangga pada bagian akhir alinea dengan menceritakan bagaimana Helene diberitahu bahwa Paris dan "Menelaos akan bertarung memperebutkan dirimu, dan engkau akan menjadi istri si pemenang." Kedua belah pihak bersumpah untuk berhenti saling memerangi dan sepakat menerima apa pun hasil duel. Paris kalah, tetapi Dewi Afrodite menyelamatkan dan menuntunnya ke petiduran bersama Helene sebelum Menelaos dapat membunuhnya.

(4) Karena tekanan Dewi Hera yang benci kepada Troya, Dewa Zeus membuat Pandaros memanah Menelaos. Dengan demikian Pihak Troya telah melanggar sumpah gencatan senjata. Agamemnon mengumandangkan aba-aba serbu, dan pertempuran pun pecah.

(5) Diomedes berhasil menewaskan banyak pejuang Troya, termasuk Pandaros, dan mengalahkan Aineias. Dewi Afrodite turun menyelamatkan Aineias, tetapi Diomedes malah menyerang dan melukai sang dewi. Dewa Apolon menghadang Diomedes dan memperingatkannya akan bahaya memerangi para dewa. Sejumlah pahlawan dan panglima ikut terjun ke kancah pertempuran, termasuk Hektor. Dewa-dewi pun ikut campur dengan mendukung pihak pilihan masing-masing, dan berusaha mempengaruhi jalannya pertempuran. Karena disemangati Dewi Atena, Diomedes memberanikan diri melukai Dewa Ares agar tidak dapat bertempur membela pihak Troya.

(6) Hektor membakar semangat para prajurit Troya dan mencegah mereka kabur. Diomedes dari pihak Akhaya dan Glaukos dari pihak Troya sepakat menjalin persahabatan ketika tahu bahwa mendiang datuk-datuk mereka (Oineus dan Belerofon) ternyata bersahabat karib semasa hidup. Sebagai tanda persahabatan, keduanya bertukar pakaian tempur, meskipun pakaian tempur Glaukos yang terbuat dari emas jauh lebih tinggi nilainya daripada pakaian tempur Diomedes yang terbuat dari perunggu. Hektor masuk kota, mengimbau warga Troya untuk berdoa dan mempersembahkan korban kepada dewa-dewi, menyemangati Paris untuk berjuang, mengucapkan salam perpisahan kepada istri (Andromake) dan anaknya (Astianaks) di tembok kota, lalu kembali ke kancah pertempuran.

(7) Hektor berduel melawan Ayas tetapi tidak sampai tuntas, karena pertempuran harus ditunda bilamana hari berganti malam. Pihak Akhaya sepakat memperabukan mayat pejuang-pejuang mereka dan membangun tembok untuk melindungi kapal-kapal dan perkemahan mereka, sementara pihak Troya mempertengkarkan usulan untuk memulangkan Helene. Paris menyatakan kesediaanya untuk menyerahkan harta kekayaan sebagai ganti rugi, tetapi tidak akan memulangkan Helene. Kedua belah pihak menyepakati gencatan senjata selama satu hari untuk memperabukan mayat-mayat para pejuang yang gugur. Waktu gencatan senjata juga dimanfaatkan pihak Akhaya untuk membangun tembok dan menggali parit.

(8) Pagi hari berikutnya, Dewa Zeus melarang dewa-dewi ikut campur, dan pertempuran kembali pecah. Pihak Troya terbukti unggul tanpa bantuan dewa-dewi. Pihak Akhaya terdesak sampai ke tembok yang baru dibangun, tetapi Dewi Hera dan Dewi Atena dilarang membantu mereka. Hari keburu berganti malam sebelum pihak Troya berhasil menerobos tembok pertahanan Akhaya. Mereka berkemah di padang agar dapat langsung menyerbu perkemahan Akhaya begitu fajar menyingsing, dan api-api unggun yang mereka nyalakan di padang untuk berjaga-jaga terlihat seperti bintang-bintang di angkasa malam.

 
Ilias, buku 8, larik 245–253, naskah Yunani, akhir abad ke-5, awal abad ke-6 Masehi.

(9) Pihak Akhaya putus asa. Agamemnon mengakui kekhilafannya dan mengirim perutusan yang terdiri atas Odiseus, Ayas, Foiniks, dan dua orang juru warta untuk menawarkan penyerahan Briseis berikut sejumlah besar harta kekayaan agar Akhiles berkenan kembali berjuang. Akhiles beserta laskar Mirmidon ketika itu berkemah di sebelah kapal mereka. Kedatangan perutusan disambut baik Akhiles dan Patroklos, tetapi Akhiles dengan marah menolak tawaran Agamemnon. Ia menegaskan akan kembali bertempur hanya jika pihak Troya sudah sampai ke kapalnya dan mengancam mereka dengan api. Perutusan pulang dengan tangan hampa.

(10) Malam itu juga, Odiseus dan Diomedes mengendap-endap memasuki perkemahan pihak Troya, membunuh Dolon, dan mengobrak-abrik perkemahan laskar Trakia sekutu Troya.

(11) Pagi hari berikutnya, pertempuran berlangsung sengit. Agamemnon, Diomedes, dan Odiseus terluka. Akhiles mengutus Patroklos mencari tahu keterangan tentang korban-korban di pihak Akhaya. Ketika sedang menjalankan tugasnya, Patroklos tergugah mendengar pidato yang disampaikan Nestor.

(12) Pihak Troya menyerbu tembok Akhaya dengan menggunakan kendaraan. Tanpa menghiraukan pertanda sial yang ditunjukkan gelagat seekor burung rajawali, Hektor memimpin pertempuran yang memakan banyak korban. Pihak Akhaya kelabakan dan terkepung, gapura tembok pelindung bobol, dan Hektor menyerbu masuk.

(13) Dewa Poseidon merasa kasihan kepada pihak Akhaya. Ia melanggar larangan Dewa Zeus dan turun ke kancah pertempuran demi membantu pihak Akhaya. Idomeneus berjuang dengan gagah berani. Banyak korban berguguran di kedua belah pihak. Ahli tenung Troya, Polidamas mendesak Hektor untuk mundur dan memperingatkannya akan Akhiles, tetapi tidak diindahkan.

(14) Dewa Zeus terlena bujuk rayu Dewi Hera sehingga Dewa Poseidon berkesempatan menolong bangsa Yunani. Pihak Troya dapat dipukul mundur ke padang.

(15) Dewa Zeus terbangun dan murka melihat perbuatan Dewa Poseidon. Tanpa menghiraukan suara-suara keberatan dari dewa-dewi pendukung Akhaya, Dewa Zeus mengutus Dewa Apolon untuk membantu pihak Troya. Tembok pertahanan Akhaya sekali lagi dibobol, dan pertempuran akhirnya sampai ke tempat kapal-kapal bersandar.

(16) Patroklos tidak tahan lagi melihat jalannya pertempuran dan memohon Akhiles mengizinkannya ikut berjuang demi melindungi kapal laskar Mirmidon. Dengan berat hati Akhiles memberi izin dan meminjamkan pakaian tempurnya kepada Patroklos, tetapi dengan keras mengingatkannya untuk tidak memburu para pejuang Troya, agar tidak merampas ketenaran Akhiles. Patroklos memimpin laskar Mirmidon memasuki kancah pertempuran, tepat ketika pihak Troya mulai membakar kapal-kapal Akhaya. Pihak Troya kewalahan menghadapi serbuan dadakan laskar Mirmidon, dan Patroklos pun memanfaatkan kesempatan itu untuk menewaskan Sarpedon, anak Dewa Zeus yang memimpin salah satu laskar sekutu Troya. Tanpa menghiraukan peringatan Akhiles, Patroklos memburu pejuang-pejuang lawan sampai dihadang Dewa Apolon di depan gapura kota Troya. Setelah bertarung melawan Dewa Apolon dan Euforbos, Patroklos akhirnya tewas di tangan Hektor.

(17) Hektor menanggalkan pakaian tempur Akhiles dari tubuh Patroklos, tetapi pertempuran seketika pecah di sekitar mayat Patrokos.

(18) Akhiles tidak kuasa menahan kesedihannya mendengar berita kematian Patroklos. Ia bersumpah untuk membalas dendam kepada Hektor. Ibu Akhiles, Tetis, juga berdukacita karena sudah mengetahui bahwa Akhiles ditakdirkan mati muda jika menewaskan Hektor. Akhiles didesak membantu usaha pengambilan mayat Patroklos tetapi pakaian tempurnya sudah hilang. Dengan sekujur tubuh bermandi cahaya gemilang dari Dewi Atena, Akhiles berdiri di dekat tembok Akhaya dan meraung-raung meluapkan kemarahannya. Pihak Troya terperangah melihat penampilannya sehingga pejuang-pejuang Akhaya berkesempatan melarikan mayat Patroklos. Polidamas sekali lagi mendesak Hektor untuk mundur ke dalam kota, tetapi Hektor sekali lagi tidak mengindahkan kata-katanya. Ketika hari berganti malam, angkatan bersenjata Troya malah berkemah di padang. Selagi Akhiles meratapi kematian Patroklos, Tetis meminta Dewa Hefaistos membuat seperangkat pakaian tempur baru untuk akhiles, termasuk sebuah perisai yang sangat mengagumkan.

(19) Pagi hari berikutnya, Agamemnon menyerahkan semua hadiah yang dijanjikannya kepada Akhiles, termasuk Briseis, tetapi tidak dihiraukan Akhiles. Akhiles berpantang makan minum sementara pejuang-pejuang Akhaya melahap makanan mereka. Ia mengenakan pakaian tempur barunya lalu mengambil tombaknya. Ksantos, salah seekor kuda penarik keretanya, meringkikkan nubuat kematian Akhiles. Dengan mengendarai kereta, Akhiles memasuki kancah pertempuran.

(20) Dewa Zeus menarik kembali larangannya kepada dewa-dewi untuk ikut campur, sehingga dewa-dewi dengan leluasa dapat menolong pihak pilihan masing-masing. Dibakar amarah dan dukacita, Akhiles menewaskan banyak prajurit musuh.

(21) Terjangan Akhiles membelah angkatan bersenjata Troya menjadi dua kelompok. Satu kelompok ia kejar sampai ke Sungai Skamandros. Seluruhnya tewas dibantai Akhiles, sampai-sampai Sungai Skamandros penuh dengan mayat mengambang. Sungai Skamandros yang murka dicemari korban pembantaian pun meluap menerjang Akhiles tetapi seketika surut disambar petir berapi Dewa Hefaistos. Dewa-dewi bertempur satu sama lain. Pintu-pintu gapura raksasa kota Troya terbuka menyambut pejuang-pejuang yang mundur menyelamatkan diri. Dewa Apolon memancing Akhiles menjauh dari kota dengan menyaru sebagai orang Troya.

(22) Saat Dewa Apolon menyingkap jati dirinya kepada Akhiles, semua pejuang Troya sudah selamat berlindung di dalam kota, kecuali Hektor yang sudah dua kali mengabaikan nasihat Polidamas. Ia malu melihat kekalahan pihak Troya dan bertekad menghadapi Akhiles. Imbauan pulang dari kedua orang tuanya, Raja Priamos dan Permaisuri Hekabe, tidak mampu membuat Hektor mengurungkan niatnya. Tekad Hektor yang membara serta-merta tawar saat melihat kereta Akhiles melaju kenjang menghampirinya. Akhiles mengejarnya keliling kota. Dewi Athina akhirnya berhasil memperdaya Hektor sehingga menghentikan kereta dan menghadapi lawannya. Dalam duel yang berlangsung singkat, Akhiles berhasil menghujamkan bilah pedangnya menembus batang leher Hektor. Dengan tarikan napas terakhir, Hektor mengingatkan Akhiles bahwa lawannya itu pun sudah ditakdirkan gugur di medan perang yang sama. Akhiles menista mayat Hektor dengan cara mengikatnya pada buritan kereta lalu memacu kudanya sehingga mayat Hektor terseret-seret sepanjang jalan.

(24) Roh Patroklos mendatangi Akhiles dalam mimpi. Ia ingin Akhiles menggelar upacara pemakaman mayatnya dan mengupayakan agar kemudian hari tulang-belulang mereka berdua dapat beristirahat bersama-sama di dalam satu makam. Pihak Akhaya menyarungkan senjata selama satu hari untuk melangsungkan upacara pemakaman, dan Akhiles membagi-bagikan hadiah kepada para pejuang.

(24) Dewa Zeus masygul melihat Akhiles terus-menerus menista mayat Hektor, sehingga memutuskan bahwa mayat Hektor harus diserahkan kepada Raja Priamos. Dituntun Dewa Hermes, Priamos meninggalkan kota Troya sambil mengemudikan sebuah pedati, lalu menyusuri padang sampai ke perkemahan pihak Akhaya tanpa disadari orang. Sambil mendekap erat lutut Akhiles, Priamos memohon kesudiannya menyerahkan mayat Hektor. Akhiles menangis terharu dan bersama-sama Priamos meratapi orang-orang terkasih yang gugur di medan laga. Seusai bersantap, Priamos menaikkan mayat anaknya ke dalam pedati lalu kembali ke kota. Mayat Hektor dikubur, dan seisi kota berkabung.

Tokoh-tokoh utama sunting

 
Dewa kembar Hipnos dan Tanatos membawa keluar mayat Sarpedon dari medan perang, lukisan pada bejana latar putih Atikos, ca. 440 Pramasehi

Bagian separuh akhir buku 2, yang dijuduli "Katalog Kapal", memuat nama para panglima dan laskar-laskar pejuang, sementara babak-babak pertempuran memuat nama tokoh-tokoh sampingan yang gugur di medan perang.

Tokoh Akhaya sunting

Akhiles dan Patroklos sunting

Ada banyak perdebatan seputar hakikat hubungan Akhiles dan Patroklos, yakni perdebatan tentang dapat tidaknya hubungan tersebut disifatkan sebagai hubungan asmara sesama jenis. Beberapa sarjana Athena zaman Helenistis maupun zaman Klasik menganggap kedekatan Akhiles dengan Patroklos adalah hubungan perjantanan,[i] sementara sarjana-sarjana lain memahaminya sebagai keakraban platonis antarsesama pejuang.[4]

 
Akhiles Meratapi Kematian Patroklos (1855), karya pelukis sejarah asal Rusia, Nikolai Ge (Museum Seni Rupa Nasional Belarusia, Minsk)

Tokoh Troya sunting

  • Kaum pria Troya
    • Dardanos – Raja pertama Troya, kota Troya mula-mula ia beri nama Dardania.[5]
    • Hektor – Pangeran Troya, anak Raja Priamos, pejuang yang paling menonjol.
    • Aineias – Anak Ankhises dan Afrodite.
    • Deifobos – Pangeran Troya, adik Hektor dan Paris.
    • Paris – Pangeran Troya, anak Raja Priamos, kekasih sekaligus penculik Helene.
    • Priamos – Raja Troya yang sudah lanjut usia.
    • Polidamas – Panglima yang berpandangan jauh ke depan, nasihatnya berulang kali tidak digubris, foil (kebalikan dari watak) Hektor.
    • Agenor – Anak Antenor, pejuang Troya yang mencoba melawan Akhiles (Buku 21).
    • Sarpedon – Anak Dewa Zeuz, salah seorang panglima laskar Likia (sekutu Troya), sahabat Glaukos, tewas di tangan Patroklos.
    • Glaukos – Anak Hipolokos, salah seorang panglima laskar Likia (sekutu Troya), sahabat Sarpedon.
    • Euforbos – Pejuang Troya pertama yang berhasil melukai Patroklos.
    • Dolon – Pejuang yang dikirim untuk memata-matai pihak Akhaya (Buku 10).
    • Antenor – Penasihat Raja Priamos, tokoh yang mengusulkan agar Helene dipulangkan demi mengakhiri perang.
    • Polidoros – Anak Raja Priamos dan Putri Laotoe.
    • Pandaros – Pemanah ulung, anak Likaon.
  • Kaum wanita Troya
    • Hekabe – Permaisuri Raja Priamos, ibu Hektor, Kasandra, Paris, dan lain-lain.
    • Helene – Anak Dewa Zeus, istri Menelaos, mula-mula dijodohkan dengan Paris kemudian dengan Deifobos, penculikannya memicu Perang Troya.
    • Andromake – Putri Troya, istri Hektor, ibu Astianaks.
    • Kasandra – Anak Raja Priamos.
    • Briseis – Perempuan Troya tawanan Akhiles yang menjadi pemicu pertengkaran Akhiles dengan Agamemnon.

Dewa-dewi sunting

Di dalam Ilias, baik dewa-dewi tingkat tinggi maupun dewa-dewi rendahan bertempur satu sama lain dan mencampuri peperangan umat manusia, sering kali dengan cara menghasut manusia melawan dewa-dewi lain. Berbeda dari penggambaran mereka di dalam agama bangsa Yunani Kuno, penggambaran dewa-dewi ala Homeros selaras dengan tujuan penceritaannya. Dewa-dewi di dalam fikrah turun-temurun orang Athena pada abad ke-4 tidak berbicara kepada manusia dengan cara maupun kata-kata seperti yang dijabarkan Homeros.[6] Menurut Herodotos, sejarawan Yunani pada zaman Klasik, Homeros dan Hesiodos, rekan sezamannya, adalah pujangga-pujangga pertama yang memberi nama dan menggambarkan rupa serta watak dewa-dewi.[7]

Lewat pembahasan relevansi tindakan dewa-dewi di dalam Ilias yang diketengahkannya, Mary Lefkowitz (2003)[8] berusaha menjawab pertanyaan apakah intervensi ilahi sesungguhnya adalah suatu kejadian diskrit (bukan untuk alasan lain), atau perilaku ilahi semacam itu hanyalah metafora watak manusia. Kertertarikan intelektual para pujangga zaman Klasik seperti Tukidides dan Platon terhadap ihwal intervensi dewa-dewi hanya terbatas pada pemanfaatannya sebagai "sarana untuk mewacanakan peri kehidupan manusia, bukan sebagai suatu keterangan maupun suatu kebenaran", karena jika dewa-dewi tetap dianggap sebagai sosok-sosok religius alih-alih metafora manusia, maka "eksistensi" mereka—yang tidak memiliki landasan dogma maupun semacam kitab suci—memungkinkan peradaban Yunani memiliki ruang dan kebebasan intelektual untuk mengkhayalkan dewa-dewi yang sesuai dengan fungsi religius apa pun yang mereka kehendaki sebagai suatu masyarakat.[8][9]

Agama bangsa Yunani Kuno tidak memiliki tokoh pendiri dan bukan ciptaan seorang guru yang mendapatkan ilham sebagaimana lazimnya agama-agama lain di dunia.[10] Tiap-tiap pemeluknya bebas untuk mempercayai apa saja sekehendak hati mereka, karena agama Yunani lahir dari mufakat masyarakat. Kepercayaan-kepercayaan tersebut cocok dengan gagasan-gagasan tentang dewa-dewi di dalam agama Yunani yang bersifat politeistis. Adkins dan Pollard (2020/1998), mengungkapkan kesepahaman mereka dengan gagasan ini lewat pernyataan mereka bahwa "bangsa Yunani terdahulu mempersonifikasi tiap aspek dari dunia mereka, baik aspek alam maupun aspek budaya, serta pengalaman-pengalaman mereka di dalam dunia tersebut. Bumi, laut, gunung, sungai, adat (temis), maupun jatah dan kemaslahatan yang didapatkan seseorang sebagai anggota masyarakat semuanya dipandang sebagai suatu pribadi sekaligus unsur alam."[11]

Pemikiran semacam inilah yang menyebabkan tiap dewa maupun dewi di dalam agama Yunani yang politeistis sifatnya itu dikaitkan dengan aspek tertentu dari dunia manusia. Sebagai contoh, Poseidon dipuja sebagai dewa laut, Afrodite dipuja sebagai dewi kecantikan, Ares dipuja sebagai dewa perang, dan demikian seterusnya untuk dewa-dewi selebihnya. Hal ini menunjukkan bagaimana budaya Yunani terbentuk, manakala banyak orang Athena merasakan kehadiran dewa-dewi pujaan mereka melalui intervensi ilahi pada peristiwa-peristiwa penting di dalam kehidupan mereka. Sering kali peristiwa-peristiwa tersebut mereka rasakan misterius dan tak terjelaskan.[6]

Psikolog Julian Jaynes (1976)[12] menjadikan Ilias sebagai salah satu bukti utama teori Alam Pikiran Bikameral yang dikemukakannya. Menurut teori ini, sampai sekitar waktu yang disebutkan di dalam Ilias, manusia memiliki mentalitas yang jauh berbeda dari mentalitas manusia sekarang ini. Julian Jaynes berpendapat bahwa manusia pada masa itu tidak memiliki apa yang sekarang ini kita sebut "kesadaran". Menurutnya, manusia mendengar dan mematuhi perintah-perintah dari sesuatu yang mereka kenali sebagai dewa-dewi, sampai kemudian hari terjadi perubahan di dalam mentalitas manusia yang mengejawantahkan daya karsa ke dalam diri yang berkesadaran. Ia menunjukkan bahwa hampir semua tindakan di dalam Ilias diarahkan, disebabkan, atau dipengaruhi salah satu ilah, dan bahwasanya terjemahan-terjemahan terdahulu memperlihatkan ketiadaan kata-kata yang menyiratkan pemikiran, perencanaan, maupun mawas diri. Menurutnya, kata-kata yang memang menyiratkan demikian adalah kekeliruan tafsir para penerjemah yang memaksakan mentalitas modern kepada tokoh-tokoh Ilias.[12]

Campur tangan dewa-dewi sunting

Beberapa sarjana yakin kalau dewa-dewi mencampuri urusan dunia fana karena ada perselisihan di antara mereka. Homeros menafsirkan dunia pada zamannya dengan menggunakan hasrat dan emosi dewa-dewi sebagai faktor-faktor penentu kejadian yang berlangsung di alam manusia.[13] Salah satu contohnya di dalam Ilias adalah perseteruan yang timbul di antara Dewi Atena, Dewi Hera, dan Dewi Afrodite. "Ia menggusarkan Atena dan Hera, kedua dewi itu," demikian tulis Homeros di dalam buku terakhir Ilias.[14] Atena dan Hera dengki kepada Afrodite karena Paris, pangeran Troya yang didapuk menjadi juri kontes kecantikan di Gunung Olimpus, memutuskan bahwa Afrodite adalah dewi yang paling cantik, lebih cantik daripada Atena maupun Hera. Wolfgang Kullmann menjelaskan lebih lanjut bahwa "kekecewaan Hera dan Atena lantaran penilaian Paris menentukan seluruh tindakan kedua dewi tersebut di dalam Ilias, dan merupakan sebab dari kebencian mereka kepada Paris, sang juri, maupun Troya, kota asalnya."[13]

Hera dan Atena kemudian mendukung pihak Akhaya di sepanjang alur cerita karena Paris berada di pihak Troya, sebaliknya Afrodite dikisahkan menolong Paris dan pihak Troya. Emosi-emosi yang terungkap dari dewi-dewi ini kerap diwujudnyatakan menjadi tindakan-tindakan yang mereka perbuat di alam manusia. Sebagai contoh, di dalam buku ke-3 Ilias, Paris dikisahkan menantang orang Akhaya untuk bertempur satu lawan satu, dan Menelaos pun maju menjawab tantangannya. Menelaos terbukti unggul di dalam perang tanding itu, bahkan sudah nyaris membunuh Paris. "Ia sudah menyudutkannya dan meraih kejayaan nan tak kunjung padam, tetapi Afrodite, putri Zeus itu, bergegas bertindak, menyambar sabuk kulit mentahnya."[14] Afrodite mengintervensi atas kepentingan pribadi demi menyelamatkan Paris dari angkara Menelaos, karena Paris sudah membantunya memenangkan kontes kecantikan. Perlakuan istimewa Afrodite terhadap Paris tunak menuai intervensi semua dewa-dewi. Dewa-dewi mengintervensi peperangan lewat pidato-pidato penggugah semangat yang mereka sampaikan kepada orang-orang yang mereka lindungi, dan sering pula dengan cara hadir dalam wujud manusia yang mereka kenal.[13] Keterkaitan emosi dengan tindakan sebagaimana dikemukakan di atas hanyalah satu dari sekian banyak contoh yang mengemuka di sepanjang alur cerita.[butuh rujukan]

Tema-tema sunting

Takdir sunting

Takdir (Greek: κήρ, kēr, artinya "ketentuan ajal") menggerakkan sebagian besar peristiwa di dalam Ilias. Sekali takdir ditetapkan, dewa-dewi maupun manusia wajib menjalaninya, dan tidak berdaya atau tidak berniat menentangnya. Tidak diketahui bagaimana takdir ditetapkan, yang jelas takdir diungkap para Moira dan Zeus dengan cara mengirim pertanda kepada para ahli tenung seperti Kalkhas. Manusia dan dewa-dewi mereka terus-menerus berbicara tentang penerimaan secara perwira dan penghindaran secara pengecut terhadap takdir seseorang.[15] Takdir tidak menentukan setiap tindakan, insiden, maupun kejadian, tetapi memang menentukan hasil akhir dari dari jalan hidupnya. Sebelum menewaskan Patroklos, Hektor menyebutnya orang bodoh karena secara pengecut menghindari takdir dengan coba-coba mengalahkannya.[butuh rujukan] Patroklos menjawab dengan kalimat berikut ini: [16]

Engkau keliru, takdir pembinasa bersama putra Leto sudah membunuhku,
juga Euforbos, dari antara manusia; kau cuma orang ketiga yang menewaskanku.
Dan camkan baik-baik perkataanku ini di dalam hatimu.
Engkau sendiri pun bukan orang yang akan hidup lama, malah sekarang ini juga
maut dan takdir yang perkasa sudah berdiri mengapit engkau,
untuk gugur di tangan Akhiles, putra mulia Ayakos.[17]

Dengan kalimat di atas, Patroklos mengungkit takdirnya untuk tewas di tangan Hektor sekaligus takdir Hektor untuk tewas di tangan Akhiles. Semua orang menerima akhir jalan hidupnya masing-masing, tetapi tidak seorang pun yang tahu pasti apakah dewa-dewi dapat mengubah takdir. Ketidakpastian ini mengemuka di dalam buku 16. Saat melihat Patroklos menewaskan Sarpedon, putranya yang beribu manusia, Dewa Zeus bersabda:

Aduhai, betapa sudah takdir Sarpedon, yang terkasih di antara manusia,
harus gugur di tangan Patroklos putra Menoitios.[18]

Melihat kegundahan Zeus, Dewi Hera bertanya kepadanya:

Wahai Baginda, putra Sang Kronos, perkataan macam apa yang Paduka tuturkan itu?
Hendakkah Paduka hidupkan semula seorang insan yang fana, yang sudah lama
oleh takdirnya dikutuk celaka, dari maut yang sumbang bunyinya, lalu melepaskan dia?
Perbuatlah demikian kalau begitu; tapi tak satu pun dari kami, dewa-dewi ini, akan benarkan tindakan Paduka.[19]

Sesudah menimbang-nimbang, Zeus, raja dewa-dewi, akhirnya mengizinkan kematian Sarpedon ketimbang mengubah takdirnya. Motif serupa kembali mengemuka ketika Zeus mempertimbangkan untuk membiarkan Hektor, tokoh yang ia kasihi dan hormati, tetap hidup. Kali ini, ia digugat Dewi Atena dengan perkataan berikut ini:

Wahai Bapa empunya petir berkilat, yang berselubung kabut gelap, apakah yang Paduka katakan itu?
Hendakkah Paduka hidupkan semula seorang insan yang fana, yang sudah lama
oleh takdirnya dikutuk celaka, dari maut yang sumbang bunyinya, lalu melepaskan dia?
Perbuatlah demikian kalau begitu; tapi tak satu pun dari kami, dewa-dewi ini, akan benarkan tindakan Paduka.[20]

Dewa Zeus sekali lagi tampaknya berkuasa mengubah takdir, tetapi tidak melakukannya, malah memutuskan untuk menuruti ketentuan takdir. Dengan cara yang sama, takdir menyelamatkan nyawa Aineas sesudah Dewa Apolon meyakinkannya untuk bertempur melawan Akhiles yang jauh lebih kuat. Poseidon mewanti-wanti dewa-dewi dengan perkataan berikut ini:

Mari kita luputkan sendiri orang ini dari maut, supaya tidak
murka Sang Putra Kronos kalau Akhiles sekarang
membunuh orang ini. Dia sudah ditakdirkan selamat,
agar tidak punah zuriat Dardanos…[21]

Dengan bantuan ilahi, Aineias luput dari angkara murka Akhiles dan selamat menyintasi Perang Troya. Entah mampu atau tidak mampu mengubah takdir, yang jelas dewa-dewi menuruti ketentuan takdir, sekalipun merugikan insan-insan kesayangan mereka. Jadi asal-usul takdir yang misterius itu adalah suatu kuasa yang mengatasi dewa-dewi. Takdir menentukan kekuasaan atas dunia terbelah tiga apabila Zeus, Poseidon, dan Hades menggulingkan Kronos, ayah mereka. Zeus menguasai udara dan angkasa, Poseidon menguasai perairan, dan Hades menguasai pratala, dunia orang mati, tetapi ketiganya bersama-sama berdaulat atas dunia. Meskipun dewa-dewi Olimpos berkuasa mengatur dunia, hanya ketiga Moira yang menentukan nasib manusia.

Ketenaran sunting

Ketenaran (Greek: κλέος, "kemuliaan" atau "ketenaran") adalah konsep mengenai keharuman nama yang diperoleh seseorang karena berprestasi di medan laga.[22] Meskipun demikian, Akhiles harus memilih salah satu di antara dua macam takdir yang disiapkan bagi dirinya, nostos (pulang dengan selamat) atau kleos.[23] Di dalam buku 9 (IX.410–16), Akhiles dengan ketus memberitahu perutusan Agamemnon (Odiseus, Foiniks, dan Ayas yang memohon kesudiannya untuk kembali ikut berperang) tentang dua pilihan takdir (διχθαδίας κήρας, diktadias kiras, 9.411) yang dihadapkan kepadanya.[24] Larik-lariknya adalah sebagai berikut:

μήτηρ γάρ τέ μέ φησι θεὰ Θέτις ἀργυρόπεζα
διχθαδίας κῆρας φερέμεν θανάτοιο τέλος δέ.
εἰ μέν κ’ αὖθι μένων Τρώων πόλιν ἀμφιμάχωμαι,
ὤλετο μέν μοι νόστος, ἀτὰρ κλέος ἄφθιτον ἔσται
εἰ δέ κεν οἴκαδ’ ἵκωμι φίλην ἐς πατρίδα γαῖαν,
ὤλετό μοι κλέος ἐσθλόν, ἐπὶ δηρὸν δέ μοι αἰὼν
ἔσσεται, οὐδέ κέ μ’ ὦκα τέλος θανάτοιο κιχείη.
[25]

Aku tahu dari ibuku, Dewi Tetis sang duli selaka
Dua macam takdir kupikul sesampai waktu ajalku tiba.
Andai aku tetap di sini, juang di pinggir negara Troya,
maka hilang peluang pulang, tapi nama besarku abadi.
Jika aku pulang memijak tanah tercinta para pitarah,
maka sirna kemuliaanku, tetapi umur panjang menanti,
akhir hayat tak akan datang menghampiriku dengan tergesa.

Ilias, larik 410-416

Dengan mengorbankan nostos, ia akan menerima pahala yang lebih besar, yakni kleos aftiton (κλέος ἄφθιτον), ketenaran yang tak akan binasa.[24] Di dalam Ilias, kata aftiton (ἄφθιτον, tidak dapat binasa) masih muncul lima kali lagi,[26] dan masing-masing digunakan untuk menyifatkan benda tertentu, yakni tongkat kebesaran Agamemnon, roda kereta Hebe, rumah Poseidon, singgasana Zeus, dan rumah Hefaistos. Richmond Lattimore menerjemahkan frasa kleos aftiton menjadi abadi selama-lamanya dan tak dapat binasa selama-lamanya, menyiratkan keabadian Akhiles lewat penonjolan pahala lebih besar yang sudah menanti dirinya jika kembali memerangi Troya.

Kleos kerap diwujudkan dalam bentuk rampasan yang didapatkan dari pertempuran. Saat mengambil Briseis, Agamemnon merenggut sebagian kleos Akhiles.

Gambar bintang-bintang menghiasi bagian tengah perisai buatan Hefaistos yang diberikan Tetis kepada Akhiles. Bintang-bintang menghadirkan gambaran mendalam tentang tempat seorang insan, seperwira apa pun dirinya, di dalam perspektif seluruh kosmos.

Kepulangan sunting

Kepulangan (Greek: νόστος, nostos) muncul tujuh kali,[27] sehingga menonjol sebagai salah satu tema sampingan di dalam Ilias. Meskipun demikian, tema kepulangan banyak digarap di dalam karya sastra Yunani Kuno lainnya, teristimewa di dalam kejadian-kejadian selama perjalanan pulang yang dialami anak-anak Atreus (Agamemnon dan Menelaos) dan Odiseus (baca artikel Odiseia).

Ujub sunting

Ujub atau keangkuhan adalah penggerak alur cerita Ilias. Orang Akhaya berkumpul di padang negeri Troya demi merebut kembali Helene dari orang Troya. Sekalipun mayoritas orang Troya dengan senang hati bersedia memulangkan Helene kepada pihak Akhaya, mereka menuruti keangkuhan pangeran mereka, Aleksandros, yang juga dikenal dengan nama Paris. Dengan kerangka berpikir semacam inilah Homeros menggubah wiracaritanya. Pada permulaan Ilias, ujub Agamemnon melahirkan serentet peristiwa yang berbuntut pada tindakannya merampas Briseis, gadis yang sebelumnya ia berikan kepada Akhiles sebagai imbalan sumbangan tenaganya bagi perjuangan pihak Akhaya. Akibat tindakan tersebut, Akhiles enggan bertempur dan meminta ibunya, Tetis, untuk mendesak Dewa Zeus membuat pihak Akhaya terpojok di medan tempur sampai Agamemnon sadar akan kesalahannya terhadap Akhiles.[28]

Ujub Akhiles mendorongnya untuk meminta Tetis mendatangkan maut bagi kawan-kawan Akhayanya. Di dalam buku 9, ketika ditawari pampasan perang dan Briseis oleh kawan-kawannya agar mau kembali ikut bertempur, Akhiles malah menampik, dan tetap mempertahankan niatnya untuk membalas penghinaan Agamemnon karena dorongan ujub. Akhiles tetap mempertahankan keangkuhannya sampai saat-saat akhir, manakala kemarahannya terhadap diri sendiri lantaran kematian Patroklos mengalahkan keangkuhannya lantaran kesalahan Agamemnon sehingga ia kembali ke medan laga dan menewaskan Hektor. Akhiles sekali lagi mengalahkan ujubnya ketika ia meredam amarah dan menyerahkan mayat Hektor kepada Priam pada bagian akhir cerita. Jelas ujublah yang menggerakkan alur wiracarita Ilias dari awal sampai akhir.[ii][29]

Kepahlawanan sunting

Ilias mengangkat tema kepahlawanan dengan berbagai macam cara melalui bermacam-macam tokoh, teristimewa Akhiles, Hektor, Patroklus, dll. Meskipun konsep kepahlawanan yang tradisional sering kali dikaitkan secara langsung dengan tokoh utama, yang memang diniatkan untuk dikisahkan dalam semangat kepahlawanan, ilias justru bermain-main dengan gagasan kepahlawanan dan tidak secara terang-terangannya menunjukkan siapa tokoh pahlawan sejatinya. Wiracarita Ilias dengan cermat menyoroti tokoh pahlawan besar Yunani Akhiles, maupun angkara murkanya dan kehancuran yang timbul akibat angkara murkanya. Sama seperti yang dilakukannya terhadap Akhiles, wiracarita ini juga dengan cermat menyoroti pahlawan Troya Hektor dan segala usaha dan perjuangannya demi melindungi keluarga dan rakyat negerinya. Pada umumnya orang beranggapan bahwa, lantaran Akhiles adalah tokoh utama, dialah tokoh pahlawan di dalam wiracarita ini. Meskipun demikian, jika mencermati sepak-terjangnya di sepanjang cerita, lalu membandingkannya dengan sepak-terjang tokoh-tokoh lain, sebagian pihak bisa saja akan menyimpulkan bahwa sebenarnya Akhiles bukanlah tokoh pahlawannya, dan mungkin saja justru tokoh antiwira. Orang dapat pula berpendapat bahwa Hektorlah sang pahlawan yang sesungguhnya di dalam wiracarita Ilias lantaran sifat-sifat kepahlawannan tampaknya sudah mendarah daging di dalam dirinya, misalnya kesetiaan kepada keluarganya serta ketangguhan dan kebulatan tekadnya untuk membela rakyatnya negerinya, maupun upacara pemakamannya secara terhormat yang menjadi sorotan utama bagian akhir cerita. Tokoh pahlawan Ilias yang sesungguhnya tidak pernah ditampilkan dengan gamblang, dan sengaja dibiarkan untuk ditafsirkan sendiri-sendiri oleh pujangga Homeros, yang berniat menampilkan keruwetan dan cacat-cela kedua tokoh tersebut, terlepas dari siapa pun yang dianggap sebagai pahlawan "sejati".

Kehormatan sunting

Kleos berkaitan erat dengan timē (τιμή, artinya "kehormatan, marwah"), yakni gagasan tentang kehormatan yang didapatkan seorang insan bermartabat lewat prestasi (budaya, politik, pertempuran) yang ia capai dengan kedudukannya semasa hidup. Di dalam buku 1, orang Akhaya mulai merasa jengah sejak Raja Agamemnon mencoreng kehormatannya dengan berbagai ulah yang tidak pantas diperbuat seorang raja. Pertama-tama Agamemnon mengancam Pendeta Krises (1.11), kemudian membuat orang Akhaya kesal ketika ia menghina Akhiles dengan menyita tawanannya, Briseis (1.171). Rasa sebal para pejuang Akhaya terhadap raja yang tidak bermartabat itu merusak semangat juang mereka.

Ketakaburan sunting

Ketakaburan (Greek: Ὕβρις, Hibris) memainkan peran yang sama dengan timê. Amarah Akhiles dan dampak destruktifnya menjadi tesis wiracarita Ilias. Amarah mengacaukan jarak aman yang memisahkan manusia dari dewa-dewi. Amarah yang tidak terkendali merusak tatanan hubungan sosial dan menggangu keseimbangan kebajikan yang mencegah dewa-dewi terpancing mendekati manusia. Meskipun jalan cerita Ilias berfokus pada amarah Akhiles, hibris juga memainkan peranan penting di dalamnya, yakni sebagai penyulut sekaligus bahan bakar bagi banyak peristiwa destruktif.[30]

Karena hibris, Agamemnon menampik harta tebusan Kriseis dan melukai harga diri Akhiles dengan mengambil kembali Briseis sebagai ganti rugi. Hibris memaksa Paris berlaga satu lawan satu dengan Menelaos. Agamemnon menghasut orang Akhaya untuk bertempur dengan cara menggugat harga diri Odiseus, Diomedes, dan Nestor. Ia bertanya, mengapa mereka bersikap pengecut dan menunggu-nunggu bantuan pada saat mereka seharusnya tampil memimpin penyerbuan. Meskipun kejadian-kejadian di dalam Ilias berfokus pada amarah Akhiles dan kerusakan yang ditimbulkannya, hibris-lah bahan bakar yang membuat kedua-duanya terus membara.[31]

Murka sunting

 
Murka Akhiles (1819), karya Michel Drolling

Kata pembuka cerita, μῆνιν (mēnin; aku. μῆνις, mēnis, artinya "amarah, murka"), menjadi tema utama Ilias, yakni "Murka Akhiles".[32] Amarah pribadi dan harga diri keprajuritannya yang terluka menggulirkan cerita, karena mengakibatkan terpojoknya pihak Akhaya di medan perang, tewasnya Patroklos dan Hektor, serta kejatuhan kota Troya. Di dalam buku 1, tema murka Akhiles pertama kali mengemuka di dalam pertemuan yang diprakarsainya, yakni pertemuan antara raja-raja Yunani dan Kalkhas si tukang tenung. Syahdan Raja Agamemnon telah merendahkan martabat Krises, pendeta Dewa Apolon di Troya, dengan menggertak dan mementahkan usaha sang pendeta menebus putrinya, Kriseis, sekalipun ditawari "hadiah yang tak terbilang banyaknya."[33] Sang pendeta yang terhina pun menyeru Dewa Apolon untuk menolongnya, maka Dewa Apolon menurunkan wabah yang mendera pihak Akhaya sembilan hari lamanya. Di dalam pertemuan tersebut, Akhiles menuding Agamemnon sebagai "orang yang paling tamak di antara manusia."[34] Agamemnon membalas tudingannya dengan perkataan berikut ini:

Maka ini ancaman untukmu.
Lantaran Dewa Foibos Apolon mengambil Kriseis kepunyaanku.
'Kan kupulangkan dengan kapalku, diantar langsung orang-orangku;
tetapi aku akan mengambil Briseis gadis berpipi halus,
yang sudah jadi jatahmu itu, 'kan kudatangi sendiri kemahmu, agar betul-betul kau sadar
lebih mulia aku darimu, agar yang lain tidak berani
merasa diri sejajar denganku atau sebanding dengan diriku.[35]

Sesudah mendengar ucapan Agamemnon, hanya Dewi Atena yang sanggup mengekang amarah Akhiles. Akhiles berikrar tidak akan lagi mematuhi perintah Agamemnon. Dengan amarah membara, Akhiles menyeru ibunya, Tetis. Ibu Akhiles membujuk Dewa Zeus untuk membuat pihak Troya unggul di medan perang sampai Akhiles mendapatkan kembali hak-haknya. Sementara itu, angkatan perang Troya di bawah pimpinan Hektor berhasil memukul mundur pihak Akhaya sampai ke pantai (buku 12). Agamemnon belakangan mengakui kekalahannya dan pulang ke Yunani (buku 14). Amarah Akhiles sekali lagi mengubah peruntungan kedua belah pihak di medan perang ketika ia berusaha membalas dendam kematian Ptroklos di tangan Hektor. Rasa duka yang dalam membuat Akhiles menjambak rambutnya dan mengotori mukanya sendiri. Setelah Tetis datang untuk menghibur putranya itu, Akhiles berkata kepadanya:

Inilah tempatnya narapati Agamemnon membuatku murka.
Namun akan kita biarkan semuanya lalu, biar segala
nestapa dipalu kuasa amarah ke lubuk hati kita.
Kini aku akan berangkat, mengalahkan pembunuh orang terkasih,
Hektor; lalu akan kusongsong ajalku, kapan pun
Zeus dan para abadi lain menghendakinya.[36]

Dengan kerelaan dijemput maut sebagai ganjaran pembalasan dendam kematian Patroklos, Akhiles kembali ke medan laga, menewaskan Hektor dan menumbangkan Troya. Akhiles akhirnya berhasil menewaskan Hektor, sesudah dua putaran penuh mengejarnya keliling kota Troya. Mayat Hektor ia ikatkan pada buntut keretanya, sehingga terseret-seret sepanjang perjalanan pulangnya ke perkemahan.

 
Akhiles Menewaskan Hektor, karya Peter Paul Rubens (1630–1635).

Pengagungan perang sunting

Sebagian besar isi Ilias mengulik perkara berhadapan dengan maut. Demi meraih ketenaran, para pejuang haruslah piawai membunuh. Meskipun demikian, adakalanya sang pujangga menyajikan segi-segi damai dari peperangan. Contoh pertamanya termaktub di dalam buku ke-3, yakni tatkala Menelaus dan Paris bersepakat untuk bertarung satu lawan satu demi mengakhiri perang itu. Percakapan Menelaus dengan Paris ini memperlihatkan adanya hasrat yang sangat besar akan kedamaian di dalam sanubari kedua belah pihak. Masih di dalam buku ke-3, urusan kedamaian sekali lagi mengemuka ketika para sesepuh mengutarakan kepada Priam bahwa sekalipun Helene itu cantik jelita, tetap saja perang adalah pengorbanan yang terlalu besar untuk dilakukan hanya demi mempertahankan satu orang. Bagian-bagian semacam ini menunjukkan sisi kemanusiaan dari peperangan. Di dalam buku ke-6, kisah tentang kembalinya Hektor ke dalam kota demi menjenguk anak-istri merupakan bagian lain yang sangat menonjolkan kedamaian, karena dengan jelas diperlihatkan bahwa Hektor ternyata lebih dari sekadar seorang pejuang besar. Ia adalah seorang ayah yang menyayangi anaknya dan seorang suami yang mencintai istrinya. Kasih sayang yang mereka tunjukkan satu sama lain jauh bertolak belakang dengan adegan-adegan pertempuran yang mengerikan, sehingga menampakkan betapa besarnya arti kedamaian. Kisah-kisah damai yang terakhir dapat dijumpai di dalam buku ke-23 dan ke-24. Yang pertama adalah kisah tentang lomba-lomba ketangkasan yang digelar untuk memeriahkan upacara pemakaman Patroklus. Lomba-lomba ketangkasan itu mengungkap perasaan bahagia, dukacita, maupun kegembiraan yang dapat saja muncul di tengah peperangan. Di dalam buku ke-24, damai sekali lagi ditonjolkan ketika Akhiles dan Priam bersama-sama duduk bersantap sembari meratapi kepergian orang terkasih. Di dalam kisah perjumpaan ini, Akhiles dan Priam saling mengungkapkan rasa turut berbelasungkawa lalu menyepakati gencatan senjata selama 12 hari sehingga upacara pemakaman jenazah Hektor dapat dilangsungkan dengan khidmat.[37]

Pertanggalan dan sejarah tekstual sunting

Wiracarita Ilias diduga berasal dari kurun waktu arkais pada zaman Klasik. Menurut konsensus para sarjana, wiracarita ini disusun pada abad ke-8 Pramasehi, tetapi menurut yang lain pada abad ke-7 Pramasehi.[butuh rujukan] Bagaimanapun juga terminus ante quem (batas akhir jangka waktu) pertanggalan Ilias adalah tahun 630 Pramasehi, terbukti dari karya-karya seni rupa dan sastra yang menggambarkan isi wiracarita ini.[38]

Sesudah meminta petunjuk Orakel di Dodona, Herodotos memperkirakan bahwa Homeros dan Hesiodos hidup dan berkarya kira-kira 400 mendahului masa hidupnya, yakni sekitar tahun 850 Pramasehi.[39]

Latar sejarah wiracarita ini adalah masa-masa pralaya Zaman Perunggu Akhir pada awal abad ke-12 Pramasehi. Dengan demikian Homeros terpisah kira-kira 400 tahun dari materi karya tulisnya, selang waktu 400 tahun ini dikenal dengan sebutan Abad Kegelapan Yunani. Di kalangan sarjana timbul perdebatan sengit seputar pertanyaan manakah bagian-bagian wiracarita Ilias yang melestarikan tradisi-tradisi asli dari zaman Mikene. Katalog Kapal pada khususnya memuat unsur-unsur yang secara geografis bukanlah gambaran negeri Yunani pada Zaman Besi, yakni masa hidup Homeros, melainkan gambaran negeri Yunani sebelum invasi orang Doria.

Kata Ἰλιάς, Ilias (gen. Ἰλιάδος, Iliados), adalah elipsis (kependekan) dari ἡ ποίησις Ἰλιάς, he poíesis Iliás (syair Troya). Kata Ἰλιάς, Ilias (Troyawi, asal Troya), adalah bentuk kata sifat khusus feminin dari Ἴλιον, Ilion (Troya). Bentuk kata sifat khusus maskulinnya adalah Ἰλιακός, Iliakos, atau Ἴλιος, Ilios.[40] Kata inilah yang dipakai Herodotos di dalam karya tulisnya.[41]

Naskah salinan Venetus A, yang dibuat pada abad ke-10 Masehi, adalah naskah lengkap Ilias tertua yang masih ada saat ini.[42]Editio princeps atau edisi cetak perdana Ilias, disunting Demetrios Khalkokondiles dan diterbitkan Bernardus Nerlius bersama Demetrios Damilas di Firenze pada tahun 1488/1489.[43]

Sebagai tradisi tutur sunting

Pada Abad Kuno, bangsa Yunani menjadikan Ilias dan Odiseia sebagai dasar-dasar pedagogi. Sastra merupakan unsur utama dari fungsi budaya-didik rapsoidos keliling (sahibul hikayat), yang menghasilkan wiracarita-wiracarita konsisten dari ingatan dan improvisasi, serta menyebarluaskannya lewat nyanyian dan tembang di persinggahan-persinggahan sepanjang pengembaraan maupun di ajang pesta krida Panatenaya, yakni kejuaraan atletik, pentas musik, pergelaran seni bersyair, dan upacara persembahan korban yang diselenggarakan untuk memperingati hari jadi Dewi Atena.[44]

Mula-mula para klasikawan menganggap Ilias maupun Odiseia sebagai syair-syair tertulis dan Homeros sebagai seorang penulis. Pada era 1920-an, Milman Parry (1902–1935) memprakarsai suatu gerakan yang membantah anggapan tersebut.

Pengaruh terhadap cara-cara berperang Yunani klasik sunting

Meskipun belum tentu merupakan karya sastra yang diluhurkan bangsa Yunani Kuno, hampir dapat dipastikan bahwa syair-syair Homeros (khususnya Ilias) dipandang sebagai tuntunan yang penting bagi pemahaman intelektual semua anak bangsa Yunani yang berpendidikan. Terbukti dari kenyataan bahwa menjelang akhir abad ke-5 Pramasehi, "kemampuan menyitir ayat-ayat Ilias dan Odiseus di luar kepala merupakan salah satu ciri orang terpandang."[45]:36 Selain itu, boleh dikata peperangan yang digambarkan di dalam Ilias, maupun cara penggambarannya, meninggalkan dampak yang mendalam dan terlacak pada cara-cara berperang bangsa Yunani pada umumnya. Pada khususnya, dampak-dampak dari sastra wiracarita dapat dibedakan menjadi tiga kategori: taktik, ideologi, dan pola pikir para panglima. Supaya dapat memahami dampak-dampak tersebut, orang perlu mencermati beberapa contoh dari tiap-tiap kategori.

Sebagian besar pertarungan yang diuraikan secara terperinci di dalam Ilias adalah pertarungan tertata satu-lawan-satu yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pahlawan. Malah, seperti di dalam Odiseus, ada rangkaian ritual khusus yang harus dilakukan di dalam tiap-tiap pertarungan tersebut. Sebagai contoh, jika seorang pahlawan besar berhadap-hadapan dengan seorang pahlawan kroco, maka pahlawan kroco diperkanalkan terlebih dahulu, dilanjutkan dengan saling melontarkan ancaman, dan diakhiri dengan ditewaskannya pahlawan kroco. Sering kali pemenang melucuti baju zirah dan perlengkapan ketentaraan dari jenazah lawan.[45]:22–3 Berikut ini adalah salah satu contoh uraian ritual tersebut dan pertarungan satu-lawan-satu di Ilias:

Di sana Ayas anak Telamon memukul jatuh putra Antemion,
Simoeisios muda rupawan, pewaris rupa ayu ibunda
terlahir dari kandungan Ida di tepian sungai Simoeis
tatkala ikut bapa dan biyung menggembalakan kawanan domba.

Itulah asal nama Simoeisios; tapi tiada sudah dayanya
membalas kasih orang tuanya; pendek umurnya mati tertikam
tembiang Ayas si tinggi hati, di puting dada sebelah kanan
lembing perunggu jitu menghujam, lolos menembus pundak yang kanan.[46]

Menurut Hans van Wees, kurun waktu yang berkaitan dengan riwayat peperangan tersebut dapat ditentukan secara spesifik, yaitu pada paro pertama abad ke-7 Pramasehi.[47]

Pengaruh terhadap seni rupa dan budaya populer sunting

Ilias sudah dihargai sebagai salah satu karya sastra standar yang sangat penting pada zaman Yunani Klasik dan masih terus dihargai pada zaman Helenistis dan zaman Kekaisaran Romawi Timur. Para penulis naskah drama sangat gemar menggarap subjek-subjek dari Perang Troya.

Kesenian abad ke-20 sunting

  • Simone Weil menulis esai berjudul "The Iliad or the Poem of Force" pada tahun 1939, tak lama sesudah Perang Dunia II meletus. Esai ini menjabarkan betapa Ilias memperlihatkan bagaimana tindak kekerasan dilakukan seekstrem mungkin di dalam perang, merendahkan harkat korban maupun pelaku kekerasan ke taraf budak dan automaton yang tidak bernalar.[48]
  • The Golden Apple, teater musikal Broadway tahun 1954, karya penulis naskah John Treville Latouche dan komponis Jerome Moross, adalah hasil adaptasi bebas wiracarita Ilias dan Odiseia, dengan mengganti latar peristiwanya dengan negara bagian Washington di Amerika Serikat pada masa Perang Spanyol-Amerika. Babak pertama menampilkan adegan-adegan yang terinspirasi wiracarita Ilias, sementara adegan-adegan yang terinspirasi wiracarita Odiseia ditampilkan pada babak ke-2.
  • King Priam, opera karya Sir Michael Tippett yang pertama kali dipentaskan pada tahun 1962 didasarkan atas wiracarita Ilias.
  • War Music, puisi karangan Christopher Logue, merupakan "penjelasan", bukan terjemahan, dari Ilias, mulai digubah atas pesanan pada tahun 1959 untuk sebuah acara radio. Puisi ini terus ia kembangkan sampai akhir hayatnya pada tahun 2011. Puisi yang disebut Tom Holland sebagai "karya luar biasa dari khazanah sastra pascaperang" ini turut mempengaruhi Kae Tempest dan Alice Oswald, yang mengatakan bahwa puisi tersebut "memancarkan sejenis energi teatrikal nan terlupakan ke dalam dunia."[49]

Budaya populer dewasa ini sunting

  • Age of Bronze, serial karya Eric Shanower yang diterbitkan Image Comics sejak tahun 1998, menceritakan kembali legenda Perang Troya.[50][51][52]
  • Ilium, novel fiksi ilmiah bertema kepahlawanan karangan Dan Simmons yang dirilis pada tahun 2003, mendapatkan penghargaan Locus Award untuk novel fiksi ilmiah terbaik tahun 2003.[butuh rujukan]
  • Troy (2004), adaptasi bebas wiracarita Ilias ke dalam film, menuai beragam tanggapan tetapi sukses di pasaran, terutama di pasaran internasional. Film ini mampu meraup laba bruto sebanyak 133 juta dolar di Amerika Serikat dan 497 juta dolar di seluruh dunia, sehingga menempatkannya pada peringkat ke-188 di antara film-film peraup laba bruto tertinggi sepanjang masa.[53]
  • Novel perdana Madeline Miller berjudul The Song of Achilles yang terbit pada tahun 2011[54] bercerita tentang kebersamaan Akhiles dan Patroklos sebagai kawan masa kecil, kekasih, dan prajurit. Novel yang the 2012 penghargaan Women's Prize for Fiction tahun 2012 ini menggunakan Ilias maupun karya-karya tulis pujangga klasik lainnya seperti Statius, Ovidius, dan Vergilius sebagai sumber rujukannya.[55]
  • Memorial (terbit tahun 2011), bunga rampai puisi Alice Oswald yang keenam,[56] didasarkan pada, tetapi keluar dari, bentuk naratif Ilias, agar lebih fokus kepada, dan dengan demikian mengenang kembali, tokoh-tokoh orang pribadi yang disebutkan namanya dan dikisahkan ajalnya di dalam Ilias.[57][58][59] Pada bulan Oktober 2011, Memorial masuk ke dalam daftar pendek calon pemenang penghargaan T. S. Eliot Prize,[60] tetapi Alice Oswald meminta bukunya dikeluarkan dari daftar tersebut pada bulan Desember 2011[61][62] seraya menyuarakan keprihatinannya terhadap etika pihak sponsor penghargaan tersebut.[63]
  • The Rage of Achilles, karya Terence Hawkins, penulis Amerika dan pengasas Konferensi Penulis Yale, menceritakan kembali Iliad dalam bentuk novel dengan gaya bahasa modern dan kadang-kadang dengan bahasa grafis. Dengan pengetahuan tentang teori alam pikiran bikameral Julian Jaynes dan historisitas Perang Troya, sang penulis menghadirkan tokoh-tokoh Ilias di dalam novelnya sebagai manusia-manusia sejati, dan penampakan-penampakan dewa-dewi hanyalah halusinasi mereka atau suara-suara perintah pada masa-masa peralihan yang mendadak dan menyakitkan menuju kesadaran modern.[butuh rujukan]

Naskah-naskah sunting

Ada lebih dari 2000 naskah karya-karya Homeros.[64][65] Beberapa naskah yang paling terkenal adalah sebagai berikut:

Baca juga sunting

Referensi sunting

Keterangan sunting

  1. ^ Aiskhilos menyifatkannya demikian di dalam Fragmen 134a.
  2. ^ Frobish (2003:24) mengemukakan di dalam karya tulisnya bahwa Perang Troya "bermula dengan ujub dan sikap kurang dewasa Akhiles, tetapi berakhir dengan kemahiran dan keperwiraannya di medan laga.”

Rujukan sunting

  1. ^ Bell, Robert H. "Homer's humor: laughter in the Iliad." hand 1 (2007): 596.
  2. ^ Homer. The Iliad. New York: Norton Books. hlm. 115. 
  3. ^ Lattimore, Richmond (2011). The Iliad of Homer. Chicago: University of Chicago Press. Buku 1, larik 155, hlm. 79. ISBN 978-0-226-47049-8. 
  4. ^ Hornblower, S. & A. Spawforth (1998). The Oxford Companion to Classical Civilization. hlmn. 3, 347, 352.
  5. ^ Homeros, Ilias (3:38, 7:89)
  6. ^ a b Mikalson, Jon (1991). Honor Thy Gods: Popular Religion in Greek Tragedy. Chapel Hill: University of North Carolina Press. 
  7. ^ Homer's Iliad, Classical Technology Center.
  8. ^ a b Lefkowitz, Mary (2003). Greek Gods, Human Lives: What We Can Learn From Myths. New Haven, Conn: Yale University Press.
  9. ^ Taplin, Oliver (2003). "Bring Back the Gods." The New York Times (14 Desember).
  10. ^ Lawson, John (2012). Modern Greek Folklore and Ancient Greek Religion:A Study in Survivals. Cambridge University Press. hlm. 2. 
  11. ^ Adkins, A. W. H.; Pollard, John R. T. (Mar 2, 2020) [1998]. "Greek religion". Encyclopædia Britannica. 
  12. ^ a b Jaynes, Julian. (1976) The Origin of Consciousness in the Breakdown of the Bicameral Mind. hlm. 221
  13. ^ a b c Kullmann, Wolfgang (1985). "Gods and Men in the Iliad and the Odyssey". Harvard Studies in Classical Philology. 89: 1–23. doi:10.2307/311265. JSTOR 311265. 
  14. ^ a b Homer (1998). The Iliad. Diterjemahkan oleh Fagles, Robert; Knox, Bernard. New York: Penguin Books. hlm. 589. 
  15. ^ Fate as presented in Homer's "The Iliad", Everything2
  16. ^ Dunkle, Roger (1986). "ILIAD," dalam The Classical Origins of Western Culture, The Core Studies 1 Study Guide. Brooklyn College. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 Desember 2007.
  17. ^ Homer, Iliad 16.849–54 (Lattimore 1951).
  18. ^ Homer. The Iliad. 16.433–34 (Lattimore 1951).
  19. ^ Homer. The Iliad 16.440–43 (Lattimore 1951).
  20. ^ Homer. The Iliad 22.178–81 (Lattimore 1951).
  21. ^ Homer. The Iliad 20.300–04 (Lattimore 1951).
  22. ^ "The Concept of the Hero in Greek Civilization". Athome.harvard.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 April 2010. Diakses tanggal 18 April 2010. 
  23. ^ "Heroes and the Homeric Iliad". Uh.edu. Diakses tanggal 18 April 2010. 
  24. ^ a b Volk, Katharina. "ΚΛΕΟΣ ΑΦΘΙΤΟΝ Revisited". Classical Philology, Jld. 97, No. 1 (Jan., 2002), hlmn. 61–68.
  25. ^ 9.410–416
  26. ^ II.46, V.724, XIII.22, XIV.238, XVIII.370
  27. ^ 2.155, 2.251, 9.413, 9.434, 9.622, 10.509, 16.82
  28. ^ Frobish, T.S. (2003). “An Origin of a Theory: A Comparison of Ethos in the Homeric Iliad with That Found in Aristotle’s Rhetoric.” Rhetoric 22(1):16-30.
  29. ^ Frobish, T.S. (2003). “An Origin of a Theory: A Comparison of Ethos in the Homeric Iliad with That Found in Aristotle’s Rhetoric.” Rhetoric 22(1):16-30.
  30. ^ Thompson, Diane P. “Achilles’ Wrath and the Plan of Zeus.”
  31. ^ Thompson, Diane P. “Achilles’ Wrath and the Plan of Zeus.”
  32. ^ Rouse, W.H.D. (1938). The Iliad. hlm. 11.
  33. ^ Homer, Iliad 1.13 (Lattimore 1951).
  34. ^ Homer, Iliad 1.122 (Lattimore 1951).
  35. ^ Homer, Iliad 1.181–87 (Lattimore 1951).
  36. ^ Homer, Iliad 18.111–16 (Lattimore 1951).
  37. ^ Moore, C. H. (1921). "Prophecy in the Ancient Epic". Harvard Studies in Classical Philology. 32: 99–175. doi:10.2307/310716. JSTOR 310716. 
  38. ^ West, M. L. (1999). "The Invention of Homer". The Classical Quarterly. 49 (2): 364–382. doi:10.1093/cq/49.2.364. ISSN 0009-8388. JSTOR 639863. 
  39. ^ Herodotus (de Sélincourt 1954), hlm. 41.
  40. ^ Ἰλιάς, Ἰλιακός, Ἴλιος. Liddell, Henry George; Scott, Robert; A Greek–English Lexicon at the Perseus Project
  41. ^ Hist. 2.116
  42. ^ Blackwell, Amy Hackney (2007). "Robot Scans Ancient Manuscript in 3-D." Wired.Templat:Unreliablesource
  43. ^ "Homerus, [Τὰ σωζόμενα]". Onassis Library. Diakses tanggal 03 September 2017. 
  44. ^ The Columbia Encyclopedia (edisi ke-5) (1994). hlm. 173.
  45. ^ a b Lendon, J.E. (2005). Soldiers and Ghosts: A History of Battle in Classical Antiquity. New Haven, CT: Yale University Press.
  46. ^ Homer, Iliad 4.473–83 (Lattimore 2011).
  47. ^ Van Wees, Hans. Greek Warfare: Myth and Realities. hlm. 249.
  48. ^ Bruce B. Lawrence and Aisha Karim (2008). On Violence: A Reader. Duke University Press. hlm. 377. ISBN 978-0-8223-3769-0. 
  49. ^ Logue, Christopher (2015). "Introduction by Christopher Reid". War Music, an account of Homer's Iliad. Faber and Faber. ISBN 978-0-571-31449-2. 
  50. ^ A Thousand Ships (2001, ISBN 1-58240-200-0)
  51. ^ Sacrifice (2004, ISBN 1-58240-360-0)
  52. ^ Betrayal, Part One (2008, ISBN 978-1-58240-845-3)
  53. ^ "All Time Worldwide Box Office Grosses". Box Office Mojo. 
  54. ^ Miller, Madeline. (2011). The song of Achilles. London: Bloomsbury Pub Ltd. ISBN 978-1-4088-1603-5. OCLC 740635377. 
  55. ^ Ciabattari, Jane (21 Maret 2012). "Madeline Miller Discusses 'The Song of Achilles'". The Daily Beast. Diakses tanggal 1 Juni 2012. 
  56. ^ Oswald, Alice (2011). Memorial: An Excavation of the Iliad. London: Faber & Faber. ISBN 978-0-571-27416-1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-06-06. 
  57. ^ Holland, Tom (17 October 2011). "The Song of Achilles by Madeline Miller / Memorial by Alice Oswald. Surfing the rip tide of all things Homeric". The New Statesman. London: New Statesman. Diakses tanggal 1 Juni 2012. 
  58. ^ Kellaway, Kate (2 October 2011). "Memorial by Alice Oswald – review". The Observer. London: Guardian News and Media Limited. Diakses tanggal 1 Juni 2012. 
  59. ^ Higgins, Charlotte (28 October 2011). "The Song of Achilles by Madeline Miller, and more – review". The Guardian. London: Guardian News and Media Limited. Diakses tanggal 1 Juni 2012. 
  60. ^ Flood, Alison (20 October 2011). "TS Eliot prize 2011 shortlist revealed". The Guardian. London: Guardian News and Media Limited. Diakses tanggal 1 Juni 2012. 
  61. ^ Waters, Florence (6 December 2011). "Poet withdraws from TS Eliot prize over sponsorship". The Telegraph. London: Telegraph Media Group Limited. Diakses tanggal 13 Februari 2012. 
  62. ^ Flood, Alison (6 December 2011). "Alice Oswald withdraws from TS Eliot prize in protest at sponsor Aurum". The Guardian. London: Guardian News and Media Limited. Diakses tanggal 13 Februari 2012. 
  63. ^ Oswald, Alice (12 December 2011). "Why I pulled out of the TS Eliot poetry prize". The Guardian. London: Guardian News and Media Limited. Diakses tanggal 13 Februari 2012. 
  64. ^ OCLC 722287142
  65. ^ Bird, Graeme D. (2010). Multitextuality in the Homeric Iliad: The Witness of the Ptolemaic Papyr. Washington, D.C.: Center for Hellenic Studies. ISBN 978-0-674-05323-6. 

Kepustakaan sunting

Bahan bacaan lanjutan sunting

Pranala luar sunting