Identitas gender

pikiran dan rasa seseorang terhadap gender mereka sendiri

Identitas gender adalah pengertian dan kesadaran seseorang mengenai gendernya sendiri.[1][2] Identitas gender seseorang dapat selaras dengan seksnya yang ditunjuk saat lahir atau justru sepenuhnya berbeda.[2][3] Seluruh masyarakat memiliki serangkaian kategori gender yang berperan sebagai dasar pembentukan identitas sosial seseorang serta dalam hubungannya dengan orang lain.[4] Di kebanyakan masyarakat, perbedaan yang paling sederhana ada pada sifat-sifat yang terkait dengan gender laki-laki dan perempuan[5] yang disebut pula sebagai binari gender yang dianut oleh kebanyakan orang. Gagasan tersebut juga mendorong penyesuaian hal-hal yang dinilai maskulin dan feminin di segala aspek seks dan gender: seks biologis, identitas gender, dan ekspresi gender.[6] Sementara itu, di beberapa masyarakat terdapat individu-individu yang tidak mengidentifikasi dirinya terhadap sebagian atau keseluruhan dari aspek gender yang ditunjuk kepada mereka berdasarkan seks biologis mereka.[7][8] Beberapa dari individu tersebut tergolong sebagai orang transgender atau genderqueer. Di beberapa masyarakat lainnya pula, terdapat kategori gender ketiga.

Identitas gender inti seseorang umumnya terbentuk saat usia tiga tahun.[9][10] Setelah usia tiga tahun, akan sangat sulit untuk mengubah identitas gender[9] sementara jika dilakukan usaha pengubahan dapat menyebabkan timbulnya disforia gender.[11] Baik faktor biologis maupun faktor sosial telah digagas sebagai hal yang berpengaruh dalam pembentukan identitas gender.

Waktu pembentukan

sunting

Terdapat beberapa teori mengenai kapan dan bagaimana identitas gender seseorang tebentuk. Akan tetapi, penelitian yang selama ini dilakukan terbilang sulit karena kemampuan berbicara anak-anak yang terbatas menyebabkan peneliti harus membuat asumsi berdasarkan bukti tidak langsung. Psikolog, John Money, menyebutkan bahwa anak-anak mungkin memiliki kesadaran serta keterikatan terhadap gender mulai antara usia sedini 18 bulan hingga dua tahun. Psikolog lainnya, Lawrence Kohlberg, mengatakan bahwa identitas gender belum terbentuk hingga umur tiga tahun.[11] Hal yang telah dipahami secara luas adalah bahwa inti dari identitas gender telah terbentuk kokoh pada usia tiga tahun.[9][10][11] Beberapa sumber lain sementara itu menyebutkan bahwa identitas gender terus terbentuk pada usia 3-4 tahun.[12] Pada titik inilah anak-anak dapat membuat pernyataan tegas mengenai gender mereka[11][13] dan cenderung untuk memilih aktivitas dan mainan yang dinilai sesuai dengan gender mereka[11] (seperti boneka untuk perempuan dan balok bangunan untuk laki-laki),[14] walaupun mungkin mereka belum mengerti implikasi dari gender yang mereka miliki.[13] Setelah usia tiga tahun, identitas gender inti sangat sulit untuk diubah[9][15] sementara usaha untuk mengubahnya dapat menimbulkan disforia gender.[11][16] Pembentukan akhir identitas gender ada pada rentang usia anak empat[15] hingga enam tahun[11][17] dan terus berlanjut ke masa remaja.[15]

Martin dan Ruble (2004) merumuskan proses perkembangan tersebut ke dalam tiga tahap yaitu (1) pada masa kanak-kanak dan balita, anak mempelajari karakteristik-karakteristik serta aspek dari gender, (2) pada sekitar umur 5–7 tahun, identitas terbentuk dan menjadi rumit, dan (3) setelah "puncak kerumitan" tersebut, fluiditas kembali dan peran-peran gender yang selama ini telah ditentukan di lingkungan mengendur.[18] Newmann (2014) sementara itu mengajukan empat tahapan yaitu (1) pemahaman konsep gender, (2) pembelajaran oleh anak mengenai standar dan stereotip peran gender, (3) identifikasi terhadap orang tua, dan (4) pembentukan preferensi gender.[13]

Faktor yang mempengaruhi pembentukan

sunting

Alam lawan asuhan

sunting

Walaupun pembentukan identitas gender belum dapat diketahui secara menyeluruh, terdapat beberapa faktor yang telah disebut memiliki pengaruh di dalam perkembangan pembentukannya. Salah satu yang paling utama adalah sejauh mana identitas gender ditentukan oleh faktor sosial atau faktor lingkungan dan sejauh mana juga faktor lahiriah atau biologi berpengaruh. Hal tersebut menjadi perdebatan di kalangan psikolog dan dikenal dengan istilah nature versus nurture (alam lawan asuhan). Kedua faktor masing-masing dianggap memiliki peran. Faktor biologis yang mempengaruhi identitas gender di antaranya adalah tingkat hormon pra- dan pascakelahiran.[19] Gen juga mempengaruhi identitas gender[20][21] namun tidak menentukannya secara pasti.[22]

Faktor sosial yang dapat mempengaruhi identitas gender di antaranya adalah gagasan mengenai peran gender yang digambarkan oleh keluarga, figur penguasa, media, dan orang-orang lain yang berpengaruh di dalam kehidupan anak.[23] Ketika anak dibesarkan oleh seseorang yang menganut paham peran gender yang ketat, mereka cenderung akan bersikap sama dan menyamakan identitas gender mereka dengan pola peran gender stereotip di sekitar mereka tersebut.[24] Teori pembelajaran sosial mengatakan bahwa anak-anak lebih lanjut mengembangkan identitas gender mereka dengan mengobservasi dan meniru perilaku yang terkait dengan suatu gender. Mereka juga menerima respon positif seperti hadiah atau pujian atau respon negatif seperti hukuman dari perilakunya[25] sehingga dengan demikian mereka dibentuk oleh orang-orang di sekitar mereka dengan cara meniru atau mengikuti.[26]

Contoh terkenal dalam perdebatan alam atau asuhan adalah kasus David Reimer yang dikenal pula sebagai kasus John/Joan. Saat ia masih bayi, Reimer merupakan korban dari malapraktik dan kelamin laki-lakinya harus diangkat. Psikolog John Money meyakinkan orang tua Reimer untuk membesarkannya sebagai perempuan. Reimer pun dibesarkan sebagai perempuan, mengenakan pakaian perempuan dan dikelilingi mainan perempuan, tetapi ia tidak merasa bahwa ia seorang perempuan. Setelah mencoba bunuh diri pada usia 13 tahun, Reimer mengetahui bahwa ia lahir dengan kelamin laki-laki. Setelah itupun ia menjalani operasi rekonstruksi genitalia.[27][28] Kasus Reimer berlawanan dengan hipotesis Money bahwa biologi tidak memiliki peran dalam identitas gender maupun orientasi seksual.[29]

Faktor biologis

sunting

Penelitian menunjukkan adanya bukti bahwa identitas gender memiliki komponen biologis.[30] Beberapa faktor seperti gen dan hormon—termasuk saat seseorang masih di dalam kandungan—dapat mempengaruhi identitas gender.[19][21][31]

Pengaruh hormon merupakan faktor yang kompleks. Hormon penentu seks diproduksi pada tahap awal perkembangan janin.[32] Jika tingkat hormon tersebut berubah, perkembangan fenotip janin juga dapat berubah sehingga kecenderungan alami dari otak terhadap jenis kelamin tertentu dapat tidak sesuai dengan susunan genetik janin maupun organ seksualnya.[33] Hormon dapat mempengaruhi perbedaan kemampuan spasial dan verbal, ingatan, dan keagresifan antara anak laki-laki da perempuan. Hormon prenatal mempengarui bagaimana hipotalamus di otak mengatur sekresi hormon di kemudian hari, dengan hormon wanita umunya mengikuti siklus bulanan sementara hormon pria tidak.[32]

Orang interseks

sunting

Seorang manusia interseks atau seekor hewan interseks memmiliki variasi pada salah satu atau beberapa karakteristik seksnya apakah itu kromosom, organ genitalia, gonad, atau hormon seks, yang "... tidak padan dengan gagasan umum biner mengenai tubuh laki-laki atau perempuan".[34] Variasi-variasi yang ada mengenai kondisi interseks dapat membuat penunjukan seks saat lahir menjadi rumit[35] dan dapat tidak konsisten dengan identitas gender si anak kelak.[36] Pemaksaan seks yang ditunjuk melalui hormon atau prosedur operasi melanggar hak asasi individu tersebut.[37][38] Sebuah ulasan terhadap penelitian-penelitian dari tahun 1955 hingga 2000 menunjukkan bahwa lebih dari 1 orang di antara 100 orang memiliki karakteristik interseks.[39]

Orang interseks dapat mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan, laki-laki, atau tidak keduanya tanpa mempedulikan gangguan perkembangan seksnya.[40] Furtado, et al. (2012) menemukan bahwa sekitar 8,5 hingga 20 persen orang interseks mengalami disforia gender.[41] Sebuah penelitian di Australia, yang merupakan negara yang memiliki klasifikasi jenis kelamin "X", menunjukkan bahwa 19 persen dari orang yang lahir dengan karakteristik seks istimewa memilih opsi "X" tersebut atau opsi "lainnya". Sementara itu, 52 persen dari peserta studi memilih opsi wanita, 23 persen memilih opsi pria, dan 6 persen tidak yakin. 52 persen dari peserta studi ditunjuk sebagai perempuan saat lahir sementara 41 persen lainnya laki-laki.[40][42]

Penyebab biologis dari identitas transgender dan transseksualitas

sunting

Beberapa penelitan telah menyelidiki mengenai ada atau tidaknya kaitan antara kondisi biologi terhadap identitas transgender atau transseksual.[43][44] Beberapa telah menunjukkan bahwa struktur otak pada individu transseksual berbeda dari seks yang telah ditunjuk kepadanya dan lebih serupa dengan seks yang mereka pilih.[45][46][47] Bagian dari otak yang disebut BNST di stria terminalis dari wanita trans serupa dengan yang ditemukan pada wanita cisgender ketimbang dengan pria.[48] Perbedaan struktur otak yang serupa juga disebutkan untuk pria gay dengan pria heteroseksual dan wanita lesbian dengan wanita heteroseksual.[49][50] Sebuah penelitian lainnya menyebutkan bahwa transseksualitas dapat memiliki kaitan dengan kondisi genetik.[51]

Penelitian menunjukkan bahwa hormon yang sama yang memicu diferensiasi organ seksual pada janin dalam rahim juga memengaruhi perkembangan identitas gender. Kuantitas yang berbeda dari hormon perempuan dan hormon laki-laki tersebut menyebabkan seseorang dapat memiliki perilaku atau kondisi fisik eksternal dari genitalia yang tidak sama dengan anggapan umum dari jenis kelamin tertentu termasuk perilaku dan penampilan yang dapat lebih mirip dengan lawan jenis kelaminnya.[52]

Faktor sosial dan lingkungan

sunting

John Money pada tahun 1955 mengatakan bahwa identitas gender merupakan sesuatu yang dapat dibentuk dengan pengaruh dari apakah seorang anak pada usia dini dibesarkan sebagai laki-laki atau perempuan.[53][54] Hipotesis Money telah dibantah,[54][55] namun para ilmuwan tetap melanjutkan penelitian mengenai pengaruh dari faktor sosial terhadaip pembentukan identitas gender.[54] Selama dekade 1960-an dan 1970-an, faktor-faktor yang pernah disebutkan sebagai faktor sosial yang berpengaruh di antaranya adalah ketiadaan ayah, keinginan ibu untuk memiliki anak perempuan, serta pola asuhan dari orang tua. Sebuah teori terkini menyebutkan bahwa kondisi psikologi orang tua mungkin juga mempengaruhi pembentukan identitas gender namun teori tersebut hanya memiliki sedikit bukti empiris[54] sementara sebuah artikel tahun 2004 menyebutkan bahwa "... pengaruh penting dari faktor sosial setelah kelahiran tidak memiliki bukti yang cukup."[56] Sementara itu, sebuah penelitian tahun 2008 menemukan bahwa orang tua dengan anak-anak yang memiliki disforia gender tidak menunjukan tanda-tanda adanya gangguan psikologi selain dari depresi ringan pada ibu.[54][57] Selain itu, sikap dari orang tua juga telah disebutkan dapat mempengaruhi identitas gender anak namun hanya sedikit bukti yang ditemukan.[58]

Sikap orang tua mengenai peran gender

sunting

Orang tua yang memiliki pandangan yang lebih keras dan sempit mengenai identitas gender dan peran gender cenderung juga memiliki orang tua yang berpandangan serupa.[52] Kane (2004) menyebutkan bahwa para orang tua menunjukkan pola perubahan pandangan terkait peran dan identitas gender. Salah satunya seperti penilaian bahwa hal-hal seperti dapur adalah hal yang netral, bukan maskulin dan bukan feminin, seperti disebutkan di sebuah penelitian.[59] Tapi ia menyebutkan juga bahwa masih terdapat banyak orang tua yang menunjukkan pandangan negatif terkait dengan hal-hal yang dinilai feminin seperti mengurusi rumah tangga, mengasuh anak, dan empati. Penelitian menunjukkan bahwa banyak dari orang tua berusaha untuk membentuk gender dari anak laki-laki mereka dengan cara menjauhkan si anak dari hal-hal feminin. Kane menyebutkan bahwa pembatasan tersebut “... menggambarkan sikap penting yang membatasi pilihan terhadap anak, memisahkan anak laki-laki dari anak perempuan, meremehkan aktivitas yang mereka nilai feminin ..., yang kemudian [hanya] memperkuat ketidaksetaraan gender dan norma heteroseksual.”[59]

Orang tua juga banyak membentuk ekspektasi gender dari anak mereka bahkan sebelum anak mereka lahir seperti pemantauan terhadap jenis kelamin anak melalui ultrasonografi. Anak kemudian lahir dengan nama, mainan, dan bahkan cita-cita yang spesifik terhadap gender tertentu.[31] Setelah jenis kelamin anak ditentukan, umumnya anak akan dibesarkan sesuai dengan jenis kelamin tersebut dan dicocokkan dengn peran gender laki-lai atau perempuan.

Keluarga dari masyarakat kelas bawah umumnya memiliki pandangan tradisional mengenai peran gender dengan si ayah bekerja sementara si ibu mengurus rumah tangga dan hanya bekerja untuk menambah kebutuhan. Sementara itu, keluarga dari kelas menengah umumnya mendiskusikan pembagian peran di dalam rumah tangga secara setara. Pandangan-pandangan yang berbeda dari orang tua soal gender seperti ini kemudian dapat membentuk pengertian yang dimiliki anak itu sendiri mengenai gender termasuk perkembangan gender anak.[60]

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa bukan pandangan orang tua namun perilaku orang tua soal gender merupakan hal yang lebih pasti untuk memperkirakan perilaku anak soal gender. Sebagai conth, para ibu yang menunjukkan perilaku tradisional di depan anak memiliki anak laki-laki menunjukkan lebih sedikit perilaku sterotip laki-laki dan anak perempuan yang menunjukkan lebih banyak perilaku anak perempuan. Sementara itu, tidak ada korelasi yang ditemukan terkait perilaku ayah dan sikap anak soal gender mereka. Akan tetapi, disebutkan pula bahwa para ayah yang memiliki pandangan kesetaraan jenis kelamin memiliki anak, terutama anak laki-laki, yang memiliki lebih sedikit prasangka mengenai gender lawannya.[60]

Variasi gender

sunting

Identitas gender dari seseorang dapat berbeda dengan karakteristik seksual biologis mereka (organ genitalia dan karakteristik seksual sekunder). Individu tersebut kemudian dapat memiliki sikap yang menurut orang lain berada di luar dari norma tradisional gender. Ekspresi gender seperti itu dapat disebut sebagai variasi gender, transgender, atau genderqueer.[61] Orang dengan variasi gender juga dapat mengalami apa yang disebut dengan disforia gender.

Sejarah

sunting

Definisi

sunting

Istilah identitas gender (bahasa Inggris: gender identity) dan identitas gender inti (bahasa Inggris: core gender identity) dengan artinya yang sekarang—pikiran dan rasa seseorang mengenai gendernya sendiri[1][62]—kira-kira mulai era 1960-an. Istilah identitas gender digunakan dalam sebuah berita pers tanggal 21 November 1966 yang mengumumkan sebuah klinik baru bagi orang transseksual di Rumah Sakit John Hopkins. Istilah tersebut sejak saat itu digunakan di berbagai media di seluruh dunia dan masuk ke penggunaan sehari-hari.[63][64]

Literatur kedokteran awal

sunting

Literatur kedokteran pada penghujung abad ke-19 menyebut wanita yang tidak menyesuaikan dirinya dengan peran gendernya sebagai invert. Mereka digambarkan memiliki ketertarikan terhadap pengetahuan dan pendidikan sementara tidak menyukai atau bahkan tidak mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Pada dekade pertama abad ke-20, dokter memaksa terapi pembetulan bagi wanita dan anak-anak dengan kondisi tersebut, yang menunjukkan bahwa perilaku gender yang tidak sesuai dengan norma yang ada akan dihukum dan diubah. Tujuan dari terapi seperti itu adalah untuk mendorong anak kembali ke peran gender mereka yang "benar" sehingga membatasi memunculkan kondisi transgender.[65]

1950-an dan 1960-an

sunting

Kalangan psikolog mulai mempelajari perkembangan gender di anak-anak usia dini salah satunya sebagai upaya untuk mengetahui asal dari homoseksualitas yang pada saat itu dipandang sebagai sebuah gangguan kejiwaan. Gender Identity Research Project (Proyek Penelitian Identitas Gender) didirikan pada tahun 1958 di UCLA Medical Center bagi penelitian terhadap individu interseks dan transseksual. Robert Stoller banyak menggeneralisasi temuan-temuan dari proyek penelitian tersebut tersebut di dalam bukunya Sex and Gender: On the Development of Masculinity and Femininity tahun 1968. Ia juga dicatat sebagai yang pertama kali memperkenalkan istilah identitas gender kepada Kongres Psikoanalisis Internasional di Stockholm, Swedia tahun 1963. John Money sementara itu juga berperan terkait kiprahnya mengenai penelitian identitas gender. Keterlibatannya dalam Klinik Identitas Gender di Sekolah Kedokteran Johns Hopkins (yang didirikan tahun 1965) mempopulerkan teori interaksionisme identitas gender yang menyebutkan bahwa hingga usia tertentu, identitas gender seseorang cenderung dinamis dan merupakan sasaran dari pengaruh-pengaruh yang konstan. Bukunya berjuul Man and Woman, Boy and Girl (1972) secara luas digunakan sebagai buku paket perkuliahan, meskipun kemudian banyak dari gagasan yang diajukan Money menuai pertentangan.[66][67]

Pandangan Butler

sunting

Judith Butler pada akhir era 1980-an mulai memberikan kuliah reguler mengenai identitas gender. Ia kemudian pada tahun 1990 menerbitkan bukunya Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity yang memperkenalkan konsep performativitas gender yang mengatakan bahwa baik seks maupun gender merupakan sesuatau yang dibangun dengan sengaja.[68]

Pandangan kini

sunting

Disforia gender dan gangguan identitas gender

sunting

Disforia gender (sebelumnya disebut "gangguan identitas gender", GID, di dalam DSM) adalah sebutan resmi diagnosis bagi orang-orang yang mengalami disforia (rasa ketidaknyamanan) yang signifikan terhadap seks yang ditunjuk kepada mereka saat lahir dan/atau peran gender yang dikaitkan dengan seks tersebut.[69] Di dalam gangguan identitas gender, terdapat ketidakselarasan antara organ genitalia dengan susunan otak dari gender seseorang terkait apakah ia maskulin atau feminin.[63]

Konsep identitas gender muncul di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) keluaran American Psychiatric Association di edisi ketiganya (DSM-III) tahun 1980 dalam bentuk dua diagnosis yaitu gangguan identitas gender pada anak-anak (gender identity disorder of childhood, GIDC) dan transseksualisme (bagi remaja dan orang dewasa). Revisinya tahun 1987 (DSM-III-R) menambahkan diagnosis ketiga yaitu gangguan identitas gender remaja dan dewasa, non-transseksual (gender identity disorder of adolescence and adulthood, nontranssexual). Diagnosis ketiga tersebut kemudian dihapus pada edisi selanjutnya yaitu DSM-IV tahun 1994 sementara GIDC dan transseksualisme digabungkan menjadi gangguan identitas gender.[70] Edisi terkini yaitu DSM-V tahun 2013 merevisi baik nama dan definisinya menjadi disforia gender.[71]

Zucker dan Spitzer (2005) mempertanyakan klasifikasi mengenai masalah-masalah identitas gender sebagai sebuah gangguan kejiwaan sembari mengatakan bahwa beberapa revisi DSM dapat jadi dibuat sebagai balasan dari beberapa kelompok atas dihapuskannya homoseksualitas sebagai sebuah gangguan kejiwaan. Hal tersebut masih merupakan kontroversi sementara mayoritas ahli kesehatan jiwa kini setuju terhadap klasifikasi DSM yang ada sekarang.[70]

Hukum hak asasi manusia internasional

sunting

Prinsip-Prinsip Yogyakarta menyebutkan mengenai identitas gender pada bagian pembukaannya sebagai pengalaman internal yang mendalam dari seseorang tentang gendernya yang bisa sesuai atau tidak dengan seks yang ditunjuk saat lahir, termasuk rasa dan pikiran tubuh (yang dapat pula mencakup perubahan karakteristik fisik maupun fungsinya dengan cara medis, pembedahan, atau cara lainnya), serta cara lain dalam mengekspresikan gendernya termasuk cara berpakaian, cara berbicara, dan perilaku. Prinsip 3 mengatakan bahwa, "Identitas gender masing-masing orang merupakan bagian integral dari pribadi setiap orang dan merupakan salah satu aspek paling dasar dalam pengembangan diri, martabat, serta kemerdekaan setiap orang. Tidak ada seorangpun yang dapat dipaksa untuk melakukan prosedur medis, termasuk operasi penunjukan ulang seks, sterilisasi, atau terapi hormon, sebagai persyaratan pengakuan atas identitas gender mereka di mata hukum." Sementara Prinsip 18 menyatakan bahwa, "Walaupun tidak memenuhi klasifikasi yang berlawanan, orientasi seksual atau identitas gender seseorang bukanlah kondisi medis dan bukan untuk dirawat, disembuhkan atau ditekan."[72] Jurisprudential Annotations to the Yogyakarta Principles menyatakan bahwa, "Identitas gender yang berbeda daripada yang ditunjuk saat lahir atau ekspresi gender yang mengalami penolakan sosial selama ini telah diperlakukan sebagai penyakit kejiwaan. Anggapan bahwa perbedaan adalah penyakit membuat anak-anak dan remaja dengan variasi gender ditahan di dalam rumah sakit jiwa dan menjadi subjek dari praktik-praktik yang mengkhawatirkan—seperti terapi kejut—sebaga sebuah 'penyembuhan'."[73] Gerakan Yogyakarta Principles in Action menyebutkan bahwa, "Perlu diketahui bahwa meskipun ' orientasi seksual' telah dikeluarkan dari pengelompokkan penyakit jiwa di banyak tempat, 'identitas gender' atau 'gangguan identitas gender' sering kali masih dianggap demikian.[74] Prinsip-prinsip tersebut telah mempengaruhi deklarasi PBB mengenai orientasi seksual dan identitas gender.

Identitas gender pada tahun 2015 merupakan bagian di dalam kasus Mahkamah Agung Amerika Serikat yaitu Obergefell v. Hodges yang mengatur bahwa pernikahan tidak lagi dibatasi antara pria dan wanita.[75]

Variasi identitas gender

sunting

Beberapa contoh identitas gender dari beberapa kebudayaan di luar binari gender di antaranya adalah sebagai berikut.

Fa'afafine

sunting

Beberapa masyarakat Polinesia mengenal fa'afafine yang diakui sebagai sebuah gender ketiga selain laki-laki dan perempuan. Fa'afafine secara fisik laki-laki namun berpakaian dan berperilaku yang umumnya diasosiasikan dengan perempuan. Sua'ali'i (2001) menyebutkan bahwa paling tidak di Samoa, fa'afafine sering kali secara fisik tidak dapat bereproduksi. Fa'afafine diterima sebagai gender natural bawaan dan tidak diterima sebagai gender natural, dan tidak dipandang rendah atau didiskriminasi.[76] Secara harfiah, fa'afafine berarti "menurut cara wanita."[77] Femininitas fa'afafine juga diwujudkan melalui fakta bahwa mereka hanya tertarik dan mendapat ketertarikan dari pria maskulin heteroseksual. Mereka pun umumnya melakukan pekerjaan yang umumnya diasosiasikan dengan wanita.[78] Perdana Menteri Samoa menyatakan dukungannya terhadap Himpunan Fa'afafine Samoa.[79]

Di beberapa kebudayaan di Asia, seorang hijra umumnya dianggap sebagai bukan pria maupun wanita. Kebanyakan dari mereka secara anatomi laki-laki atau interseks, namun sebagian lain secara anatomi perempuan. Hijra berada pada posisi gender ketiga, meskipun mereka tidak memperoleh penerimaan dan rasa hormat yang sama dengan laki-laki dan perempuan umumnya. Hijra dapat dibandingkan dengan transvesti atau drag queen di budaya barat.[80]

Khanits

sunting

Khanits merupakan sebuah bentuk gender ketiga di Oman. Khanits adalah pelacur laki-laki homoseksual yang berpakaian laki-laki dengan warna-warna cerah (ketimbang warna umum yaitu putih), namun berperilaku perempuan. Khanits dapat bergaul dengan perempuan dan mereka umumnya diundang untuk meramaikan acara pernikahan. Khanits memiliki rumah tangganya sendiri dan melakukan seluruh pekerjaan baik laki-laki maupun perempan. Akan tetapi, serupa seperti pria di masyarakatnya, khanits dapat menikahi wanita dan membuktikan maskulinitasnya dengan berhubungan dengan si wanita.[80]

Dua Roh

sunting

Banyak kebudayaan Pribumi Amerika di Amerika Utara yang mengenal lebih dari dua gender. Secara umum, orang-orang yang berada di luar binari gender pria dan wanita disebut dengan istilah Dua Roh (bahasa Inggris: two-spirit atau two-spirited). Terdapat sebagian orang yang lebih menilai bahwa Dua Roh merupakan kategori sementara identitas mereka berada pada kebudayaan masing-masing suku itu sendiri.[81]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b Morrow, D. F.; Messinger, L., ed. (2006). Sexual Orientation and Gender Expression in Social Work Practice. Columbia University Press. hlm. 8. ISBN 0231501862. Gender identity refers to an individual's personal sense of identity as masculine or feminine, or some combination thereof 
  2. ^ a b American Psychological Association (2015). "Guidelines for Psychological Practice with Transgender and Gender Nonconforming People". American Psychologist. 70 (9): 832–864. doi:10.1037/a0039906. 
  3. ^ "Sexual Orientation and Gender Identity Definitions". Human Rights Campaign. 
  4. ^ Moghadam, V. M. (1992). "Patriarchy and the Politics of Gender in Modernizing Societies: Iran, Pakistan and Afghanistan". International Sociology. 7 (1): 35–53. doi:10.1177/026858092007001002. All societies have gender systems. 
  5. ^ Carlson, N. R.; Heth, C. D. (2009), "Sensation", dalam Carlson, N. R.; Heth, C. D., Psychology: the Science of Behaviour (edisi ke-4th), Pearson, hlm. 140–141, ISBN 9780205645244. 
  6. ^ Eller, J. D. (2015). Culture and Diversity in the United States: So Many Ways to Be American. Routledge. hlm. 137. ISBN 1317575784. ... most Western societies, including the United States, traditionally operate with a binary notion of sex/gender...  line feed character di |title= pada posisi 44 (bantuan)
  7. ^ MacKenzie, G. O. (1994). Transgender Nation. Bowling Green State University Popular Press. hlm. 43. ISBN 0879725966. ... transvestites existed in almost all societies. 
  8. ^ Zastrow, C. (2013). Introduction to Social Work and Social Welfare: Empowering People. Brooks Cole. hlm. 234. ISBN 128554580X. There are records of males and females crossing over throughout history and in virtually every culture. It is simply a naturally occurring part of all societies. 
  9. ^ a b c d Kalbfleisch, P. J.; Cody, M. J. (1995). Gender, Power, and Communication in Human Relationships. Psychology Press. ISBN 0805814043. 
  10. ^ a b Gallagher, A. M.; Kaufman, J. C. (2005). Gender Differences in Mathematics: An Integrative Psychological Approach. Cambridge University Press. ISBN 0-521-82605-5. 
  11. ^ a b c d e f g Boles 2013, hlm. 101-102.
  12. ^ Bryjak, G. J.; Soraka, M. P. (1997). Sociology: Cultural Diversity in a Changing World. Allyn & Bacon. hlm. 209-245. 
  13. ^ a b c Newmann, B. (2014). Development Through Life: A Psychosocial Approach. Cengage Learning. hlm. 243. ISBN 9781111344665. 
  14. ^ Doob, C. B. (2012). Social Inequality and Social Stratification in US Society. Routledge. 
  15. ^ a b c Kleeman, J. A. (1971). "The establishment of core gender identity in normal girls. I.(a) Introduction;(b) Development of the ego capacity to differentiate". Archives of Sexual Behavior. 1 (2): 103–116. doi:10.1007/BF01541055. Though gender identity formation continues into young adulthood and core gender identity establishment extends into the fourth year and possibly longer, core gender identity is fairly firmly formed by age 3[.] 
  16. ^ Coleman, E. (1982). "Developmental stages of the coming out process". Journal of Homosexuality. 7 (2-3): 31–43. Core gender and sex-role identities are well-formed by the age of 3 (Money & Ehrhardt, 1972). This is believed because attempts to reassign gender identity after age 3 result in further gender dysphoria. 
  17. ^ Stein, M. T.; Zucker, K. J.; Dixon, S. D. (1997). "Sammy: Gender Identity Concerns in a 6-Year-Old Boy". Journal of Developmental & Behavioral Pediatrics. 18 (3): 178–182. 
  18. ^ Martin, C.; Ruble, D. (2004). "Children's Search for Gender Cues Cognitive Perspectives on Gender Development". Current Directions in Psychological Science. 13 (2): 67–70. doi:10.1111/j.0963-7214.2004.00276.x. 
  19. ^ a b Zhu, Y. S.; Cai, L. Q. (2006). "Effects of male sex hormones on gender identity, sexual behavior, and cognitive function". Zhong Nan Da Xue Xue Bao, Yi Xue Ban (Journal of Central South University, Medical Sciences). 31 (2): 149–161. 
  20. ^ Money, J. (1994). "The concept of gender identity disorder in childhood and adolescence after 39 years". Journal of Sex and Marital Therapy. 20 (3): 163–77. doi:10.1080/00926239408403428. PMID 7996589. 
  21. ^ a b "Genes Influence Gender Identity". Psychology Today. 24 Oktober 2003. 
  22. ^ Golombok, S.; Fivush, R. (1994). Gender Development. hlm. 44. ISBN 0521408628. When assigned and raised as boys, these genetic girls adopt a male gender identity and role, showing that a Y chromosome is not necessary for gender development to proceed in a male direction. 
  23. ^ Henslin, J. M. (2001). Essentials of Sociology. Taylor & Francis. hlm. 65–67, 240. ISBN 0-536-94185-8. 
  24. ^ Oswalt, A. (9 Juni 2010). "Factors Influencing Gender Identity". MentalHelp.net. 
  25. ^ Myers, D. G. (2008). Psychology. Worth Publishers. 
  26. ^ Martin, C. L.; Ruble, D. N.; Szkrybalo, J. (2002). "Cognitive theories of early gender development". Psychological Bulletin. 128 (6): 903–906. doi:10.1037/0033-2909.128.6.903. PMID 12405137. 
  27. ^ Nolen-Hoeksema, S. (2014). Abnormal Psychology (edisi ke-6th). McGraw-Hill. hlm. 368. ISBN 9781308211503. 
  28. ^ Diamond, M.; Sigmundson, H. K. (1997). "Sex reassignment at birth. Long-term review and clinical implications". Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine. 151 (3): 298–304. PMID 9080940. 
  29. ^ Martin, C.; Ruble, D.; Szkrybalo, J. (2002). "Cognitive Theories of Early Gender Development". Psychological Bulletin. 128 (6): 903–913. doi:10.1037/0033-2909.128.6.903. PMID 12405137. 
  30. ^ Saraswat, Aruna; Weinand, Jamie D.; Safer, Joshua D. (2015). "Evidence Supporting the Biologic Nature of Gender Identity". Endocrine Practice. 21 (2): 199–204. doi:10.4158/EP14351.RA. 
  31. ^ a b Ghosh, S. "Gender Identity". MedScape. Diakses tanggal 29 Oktober 2012. 
  32. ^ a b Birke (2000). "In Pursuit Of Difference, scientific studies of women and men". Dalam Bartsch, I.; Lederman, M. The Gender and Science Reader. Routledge. hlm. 310. 
  33. ^ Hines, M. (2017-02-02). "Prenatal endocrine influences on sexual orientation and on sexually differentiated childhood behavior". Frontiers in Neuroendocrinology. 32 (2): 170–182. doi:10.1016/j.yfrne.2011.02.006. ISSN 0091-3022. PMC 3296090 . PMID 21333673. 
  34. ^ Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (2015). "Free & Equal Campaign Fact Sheet: Intersex" (PDF). Diakses tanggal 28 Maret 2016. 
  35. ^ Mieszczak, J.; Houk, C. P.; Lee, P. A. (2009). "Assignment of the sex of rearing in the neonate with a disorder of sex development". Current Opinion in Pediatrics. 21 (4): 541–547. doi:10.1097/mop.0b013e32832c6d2c. PMID 19444113. 
  36. ^ Komisioner untuk Hak Asasi Manusia; Dewan Eropa (2015), Human rights and intersex people, Issue Paper 
  37. ^ Swiss National Advisory Commission on Biomedical Ethics NEK-CNE (November 2012). On the management of differences of sex development. Ethical issues relating to "intersexuality".Opinion No. 20/2012 (PDF). 2012. Bern. 
  38. ^ Organisasi Kesehatan Dunia (2015). Sexual health, human rights and the law. Jenewa: Organisasi Kesehatan Dunia. ISBN 9789241564984. 
  39. ^ Blackless, M.; Charuvastra, A.; Derryck, A.; Fausto-Sterling, A.; Lauzanne, K.; Lee, E. (2000). "How sexually dimorphic are we? Review and synthesis". American Journal of Human Biology. 12 (2): 151–166. doi:10.1002/(SICI)1520-6300(200003/04)12:2<151::AID-AJHB1>3.0.CO;2-F. ISSN 1520-6300. PMID 11534012. 
  40. ^ a b "New publication "Intersex: Stories and Statistics from Australia"". Organisation Intersex International Australia. 3 Februari 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-29. Diakses tanggal 18 Agustus 2016. 
  41. ^ Furtado, P. S.; et al. (2012). "Gender dysphoria associated with disorders of sex development". Nature Reviews Urology. 9 (11): 620–627. doi:10.1038/nrurol.2012.182. PMID 23045263. 
  42. ^ Jones, T.; Hart, B.; Carpenter, M.; Ansara, G.; Leonard, W.; Lucke, J. (2016). Intersex: Stories and Statistics from Australia (PDF). Cambridge: Open Book Publishers. ISBN 978-1-78374-208-0. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-09-14. Diakses tanggal 2 Februari 2016. 
  43. ^ Vilain, E. (2006). "Genetics of Intersexuality". Journal of Gay & Lesbian Psychotherapy. 10 (2): 9–26. doi:10.1300/J236v10n02_02. 
  44. ^ Fleming, A.; Vilain, E. (2005). "The endless quest for sex determination genes". Clinical Genetics. 67 (1): 15–25. doi:10.1111/j.1399-0004.2004.00376.x. 
  45. ^ Gizewski, E. R.; Krause, E.; Schlamann, M.; Happich, F.; Ladd, M. E.; Forsting, M.; Senf, W. (2009). "Specific cerebral activation due to visual erotic stimuli in male-to-female transsexuals compared with male and female controls: An fMRI study". Journal of Sexual Medicine. 6: 440–448. doi:10.1111/j.1743-6109.2008.00981.x. 
  46. ^ Savic, I.; Arver, S. (2011). "Sex dimorphism of the brain in male-to-female transsexuals". Cerebral Cortex. 21: 2525–2533. doi:10.1093/cercor/bhr032. 
  47. ^ Rametti, G.; Carrillo, B.; Gómez-Gil, E.; Junque, C.; Zubiarre-Elorza, L.; Segovia, S.; Gomez, Á; Guillamon, A. (2011). "White matter microstructure in female to male transsexuals before cross-sex hormonal treatment. A diffusion tensor imaging study". Journal of Psychiatric Research. 45 (2): 199–204. doi:10.1016/j.jpsychires.2010.05.006. PMID 20562024. 
  48. ^ Zhou, J. N.; Hofman, M. A.; Gooren, L. J.; Swaab, D. F. (1995). "A sex difference in the human brain and its relation to transsexuality". Nature. 378 (6552): 68–70. doi:10.1038/378068a0. PMID 7477289. 
  49. ^ LeVay, S. (1991). "A difference in hypothalamic structure between heterosexual and homosexual men". Science. 253 (5023): 1034–1037. doi:10.1126/science.1887219. PMID 1887219. 
  50. ^ Byne, W.; Tobet, S.; Mattiace, L. A.; et al. (2001). "The interstitial nuclei of the human anterior hypothalamus: an investigation of variation with sex, sexual orientation, and HIV status". Hormones and Behavior. 40 (2): 86–92. doi:10.1006/hbeh.2001.1680. PMID 11534967. 
  51. ^ Hare, L.; Bernard, P.; Sánchez, F. J.; Baird, P. N.; Vilain, E.; Kennedy, T.; Harley, V. R. (2009). "Androgen Receptor Repeat Length Polymorphism Associated with Male-to-Female Transsexualism". Biological Psychiatry. 65 (1): 93–96. doi:10.1016/j.biopsych.2008.08.033. 
  52. ^ a b Oswalt, A. "Factors Influencing Gender Identity". MentalHelp.net. Diakses tanggal 6 Februari 2017. 
  53. ^ Money, J.; Hampson, J. G.; Hampson, J. L. (1955). "An examination of some basic sexual concepts". Bulletin of the Johns Hopkins Hospital. 97 (4): 301–319. 
  54. ^ a b c d e Kreukels, B. P. C.; Steensma, T. D.; de Vries, A. L.C., ed. (2013). Gender Dysphoria and Disorders of Sex Development. Springer US. ISBN 1461474418. 
  55. ^ Fausto-Sterling, A. (2000). Sexing the Body: Gender Politics and the Construct. Basic Books. 
  56. ^ Swaab, D. F. (2004). "Sexual differentiation of the human brain: relevance for gender identity, transsexualism and sexual orientation". Gynecological Endocrinology. 19 (6): 301–312. ...direct effects of testosterone on the developing fetal brain are of major importance for the development of male gender identity and male heterosexual orientation. Solid evidence for the importance of postnatal social factors is lacking. 
  57. ^ Wallien, M. S.; Cohen-Kettenis, P. T. (2008). "Psychosexual outcome of gender-dysphoric children". Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry. 47 (12): 1413–1423. doi:10.1097/CHI.0b013e31818956b9. 
  58. ^ Weinraub, M.; Clemens, L. P.; Sockloff, A.; Ethridge, T. (1984). "The development of sex role stereotypes in the third year: relationships to gender labeling, gender identity, sex-types toy preference, and family characteristics". Child Development. 55 (4): 1493–1503. doi:10.2307/1130019. Previous investigators have failed to observe a relationship between parental attitudes and children's early sex role acquisition ... 
  59. ^ a b Spade, J. (2004). The Kaleidoscope of Gender. London: SAGE. hlm. 177–184. ISBN 978-1-4129-7906-1. 
  60. ^ a b Halpern, H. P.; Perry-Jenkins, M. (2016). "Parents' Gender Ideology and Gendered Behavior as Predictors of Children's Gender-Role Attitudes: A Longitudinal Exploration". Sex Roles. 74 (11): 527–542. doi:10.1007/s11199-015-0539-0. 
  61. ^ Blackless, M.; Besser, M.; Carr, S.; Cohen-Kettenis, P.T.; Connolly, P.; De Sutter, P.; Diamond, M.; Di Ceglie, D.; Higashi, Y.; Jones, L.; Kruijver, F.P.M.; Martin, J.; Playdon, Z-J.; Ralph, D.; Reed, T.; Reid, R.; Reiner, W.G.; Swaab, D.; Terry, T.; Wilson, P.; Wylie, K. (2006). "Atypical Gender Development – A Review". International Journal of Transgenderism. 9 (1): 29–44. doi:10.1300/J485v09n01_04. 
  62. ^ Boles 2013, hlm. 101 "Gender identity is the individual's personal and private experience of his/her gender."
  63. ^ a b Money, J. (1994). "The concept of gender identity disorder in childhood and adolescence after 39 years". Journal of Sex and Marital Therapy. 20 (3): 163–177. doi:10.1080/00926239408403428. PMID 7996589. ... gender identity is your own sense or conviction of maleness or femaleness. 
  64. ^ Unger, R. K., ed. (2004). Handbook of the Psychology of Women and Gender. Wiley. hlm. 102. ISBN 0471653578. Gender identity was introduced into the professional lexicon by Hooker and Stoller almost simultaneously in the early 1960s (see Money, 1985). For example, Stoller (1964) used the slightly different term core gender identity... 
  65. ^ Padawer, R. "What's So Bad About a Boy Who Wants to Wear a Dress?". New York Times. Diakses tanggal 29 Oktober 2012. 
  66. ^ Haraway, D. (1991). Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of Nature. London: Free Association Books. hlm. 133. ISBN 0-415-90386-6. 
  67. ^ Karkazis, K. (2008). Fixing Sex: Intersex, Medical Authority, and Lived Experience. Duke University Press. 
  68. ^ Butler, J. (1990). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. London: Routledge Classic. hlm. front/backmatter. ISBN 0415389550. 
  69. ^ "Gender Identity Disorder". Psychology Today. 24 Oktober 2005. Diakses tanggal 17 Desember 2010. 
  70. ^ a b Zucker, K. J.; Spitzer, R. L. (2005). "Was the gender identity disorder of childhood diagnosis introduced into DSM-III as a backdoor maneuver to replace homosexuality? A historical note". Journal of Sex and Marital Therapy. 31 (1): 31–42. doi:10.1080/00926230590475251. PMID 15841704. 
  71. ^ Parry, W. (4 Juni 2013). "DSM-5 Reflects Shift In Perspective On Gender Identity". The Huffington Post. Diakses tanggal 23 Oktober 2015. 
  72. ^ "Prinsip-Prinsip Yogyakarta (terjemahan bahasa Indonesia oleh Ardhanary Institute)" (PDF). Yogyakarta Principles in Action. 2007. Diakses tanggal 7 Februari 2017. 
  73. ^ "Jurisprudential Annotations to the Yogyakarta Principles" (PDF). hlm. 43. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 22 November 2010. 
  74. ^ "Activist's Guide to the Yogyakarta Principles" (PDF). Yogyakarta Principles in Action. hlm. 100. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-05-13. Diakses tanggal 2017-02-07. 
  75. ^ slip op. Obergefell v. Hodges Diarsipkan 2015-06-26 di Wayback Machine., No. 14-556 (AS 26 Juni 2015)
  76. ^ Sua'ali'i, T. (2001). "Samoans and Gender: Some Reflections on Male, Female and Fa'afafine Gender Identities". Dalam Macpherson, C.; Anae, M.; Spoonley, P. Tangata O Te Moana Nui: The Evolving Identities of Pacific Peoples in Aotearoa/New Zealand. Palmerston North: Dunmore Press. ISBN 0-86469-369-9. 
  77. ^ Vasey, P. L.; Bartlett, N. H. (2007). "What Can the Samoan "Fa'afafine" Teach Us About the Western Concept of Gender Identity Disorder in Childhood?". Biology and Medicine. 50 (4): 481–490. 
  78. ^ Schmidt, J. (2003). "Paradise Lost? Social Change and Fa'afafine in Samoa". Current Sociology. 51 (3): 417–432. doi:10.1177/0011392103051003014. 
  79. ^ Field, M. (5 Juli 2011). "Transsexuals hailed by Samoan PM". Stuff.co.nz. Diakses tanggal 1 Oktober 2011. 
  80. ^ a b Lorber, J. (1994). Paradoxes of Gender. Yale: Yale University Press. hlm. 92–93. 
  81. ^ Hunt, S. (2016). "An Introduction to the Health of Two-Spirit People: Historical, contemporary and emergent issues" (PDF). Prince George: National Collaborative Centre Aboriginal Health. 

Sumber tersitasi

sunting
  • Boles, J.; Tatro, C. (2013). "Androgyny". Dalam Solomon, K. Men in Transition: Theory and Therapy. Springer Science & Business Media. 

Pranala luar

sunting