Burhanuddin Ibrahim bin Hasan bin Syihabuddin al-Kurani al-Madani (1023-1101 H, atau 1615-1690 M), adalah seorang ulama tasawuf yang lahir di kota Syahrani, wilayah Syahrizor, yang dahulu termasuk Kurdistan.[1][2] Ia dinisbahkan juga dengan nama al-Kurdi, al-Syahrazuri dan al-Syahrani.[1][2] Ia adalah seorang ulama yang mendalami dan menjadi anggota dari beberapa tarekat, terutama di antaranya ialah Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Syattariyah.[1] Di Madinah, ia menjadi murid terkemuka dan berpengaruh dari Ahmad al-Qusyasyi, serta menggantikannya sebagai pemimpin tarekat setelah gurunya wafat.[1] Ia menulis mengenai beragam ilmu-ilmu keislaman, terutama tentang fikih, tauhid, dan tasawuf.[2]

Pendidikan sunting

Pada awalnya Al-Kurani belajar agama di Turki, kemudian kepada para ulama di Persia, Irak, Suriah, dan Mesir, sebelum akhirnya ia menetap di Madinah hingga wafatnya.[1] Di Mesir, ia mengunjungi Al-Azhar dan mempelajari Taysir fi al-Qira’ah al-Sab’ah karya Abu Amru ad-Dani al-Qurthubi kepada Nuruddin Ali bin Ali al-Shabramallisi, serta Thayyibah al-Nasyr fi al-Qira’ah al-’Asyr karya Ibnu al-Jazari.[1][2] Selain itu, di Mesir ia juga belajar pada Azayim Sultan bin Ahmad al-Marakhi dan Muhammad bin Alauddin al-Babili, seorang ahli hadits ternama.[2] Di Damaskus ia belajar pada Muhammad bin Muhammad al-'Arami.[2] Di Madinah, ia belajar kepada Ahmad al-Qusyasyi, Ahmad bin Ali al-Syinnawi, Mullah Muhammad Syarif bin Yusuf al-Kurani, dan Abdul Karim bin Abi Bakr al-Husaini al-Kurani.[2]

Pengajaran sunting

Baik dalam pengajaran maupun dalam karya tulisnya, Al-Kurani menekankan keserasian antara tasawuf dan kalam dengan syariah.[1][2] Ia beranggapan bahwa berbagai cabang ilmu keislaman itu sebagai jalan-jalan menuju pemahaman yang sebenarnya mengenai tauhid (keesaan Tuhan).[2] Walaupun Al-Kurani tetap menyelami ajaran Ibnu 'Arabi dan Al-Jili, ia menekankan lebih pada persesuaian antara sudut-sudut pandang yang berbeda daripada memilih salah satunya.[2] Sikap Al-Kurani tersebut tercermin pula pada pilihannya untuk mengikuti lebih dari satu tarekat, sebagaimana yang dilakukan oleh gurunya Al-Qusyasyi.[2]

Pengaruh sunting

Al-Kurani adalah seorang ulama yang ternama pada zamannya, dan ia diperkenankan mengajar di Masjid Nabawi.[2] Al-Jabarti menyebutnya Syaikh al-Syuyukh, yang mana murid-muridnya berdatangan dari berbagai negara.[2] Ia dihormati oleh para pelajar di Hijaz, dan ia dikenal luas oleh para ulama dari India dan Jawi (nusantara).[1][2] Ia mempunyai hubungan yang akrab dengan Abdurrauf al-Singkili, dan tetap berhubungan setelah Al-Singkili kembali ke Aceh.[1][2] Al-Hamawi mencatat bahwa para pelajar nusantara lainnya juga menjalin hubungan dengan Al-Kurani.[1]

Karya sunting

Karya tulis Al-Kurani diperkirakan mencapai lebih dari seratus karya, namun sebagian besar belum diterbitkan.[1][2] Karyanya Ithaf al-Dhaki bi Syarh al-Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi membahas Al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi karya Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri, yang dibuat atas permintaan relasinya di nusantara.[1][2] Selain itu, karyanya Al-Lum‘ah al-Saniyah fi Tahqiq al-Ilqa’ fi al-Umniyah membahas tentang tauhid dan tasawuf, dan Al-Amam li-Iqaz al-Himam membahas biografi dan kredensial intelektualnya sebagai pengajar.[1][3]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m Hanif, N. (2002). Biographical Encyclopaedia of Sufis: Central Asia and Middle East. 2. Sarup & Sons. hlm. 250. ISBN 9788176252669. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Azra, Azyumardi (2006). Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Formation (dalam bahasa Inggris). Mizan Pustaka. ISBN 978-979-433-430-0. 
  3. ^ Fathurahman, Oman (2012-08-02). Ithaf Al-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud Bagi Muslim Nusantara. PT Mizan Publika. ISBN 978-979-433-728-8.