Kerajaan Iberia

(Dialihkan dari Iberia Kaukasus)

Iberia (bahasa Georgia — იბერია, bahasa Latin: Iberia dan bahasa Yunani kuno: Ἰβηρία), dikenal pula sebagai Iveria (bahasa Georgia: ივერია), adalah nama yang diberikan oleh orang Yunani dan Romawi kuno kepada Kerajaan Georgia Kartli[1] (abad ke-4 hingga abad ke-5 M), berkaitan dengan bagian timur dan barat dari Goergia modern.[2][3] istilah Iberia Kaukasus (atau Iberia Timur) digunakan untuk membedakannya dari Semenanjung Iberia, di mana terdapat negara Spanyol, Portugal, Gibraltar dan Andorra.

Kerajaan Iberia

ქართლის სამეფო
kartlis samepo
302 SM–580 M
Iberia Kaukasus dan Kolkhis
Iberia Kaukasus dan Kolkhis
StatusKerajaan
Ibu kotaArmazi
Mtskheta
Tbilisi
Bahasa yang umum digunakanBahasa Georgia
Agama
Paganisma
Helenisme
Kristen
PemerintahanMonarki
Era SejarahAntikuitas
• Pharnavaz I's reign
302 SM
• Adopsi Kristen sebagai agama negara
337 M
• Dibubarkan
580 M
Luas
290 SM40.000 km2 (15.000 sq mi)
Digantikan oleh
Principatus Iberia
Sekarang bagian dari Georgia
 Turkey
 Russia
 Armenia
 Azerbaijan
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Orang Iberia Kaukasus menjadi basis untuk kenegaraan Georgia pada masa selanjutnya dan, bersama dengan Kolkhis (negara Georgia barat awal) menjadi inti dari bangsa Georgia (atau Kartvelia) modern.[4][5]

Sejarah

sunting

Sejarah awal

sunting

Area ini dihuni pada masa awal oleh beberapa suku yang saling berkerabat dalam kebudayaan Kura-Araxes, yang secara kolektif disebut bangsa Iberia (bangsa Iberia Timur) oleh para sejarawan kuno. Penduduk lokal menyebut negara mereka Kartli berdasarakan nama seorang pemimpin mitos, Kartlos. Suku Moschi, yang disebutkan oleh beragam sejarawan klasik, dan kemungkinan keturunan mereka, yaitu suku Sasper (yang disebutkan oleh Herodotos), kemungkinan memainkan peranan penting dalam konsolidasi suku-suku yang menghuni daerah tersebut. Suku Moschi bergerak pelan ke timur laut dan mendirikan pemukiman di sepanjang perjalanan mereka. Pemukiman utamanya adalah Mtskheta, yang kelak menjadi ibu kota kerajaan Georgia. Suku Mtskheta di kemudian hari dipimpin oleh pemimpin yang oleh penduduk lokal dikenal sebagai mamasakhlisi (“bapak rumah tangga” dalam bahasa Georgia).

Sumber Georgia dari Abad Pertengahan, Moktsevai Kartlisai (“Konversi Kartli”) juga menceritakan tentang Azo dan rakyatnya, yang datang dari Arian-Kartli – tempat awal dari bangsa proto-Iberia, yang dikuasai oleh Kekaisaran Akhemenia (Persia) hingga kekaisaran tersebut runtuh – untuk menetap di situs di mana Mtskheta akan didirikan. Risalah Georgai lainnya Kartlis Tskhovreba (“Sejarah Kartli”) mengklaim bahwa Azo adalah perwira dalam pasukan Aleksander Agung, yang membantai sebuah keluarga penguasa lokal dan menaklukan wilayah tersebut, hingga akhirnya dikalahkan pada akhir abad ke-4 SM oleh Pangeran Pharnavaz, yang ketika itu merupakan kepala suku lokal.

Kisah mengenai invasi Aleksander ke Kartli, meskipun seluruhnya fiktif, mencerminkan berdirinya monarki Georgia pada periode Helenistik dan keinginan para penulis Georgia pada masa selanjutnya untuk menghubungkan peristiwa tersebut dengan Aleksander, yang merupakan seorang penguasa yang terkenal.[6]

Diansti Pharnavazid

sunting

Pharnavaz, yang berhasil memenangkan persaingan kekuasaan, menjadi Raja Iberia pertama (sek. 302 - sek. 237 SM). Menghalau sebuah invasi, ia berhasil menduduki wilayah di sekitarnya, termasuk bagian yang besar dari negara Georgia barat Kolkhis (secara lokal dikenal sebagai Egrisi), dan tampaknya mampu membuat negaranya yang baru berdiri untuk diakui oleh Kekaisaran Seleukia di Suriah. Pharnavaz kemudian berfokus pada proyek-proyek sosial, termasuk membangun citadel di ibu kota, yaitu Armaztsikhe, dan patung dewa Armazi. Ia juga mereformasi bahasa tulis Georgia, dan menciptakan sistem adminsitrasi baru, membagi negara menjadi beberapa county yang disebut saeristavo. Para penerusnya berhasil menguasai celah pegunungan di Kaukasus dengan Daryal (dikenal pula sebagai Gerbang Iberia) menjadi celah yang paling penting.

Setelah mengalami masa kemakmuran, Iberia menderita peperangan yang tak kunjung henti ketika mereka dipaksa bertahan menghadapi banyaknya serbuan ke wilayahnya. Sebagian wilayah Iberia, yang direbut dari Kerajaan Armenia, pada abad ke-2 SM direbut kembali oleh Armenia, sedangkan daerah Kolkhis memisahkan diri untuk kemudian mendirikan kepangeranan terpisah (sceptuchoi). Pada akhir abad ke-2 SM, Raja Dinasti Pharnavazid, Farnadjom digulingkan oleh rakyatnya sendiri dan tahta kerajaan diserahkan kepada pangeran Armenia Arshak yang naik tahta sebagai penguasa Iberia pada 93 SM, dan mendirikan dinasti Arshakid.

Periode Romawi

sunting

Karena memiliki kedekatan dengan Armenia dan Pontos, Iberia pun diserbu pada tahun 65 SM oleh jenderal Romawi, Pompeius, yang ketika itu sedang berperang dengan Mithradates VI dari Pontos, dan Armenia. Akan tetapi Romawi tidak menaklukan Iberia secara permanen. Sembilan belas tahun kemudian, Romawi lagi-lagi bergerak menuju Iberia (36 SM) dan memaksa Raja Pharnavaz II untuk bergabung dakam kampanye Romawi melawan Albania. Sementara kerajaan Georgia lainnya di Kolkhis dijadikan provinsi Romawi, Iberia menerima perlindungan imperial Romawi. Sebuah prasasti batu ditemukan di Mtskheta dan menggambarkan penguasa abad ke-1, Mihdrat I (58-106 M) sebagai "sahabat para Kaisar" dan raja dari "rakyat Iberia yang menyayangi Romawi." Kaisar Vespasianus membentengi situs kuno Arzami Mtskheta untuk para raja Iberia pada tahun 75 M.

Selama dua abad berikutnya, terjadi keberlanjutan pengaruh Romawi di daerah tersebut, namun pada masa pemerintahan Raja Pharsman II (116 – 132 M) Iberia memperoleh sebagian kekuasannya. Hubungan antara Kaisar Romawi, Hadrianus dengan Pharsman II menjadi tengang, meskipun Hadrianus dikatakan ingin menenangkan Pharsman. Akan tetapi, baru pada masa penerus Hadrianus, yaitu Antoninus Pius, bahwa hubungan ini membaik, bahkan hingga Pharsman dikatakan mengunjungi Roma, di mana Dio Cassius melaporkan bahwa sebuah patung dibuat untuk menghormatinya dan bahwa diberikan hak untuk berkurban. Periode ini membawa perubahan besar bagi status politik Iberia karena Romawi mengakui Iberia sebagai sekutu, alih-alih status lama mereka sebagai negara bawahan, sebuah situasi politik yang tetap sama, bahkan semasa pertikaian antara Kekaisaran Romawi dengan Parthia.

Antara Romawi dan Persia

sunting

Peristiwa yang menentukan bagi sejarah Iberia adalah berdirinya Kekaisaran Sassania pada tahun 224 SM. Dengan bergantinya kekuasaan Parthia yang lemah dengan sebuah negara yang terpusat dan kuat, orientasi politik Iberia pun berpindah dari Kekaisaran Romawi. Iberia menjadi negara upeti bagi Sassania selama masa pemerintahan Syapur I (241-272 M). Hubungan antara dua negara ini tampaknya ramah pada awalnya, karena Iberia ikut membantu Sassania dalam kampanyenya melawan Romawi, dan raja Iberia Amazasp III (260-265 M) dinyatakan sebagai petinggi negara Sassania, bukan seorang bawahan yang ditaklukan melalui kekerasan. Namun kecenderungan agresfi Sassania terjadi ketika mereka menyebarkan Zoroastrianisme di Iberia antara tahun 260-an dan 290-an M.

Akan tetapi dalam Perdamaian Nisibis (298 M) ketika Kekaisaran Romawi menguasai Iberia Kaukasus lagi sebagai negara bawahan dan mengakui pemerintahan di seluruh area Kaukasus, Romawi mengakui Mirian III, raja pertama dari dinasti Khosroid, sebagai Raja Iberia.

Referensi

sunting
  1. ^ Course of Ancient Geography, Henry Immanuel Smith, hlm. 279.
  2. ^ The Roman Eastern Frontier and the Persian Wars, Geoffrey Greatrex, Samuel N. C. Lieu, p. 82
  3. ^ The Emperor Domitian, Brian W. Jones, hlm. 156.
  4. ^ Ronald Grigor Suny. The Making of the Georgian Nation. Indiana University Press, hlm. 13 ISBN 0-253-20915-3.
  5. ^ William Coffman McDermott, Wallace Everett Caldwell. Readings in the History of the Ancient World. hlm. 404.
  6. ^ Rapp, Stephen H. (2003), Studies In Medieval Georgian Historiography: Early Texts And Eurasian Contexts, hlm. 141-142. Peeters Publishers, ISBN 90-429-1318-5.