Kapal tempur Jepang Yamato

Salah Satu Kelas Kapal Perang Milik Angkatan Laut Kekaisaran Jepang
(Dialihkan dari IJNS Yamato)

Yamato (大和) adalah kapal tempur Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dalam Perang Dunia II, sekaligus kapal utama dalam Armada Gabungan. Nama kapal ini diambil dari nama Provinsi Yamato. Sebagai kapal pertama dalam kelasnya, Yamato bersama kapal sekelasnya, Musashi merupakan kapal tempur terbesar dan terberat yang pernah dibangun. Berat kapal dengan muatan penuh 72.800 ton, dan dipersenjatai dengan sembilan meriam utama kaliber 46 cm (18,1 inci).

Yamato sedang diuji coba, pada 20 Oktober 1941 dekat Selat Bungo
Sejarah
Kekaisaran Jepang
Nama Yamato
Dipesan Maret 1937[1]
Pembangun Arsenal Angkatan Laut Kure
Pasang lunas 4 November 1937[2]
Diluncurkan 8 Agustus 1940[2]
Mulai berlayar 16 Desember 1941[2]
Dicoret 31 Agustus 1945
Nasib list error: <br /> list (help)
Tenggelam 7 April 1945 di utara Okinawa
(30°22′N 128°04′E / 30.367°N 128.067°E / 30.367; 128.067)[3]
Ciri-ciri umum (Saat jadi)
Kelas dan jenis Kapal tempur kelas Yamato
Berat benaman
  • 65.027 t (64.000 ton panjang)[4]
  • 71.659 t (70.527 ton panjang) (muat penuh)[4]
Panjang
  • 256 m (839 ft 11 in) (garis air)[4]
  • 263 m (862 ft 10 in) (keseluruhan)[4]
  • Lebar 38,9 m (127 ft 7 in)[4]
    Sarat air 11 m (36 ft 1 in)[4]
    Tenaga 150.000 shp (110.000 kW)
    Pendorong
    Kecepatan 27 knot (50 km/h; 31 mph)[4]
    Jangkauan 7.200 nmi (13.300 km; 8.300 mi) pada 16 knot (30 km/h; 18 mph)[4]
    Awak kapal 2.500–2.800 orang[4][5]
    Senjata

    1941:[4]

    1945:[6]

    Pelindung
  • Lambung Kapal: 410 mm (16 in)
  • Geladak: 200–226,5 mm (7,87–8,92 in)
  • Turet senjata: 650 mm (26 in) (depan)
  • Anjungan kapal:500 mm (20 in)
  • Pesawat yang
    diangkut
    7 Nakajima E8N atau Nakajima E4N[7]
    Fasilitas penerbangan 2 Katapel pesawat terbang

    Kapal ini dibangun dari 1939 hingga 1940 di Arsenal Angkatan Laut Kure, Prefektur Hiroshima, dan secara resmi mulai ditugaskan pada akhir 1941. Sepanjang tahun 1941, Yamato dijadikan kapal bendera yang dinaiki Laksamana Isoroku Yamamoto. Kapal ini pertama kali berlayar sebagai anggota Armada Gabungan selama Pertempuran Midway Juni 1942. Selama tahun 1943, Yamato secara terus menerus dipindah-pindahkan dari Truk ke Kure, dan lalu ke Brunei untuk menghindari serangan udara Amerika Serikat terhadap pangkalan militer Jepang. Yamato hanya pernah sekali menembakkan meriam utama ke sasaran musuh. Kesempatan itu diberikan kepadanya pada bulan Oktober 1944, namun Yamato segera diperintahkan pulang setelah serangan dari kapal perusak dan pesawat-pesawat tempur dari gugus tugas kapal induk pengawal "Taffy" berhasil menenggelamkan tiga kapal penjelajah berat dalam Pertempuran Lepas Pantai Samar. Yamato karam bulan April 1945 dalam Operasi Ten-Go.

    Desain dan konstruksi

    sunting
     
    Yamato sedang dibangun.

    Yamato adalah kapal utama dalam "kapal tempur kelas berat" Yamato[8] yang dirancang Angkatan Laut Kekaisaran Jepang pada tahun 1937.[1] Kapal tempur kelas ini dirancang untuk dapat meladeni sasaran musuh yang beragam, dan dimaksudkan sebagai cara Jepang untuk bersaing dengan Angkatan Laut Amerika Serikat yang lebih maju.[9][10] Dengan dibuatnya kapal-kapal kelas Yamato yang masing-masing berkapasitas 70.000 ton, Jepang berharap kemampuan kapal-kapal tempurnya dapat menyaingi Amerika Serikat.[4]

    Pembangunan lunas Yamato dimulai 4 November 1937 di Arsenal Angkatan Laut Kure dengan memakai galangan kapal yang didesain secara khusus. Pembangunan kapal ini dirahasiakan. Kain berukuran besar menghalangi pemandangan sewaktu kapal ini dibangun di galangan kapal Kure.[6] Kapal ini sangat besar, sehingga perlu dirancang dan dibuat kran gantri (alat angkat) yang masing-masing dapat mengangkat muatan 150 ton dan 350 ton.[6] Yamato diluncurkan 8 Agustus 1940 di bawah pimpinan Kapten (kemudian naik pangkat sebagai Laksamana Madya) Miyazato Shutoku.[1]

    Persenjataan

    sunting

    Meriam utama Yamato terdiri dari sembilan meriam laut 46 cm/45 Tipe 94 kaliber 18,1 inci yang merupakan artileri angkatan laut berkaliber terbesar yang pernah dipasang di atas kapal perang.[11] Panjang masing-masing meriam 21,13 m dan beratnya 147,3 metrik ton. Meriam ini mampu menembakkan peluru penembus perisai berdaya ledak tinggi hingga sejauh 42,0 km.[12] Meriam sekunder terdiri dari dua belas meriam kaliber 6,1 inci (15 cm) yang dipasang di empat menara meriam (satu di depan, satu di belakang, dua di tengah kapal),[11] dan dua belas senjata kaliber 5 inci (13 cm) yang dipasang di enam menara meriam ganda (tiga di masing-masing sisi bagian tengah kapal).[11] Selain itu, Yamato membawa 24 senapan antipesawat yang sebagian besar di pasang di bagian tengah kapal.[11] Ketika dilengkapi kembali pada tahun 1944, meriam sekunder diganti menjadi enam meriam kaliber 6,1 inci (15 cm),[13] dua puluh empat meriam kaliber 5 inci (13 cm),[13] dan seratus enam puluh dua senjata antipesawat kaliber 1 inci (2,5 cm) sebagai persiapan pertempuran laut di Pasifik Selatan.[5]

    Dinas tempur

    sunting

    Uji coba dan operasi pertama: 1942

    sunting

    Pada 16 Desember 1941, Yamato secara resmi ditugaskan di Kure di bawah pimpinan Kapten (naik pangkat sebagai Laksamana Madya) Gihachi Takayanagi sebagai komandan kapal. Pada hari yang sama, Yamato bergabung dengan Divisi Kapal Tempur I bersama-sama dengan kapal tempur Nagato dan Mutsu.[1] Pada 12 Februari 1942, Yamato dijadikan kapal bendera Armada Gabungan di bawah komando Laksamana Isoroku Yamamoto.[1] Setelah serangkaian uji coba di laut dan permainan perang, Yamato dinyatakan siap beroperasi secara penuh dan mulai bertugas sejak 27 Mei 1942. Yamato juga ditugaskan sebagai kapal tempur utama Isoroku Yamamoto sebagai persiapan menghadapi Pertempuran Midway.[14] Dalam Pertempuran Midway, Laksamana Yamamoto memimpin kekuatan laut Jepang dari atas anjungan Yamato.[14] Setelah kapal induk Jepang menderita kekalahan (empat kapal induk dan 332 pesawat yang diangkutnya hancur), Yamato dan kapal-kapal tempur utama ditarik mundur ke Hashirajima.[1]

    Pada 17 Agustus 1942, Yamato berangkat dari Kure menuju Truk. Sebelas hari kemudian, kapal selam Amerika Serikat Flying Fish memergoki Yamato, dan menembakkan empat torpedo ke arah Yamato. Keempat-empatnya luput, dan Yamato selamat tiba di Truk pada hari yang sama.[1] Semasa Kampanye Militer Guadalkanal, Yamato tetap berada di Truk mengingat tingkat konsumsi bahan bakar yang boros hingga tidak mungkin dipakai dalam Pertempuran di Kepulauan Solomon.[5] Pada Desember 1942, Kapten (nantinya Laksamana Madya) Chiaki Matsuda ditugaskan sebagai komandan Yamato.[1]

    Berpindah-pindah pangkalan: 1943

    sunting
     
    Yamato diberangkatkan dari Yokosuka ke Kure

    Pada 11 Februari 1943, Musashi menggantikan peran Yamato sebagai kapal pimpinan Armada Gabungan. Yamato tidak pernah dipakai bertempur hingga para awak kapal penjelajah dan kapal perusak Jepang di Pasifik Selatan menjulukinya "Hotel Yamato". Yamato hanya disandarkan di Truk hingga Mei 1943 saat diberangkatkan ke Yokosuka dan dikembalikan ke Kure.[1] Selama 9 hari, Yamato masuk dok kering untuk inspeksi dan perbaikan umum. Pada bulan Juli 1943, Yamato kembali masuk dok kering untuk pemasangan sistem senjata antipesawat, perisai menara meriam sekunder, dan sistem kendali kapal yang diperbarui dan dipasang kembali. Pada bulan Agustus, Yamato diberangkatkan ke Truk untuk bergabung dengan Gugus Tugas berukuran besar yang dibentuk untuk mengatasi serangan udara Amerika di atol Tarawa dan Makin. Pada November 1943, Yamato bergabung dengan gugus tugas yang lebih besar, terdiri dari enam kapal tempur, tiga kapal induk, dan sebelas kapal penjelajah sebagai reaksi atas serangan udara Amerika Serikat di Kepulauan Wake. Dalam dua kali aksinya, Yamato tidak pernah bertemu dengan kekuatan laut maupun udara Amerika Serikat, dan armada dipulangkan ke Truk.[1]

    Pada November 1943, Yamato dan Musashi diputuskan untuk diubah sebagai kapal angkut mengingat kapasitas penyimpanan kedua kapal ini yang besar dan dilindungi perisai baja.[15] Pada 23 Desember 1943, ketika sedang mengangkut pasukan dan peralatan ke Kepulauan Admiraty, Yamato dan gugus tugasnya diadang oleh kapal selam USS Skate yang menembakkan empat buah torpedo ke arah Yamato. Dua di antaranya menghantam lambung kanan dekat menara meriam nomor 3.[16] Kerusakan berat pada perisai kapal membuat magasen atas di menara meriam bagian belakang kebanjiran air. Yamato terpaksa dipulangkan ke Truk untuk perbaikan darurat.[16]

    Ikut bertempur: 1944

    sunting
     
    Gambar Yamato dalam konfigurasi akhir tahun 1945.

    Pada 16 Januari 1944, Yamato kembali tiba di Kure untuk perbaikan, dan masuk dok kering hingga 3 Februari 1944. Ketika masuk dok kering, Kapten Nobuei Morishita (mantan kapten kapal tempur Haruna mengambil alih komando Yamato.[1] Pada 25 Februari, Yamato dan Musashi dipindahkan dari Divisi Kapal Tempur I ke Armada Kedua. Yamato kembali masuk dok kering untuk peningkatan kemampuan radar dan sistem antipesawat sepanjang bulan Maret 1944.[1] Senjata antipesawat yang dipasang terdiri dari 162 senapan mesin kaliber 1 inci (25 mm) dan 24 senjata kaliber sedang 5 inci (13 cm).[13] Sistem radar juga ditingkatkan dengan sistem identifikasi inframerah, pencari lokasi pesawat terbang, dan sistem radar pengendali senjata.[1] Setelah selesai dengan misi singkat sebagai kapal pengangkut ke Pasifik Selatan pada bulan April 1944, Yamato berangkat menuju Lingga, Malaysia ditemani Armada Mobil pimpinan Jisaburo Ozawa.[1] Pada awal Juni 1944, Yamato dan Musashi mengangkut pasukan ke Biak dengan misi tambahan memperkuat pertahanan angkatan laut dan garnisun di Pulau Biak.[15] Ketika markas besar Ozawa mendengar serangan kapal induk Amerika Serikat ke Kepulauan Mariana, misi dibatalkan.[15]

    Dari 19 Juni hingga 23 June 1944, Yamato mengawal Armada Mobil Ozawa selama Pertempuran Laut Filipina yang dijuluki pilot-pilot Amerika Serikat sebagai "Pesta Menembak Ayam Kalkun Mariana Raya".[17] Kerugian pihak Jepang melebihi 400 pesawat tempur, tiga kapal induk tenggelam akibat serangan kapal selam dan serangan udara.[18] Salah menembak ke pesawat Jepang yang sedang pulang merupakan satu-satunya aksi Yamato dalam pertempuran itu.[1] Setelah pertempuran selesai, Yamato dan Armada Mobil ditarik mundur ke Brunei untuk pengisian bahan bakar dan dipersenjatai kembali.[1]

     
    Yamato dihantam sebuah bom pada 24 Oktober 1944 dalam Pertempuran Laut Sibuyan, namun hanya menimbulkan kerusakan kecil.

    Dari 22 Oktober hingga 25 Oktober 1944, Yamato bergabung dengan armada Kekuatan Tengah di bawah komando Takeo Kurita dalam Pertempuran Teluk Leyte yang merupakan pertempuran laut terbesar dalam sejarah.[19] Ketika sedang berlayar, armada Kurita diserang kapal selam USS Darter dan USS Dace di Selat Palawan. Atago yang dijadikan kapal bendera oleh Kurita dan Maya ditenggelamkan dengan tembakan torpedo, sementara Takao rusak.[1] Keadaan ini memaksa Kurita untuk memakai Yamato sebagai kapal bendera. Sepanjang Pertempuran Laut Sibuyan, Yamato dijatuhi tiga bom penembus perisai dari pesawat pengebom yang berpangkalan di atas kapal induk USS Essex, sementara Musashi tenggelam setelah dihantam 17 torpedo dan 19 bom.[1] Pada malam 24 Oktober, Kekuatan Tengah Kurita melayari Selat San Bernardino, dan menyerang sekelompok kecil kapal induk pengawal dan kapal-kapal penjelajah segera setelah pagi tiba.[20] Pada tahap-tahap awal Pertempuran Lepas Pantai Samar, Yamato untuk pertama kali sekaligus terakhir kalinya menghadapi kapal-kapal perang musuh. Tembakan Yamato berhasil mengenai sebuah kapal induk pengawal, sebuah kapal perusak, dan sebuah kapal perusak pengawal.[20][21] Setelah memastikan tembakan meriam utama tepat mengenai sasarannya di USS Gambier Bay, sekelompok torpedo Amerika Serikat dideteksi sedang menuju ke arah Yamato hingga terpaksa mundur dari pertempuran, dan tidak lagi dapat ikut serta bertempur. [1] Gugus tugas Kurita dibubarkan kemudian setelah tiga kapal penjelajah berat tenggelam, sementara pihak Jepang hanya berhasil menenggelamkan satu kapal induk pengawal dan tiga kapal perusak.[21]

    Setelah pertempuran di lepas pantai Samar, Yamato dan sisa-sisa Angkatan A kembali ke Brunei.[22] Pada 15 November 1944, Divisi Kapal Tempur I dibubarkan, dan Yamato dijadikan kapal bendera Armada Kedua.[1] Pada 21 November, ketika sedang melewati Laut Cina Timur dalam perjalanan menuju Pangkalan Angkatan Laut Kure,[23] Yamato dan kapal-kapal dalam gugus tempurnya diserang kapal selam USS Sealion. Kapal tempur Kongo dan sejumlah kapal perusak tenggelam.[24] Setibanya di Kure, Yamato segera masuk dok kering untuk perbaikan dan peningkatan kemampuan sistem senjata antipesawat. Senjata anti pesawat yang lama diganti sistem baru. Pada 25 November 1944, Kapten Aruga Kosaku ditunjuk sebagai komandan Yamato yang baru.[1]

     
    Yamato sedang diserang di pangkalannya di Kure, 19 Maret 1945.

    Operasi terakhir hingga karam: 1945

    sunting

    Pada 1 Januari 1945, Yamato, Haruna, dan Nagato dipindahkan ke Divisi Kapal Tempur I yang baru diaktifkan kembali. Dua hari berikutnya, Yamato keluar dari dok kering.[1] Ketika Divisi Kapal Tempur I dinonaktifkan kembali pada 10 Februari 1945, Yamato dipindahkan ke Divisi Angkut I. Pada 19 Maret 1945, Yamato diserang habis-habisan oleh pesawat terbang dari USS Enterprise, USS Yorktown, USS Intrepid yang menyerbu pangkalan angkatan laut utama Jepang di Kure ketika Yamato sedang didok.[25][26] Namun Yamato hanya menderita kerusakan ringan,[25] berkat pengawalan pilot instruktur pesawat tempur Jepang yang menerbangkan pesawat tempur Kawanishi N1K "Shinden" atau "George".[1][26] Skuadron ini dipimpin pilot Minoru Genda yang merencanakan Pengeboman Pearl Harbor. Kehadiran pesawat-pesawat tempur Kawanishi N1K yang setara kalau tidak lebih superior dibandingkan F6F Hellcat membuat pilot-pilot Amerika terkejut, dan beberapa pesawat Amerika Serikat ditembak jatuh.[26] Tembakan defensif antipesawat dan plat perisai dek atas yang tebal juga menjaga Yamato dari kerusakan yang serius. Pada 29 Maret 1945, Yamato berangkat dengan amunisi penuh, dan bersiap-siap melakukan pertempuran di Okinawa dalam Operasi Ten-Go.[1]

     
    Ruang amunisi Yamato meledak sebelum tenggelam.

    Operasi Ten-Go yang dimulai 6 April 1945 adalah misi bunuh diri di lepas pantai Okinawa yang dilakukan secara sengaja oleh Yamato dan sembilan kapal pengawalnya. Ketika berangkat dari Kure, Yamato direncanakan untuk dikandaskan di pantai Okinawa, dan bertugas sebagai stasiun tempur yang tidak tertenggelamkan. Meriam-meriam berat kaliber 18,1 inci menurut rencana akan dipakai untuk melakukan bombardemen ke pasukan Amerika Serikat yang berada di Okinawa. Yamato hanya membawa bahan bakar cukup untuk sampai ke Okinawa. Persediaan bahan bakar yang ada memang sudah tidak cukup untuk mengantarkan Yamato ke Okinawa dan pulang kembali ke Kure.[27] Ketika berlayar di Selat Bungo, Yamato dan kapal-kapal pengawalnya dipergoki oleh kapal selam Amerika Serikat USS Threadfin dan USS Hackleback. Keduanya melapor ke Gugus Tugas 58 tentang posisi Yamato.[1][5]

    Pada pukul 12.32 tanggal 7 April 1945, Yamato menyambut serangan gelombang pertama yang terdiri dari 280 pesawat dari Gugus Tugas 58, terkena tiga kali (dua bom, satu torpedo).[1] Pada pukul 14.00, dua kapal pengawal Yamato tenggelam.[5] Tidak lama kemudian, Yamato dan kapal-kapal pengawal yang tersisa menjadi sasaran serangan gelombang kedua yang terdiri dari 100 pesawat. Pada pukul 14.23, setelah dihantam 10 torpedo dan kejatuhan 7 bom, ruang amunisi Yamato meledak.[5] Asap ledakan membubung setinggi 6,4 km dan dapat dilihat dari Kyushu yang berjarak 160 km dari lokasi tenggelamnya Yamato.[28] Sejumlah 2.498 awak dari total 2.700 awak Yamato dinyatakan hilang, termasuk komandan armada Laksamana Madya Seiichi Itō.[1]

    Pencarian reruntuhan

    sunting

    Karena keadaan yang sering membingungkan dan informasi yang tidak lengkap mengenai tenggelamnya mereka, perlu waktu hingga 2019 untuk menemukan dan mengidentifikasi sebagian besar bangkai kapal selam Jepang yang hilang dalam Perang Dunia II.Berdasarkan catatan masa perang AS, ekspedisi ke Laut Cina Timur pada tahun 1982 menghasilkan beberapa hasil, tetapi reruntuhan yang ditemukan tidak dapat diidentifikasi dengan jelas. Pada 16 Juli 2015, sekelompok anggota parlemen Partai Demokrat Liberal memulai pertemuan untuk mempelajari kelayakan mengangkat kapal dari dasar laut dan memulihkan sisa-sisa awak yang terkubur di reruntuhan. Kelompok itu mengatakan pihaknya berencana untuk meminta dana pemerintah untuk meneliti kelayakan teknis pemulihan kapal. Pada Mei 2016, puing-puing disurvei menggunakan teknologi digital, memberikan tampilan yang lebih detail dan mengkonfirmasi identifikasi sebelumnya. Video yang dihasilkan mengungkapkan banyak detail seperti lambang serunai di haluan, baling-baling besar, dan menara meriam utama yang terpisah. Video sembilan menit dari survei ini ditampilkan di Museum Yamato di Kure.

    Signifikasi Budaya

    sunting

    Sejak konstruksi mereka, Yamato dan Musashi membawa pengaruh yang signifikan dalam budaya Jepang. Kapal perang mewakili lambang teknik angkatan laut Kekaisaran Jepang, dan karena ukuran, kecepatan, dan kekuatannya, secara nyata mewujudkan tekad dan kesiapan Jepang untuk mempertahankan kepentingannya melawan Kekuatan Barat dan Amerika Serikat pada khususnya. Shigeru Fukudome, kepala Bagian Operasi Staf Umum Angkatan Laut Kekaisaran Jepang , menggambarkan kapal-kapal itu sebagai "simbol kekuatan angkatan laut yang memberikan rasa percaya diri yang mendalam kepada para perwira dan orang-orang pada angkatan laut mereka."[29]

    Lihat pula (Kultur pop)

    sunting

    Catatan kaki

    sunting
    1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa "Combined Fleet - tabular history of Yamato". Parshall, Jon; Bob Hackett, Sander Kingsepp, & Allyn Nevitt. Diakses tanggal 8 January 2009. 
    2. ^ a b c Jentshura, Jung and Mickel (1977), hal. 38.
    3. ^ Jentshura, Jung and Mickel (1977), hal. 39.
    4. ^ a b c d e f g h i j k l m n Jackson (2000), hal. 74; Jentshura, Jung and Mickel (1977), hal. 38.
    5. ^ a b c d e f Jackson (2000), hal. 128
    6. ^ a b c Johnston and McAuley (2000), hal. 123
    7. ^ Parshall, Jon. ""Combined Fleet" - Yamato Class Battleship". Diakses tanggal 2008-10-25. 
    8. ^ Schom (2004), hal. 43
    9. ^ Johnston and McAuley (2000), hal. 122
    10. ^ Willmott (2000), hal. 35; Kekaisaran Jepang hanya menghasilkan 3,5% dari total industri dunia, sementara Amerika Serikat menghasilkan 35%
    11. ^ a b c d Jackson (2000), hal. 75
    12. ^ Johnston and McAuley (2000), hal. 123 - Berat total dari ketiga menara meriam melebihi berat kapal perusak ukuran sedang.
    13. ^ a b c Johnston and McAuley (2000), hal. 180
    14. ^ a b Ballard (1999), hal. 36
    15. ^ a b c Steinberg (1978), hal. 147
    16. ^ a b Wheeler, hal. 81
    17. ^ Reynolds (1982), hal. 139
    18. ^ Reynolds (1982), hal. 142
    19. ^ Reynolds (1982), hal. 152
    20. ^ a b Reynolds (1982), hal. 156
    21. ^ a b "Yamato (Battleship, 1941-1945) — in the Battle of Leyte Gulf, 22-26 October 1944". Japanese Navy Ships. Naval Historical Center, Department of the Navy. 13 May 2000. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-10-13. Diakses tanggal 2009-03-07. 
    22. ^ Steinberg (1980), hal. 63
    23. ^ Wheeler, hal. 183
    24. ^ Jackson (2000), hal. 129
    25. ^ a b Reynolds (1982), hal. 160
    26. ^ a b c Reynolds (1968), hal. 338
    27. ^ Reynolds (1982), hal. 166
    28. ^ Reynolds (1982), hal. 169
    29. ^ Evans dan Peattie, hal 268, 367

    Referensi

    sunting
    • Ballard, Robert (1999). Return to Midway. London. Wellington House. ISBN 0-304-35252-7
    • Chant, Christopher (2001). History of the World's Warships. Regency House Ltd. ISBN 1-55267-158-5
    • Jackson, Robert (2000). The World's Great Battleships. Brown Books. ISBN 1-897884-60-5
    • Jentschura, Hansgeorg (1977). Warships of the Imperial Japanese Navy, 1869-1945. Annapolis: United States Naval Institute. ISBN 0-87021-893-X. 
    • Johnston, Ian & McAuley, Rob (2000). The Battleships. MBI Publishing Company. ISBN 0-7603-1018-1
    • Preston, Antony (2002). The World’s Worst Warships. London: Conway Maritime Press. ISBN 0-85177-754-6. 
    • Reynolds, Clark G. (1968). The Fast Carriers; The Forging of an Air Navy. New York, Toronto, London, Sydney: McGraw-Hill Book Company. 
    • Reynolds, Clark G (1982). The Carrier War. Time-Life Books. ISBN 0-8094-3304-4
    • Schom, Alan (2004). The Eagle and the Rising Sun; The Japanese-American War, 1941-1943. Norton & Company. ISBN 2-00201-594-1
    • Steinberg, Rafael (1978). Island Fighting. Time-Life Books Inc. ISBN 0-8094-2488-6
    • Steinberg, Rafael (1980) Return to the Philippines. Time-Life Books Inc. ISBN 0-8094-2516-5
    • Thompson, Robert S. (2001). Empires on the Pacific: World War II and the struggle for mastery of Asia. New York. Basic Books. ISBN 2001036561
    • Watts, Anthony J. (1971). The Imperial Japanese Navy. Doubleday. ISBN 0385012683. 
    • Wheeler, Keith (1980). War Under the Pacific. Time-Life Books. ISBN 0-8094-3376-1
    • Willmott, H.P. (2000). The Second World War in the Far East. Wellington House. ISBN 2004049199.
    • Wiper, Steve (2004). Warship Pictorial 25 - IJN Yamato Class Battleships Classic Warships Publishing. ISBN 0-9745687-4-0

    Pranala luar

    sunting

    30°22′N 128°04′E / 30.367°N 128.067°E / 30.367; 128.067