Hukum pembuktian Indonesia

aturan hukum mengenai bukti dan penggunaannya pada persidangan di Indonesia

Hukum pembuktian di Indonesia adalah serangkaian kaidah, aturan, dan tata cara pelaksanaan pembuktian pada persidangan pidana, perdata, maupun tata usaha negara pada pengadilan-pengadilan yang berwenang di Indonesia.

Asas dan pengertian

sunting

Pembuktian mengandung beberapa macam pengertian dari beberapa pakar, antara lain:

Penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.

— Riduan Syahrani.[1]

[Kegiatan] meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan yang hanya diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan.

— R. Subekti.[2]

Penggunaan pada sidang perdata

sunting

Hukum acara perdata Indonesia mengatur lima macam bukti yang dapat digunakan pada proses persidangan perdata. Secara kolektif, aturan penggunaan dan cara mempertahankan alat-alat bukti ini terkandung pada pasal 284 Reglement voor de Buitengewesten (RBg); pasal 164 Herziene Indonesich Reglement (HIR); dan pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kelima alat bukti ini adalah surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.

Surat adalah alat bukti yang tertulis. Penggunaannya diatur oleh pasal 165-167 HIR; pasal 282-305 RBg; dan pasal 1867-1894 KUH Perdata. Surat terbagi atas dua macam, yaitu akta dan surat-surat lain.

Akta adalah surat/tulisan yang secara sengaja dibuat sebagai bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani oleh para pembuatnya.[3] Akta terbagi dua, yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan.

  • Akta otentik adalah akta yang dibuat menurut ketentuan undang-undang di hadapan seorang pejabat yang berwenang. Yang disebut pejabat yang berwenang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan adalah notaris, panitera pengadilan, pegawai pencatatan perkawinan pada Kantor Urusan Agama, camat, bupati atau wali kota, menteri, hingga Presiden Republik Indonesia.[3] Pada perkembangannya, akta otentik dibagi lagi menjadi acte ambelijk seperti berita acara pengadilan dan berita acara penyitaan dan acte partij seperti akta jual beli tanah yang dibuat di hadapan camat maupun Pejabat Pembuat Akta Tanah.[3] Sebagai alat bukti, akta otentik dianggap sebagai bukti yang cukup kuat dan sempurna, dalam artian bahwa hakim yang memeriksa perkara tersebut harus memercayai akta otentik tersebut dan kandungannya kecuali bila telah dapat dibuktikan sebaliknya, dan bahwa akta otentik tersebut sudah cukup membuktikan terjadinya sebuah peristiwa yang menjadi fakta hukum tanpa perlu diperkuat oleh bukti lainnya.[3]
  • Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak terkait tanpa bantuan dari pejabat umum.[4] Akta di bawah tangan dapat dianggap berlaku sempurna seperti sebuah akta otentik jika tanda tangan pada aktanya diakui atau dianggap diakui oleh undang-undang.[5]

Referensi

sunting
  1. ^ Syahrani, hlm. 55.
  2. ^ Subekti, hlm. 78.
  3. ^ a b c d Makarao, hlm. 100.
  4. ^ HIR tidak mengatur tentang akta ini; aturan penggunaannya untuk Jawa dan Madura dijumpai pada Staatsblad No. 29 Tahun 1867, dan untuk luar Jawa dan Madura diatur pada pasal 286-305 RBg.
  5. ^ Pasal 288 RBg dan 1875 KUH Perdata

Daftar pustaka

sunting
  • Makarao, Mohammad Taufik (2009). Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: Rineka Cipta. ISBN 978-979-518-890-2. 
  • Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Disertai Penjelasannya. Sinarsindo Utama. 2014. ISBN 978-602-14382-0-6. 
  • Soeroso, R. (2016). Hukum Acara Perdata Lengkap dan Praktis: HIR, RBg, dan Yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika. ISBN 978-979-007-347-0. 
  • Soebekti, R. (1982). Hukum Acara Perdata. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. 
  • Syahrani, Riduan (1988). Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum. Jakarta: Pustaka Kartini.