Hukum acara pidana Indonesia

Hukum acara pidana Indonesia adalah serangkaian kaidah, prosedur, dan peraturan hukum yang mengatur pelaksanaan hukum pidana pada tata hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Terminologi

sunting

Istilah "hukum acara pidana" merupakan terjemahan bebas dari istilah strafvordering ("hukum tuntutan pidana") di dalam bahasa Belanda. Andi Hamzah mencatat bahwa terdapat padanan Belanda yang sebenarnya lebih sesuai, yaitu stafprocesrecht. Dalam kaitannya dengan hukum pidana, hukum acara pidana adalah hukum pidana formal yang berfungsi menjalankan hukum pidana substansif.[1]

Hukum acara pidana formal (hukum acara pidana) mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.[2]

— Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (1993), hlm. 4

Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.[3]

— Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia (1967), hlm. 13

Sejarah

sunting

Masa Hindia Belanda

sunting

Pelaksanaan pidana di Indonesia sebelum masa penjajahan bangsa Eropa sebagian besar dipengaruhi oleh hukum adat yang tidak tertulis dan tidak terkodifikasi.

Setelah datangnya bangsa Belanda, diperkenalkan asas konkordansi (concordantie-beginsel), yaitu pemberlakuan undang-undang Kerajaan Belanda terhadap bangsa Indonesia di Hindia Belanda, diatur oleh pasal 131 ayat (2) huruf a Indische Staatsregeling (IS). Pekerjaan memperkenalkan dan menerapkan peraturan perundang-undangan Belanda di Hindia Belanda dilakukan secara berangsur-angsur, dimulai dengan panitia yang dipimpin oleh Scholten van Oud-Haarlem (1837-1838), J.F.W. Van Nes (1839-1845), dan H.L. Wichers (1845-1846).[4].

Pada Staatsblad No. 23 Tahun 1847, diumumkan bahwa peraturan-peraturan perundang-undangan baru akan mulai berlaku di Hindia. Pada pasal 4, diumumkan bahwa akan berlaku sebuah reglement op de uitoefening van de politie, de burgerlijke recthspleging en de strafvordering onder de Inlanders en de Oosterlingen of Java en Madoera ("peraturan tata usaha kepolisian, beserta pengadilan sipil dan penuntutan tata usaha kepolisian, beserta pengadilan sipil dan penuntutan perkara pidana mengenai golongan Bumiputera dan orang-orang yang dipersamakan di Jawa dan Madura".)[5] Pasal ini menjadi cikal bakal dari hukum acara pidana yang tertulis pertama di Indonesia.

Pada tanggal 1 Mei 1838, sesuai dengan Staatsblad No. 57 Tahun 1847, Inlandsche Reglement dinyatakan mulai berlaku di Jawa dan Madura. IR merupakan penerapan dari pasal 4 Stbld 23/1947 dan mengatur tentang hukum acara perdata dan pidana. Panitia Wichers mengambil sebagian besar materi acra pidana dari peraturan yang berlaku pada saat itu di Mahkamah Agung Belanda.[6]

IR mengalami beberapa kali perubahan, namun yang paling signifikan adalah keluarnya Staatsblad No. 44 Tahun 1941 yang mengubahnya menjadi Herziene Inlandsche Reglement (HIR). Salah satu perbedaan utama IR dan HIR adalah munculnya lembaga penuntut umum openbaar ministerie yang independen dan tidak lagi berada di bawah birokrasi pemerintah. Upaya untuk menerapkan IR/HIR di luar Jawa dan Madura mengalami masalah karena acara pidana di wilayah tersebut sangat beragam, sehingga pemerintah pada akhirnya memutuskan untuk menerapkan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) melalui Staatsblad No. 227 Tahun 1927 mulai tanggal 1 Juli 1927.[6]

Selain itu, ada beberapa hukum acara lain yang mengatur lembaga-lembaga peradilan Hindia, seperti:

  1. Reglement op de Stafvordering untuk golongan Eropa dan yang dipersamakan dengannya;
  2. Landgerechtsreglement (Staatsblad No. 137 Tahun 1914) untuk pengadilan landgerecht bagi semua golongan untuk perkara-perkara kecil;
  3. Pasal 158 IS untuk Hoogerechtshof (Mahkamah Agung Hindia Belanda).

Masa Indonesia

sunting

Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945 menegaskan pemberlakuan HIR sebagai undang-undang acara pidana pada tata hukum Republik Indonesia yang merdeka. Perubahan baru dilakukan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1947 tentang Susunan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, yang menjelaskan kewenangan Jaksa Agung dalam melakukan pengawasan terhadap jaksa dan polisi serta mengusut tindak pidana.[7]

Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil mengadakan penyatuan tata hukum acara pidana dalam lingkungan peradilan umum yang baru.

Pada saat peraturan ini mulai berlaku, oleh segala Pengadilan Negeri, oleh segala Kejaksaan padanya dan oleh segala Pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia, "Reglemen Indonesia yang dibaharui" (Staatsblad 1941 No. 44) seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil, dengan perubahan dan tambahan yang berikut:

a. perkara-perkara pidana sipil yang diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, atau yang menurut ketentuan dalam pasal 5 ayat (3) bab b dianggap diancam dengan hukuman pengganti yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah\ begitu juga kejahatan "penghinaan ringan" yang dimaksudkan dalam pasal 315 "Kitab Undang-undang Hukum Pidana", diadili oleh Hakim Pengadilan Negeri dalam sidang dengan tidak dihadiri oleh Jaksa, kecuali bilamana Jaksa itu sebelumnya telah menyatakan keinginannya untuk menjalankan pekerjaannya pada sidang itu;

b. dalam hal memeriksa dam memutus perkara-perkara yang dimaksudkan dalam bab a tadi, berlaku ketentuan dalam pasal-pasal 46 sampai terhitung 52 dari "Reglemen untuk Landgerecht" (Staatsblad 1914 No. 317), sedang perkara-perkara itu dapat diperiksa dan diadili walaupun terdakwanya tidak hadir asal saja terdakwa itu telah dipanggil untuk menghadap dengan sah;

c. terhadap putusan yang dijatuhkan dengan tak berhadirnya terhukum itu si terhukum dapat memajukan perlawanan;

d. sebagai acara memeriksa dan memutus dengan tak berhadirnya terhukum itu dan memajukan perlawanan itu, diturut ketentuan dalam pasal 6 "Reglemen untuk Landgerecht" (Staatsblad 1914 No. 317) yuncto 1917 No. 323 dengan pengertian bahwa perlawanan itu harus diajukan kepada Jaksa;

e. putusan-putusan dalam perkara-perkara yang dimaksudkan dalam bab a tadi juga jika perkara-perkara itu tak dimajukan secara singkat (sumir), tak usah dibuat tersendiri akan tetapi boleh dimasukkan dalam catatan pemeriksaan sidang.

— Pasal 6 ayat (1) UU Darurat 1/1951.

Inisiatif untuk membentuk sebuah kitab undang-undang acara pidana nasional dimulai oleh Menteri Kehakiman Oemar Seno Adji yang menyelenggarakan Seminar Hukum Nasional mengenai hukum acara pidana dan hak-hak asasi manusia di Semarang pada tahun 1968. Inisiatif ini dilanjutkan oleh penerusnya, Mochtar Kusumaatmadja dan Meodjono. Penyempurnaan rancangan awal melibatkan organisasi profesi hukum seperti Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), dan lain-lain.[8]

Pada bulan September 1979, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diajukan ke hadapan Dewan Perwakilan Rakyat. Dipimpin Ketua Komisi III Andi Mochtar, proses persidangan berlangsung dari bulan November 1979 hingga Mei 1980. RUU tersebut kemudian disahkan oleH DPR menjadi Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.[8]

Tahapan

sunting

Secara umum, ada tujuh tahap dalam hukum acara pidana Indonesia: penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, pengggeledahan, penyitaan, dan penuntutan. Hal ini didasarkan pada teori pencarian kebenaran yang dikemukakan oleh van Bemmelen.[9]

Penyelidikan

sunting

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

— Pasal 1 (5) KUHAP.

Penyelidikan adalah tahap pertama dalam pelaksanaan acara pidana. Yang berwenang untuk melakukan penyelidikan adalah pejabat Kepolisian,[10] yang berwenang untuk menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; mencari keterangan dan barang bukti; menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung-jawab. Penyelidik juga dapat melaksanakan perintah dari penyidik, yaitu untuk menangkap seseorang; melarang seseorang meninggalkan tempat; menggeledah dan menahan; memeriksa dan menyita surat; mengambil sidik jari dan memotret seseorang; dan/atau membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.[11]

Penyidikan

sunting

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

— Pasal 1 (2) KUHAP.

Setelah sebuah perkara diselidik dan ditemukan terjadinya suatu delik pidana, maka proses acara pidana dilanjutkan ke tahap penyidikan. Sebuah delik dapat ditentukan terjadi oleh karena empat kemungkinan: tertangkap tangan; dari sebuah laporan; daru sebuah aduan; atau diketahui sendiri melalui suatu cara, seperti diketahui melalui media massa atau ceirtera seseorang.[12]

Rujukan

sunting
  1. ^ Hamzah (HAP), hlm. 2-4.
  2. ^ Hamzah (HAP), hlm. 4.
  3. ^ Wirjono, hlm. 13.
  4. ^ Hamzah (HAP), hlm. 50-51.
  5. ^ Hamzah (HAP), hlm. 52.
  6. ^ a b Hamzah (HAP), hlm. 52-55.
  7. ^ Hamzah (HAP), hlm. 57.
  8. ^ a b Hamzah (HAP), hlm. 60-62.
  9. ^ Hamzah (HAP), hlm. 120.
  10. ^ Pasal 4 KUHAP.
  11. ^ Pasal 5 KUHAP.
  12. ^ Hamzah (HAP), hlm. 120-127.

Bibliografi

sunting
  • Hamzah, Andi (1993). Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. ISBN 978-979-007-064-6. 
  • Prodjodikoro, Wirjono (1967). Hukum Atjara Pidana di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung. 
  • Hamzah, Andi (1991). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. ISBN 978-979-518-070-8. 
  • Moeljatno, S.H. (1993). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. ISBN 978-518-341-9 Periksa nilai: checksum |isbn= (bantuan). 
  • Moeljatno, S.H. (1959). KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) (edisi ke-23). Jakarta: Bumi Aksara (dipublikasikan tanggal April 2018). ISBN 979-526-020-0. 
  • Raharjo, Saptono, ed. (2017). KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. ISBN 978-602-394-427-9.