Hukum keadaan bahaya di Indonesia

Hukum keadaan bahaya Indonesia

Di Indonesia, terdapat beberapa jenis keadaan bahaya yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 Penetapan Keadaan Bahaya (Perppu Keadaan Bahaya 1959). Tiga jenis keadaan bahaya yang utama adalah Darurat Sipil, Darurat Militer, dan Keadaan Perang.

Penggunaan dari masa ke masa

sunting

Era Soekarno

sunting

Lahirnya Perpu ini dilandasi oleh terjadinya kekisruhan antarparpol, terjadinya pemberontakan seperti DI/TII dan Permesta, serta pergantian sistem pemerintahan terus menerus pada sekitar tahun 1950-1965. Melihat situasi tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan perpu Darurat Sipil pada akhir Desember 1959, beberapa bulan setelah mengeluarkan Dekret Presiden.[1]

Era Gus Dur

sunting

Pada tanggal 27 Juni 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan status darurat sipil yang berlangsung pada 2 daerah, Maluku dan Maluku Utara melalui Keputusan Presiden No. 88 tahun 2000.[2] Penetapan darurat sipil disebabkan karena adanya konflik etnis-politik yang melibatkan agama, terutama umat Islam dan Kristen di kepulauan Maluku, serta dipicu oleh ketidakstabilan politik dan ekonomi di Indonesia setelah Presiden Soeharto lengser dan devaluasi rupiah seusai krisis ekonomi di Asia Tenggara. Rencana pemekaran provinsi Maluku menjadi Maluku dan Maluku Utara juga menyumbang konflik yang ada.[3]

Pada 15 September 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri mencabut status darurat sipil berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 71 tahun 2003.[4]

Referensi

sunting
  1. ^ Ziyadi, A (31 Maret 2020). "Darurat Sipil Perpu Warisan Bung Karno Untuk Selamatkan Negara Dari Kisruh Partai dan Pemberontak". MILIMETER.COM. Diakses tanggal 16 April 2020. 
  2. ^ Keppres 8/2000.
  3. ^ Supriatin (31 Maret 2020). Firdaus, Randy Ferdi, ed. "Kisah Darurat Sipil dari Aceh dan Maluku". Merdeka.com. hlm. 1. Diakses tanggal 16 April 2020. 
  4. ^ Keppres 71/2003.

Daftar pustaka

sunting