Etika Perjanjian Lama

Etika Perjanjian Lama adalah aturan atau norma-norma yang belaku pada masa Perjanjian Lama dalam Alkitab Kristen. Etika ini berasal dari Etika Yahudi dan tradisi yang berkembang pada saat itu. Sumber utama etika ini masih dapat bertahan melalui tradisi oral atau lisan yang berkembang dalam bangsa Israel, yaitu sang orang tua menceritakan berbagai hal kepada anak-anaknya. Etika dalam Perjanjian Lama berangkat dari peristiwa bersejarah bangsa Israel yang melahirkan etika dan ketaatan umat kepada Allah. Etika Perjanjian Lama merupakan dasar Etika Kristen.

Latar belakang sunting

Dalam narasi penciptaan alam semesta di Kitab Kejadian digambarkan Allah sebagai Sang Tertib. Karya Sang Tertib ini dapat dilihat dalam hal diubahnya kekacaubalauan menjadi teratur, baik dan indah. Peristiwa ini hendak menegaskan bahwa Allah Sang Pencipta adalah Allah yang tidak menyukai ketidakteraturan, baik dalam kehidupan individu maupun kolektif bahkan bumi secara keseluruhan. Penciptaan manusia pertama, Adam dan Hawa disertai kewajiban-kewajiban mensyaratkan kebebasan dan tanggung jawab etis, demi menjaga kehidupan yang kudus yang tertib di hadapan Allah dan hubungannya dengan sesama dalam kapasitas mereka sebagai mitra dalam penciptaan.

Namun dalam kenyataan, manusia pertama justru menyalahgunakan kebebasan dengan lebih mengutamakan keinginan. Adam dan Hawa mengambil keputusan untuk memilih tidak taat kepada Allah; dan sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan itu, mereka diusir dari Taman Eden. Jika pada mulanya, mereka berada dalam sebuah tatanan etis maka penghukuman atas pelanggaran menempatkan mereka dalam sebuah lingkup kehidupan pribadi dan sosial yang dibayang-bayangi murka Allah. Meskipun demikian, Allah tidak pernah membiarkan segenap keturunan Adam dan Hawa berada dalam hubungan permusuhan dengan Allah. Justru sebaliknya, Ia sendiri mengambil prakarsa untuk menyelamatkan manusia dari kekacaubalauan sekaligus mengikat dan memperbarui perjanjian keselamatan (bandingkan Kejadian 6-9).

Tulisan ini bermaksud untuk menunjukkan konsistensi hakikat dan tindakan Allah sebagai Pemberi hukum dan peraturan sebagai landasan perjanjian kasih karunia-Nya. Dengan mengambil umat Israel sebagai model, diharapkan melalui ketaatan terhadap hukum dan peraturan tersebut, Israel tetap menjaga kekudusan hubungan dengan Allah selaku Pemberi Hukum dan dengan sesama bahkan dengan bangsa-bangsa lain. Israel, dengan demikian menjadi model bagi ketaatan gereja dan umat kristiani, kini dan dan di sini.

Hukum Taurat dalam kaitannya dengan etika sunting

Karya Allah dalam seluruh peristiwa sejarah Israel merupakan titik tolak utama dalam Etika Perjanjian Lama. Peristiwa pemanggilan Abraham yang berujung pada perjanjian dan menyelamatan bangsa Israel dari perbudakan merupakan landasan yang paling utama dari seluruh tindakan etis bangsa Israel. Seluruh peristiwa sejarah yang dilakukan Allah dimaknai sebagai seluruh karya Allah yang harus ditanggapi bukan secara intelektual untuk menelusuri tujuan Allah tetapi melalui tanggapan etis yaitu, penyesuaian cara hidup dengan tindakan dan sabda Allah.[1]

Tindakan menurut sabda Allah adalah landasan utama yang melandasi segala tindakan yang lahir dari komunitas ini. Hukum Taurat menjadi dasar yang paling utama yang mengatur seluruh keberlangsungan kehidupan mereka dalam segala aspek. Hukum Taurat dipandang sebagai bentuk yang paling penting karena keseluruhan isinya mengatur tentang bagaimana seharusnya mereka melaksanakan tugasnya sebagai umat pilihan Allah baik dalam hubungannya secara individual, kolektif maupun sebagai bangsa. Christoph Barth menjelaskan bahwa, Taurat sebagai pengajaran atau hukum yang berkembang di kalangan Israel dan penekanan terhadap penggunaannya terjadi pada masa Israel berada di pembuangan. Hukum Taurat mengacu kepada kelima kitab Taurat yang diajarkan oleh Musa, yaitu Kitab Kejadian sampai dengan Kitab Ulangan. Taurat merupakan sebutan bagi seluruh hukum yang terdapat dalam Perjanjian Lama. Hukum taurat lahir bukan untuk menduduki keberadaannya sebagai hukum yang terpisah. Hukum taurat lahir bersama-sama dengan kisah perjanjian antara Allah dengan umat pilihan-Nya. Melalui keberadaan hukum inilah, tindakan manusia sebagai umat Allah diberitahukan oleh Allah. Allah memberikan hukum-Nya agar umat-Nya bertindak sesuai kekudusan Allah.[2]

Dalam Perjanjian Lama, pengelompokan terhadap jenis hukum terdiri atas empat bagian. Wright menjelaskan bahwa keempatnya adalah, Dasa Titah yang isinya merupakan perintah Allah yang diberikan pada peristiwa Sinai. Kitab Perjanjian menempati posisinya yang kedua, seluruh isinya berkaitan dengan ketetapan-ketetapan yang mengatur kehidupan masyarakat secara sosial. Selain itu, terdapat pula Kumpulan Imamat yang isinya menekankan tentang bagaimana sebagai komunitas yang menjaga kekudusan dihadapan Allah melalui tindakan kepada Allah dalam peribadahan maupun kepada sesama. Terakhir, yaitu Kumpulan Ulangan adalah pengulangan terhadap bentuk hukum yang sebelumnya telah diungkapkan serta memberikan penekanan langsung terhadap penggunaan berbagai hukum tersebut. Berbagai bentuk hukum yang telah klasifikasikan di atas tetap menjadi suatu hukum yag terikat dalam satu bentuk hukum yaitu, Hukum Taurat.[3]

Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas bahwa hukum Taurat menduduki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Israel. Hukum taurat merupakan landasan paling utama yang mengatur seluruh kehidupan bangsa Israel dalam tatanan hidup yang berarah pada kekudusan di hadapan Allah. Hukum taurat mengatur bagaimana umat pilihan Allah bertindak sesuai dengan ketetapan Pemiliknya.

Pengajaran nabi-nabi Israel dalam kaitannya dengan Hukum Taurat dan etika sunting

Bahwa Allah yang menetapkan Israel sebagai umat perjanjian-Nya mengundang mereka di dalam dan melalui pemberitaan para nabi. Para Nabi adalah orang yang secara khusus ditetapkan untuk menyampaikan Firman Allah dalam sebuah situasi khusus tetapi firman yang mereka sampaikan selalu dihubungkan dengan perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Kata-kata “demikianlah firman Tuhan…. “ bermaksud mengingatkan umat agar tidak melupakan perjanjian itu. Konkritnya adalah supaya mereka tidak menyembah ilah lain sebab jika mereka melakukan hal itu mereka melupakan perjanjiannya dan pasti dihukum. Umat diingatkan untuk tidak melakukan ketidakadilan sebab tindakan semacam itu tidak hanya bersifat moral tetapi merupakan bagian dari iman yang berpangkal pada perjanjian. Iman yang sesungguhnya, bukan hanya membuat upacara-upacara ritual tetapi dengan melakukan kebenaran dan keadilan bukan hanya dikalangan umat Israel tetapi juga dengan bangsa-bangsa lain dengan seluruh alam semesta.[4]

Karena nabi adalah penyampai firman Allah dan juga sebagai penyampai kehendak Allah, maka mereka harus mengingatkan setiap tindak tanduk bangsa Israel, dan bagaimanakah sikap para nabi Israel terhadap hukum Taurat?, para nabi memakai hukum Taurat dalam mengecam umat yang melakukan kesalahan atau kejahatan di mata Tuhan. Seperti dalam kitab Amos 2:7,” mereka menginjak-injak kepala orang lemah ke dalam debu dan membelokkan jalan orang sengsara; anak dan ayah pergi menjamah seorang perempuan muda, sehingga melanggar kekudusan nama-Ku;”, dalam hal ini Nabi Amos mengecam dengan memakai hukum Taurat. Namun kadang kala juga mereka tidak memakainya sebab, perkembangan bangsa Israel dari corak agraris kearah masyarakat perkotaan dan perdagangan . Namun hukum Taurat tetap dipakai sebab, hukum Taurat merupakan dasar para nabi dalam menyampaikan kehendak Tuhan.

Dan para nabi bukanlah seorang pengajar aliran etika yang baru, mereka merupakan para orang yang memanggil Israel kembali kepada dasar kebangsaannya sendiri, memanggil Israel dari seluruh kejahatan sosial dan kembali kepada jalan Tuhan.

Ciri khas etika Perjanjian Lama sunting

Bentuk utama etika Perjanjian Lama adalah

  1. prakarsa dan
  2. tanggapan.

Kemudian Prakarsa dan tanggapan ini terbagi lagi kedalam empat bentuk yaitu:

  1. menanggapi perbuatan Allah,
  2. mengikuti teladan Alah,
  3. hidup di bawah pemerintahan Allah, dan
  4. menaati perintah Allah.

Etika dalam Perjanjian Lama dianggap sebagai tanggapan terhadap prakarsa ilahi. Konsep ini lahir dari sejarah bangsa Israel ketika Allah mengeluarkan mereka dari perbudakan di Mesir. Kemudian Allah memberikan hukum kepada manusia. Manusia menanggapi hukum tersebut dengan kepatuhan kepada kehendak Allah yang menjadi ungkapan rasa syukur karena sebenarnya bangsa Israel tidak layak menerima pemberian-pemberian allah tersebut. Dengan demikian etika Perjanjian Lama merujuk ke arah masa depan dimana tanggapan-tanggapan manusia akan menjadi serasi dengan cara Allah bertindak terhadap mereka. Kedua mengikuti teladan Allah dengan memperlihatkan sifat Allah melalui kelakuan manusia. Contohnya dalam pembelaan kaum lemah dan kesucian (Keluaran 22:21–22,25:23:6: "Janganlah kau tindas seorang orang asing, seorang janda atau anak yatim; Jika engkau meminjamkan uang kepada orang yang miskin janganlah kamu bebanan bungan uang kepadanya; Janganlah engkau memperkosa hak orang miskin"). Kesucian dalam hal ini artinya terpisah dan berbeda. Umat Israel membedakan tuntutan-tuntutan Allah dengan perbolehan-perbolehan dewa-dewa yang dipuja. Maka pemisahan ini memberikan kesadaran moral. Ketiga adalah manusia berada di bawah pemerintahan Allah dan manusia menaati perintah Allah. Poin ketiga dan keempat ini saling terkait.

Referensi sunting

  1. ^ Verne Flethcher, Lihatlah sang Manusia. Jakarta: BPK GM, 2007. hlm. 141
  2. ^ Christoph Barth, Teologi Perjanjian Lama. (Jakarta: BPK GM, 1984), hal. 291-292.
  3. ^ Christophel Wright, Hidup sebagai Umat Allah. (Jakarta: BPK GM, 1993)
  4. ^ Boulton, Wayne G., Thomas D. Kennedy, and Allen Verhey (eds.). From Chirst to the World: Introductory Reading in Chirstian Ethics. Grand Rapids: Wm. B. Eedmans, 1996

Lihat pula sunting