Babad Dalem
Babad Dalem atau Pemancangah Dalem adalah sebuah catatan sejarah dari Bali, Indonesia yang ditulis diatas daun lontar. Judulnya dapat diterjemahkan sebagai "Kronik Raja-Raja Bali"[1] yang berisi sejarah dan silsilah para raja Bali dari Wangsa Kepakisan serta memuat berbagai peristiwa penting yang dimulai dari abad ke-14. Terdapat beberapa salinan dari Babad ini dan isinya sebagian besar menceritakan hal yang sama, catatan ini kemungkinan besar sudah melalui beberapa kali penyalinan ulang oleh seorang Kanca/Pangripta (juru tulis istana) demi menjaga kelestariannya karena media daun lontar tidak bisa bertahan lebih dari 100 tahun. Salinan paling tua dari Babad Dalem selesai disalin pada tahun 1741 oleh Ida Pedanda Gede Rai Pidada dari Griya Pidada Klungkung, seorang pendeta kerajaan di Puri Agung Klungkung. Para Raja-Raja Klungkung dianggap sebagai turunan langsung dari Wangsa Kepakisan memiliki hubungan erat dengan naskah ini sehingga Babad Dalem tidak bisa dipisahkan dari narasi sejarah dan silsilah Raja-raja yang memerintah Kerajaan Klungkung[2]
Isi
suntingTeks tersebut merupakan perpaduan antara mitos, legenda dan sejarah, dan penelusuran sejarah kerajaan Bali kembali ke akar Jawa di zaman Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit (1293 - c. 1527). Kekuatan Gajah Mada, kepala menteri (patih) Majapahit, menyerang Bali dan menaklukkan pulau tersebut (suatu kejadian yang tertanggal pada 1343 dalam puisi Jawa Nagarakretagama[3]). Seorang bangsawan Jawa bernama Sri Aji Kresna Kepakisan, cucu seorang Brahmana, dipasang sebagai penguasa vasal Bali, dengan kediamannya di Samprangan di Kabupaten Gianyar sekarang. Pada generasi berikutnya, ibukota dipindahkan ke Gelgel di Kabupaten Klungkung sekarang, di mana kerajaan yang kuat terbentuk. Runtuhnya Majapahit di Jawa kemudian meninggalkan Gelgel sebagai pewaris peradaban Hindu-Buddha terkuat yang terakhir di Nusantara, meskipun sebagian pendapat mengatakan Gelgel sebagai pewaris Majapahit, dalam perspektif Gelgel era Waturenggong (1460 - 1550) memperlihatkan sedikit kesetiannya pada Majapahit dan lebih mendukung kemerdekaan Bali dari kerajaan Jawa. Babad ini kemudian mengikuti kekayaan dan kejayaan kerajaan Gelgel sampai kejatuhannya, yang secara historis tertanggal tahun 1686.[4]
Kelanjutan dari Babad Dalem adalah Babad Ksatria yang mengikuti sejarah Klungkung sebagai kerajaan penerus Gelgel. Babad Kesatria ini selesai disusun pada paruh kedua abad ke-19, dengan versi yang lebih baru termasuk catatan singkat jatuhnya Klungkung pada tahun 1908.[5]
Nilai besar Babad Dalem sebagai sumber nilai sejarah, budaya Bali dan persepsi kerajaan umumnya diakui oleh para ilmuwan. Nilainya sebagai sumber primer sejarah kejadian masa lalu di Bali memang sedikit kontroversial namun dapat diakui keabsahannya melalui catatan sejaman atau prasasti dan bangunan peninggalan. Versi yang lebih tua berisi beberapa penanggalan kalender, dan genre babad tampaknya lebih memperhatikan silsilah dari pada dengan kronologi peristiwa. Perbandingannya dengan materi historis eksternal (khususnya Belanda dan Jawa) menunjukkan bahwa aspek penting sejarah Gelgel telah ditinggalkan atau diubah di dalam Babad Dalem.[6]
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ Adrian Vickers (1990). "Balinese texts and historiography". History and Theory. 29: 158–78.
- ^ Margaret J. Wiener, Visible and Invisible Realms; Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali. Chicago & London: The University of Chicago Press, pp. 97-102.
- ^ Mpu Prapanca, Desawarnana (Nagarakrtagama), Leiden: KITLV Press, p. 59.
- ^ I Wayan Warna et al. (tr.), Babad Dalem; Teks dan Terjemahan. Denpasar: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
- ^ Helen Creese, 'Sri Surawirya, Dewa Agung of Klungkung (c. 1722-1736); The historical context for dating the kakawin Parthayana', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 147 1991, pp. 402-19.
- ^ Helen Creese, 'Balinese babad as historical sources; A reinterpretation of the fall of Gelgel', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 147 1991, pp. 236-60; Hans Hägerdal, 'Bali in the Sixteenth and Seventeenth Centuries; Suggestions for a Chronology of the Gelgel Period', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 151 1995, pp. 101-24.
Bacaan lebih lanjut
sunting- C.C. Berg (1927), De middeljavaansche historische traditië. Santpoort: Mees.