CITES

Perjanjian internasional untuk melindungi tumbuhan dan satwa liar

CITES (singkatan dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, dalam bahasa Indonesia: Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Satwa dan Tumbuhan Liar Terancam Punah) adalah perjanjian internasional yang disusun berdasarkan resolusi sidang anggota Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) tahun 1963. Konvensi bertujuan melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam. Selain itu, CITES menetapkan berbagai tingkatan proteksi untuk lebih dari 33.000 spesies terancam.

Penjelasan dalam bahasa Italia label kaviar sesuai peraturan Cites

Tidak ada satu pun spesies terancam dalam perlindungan CITES yang menjadi punah sejak CITES diberlakukan tahun 1975 (lihat pula[1][2]) Pemerintah Indonesia meratifikasi CITES dengan Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978.[3]

Latar belakang

sunting

CITES merupakan satu-satunya perjanjian global dengan fokus perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar. Keikutsertaan bersifat sukarela, dan negara-negara yang terikat dengan konvensi disebut para pihak (parties). Walaupun CITES mengikat para pihak secara hukum, CITES bukan pengganti hukum di masing-masing negara. CITES hanya merupakan rangka kerja yang harus dijunjung para pihak yang membuat undang-undang untuk implementasi CITES di tingkat nasional. Seringkali, undang-undang perlindungan tumbuhan dan satwa liar di tingkat nasional masih belum ada (khususnya para pihak yang belum meratifikasi CITES), hukuman yang tidak seimbang dengan tingkat kejahatan, dan kurangnya penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar.[4] Pada tahun 2002 hanya terdapat 50% para pihak yang bisa memenuhi satu atau lebih persyaratan dari 4 persyaratan utama yang harus dipenuhi: (1) keberadaan otoritas pengelola nasional dan otoritas keilmuan, (2) hukum yang melarang perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi CITES, (3) sanksi hukum bagi pelaku perdagangan, dan (4) hukum untuk penyitaan barang bukti.[5]

Naskah konvensi disepakati 3 Maret 1973 pada pertemuan para wakil 80 negara di Washington, D.C.. Negara peserta diberi waktu hingga 31 Desember 1974 untuk menandatangani kesepakatan, dan CITES mulai berlaku tanggal 1 Juli 1975. Setelah melakukan ratifikasi, menerima, atau menyetujui konvensi, negara-negara yang menandatangani konvensi disebut para pihak (parties). Pada tahun 2003, semua negara penanda tangan CITES telah menjadi para pihak. Negara yang belum menandatangani dapat ikut serta menjadi para pihak dengan menyetujui CITES. Di bulan Agustus 2006 tercatat sejumlah 169 negara telah menjadi para pihak dalam CITES.

Sekretariat CITES berkantor di Jenewa, Swiss dan menyediakan dokumen-dokumen asli dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Spanyol. Pendanaan kegiatan sekretariat dan Konferensi Para Pihak (COP) berasal dari dana perwalian yang merupakan sumbangan para pihak. Dana perwalian tidak bisa digunakan para pihak untuk meningkatkan taraf implementasi atau pelaksanaan CITES. Dana perwalian hanya untuk kegiatan sekretariat, sedangkan para pihak dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan CITES harus mencari pendanaan eksternal (dilakukan NGO dan dana bilateral).[5]

Apendiks CITES

sunting

CITES merupakan kerja sama antar negara anggota untuk menjamin perdagangan tumbuhan dan satwa liar dilaksanakan sejalan dengan perjanjian CITES. Ekspor, impor, reekspor, dan introduksi spesies yang terdaftar dalam apendiks CITES harus mendapat izin otoritas pengelola dan rekomendasi otoritas keilmuan CITES di negara tersebut.

Para pihak anggota konvensi harus menunjuk satu atau lebih otoritas pengelola yang memberi perizinan, dan satu atau lebih otoritas ilmiah yang menilai dampak perdagangan terhadap kelestarian spesies tersebut. Departemen Kehutanan berdasarkan pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 ditunjuk sebagai otoritas pengelola konservasi tumbuhan dan satwa liar di Indonesia. Selanjutnya, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam ditunjuk sebagai otoritas pengelola CITES di Indonesia melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 104/Kpts-II/2003 (sebagai pengganti Keputusan Menteri Kehutanan No.36/Kpts-II/1996).[6] Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 7 dan 8 Tahun 1999 juga menunjuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai otoritas keilmuan CITES.

Spesies yang diusulkan masuk dalam apendiks CITES dibahas dalam Konferensi Para Pihak (COP), yang konferensi berikutnya diadakan bulan Juni 2007. Para pihak bisa mengusulkan suatu spesies walaupun habitat spesies tersebut tidak berada dalam wilayah negara pengusul. Usulan bisa disetujui masuk dalam apendiks CITES asalkan didukung suara mayoritas 2/3 dari para pihak, walaupun ada para pihak yang berkeberatan.

Apendiks CITES berisi sekitar 5.000 spesies satwa dan 28.000 spesies tumbuhan yang dilindungi dari eksploitasi berlebihan melalui perdagangan internasional. Spesies terancam dikelompokkan ke dalam apendiks CITES berdasarkan tingkat ancaman dari perdagangan internasional, dan tindakan yang perlu diambil terhadap perdagangan tersebut. Dalam apendiks CITES, satu spesies bisa saja terdaftar di lebih dari satu kategori. Semua populasi Gajah Afrika (Loxodonta africana) misalnya, dimasukkan ke dalam Apendiks I, kecuali populasi di Botswana, Namibia, Afrika Selatan, dan Zimbabwe yang terdaftar dalam Apendiks II.

CITES terdiri dari tiga apendiks:

  • Apendiks I: daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional
  • Apendiks II: daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan
  • Apendiks III: daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam Apendiks II atau Apendiks I.

Apendiks I - sekitar 800 spesies

sunting

Spesies yang dimasukkan ke dalam kategori ini adalah spesies yang terancam punah bila perdagangan tidak dihentikan. Perdagangan spesimen dari spesies yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal (diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa).

Satwa dan tumbuhan yang termasuk dalam daftar Apendiks I, namun merupakan hasil penangkaran atau budidaya dianggap sebagai spesimen dari Apendiks II dengan beberapa persyaratan. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan non-detriment finding berupa bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas. Setiap perdagangan spesies dalam Apendiks I memerlukan izin ekspor impor. Otoritas pengelola dari negara pengekspor diharuskan memeriksa izin impor yang dimiliki pedagahng, dan memastikan negara pengimpor dapat memelihara spesimen tersebut dengan layak.

Satwa yang dimasukkan ke dalam Apendiks I, misalnya gorila, simpanse, harimau dan subspesiesnya, singa Asia, macan tutul, jaguar cheetah, gajah Asia, beberapa populasi gajah Afrika, dan semua spesies Badak (kecuali beberapa subspesies di Afrika Selatan, orang utan, penyu belimbing, komodo, babi rusa [1].

Apendiks II - sekitar 32.500 spesies

sunting

Spesies dalam Apendiks II tidak segera terancam kepunahan, tetapi mungkin terancam punah bila tidak dimasukkan ke dalam daftar dan perdagangan terus berlanjut. Selain itu, Apendiks II juga berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan spesies yang didaftar dalam Apendiks I. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas.[2]

Apendiks III - sekitar 300 spesies

sunting

Spesies yang dimasukkan ke dalam Apendiks III adalah spesies yang dimasukkan ke dalam daftar setelah salah satu negara anggota meminta bantuan para pihak CITES dalam mengatur perdagangan suatu spesies. Spesies tidak terancam punah dan semua negara anggota CITES hanya boleh melakukan perdagangan dengan izin ekspor yang sesuai dan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO).[3]

Amendemen

sunting

Amendemen harus didukung mayoritas dua pertiga para pihak dan bisa dilakukan sewaktu sidang luar biasa Konferensi Para Pihak (COP), bila sepertiga dari para pihak menyatakan sidang harus dilakukan. Amendemen Gaborone yang disetujui di Gaborone, Botswana, 30 April 1983 memungkinkan forum kerja sama ekonomi regional untuk berpartipasi dalam CITES. Pertimbangan keberatan (Pasal XXIII Reservations[4]) menyangkut spesies tertentu dapat dinyatakan para pihak.

Referensi

sunting
  1. ^ Hutton and Dickinson 2000 Endangered Species Threatened Convention: The Past, Present and Future of CITES. Africa Resources Trust, London.
  2. ^ Stiles 2004 The Ivory Trade and Elephant Conservation Environmental Conservation 31 (4) 309-321.
  3. ^ "Apakah "CITES"?". Departemen Ke hutanan Republik Indonesia. Diakses tanggal 12 Februari.  [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ Zimmerman 2003 The Black Market for Wildlife: Combating Transnational Organized Crime in the Illegal Wildlife Trade Vanderbilt Journal of Transnational Law 36 1657
  5. ^ a b Reeve 2000 Policing International Trade in Endangered Species: the CITES Treaty and Compliance Earthscan: London
  6. ^ Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. "Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar". Departemen Kehutanan RI. Diakses tanggal 12 Februari.  [pranala nonaktif permanen]

Pranala luar

sunting