Bidara upas
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Klad: Angiospermae
Klad: Eudikotil
Klad: Asterid
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
M. mammosa
Nama binomial
Merremia mammosa
Hall. f.

Bidara upas (Merremia mammosa) atau disebut juga widara upas (Jawa) dan hailale (Ambon) adalah tumbuhan ubi-ubian yang memanjat yang kemungkinan berasal dari Filipina.

Deskripsi

sunting

Bidara upas adalah tumbuhan umbi-umbian yang merayap atau membelit yang panjang tingginya dapat mencapai 3-6 m.[1] Daunnya berbentuk bulat telur melebar, dengan pangkal berbentuk hati.[2] Umbinya mirip kentang, dan berbeda dengan areuy carayun (Merremia peltata)[2] yang satu genus dengannya. Umbi bidara upas berkumpul hingga 6-7 buah dan beratnya dapat mencapai 5 kg atau lebih[3] seumpama tumbuh di tanah kering, gembur, dan tidak tergenang air.[4] Warna kulit umbinya kuning kecoklatan, kulitnya tebal bergetah warna putih, bila kering warnanya menjadi coklat.[1]

Perbungaannya majemuk, yakni sejumlah 1-4 kuntum, membentuk payung,[4] berwarna putih, dan apabila menjadi buah, kelopaknya tidak gugur. Bijinya berwarna kelabu sampai hitam, dengan pinggirannya yang berbulu kecoklatan.[2]

Penyebaran dan habitat

sunting

Menurut beberapa laporan, tumbuhan ini berasal dari Asia Tenggara yang kemudian menyebar ke Indo-China, India, dan Asia Tenggara. Dibudidayakan di Malaysia[2] dan Jawa, untuk dimakan umbinya.[5] Selanjutnya tumbuhan ini menyebar ke Filipina, Ambon, dan Bali.[2]

Habitat asal tumbuhan ini adalah di hutan. Kadang ditanam di halaman dekat pagar sebagai tanaman obat atau karena umbinya dapat dimakan. Tumbuh dengan baik di daerah tropik dari dataran rendah sampai ketinggian 250 mdpl. Perbanyakan dengan stek batang atau menanam umbinya.[1] Selain itu, dapat pula ia diperbanyak dengan biji. Karena kebiasaannya yang memanjat, ia perlu diberi pohon inang untuk tempat merambat.[2] Secara lokal, tumbuhan ini telah dinaturalisasi ke Madura. Untuk di Jawa sendiri, tumbuhan ini masih dapat ditemui di dataran tinggi hingga pada 500 mdpl.[5]

Manfaat dan kemampuan

sunting

Bagian dari tumbuhan bidara upas yang dijadikan obat adalah umbinya,[1] yang baru pada awal abad ke-20 dimanfaatkan. Sayangnya, tumbuhan ini tidak dapat dijadikan makanan/sumber karbohidrat.[2] Umbi tumbuhan ini bersifat sejuk, analgesik, dan bisa mentralkan racun.[4] Bidara upas dapat menyembuhkan afeksi tenggorokan dan organ pernafasan.[3] Secara turun temurun, di Madura rebusan umbi bidara upas digunakan untuk menyembuhkan penyakit tuberkolosis. Setelah diadakan percobaan, bidara upas dapat menyembuhkan penyakit tuberkolosis dan tidak menyebabkan kematian kepada hewan yang diujicobakan, yakni mencit.[6]

Selain itu pula, bidara upas adalah tumbuhan yang diketahui efek farmaklogisnya oleh PT Eisai Indonesia bahwa dapat mencegah penggandaan virus HIV,[7] walau demikian, tumbuhan ini tidak dapat menghilangkan virusnya.[8] Getah dari tumbuhan ini juga mengandung resin, yang kemungkinan itulah dapat menyembuhkan penyakit organ pernafasan.[3] Parutan umbi tumbuhan ini dapat digunakan untuk memperbanyak ASI.[2] Bidara upas diketahui mengandung polifenol, triterpenoid, terpenoid, dan flavonoid.[6] Sementara itu, getah segar tumbuhan ini mengandung zat oksidase.[8]

Serat batang tumbuhan ini dapat juga digunakan untuk bahan pakaian, karena mengkilat seperti kain satin dan memberikan rasa sejuk kepada pemakai.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d "Bidara upas". IPTEKnet. Diakses tanggal 3 January 2013. [pranala nonaktif permanen]
  2. ^ a b c d e f g h i Sastrapradja dkk 1981, hlm. 19.
  3. ^ a b c Dharma 1987, hlm. 43.
  4. ^ a b c Dalimartha 2009, hlm. 9.
  5. ^ a b "Merremia mammosa (Lour.) Hall.f." Prohati. Diakses tanggal 3 January 2013. [pranala nonaktif permanen]
  6. ^ a b Agil, Mangestuti; Soegianto, Noor Erma; Widyowati, Rr. Retno; Purwitasari, Neny (2010). "Uji Daya Hambat Mycobacterium tubercolosis dari Umbi Bidara Upas (Merremia Mammosa Hall)" (PDF). Universitas Airlangga. Diakses tanggal 4 January 2013. [pranala nonaktif permanen]
  7. ^ Mustarichie et al. 2011, hlm. 48.
  8. ^ a b Dalimartha 2009, hlm. 10.

Bacaan

Pranala luar

sunting