Balairung
Balairung atau balerong adalah sebuah balai desa bagi orang Minangkabau di Sumatera Barat. Bangunan ini memiliki arsitektur yang sama dengan bentuk rumah gadang, arsitektur khas dari masyarakat Minangkabau. JIka rumah gadang merupakan bangunan yang utuh, balairung adalah bangunan dengan struktur seperti pendopo yang digunakan untuk mengadakan musyawarah mufakat dalam masyarakat Minang.
Etimologi
suntingMenurut kamus bahasa Minangkabau, balairung adalah sebuah bangunan tempat musyawarah diselenggarakan, dipimpin oleh kepala suku (penghulu) dari masyarakat (ninik mamak). Balairung berasal dari kata balai ("pavilion") dan rung ("bangunan"), mengacu pada arsitektur bangunan kayu seperti paviliun.[1]
Istilah balairung telah dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia balairung didefinisikan sebagai balai ("pavilion") atau pendapa besar tempat raja bertemu dengan rakyatnya (sama seperti bangsal kencana di Yogyakarta-Surakarta). Pada zaman modern, ada semacam gedung pertemuan yang dinamakan balairung, misalnya gedung balairung Universitas Indonesia, yang merupakan balairung utama universitas dan bangunan terbesar di lingkungan kampus.[2]
Arsitektur
suntingSebuah balairung memiliki bentuk yang sama seperti rumah gadang, menggunakan gonjong. Dinding balairung (jika ada) sama-sama dihiasi dengan ukiran-ukiran dengan pola bunga yang dicat. ia juga dirancang sebagai rumah panggung yang bertingkat.[3]
Perbedaan utama antara balairung dan rumah gadang adalah pada tata letak interior yang dibagi ke dalam kamar; sebaliknya, balairung dirancang sebagai sebuah ruang yang secara keseluruhan digunakan untuk fungsi komunal. Akibatnya, balairung tidak memiliki panel untuk pintu dan jendela. Banyak balairung tidak memiliki dinding.[4] Dengan demikian, lebih banyak orang dapat bergabung dalam acara musyawarah dari luar balairung.[4] Akses ke balairung disediakan oleh portal tunggal di tengah-tengah bangunan, yang dihubungkan ke tanah dengan sebuah tangga.[3]
Sebuah balairung dibangun dengan anjung, semacam panggung di kedua ujung balairung. Di sinilah penghulu pucuak duduk.[4] Beberapa balairung dibangun dengan lantai yang terletak di tingkat yang sama, tanpa anjung. Bentuk lain dari balairung, contohnya adalah balairung koto piliang, bagian tengah bangunan tidak punya lantai, yang memungkinkan kuda penghulu untuk lewat. Bagian mana tidak ada lantai disebut labuan gajah.[4]
Fungsi
suntingBalairung adalah sebuah bangunan kayu tempat sekelompok kepala, atau penghulu, dikumpulkan di atas nama ninik mamak, memimpin musyawarah untuk menyelesaikan urusan desa. Menurut fungsinya, balairung dapat dibagi menjadi dua jenis: balai saruang dan balai pasujian. Sebuah balai saruang digunakan untuk mengadakan pertemuan yang menyelesaikan sengketa atau memberikan hukuman kepada seseorang. Balai pasujian (paviliun untuk mempersiapkan) adalah sebuah platform tempat musyawarah ini diadakan sebelum menerapkan undang-undang baru di desa.[5]
Sebuah balairung hanya dapat dibangun di sebuah desa yang telah menerima status nagari (desa administratif). Oleh karena itu, balairung bertindak sebagai semacam balai kota untuk desa.[4]
Referensi
sunting- ^ Mas'oed Abidin 2005.
- ^ Balairung from Kamus Besar Bahasa Indonesia
- ^ a b Syamsidar 1991, hlm. 50.
- ^ a b c d e Syamsidar 1991, hlm. 51.
- ^ Syamsidar 1991, hlm. 49.
Daftar pustaka
sunting- Masoed Abidin (2005). "Balairung". Ensiklopedi Minangkabau. New York: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. ISBN 9789793797236.
- Syamsidar (1991). Arsitektur tradisional daerah Sumatera Barat [Traditional Architecture of West Sumatra] (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.