Bahasa Isyarat Indonesia

bagian dari rumpun bahasa Isyarat

Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) adalah bahasa isyarat yang berlaku di Indonesia. Berbeda dari SIBI yang merupakan sistem buatan dan bukan merupakan bahasa, BISINDO merupakan bahasa ibu yang tumbuh secara alami pada kalangan komunitas Tuli di Indonesia. Perbedaan lainnya adalah SIBI menggunakan isyarat khusus untuk morfem imbuhan mengikuti bahasa Indonesia, sehingga kata-katanya jauh lebih panjang daripada kata-kata dalam bahasa isyarat alami seperti BISINDO.[4] BISINDO kemudian diteliti dan dikembangkan oleh Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (PUSBISINDO) serta Laboratorium Riset Bahasa Isyarat FIB UI.

Bahasa Isyarat Indonesia
BISINDO
Dituturkan diIndonesia
Penutur
8,000 (2000)[1]
Kode bahasa
ISO 639-3inl (inklusif)
LINGUIST List
LINGUIST list sudah tidak beroperasi lagi
1ky Bahasa Isyarat Yogyakarta
Glottologindo1291[2]
IETFinl
Informasi penggunaan templat
Status pemertahanan
C10
Kategori 10
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa telah punah (Extinct)
C9
Kategori 9
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa sudah ditinggalkan dan hanya segelintir yang menuturkannya (Dormant)
C8b
Kategori 8b
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa hampir punah (Nearly extinct)
C8a
Kategori 8a
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa sangat sedikit dituturkan dan terancam berat untuk punah (Moribund)
C7
Kategori 7
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa mulai mengalami penurunan ataupun penutur mulai berpindah menggunakan bahasa lain (Shifting)
C6b
Kategori 6b
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa mulai terancam (Threatened)
C6a
Kategori 6a
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa masih cukup banyak dituturkan (Vigorous)
C5
Kategori 5
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa mengalami pertumbuhan populasi penutur (Developing)
C4
Kategori 4
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa digunakan dalam institusi pendidikan (Educational)
C3
Kategori 3
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa digunakan cukup luas (Wider Communication)
C2
Kategori 2
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan di berbagai wilayah (Provincial)
C1
Kategori 1
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa nasional maupun bahasa resmi dari suatu negara (National)
C0
Kategori 0
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa merupakan bahasa pengantar internasional ataupun bahasa yang digunakan pada kancah antar bangsa (International)
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
EGIDS SIL EthnologueC6a Vigorous
Bahasa Isyarat Indonesia dikategorikan sebagai C6a Vigorous menurut SIL Ethnologue, artinya bahasa ini masih dituturkan dan digunakan oleh sebagian wilayah
Referensi: [3]
 Portal Bahasa
L • B • PW   
Sunting kotak info  Lihat butir Wikidata  Info templat

Pengertian

sunting

Istilah BISINDO digunakan pertama kali dalam resolusi kongres ke-7 Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) yang diselenggarakan di Makassar pada tahun 2006. Walaupun begitu, istilah BISINDO tidak memiliki pengertian yang pasti. Linguis Nicholas Palfreyman (yang juga seorang Tuli) mencatat tiga pandangan mengenai BISINDO, yaitu 1) bahwa BISINDO adalah bahasa isyarat yang digunakan oleh kaum Tuli di Indonesia, dan setiap isyarat dari berbagai ragam harus dipilih untuk disatukan menjadi ragam baku yang definitif; 2) bahwa BISINDO adalah ragam bahasa isyarat yang digunakan di Jakarta, dan ragam inilah yang mesti dipopulerkan ke seluruh Indonesia; dan 3) bahwa BISINDO merupakan bahasa isyarat yang digunakan oleh kaum Tuli di Indonesia dengan berbagai ragam, dan bahwa ragam-ragam daerah ini unik dan mesti dipromosikan tanpa harus dibakukan. Pandangan ketiga, menurut Palfreyman, merupakan pandangan yang relatif banyak didukung akhir-akhir ini.[5]

Survei kilat bahasa isyarat di beberapa provinsi Indonesia yang dilakukan oleh Hope Hurlbut (2014) menghasilkan gambaran hubungan leksikal yang tidak begitu jelas antarragam BISINDO di tiap provinsi. Namun, ketika ragam dari pulau yang sama dibandingkan, tingkat kesamaan leksikal yang dihasilkan lebih tinggi, dan Hurlbut menyimpulkan bahwa BISINDO merupakan satu bahasa.[6] Sementara, perbandingan leksikal antara ragam bahasa isyarat yang digunakan di Jakarta dan Yogyakarta yang dilakukan oleh beberapa penulis menyimpulkan bahwa keduanya merupakan bahasa yang berbeda, sebab keduanya hanya memiliki sekitar 65% kesamaan dalam leksikonnya.[7][8]

Di sisi lain, Palfreyman mengkritisi penggunaan metode leksikostatistik untuk menggolongkan bahasa isyarat tanpa memerhatikan variasi linguistik internal dan identitas pengguna bahasa isyarat itu sendiri. Menurutnya, keragaman bahasa isyarat juga mesti dianalisis secara lebih dekat dengan berbagai metode, baik kuantitatif maupun kualitatif, agar menghasilkan penggolongan ragam bahasa yang lebih mendekati kenyataan.[9]

Tata bahasa

sunting

Penjelasan dalam bagian ini didasarkan pada ragam bahasa isyarat Indonesia yang digunakan di Solo dan Makassar.

Aspek kompletif

sunting

Terdapat empat variasi untuk menandakan aspek kompletif ('sudah') dalam bahasa isyarat Indonesia di Solo dan Makassar:[10]

  • SUDAH:1 diartikulasikan dengan konfigurasi telapak tangan terbuka (flat handshape) dan gerakan yang memutar pergelangan tangan; pada akhir isyarat, posisi telapak tangan akan menghadap pada arah berlawanan dari tubuh.
  • SUDAH:2 menggunakan konfigurasi telapak tangan terbuka dengan perubahan arah yang lebih lambat; pergelangan memutar ke arah sebaliknya dari SUDAH:1, dan berakhir dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas.
  • SUDAH:3 diartikulasikan dengan konfigurasi telapak tangan terbuka menghadap ke depan pengisyarat dan gerakan mendorong ke hadapan, menjauh dari tubuh.
  • SUDAH:4 menggunakan isyarat jempol teracung (thumbs up) dan dapat diberi sedikit gerakan kecil ke depan.

Partikel kompletif dapat diberikan setelah maupun sebelum verba:[11][a]

(1)

 

MAKAN

         sudah

SUDAH:1

[Makassar]

 

{}          sudah

MAKAN SUDAH:1

'[Kami] sudah makan...' (Palfreyman 2013, hlm. 156)

(2)

SEKARANG

SUDAH:1

BELI

BARU

[Solo]

SEKARANG SUDAH:1 BELI BARU

'Sudah beli yang baru' (Palfreyman 2015, hlm. 157)

Partikel kompletif juga dapat berdiri sendiri sebagai klausa dengan satu isyarat,[11] ataupun sebagai enklitika yang terikat dengan isyarat lain.[12] Terkadang, partikel kompletif juga dapat diulang, seperti dalam contoh berikut:[11]

(3)

SUDAH:3

BELAJAR=SUDAH:2

[Solo]

SUDAH:3 BELAJAR=SUDAH:2

'Dia sudah belajar dari hal itu' (Palfreyman 2015, hlm. 149)

Pengisyaratan partikel kompletif biasanya disertai dengan mouthing atau aktivitas menirukan gerakan mulut untuk kata-kata dalam bahasa lisan seperti "sudah" dan "habis" dari bahasa Indonesia.[b] Mouthing untuk kata wis 'sudah' dari bahasa Jawa ragam ngoko juga digunakan pada ragam bahasa isyarat di Solo. Akan tetapi, penutur bahasa isyarat Indonesia di Makassar tidak meminjam mouthing untuk klitika perfektif =mo PFV dari bahasa Makassar, kemungkinan karena sifat klitika ini yang bentuknya dipengaruhi oleh klitika pronomina sehingga menyebabkan penutur ragam bahasa isyarat di Makassar tidak dapat mengidentifikasinya sebagai unsur kompletif.[13]

Aspek kompletif dapat diindikasikan hanya dengan mouthing, seperti dalam contoh-contoh berikut:[13]

(4)

 

BAWA-PAKAIAN

                                sudah

MENARUH-PAKAIAN

[Makassar]

 

{}                                 sudah

BAWA-PAKAIAN MENARUH-PAKAIAN

'Saya sudah membawa keranjang pakaian [ke atas] dan meletakkannya, kemudian...' (Palfreyman 2013, hlm. 159)

(5)

 

TKan:

TKir:

 

SAUDARA

SAUDARA

sudah

HAJI

 

 

 

PERTAMA

sudah

HAJI

KEDUA

sudah

HAJI

KETIGA

[Makassar]

 

 

{} {} sudah {} sudah sudah

TKan: SAUDARA HAJI {} HAJI HAJI

TKir: SAUDARA {} PERTAMA KEDUA KETIGA

'Saudaraku yang pertama sampai ketiga sudah naik haji semua...' (Palfreyman 2013, hlm. 159)

Walaupun pengindikasian aspek kompletif dengan isyarat mulut (mouth gesture, bukan mouthing) dapat ditemukan dalam bahasa isyarat Turki serta Kata Kolok, ragam bahasa isyarat Indonesia yang dituturkan di Solo dan Makassar termasuk unik di antara bahasa-bahasa isyarat dunia karena dapat mengindikasikan aspek kompletif melalui mouthing semata.[14]

Negasi

sunting

Negasi dalam ragam bahasa isyarat Solo dan Makassar dapat diindikasikan melalui isyarat TIDAK, yang diartikulasikan dengan telapak tangan terbuka menghadap ke depan dan dengan gerakan melambai berulang ke samping.[15] Walaupun bahasa Melayu/Indonesia membedakan antara negasi non-nominal "tidak" dan negasi nominal "bukan", bahasa isyarat Indonesia ragam Solo dan Makassar menggunakan isyarat tangan yang sama untuk keduanya. Terkadang, beberapa penutur membedakan kedua jenis negasi ini dengan mouthing tidak dan bukan, walaupun ini mungkin tergantung pada kelancaran berbahasa Indonesia dan gaya isyarat masing-masing penutur. Palfreyman menemukan bahwa mouthing tidak juga digunakan dalam konteks yang biasanya diisi oleh "bukan" dalam bahasa Indonesia.[16]

Fungsi utama negasi TIDAK adalah untuk menyangkal makna isyarat yang dimodifikasinya, seperti dalam contoh berikut:[17][c]

(6)

 

     baru

BARU

  geleng

 

TIDAK

|

|

|

 

     bekas

BEKAS

[Solo]

 

 

{}   geleng | {}

     baru {} |      bekas

BARU TIDAK | BEKAS

'Itu tidak baru, itu barang bekas.' (Palfreyman 2015, hlm. 193)

Negasi ganda juga dapat menunjukkan penyangkalan:[17]

(7)

   geleng

   bukan

TIDAK

 

      servis

SERVIS

   geleng

   bukan

TIDAK

[Solo]

 

 

   geleng {}    geleng

   bukan       servis    bukan

TIDAK SERVIS TIDAK

'[Motor] itu tidak diservis.' (Palfreyman 2015, hlm. 193)

Kombinasi antara isyarat TIDAK dan unsur seperti mouthing dan isyarat non-tangan lainnya dapat menghasilkan beragam fungsi, seperti negasi imperatif ('jangan!', lihat contoh 8), negasi eksistensial ('tidak ada', 9), dan negasi kompletif ('belum', 10).[18][d]

(8)

                                       membungkuk

 

G:MEMARUT-KEJU----------------

        imp

   jangan

TIDAK

[Makassar]

 

 

                                       membungkuk         imp

{}    jangan

G:MEMARUT-KEJU---------------- TIDAK

'Jangan membungkuk kalau sedang memarut keju!' (Palfreyman 2015, hlm. 193)

(9)

 

KERJA

tidak-ada

TIDAK

[Makassar]

 

{} tidak-ada

KERJA TIDAK

'Kalau saya tidak ada pekerjaan...' (Palfreyman 2015, hlm. 194)

(10)

        belum

TJ:PRO1

               belum

LIHAT=TIDAK

[Solo]

 

        belum                belum

TJ:PRO1 LIHAT=TIDAK

'Saya belum pernah lihat.' (Palfreyman 2015, hlm. 194)

Kalimat tanya dalam bahasa isyarat Indonesia ragam Solo dan Makassar sering kali disampaikan dengan negasi, seperti dalam contoh berikut:[19]

(11)

                         int

                  geleng

CERAI=TIDAK

|

|

|

          int

 

TETAP

[Makassar]

 

 

                         int |           int

                  geleng | {}

CERAI=TIDAK | TETAP

'Kalian tidak bercerai? Kalian masih bersama?' (Palfreyman 2015, hlm. 196)

Lihat pula

sunting

Keterangan

sunting
  1. ^ Contoh diberikan mengikuti format berikut ini (diadaptasi dari Palfreyman 2015, hlm. 14):
                           isyarat non-tangan

     

    UNSUR

     

    PADA

       mouthing

    TANGAN

    {} {}    mouthing

    UNSUR PADA TANGAN

    'Terjemahan bebas ke dalam bahasa Indonesia'

  2. ^ Mouthing mesti dibedakan dari mouth gesture atau isyarat mulut, yaitu aktivitas mulut yang tidak berpadanan dengan bunyi apapun dalam bahasa lisan dan merupakan pengembangan dalam bahasa isyarat itu sendiri (Palfreyman 2013, hlm. 154).
  3. ^ Garis vertikal putus-putus menandakan batas antarunsur-serupa-klausa (Palfreyman 2015, hlm. 14).
  4. ^ Tanda ------- menandakan perulangan gestur sepanjang tanda strip yang diberikan (Palfreyman 2015, hlm. 14; jumlah tanda strip dalam contoh di sini mengikuti jumlah tanda strip yang diberikan Palfreyman dalam contohnya).

Referensi

sunting
  1. ^
    Bahasa Isyarat Indonesia at Ethnologue (16th ed., 2009)
  2. ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Indonesian Sign Language". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History. 
  3. ^ "Bahasa Isyarat Indonesia". www.ethnologue.com (dalam bahasa Inggris). SIL Ethnologue. 
  4. ^ Palfreyman 2015, hlm. 7–8.
  5. ^ Palfreyman 2015, hlm. 128.
  6. ^ Hurlbut 2014, hlm. 14.
  7. ^ Silva Tenrisara Pertiwi Isma, 2012, "Signing Varieties in Jakarta and Yogyakarta"[1] Diarsipkan 2014-01-13 di Wayback Machine.
  8. ^ Palfreyman 2015, hlm. 19.
  9. ^ Palfreyman 2015, hlm. 53.
  10. ^ Palfreyman 2015, hlm. 148.
  11. ^ a b c Palfreyman 2015, hlm. 149.
  12. ^ Palfreyman 2013, hlm. 156.
  13. ^ a b Palfreyman 2013, hlm. 159.
  14. ^ Palfreyman 2013, hlm. 160.
  15. ^ Palfreyman 2015, hlm. 191.
  16. ^ Palfreyman 2015, hlm. 192.
  17. ^ a b Palfreyman 2015, hlm. 193.
  18. ^ Palfreyman 2015, hlm. 93.
  19. ^ Palfreyman 2015, hlm. 196.

Daftar pustaka

sunting

Bacaan lanjutan

sunting
  • Palfreyman, Nicholas (2019). Variation in Indonesian Sign Language: A Typological and Sociolinguistic Analysis. Sign Language Typology. 8. Walter de Gruyter. ISBN 9781501504822.