Asiyah (Arab: آسية), Asiya (Arab: آسيا), terkadang disebut Asiya binti Muzahim (Arab: آسِيَا ٱبْنَت مُزَاحِم), adalah sebutan bagi istri Fir'aun pada zaman Musa dan dipandang sebagai salah satu perempuan terbaik sepanjang masa dalam tradisi Islam.

Asiyah
آسية
Kaligrafi Asiyah binti Muzahim radhiallahu-'anha (ridha Allah atasnya)
Tempat tinggalMesir
Nama lainBithiah
GelarNabiah
Suami/istriFir'aun
AnakMusa (putra angkat)

Ayat sunting

Kisah sunting

Al-Qur'an menyebutnya sebagai "istri Fir'aun", sedangkan nama Asiyah berasal dari riwayat hadits. Kisahnya dalam Al-Qur'an disebutkan pada Surah Al-Qashash (28): 7-13, berkenaan dengan kejadian bayi Musa yang dipungut dari sungai.

Ibu angkat Musa sunting

 
Asiyah (digambarkan dengan kepang hitam panjang) dan para dayangnya, yang sehabis mandi, menemukan bayi Musa di Sungai Nil.[1] Busana mereka tergantung di pohon-pohon sementara arus sungai dihias dengan gaya Tionghoa. Ilustrasi dari Jami' At-Tawarikh

Al-Qur'an tidak menyebutkan motif Fir'aun menindas Bani Israil. Para ulama memberikan keterangan bahwa Fir'aun melakukan hal tersebut lantaran yakin bahwa akan ada Bani Israil yang akan menghancurkan kekuasaannya. Sebagian menyebutkan bahwa keyakinan itu didapat lantaran Fir'aun bermimpi melihat api dari Baitul Maqdis (Palestina) datang dan menghancurkan rumah-rumah bangsa Qibti, tapi tidak dengan rumah Bani Israil. Sebagian berpendapat bahwa hal ini berkaitan dengan penguasa Mesir terdahulu yang terkena tulah lantaran hendak menodai Sarah, istri Ibrahim. Dari peristiwa tersebut kemudian diyakini bahwa akan ada keturunan Sarah yang akan menghancurkan kekuasaan Fir'aun.[2] Sebagian ulama menyebutkan bahwa bangsa Qibti mengeluh pada Fir'aun lantaran jumlah Bani Israil menjadi terlalu sedikit untuk mengerjakan pekerjaan keras karena kebijakan pembunuhan bayi laki-laki tersebut, sehingga dikhawatirkan bangsa Qibti yang nantinya akan mengurus berbagai pekerjaan kasar itu. Fir'aun kemudian mengadakan kebijakan berselang-seling: satu tahun tidak dilangsungkan pembunuhan bayi dan tahun berikutnya dilakukan pembunuhan bayi. Harun lahir pada saat kebijakan pembunuhan bayi tidak dijalankan.[3]

Al-Qur'an menjelaskan bahwa Allah mengilhamkan ibu Musa agar memasukkan putranya yang masih bayi ke peti, kemudian dihanyutkan ke sungai. Ibu Musa kemudian memerintahkan kakak perempuan Musa untuk mengikuti dan mengawasinya adiknya dari kejauhan. Musa kemudian dipungut oleh keluarga Fir'aun. Asiyah kemudian mengatakan pada Fir'aun, "Dia adalah penyejuk mata bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan dia bermanfaat kepada kita atau kita ambil dia menjadi anak."[4] Dalam Alkitab disebutkan bahwa nama ibu Musa adalah Yokhebed dan kakak perempuan Musa bernama Miryam.

Para ulama memberikan keterangan tambahan. Disebutkan bahwa Fir'aun sebenarnya memerintahkan Musa dibunuh, tetapi Asiyah melindunginya, dan mengatakan bahwa bayi ini adalah penyejuk mata baginya. Mereka kemudian sepakat mengangkat Musa sebagai anak. Disebutkan bahwa pernikahan antara keduanya tidak menghasilkan anak.[5]

Al-Qur'an menjelaskan bahwa bayi Musa menolak semua perempuan yang dijadikan ibu susunya. Miryam kemudian datang dan mengusulkan agar Yokhebed menjadi ibu susunya. Setelahnya, Musa disusukan kepada Yokhebed yang sebenarnya merupakan ibunya sendiri.[6]

Kehidupan setelahnya sunting

Al-Qur'an tidak menjelaskan kehidupan Asiyah setelahnya, tapi banyak riwayat menyebutkan bahwa dia kemudian disiksa lantaran beriman kepada ajaran Musa dan Harun. Riwayat dari Abu Hurairah menyebutkan bahwa Asiyah disiksa dengan empat pasak: dua di kaki dan dua di tangan. Apalagi para penyiksanya pergi, malaikat datang dan menaunginya. Asiyah kemudian berdoa pada Allah agar dibangunkan sebuah rumah di surga. Allah kemudian memperlihatkan rumahnya di surga.[7][8][9]

Kedudukan sunting

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Asiyah merupakan salah satu dari empat wanita terbaik sepanjang masa, tiga lainnya adalam Maryam ibunda Isa, Khadijah istri Muhammad, dan Fatimah putri Muhammad.[10][11][12][13] Ia dikisahkan dalam Al-Qur'an sebagai istri Firaun, yang berkuasa pada zaman Musa. Ia diyakini diam-diam menerima Allah setelah menyaksikan mukjizat Musa di istana suaminya. Tradisi menyatakan bahwa Asiyah menyembah Allah secara diam-diam dan memohon untuk menghilangkan kekhawatirannya terhadap suaminya. Ia tewas saat disiksa oleh suaminya, yang mengetahui bahwa istrinya telah menyembah Allah dan menganggap tindakan istrinya melawan tiraninya.[14]

Sebagian ulama berpandangan bahwa Asiyah adalah seorang nabiah atau nabi perempuan.[15] Ulama yang berpendapat bahwa ada perempuan yang menjadi nabiah adalah Ibnu Hazm, Al-Qurthubi, dan Abu al-Hasan al-Asy'ari.[15][16][17] Meski demikian, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada perempuan yang sampai pada jenjang kenabian atau kerasulan.

Padanan sunting

Dalam Tanakh (kitab suci Yahudi) dan Alkitab (kitab suci Kristen), perempuan istana yang menjadi ibu angkat Musa adalah putri Fir'aun. Sebagaimana dalam Al-Qur'an, nama ibu angkat Musa juga tidak disebutkan dalam Tanakh atau Alkitab. Kitab Yobel dan Flavius Yosefus menyebutkan bahwa namanya adalah Thermouthis.[18][19][20][21] Vayikrah Rabbah dan Kitab Tawarikh menyebutnya Bat-Yah, Bityah, atau Bithiah, yang secara harfiah bermakna "putri Yahweh", julukan yang diberikan padanya setelah mengangkat Musa sebagai putranya, maka Yahweh mengangkatnya sebagai putri-Nya.[22] Dalam Kristen, dia juga dinamai Merris atau Merrhoe.[23][24]

Sebagaimana dalam tradisi Muslim, ibu angkat Musa dalam sumber Yahudi dan Kristen juga beriman kepada Musa. Disebutkan bahwa dia kemudian ikut hijrah bersama Musa. Midras menyebutkan bahwa Bithiah termasuk satu dari delapan orang yang masuk surga dalam keadaan hidup.[25]

Terkait perbedaan statusnya dengan Firaun dalam kitab suci, diketahui bahwa keluarga Firaun kerap menikah dengan kerabat dekatnya hingga pada taraf pernikahan sedarah, sehingga seorang perempuan yang merupakan istri Firaun juga dapat merupakan putri dari Firaun sebelumnya.

Lihat pula sunting

Rujukan sunting

  1. ^ Avner Gilʻadi (1999). Infants, Parents and Wet Nurses: Medieval Islamic Views on Breastfeeding and Their Social Implications. Brill Publishers. ISBN 9789004112230. 
  2. ^ Ibnu Katsir 2014, hlm. 428-429.
  3. ^ Ibnu Katsir 2014, hlm. 430-431.
  4. ^ Al-Qashash (28): 7-9
  5. ^ Ibnu Katsir 2014, hlm. 432-433.
  6. ^ Al-Qashash (28): 10-13
  7. ^ Syaikh Al-Albani, Silsilah Al-Ahadis Ash-Shahihah (6:35 no. 2507)
  8. ^ As-Suyuthi, Ad-Durrur Mantsur (6:245)
  9. ^ Ibnu Hajar, Al-Mathalib Aliyah (3:390)
  10. ^ HR. Abu Ya'la (2722)
  11. ^ HR. An-Nasai dalam Al-Kubra (8364)
  12. ^ Ibnu Asakir dalam Tarikh Ad-Dimasyq hlm. 378
  13. ^ Encyclopaedia of the Qur’an. Leidan: Brill, 2001. Print.
  14. ^ Stowasser, B.F. (1994). Women in the qur’an, traditions, and interpretation. New York: Oxford University Press. 57
  15. ^ a b Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/447
  16. ^ Ibnu Hazm, al-Fashl fi al-Milal wa an-Nihal 2/60
  17. ^ Lawami'ul Anwar Al-Bahiyah: 2/66
  18. ^ Flusser David, and Shua Amorai-Stark. (1993). ""The Goddess Thermuthis, Moses, and Artapanus." Jewish Studies Quarterly 1, no. 3": 217–33. JSTOR 40753100. 
  19. ^ Josephus, Antiquities of the Jews 9,5
  20. ^ "Thermuthis – History's Women" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-09-11. 
  21. ^ "Renenutet | Ancient Egypt Online" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-09-11. 
  22. ^ "Daughter of Pharaoh: Midrash and Aggadah | Jewish Women's Archive". jwa.org. Diakses tanggal 2019-09-04. 
  23. ^ Commentary on Hexameron MPG 18.785
  24. ^ Praeparatio evangelica 9.27
  25. ^ Derech Eretz Zuta (traktat pasca-Talmud) dikutip dalam: Rabi Yehudah HaLevi dan Rabi N. Daniel Korobkin (2013).The Kuzari: In Defense of the Despised Faith. Feldheim Publishers. Yerusalem. hlm. 137-138.

Daftar pustaka sunting

Pranala luar sunting