Nabiah merupakan istilah yang ditujukan kepada para nabi perempuan, yakni perempuan yang menerima wahyu Tuhan.

Sara (kanan) dan Abraham, saat menyambut tiga orang malaikat yang berkunjung

Tradisi Yahudi dan Kristen sunting

Nabiah merupakan istilah yang muncul dalam Tanakh (kitab suci Yahudi) dan Perjanjian Lama di Alkitab (kitab suci Kristen).[1] Mereka mendapat berkat kemampuan sebagai seorang nabi di dalam sejarah Alkitab.[2] Sekalipun demikian nabiah juga dimunculkan dalam Perjanjian Baru sebagai hal yang disinggung dari Perjanjian Lama.[3] Dalam kedua bagian ini, mereka digambarkan dengan paham nabi perempuan yang layaknya sebagai nabi laki-laki.[3] Mereka berfungsi serupa dengan nabi-nabi laki-laki.[1]

Tanakh sunting

Tanakh menyebut secara jelas empat orang nabiah, mereka yaitu:[4]

Menurut Talmud, ada tujuh perempuan yang dihitung sebagai nabiah yang dilihat dari sejarah yang mencolok, mereka yaitu: Sarah, Miriam, Debora, Hana (ibu dari nabi Samuel), Abigail (istri Raja Daud), Hulda (zaman Yeremia), dan Ester. Sedangkan di dalam tulisan Rashi ada beberapa wanita yang disebut sebagai nabiah seperti Ribka, Rahel, dan Lea.[2]

Perjanjian Baru sunting

Nabiah Palsu sunting

Dalam Wahyu 2:20, disebutkan Izebel sebagai seorang nabiah palsu.

Tradisi Islam sunting

Para ulama sepakat bahwa semua rasul adalah laki-laki. Namun untuk jenjang kenabian, sebagian ulama menyatakan bahwa ada perempuan yang menjadi nabiah atau nabi perempuan.

Dalam kitabnya, Ibnu Hajar menyampaikan, "Dinukil dari al-Asy’ari bahwa ada beberapa wanita yang diangkat jadi nabi. Mereka ada 6 orang:

  • Hawa (istri Nabi Adam),
  • Sarah (istri Nabi Ibrahim),
  • Ibunya Musa,
  • Hajar (istri Nabi Ibrahim),
  • Asiyah (istri Fir'aun yang beriman),
  • dan Maryam (ibu Nabi 'Isa).

Batasan menurutnya, bahwa orang yang didatangi malaikat dari Allah, dengan membawa hukum: perintah, larangan, atau maklumat, maka dia nabi."[11]

Sanggahan sunting

Mayoritas ulama berpendapat bahwa sebagaimana rasul, semua nabi adalah laki-laki, sehingga tidak ada nabiah. Landasan yang digunakan adalah:

  • Dalam Al-Qur'an dinyatakan,

    "Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu, kecuali dari kalangan lelaki yang Kami wahyukan kepada mereka, di kalangan penduduk negeri..."

    — [Qur'an Yusuf:109]
  • Menyambung poin sebelumnya, hal ini mengharuskan nabi berinteraksi dengan masyarakat luas dan menjadi pemimpin umat. Peran ini dipandang tidak cocok untuk perempuan.
  • Mendapat wahyu bukan berarti menjadi nabi, sebagaimana dalam Al-Qur'an dinyatakan bahwa Allah memberi wahyu kepada lebah.[12]
  • Tidak setiap manusia yang didatangi malaikat akan menjadi nabi. Dalam hadits, banyak dikisahkan orang yang didatangi malaikat yang menyamar menjadi manusia.
  • Hasan al-Bashri menegaskan, "Tidak ada nabi di kalangan wanita, tidak pula dari golongan jin."[13]

Dukungan sunting

Beberapa ulama yang mendukung adanya nabiah antara lain Ibnu Hazm, Al-Qurthubi, dan Abu al-Hasan al-Asy'ari.[11][14][15]

Terkait ayat Al-Qur'an Surah Yusuf ayat 109, beberapa jawaban dari yang mendukung kenabian perempuan adalah:

  • Kata "rijal" yang diterjemahkan menjadi "lelaki" ini bermakna "manusia", yang berarti bahwa ayat ini menegaskan bahwa nabi berasal dari kalangan manusia, bukan malaikat. Ayat ini tidak dimaksudkan untuk membedakan laki-laki dan perempuan.[16]
  • Ayat tersebut bicara mengenai rasul, bukan nabi. Rasul memang diwajibkan untuk menyebarkan wahyu yang dia terima untuk suatu kaum tertentu, sehingga menjadi pemimpin kaum menjadi suatu konsekuensi. Hal ini berbeda dengan nabi yang tidak memiliki kewajiban tersebut. Ibnu Hazm menyatakan bahwa wanita dapat dimasukkan dalam jenjang kenabian, tapi tidak dalam jenjang kerasulan yang hanya dapat dicapai oleh pria.[17]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d (Indonesia) W.R.F. Browing. Kamus Alkitab. 2008. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 283.
  2. ^ a b c d e f g (Inggris)Herbert Locker. Illustrated Bible Dictionary. 1986. New York: Thomas Nelson Publisher. Hal 880.
  3. ^ a b (Inggris)JD Douglas The New Bible Dictionary. 1962. USA: Inter-Varsity Press. Hal. 1046.
  4. ^ (Indonesia)Stefan Leks Tafsir Injil Lukas. 2003. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 95.
  5. ^ Keluaran 15: 20
  6. ^ Hakim–hakim 4: 4
  7. ^ Hakim–hakim 5:2–31
  8. ^ 2 Raja-raja 22
  9. ^ 2 Tawarikh 34
  10. ^ Yesaya 8: 3
  11. ^ a b Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/447
  12. ^ An-Nahl (26): 68
  13. ^ Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/471
  14. ^ Ibnu Hazm, al-Fashl fi al-Milal wa an-Nihal 2/60
  15. ^ Lawami'ul Anwar Al-Bahiyah: 2/66
  16. ^ Ali, Kecia (2017). "Destabilizing Gender, Reproducing Maternity: Mary in the Qurʾān". Journal of the International Qur'anic Studies Association. 2: 89–109. doi:10.5913/jiqsa.2.2017.a005. ISSN 2474-8390. JSTOR 10.5913/jiqsa.2.2017.a005. 
  17. ^ Stowasser, Barbara Freyer, 1935-2012. (1994). Women in the Qur'an, traditions, and interpretation. New York: Oxford University Press. ISBN 978-0195084801. OCLC 29844006.