Arsitektur tradisional Nusa Tenggara Timur

Arsitektur tradisional Nusa Tenggara Timur adalah rumah-rumah tradisional warisan budaya dari para leluhur dan tetap dipelihara dari generasi ke generasi yang ada di kawasan provinsi kepulauan Nusa Tenggara Timur yang menghuni ratusan pulau dengan 21 kabupaten dan 1 kota madya.[1] Jadi Nusa Tenggara Timur adalah provinsi kepulauan dengan banyak suku dan bahasa daerah serta kesenian dan kebudayaan yang beragam, tetapi dalam tulisan ini hanya empat rumah tradisional yang terdapat di empat suku.[1]

Arsitektur Tradisional Empat Suku sunting

Provinsi Nusa Tenggara Timur mempunyai ragam suku dengan bangunan tradisonal dan warisan budaya dengan keunikan sendiri-sendiri mamun dalam artikel ini ditampilkan arsitektur tradisional suku Dawan,[2] suku Manggarai,[3] suku Sikka,[4] dan suku Sabu[5].

Rumah Adat Suku Dawan sunting

Rumah tradisional di pulau Timor yang terkenal milik suku Dawan, yaitu rumah tempat tinggal raja disebut Ume Usif atau Sonaf dan tempat tinggal masyarakat umum disebut Ume To Ana. Rumah untuk ibadah ada tiga jenis yaitu: Ume nonoh ata Le-o, Ume Musu dan Ume Mnasi serta rumah tempat musyawarah yang dinamakan Ume Lopo atau Ume Buat.[2]

Rumah tempat tinggal orang suku Dawan berbentuk bundar dan atap kerucut serta luasnya disesuaikan dengan kebutuhan dan status sosial ekonomi pemilik.[2] Puncak atap berbentuk sanggul wanita terbalik yang disebut ume ba'i. Rangka atap yang berbentuk bulat yang disesuaikan dengan bentuk alam semesta, gambaran bentangan langit.[2]

Tiang kayu bulat serta kuat melambangkan laki-laki karena tenaganya, tanah yang menjadi lantai rumah rata dan bulat melambangkan kelurusan hati. Di tengah rumah terdapat tungku untuk memasak dan juga menghangatkan ruangan pada musim dingin, sedangkan asap api dapat mengawetkan bahan makanan yang tersimpan di loteng. Ruangan untuk tidur dibagi menjadi kamar tidur untuk orang tua atau mala tupamnasi, dan ruang tidur untuk anak gadis dinamakan halli ana.[2]

Di depan rumah terdapat kayu bercagak tiga dan batu tempat meletakkan sesajian untuk nenek moyang, Di dalam rumah dan motif tenun terdapat ukiran atau motif binatang, seperti cecak, buaya, kuda, bangau, ayam, ular burung elang, tokek, dan kakatua mengandung makna yang ada hubungan dengan kepercayaan. Misalnya suara cecak dikaitkan dengan pengambilan keputusan dalam suatu musyawarah, sebagai pertanda bahwa keputusan yang diambil tepat dan benar. Kuda melambangkan kekuatan dan kekayaan, burung bangau dan burung elang melambangkan kekuasaan yang tinggi dan keberanian, ular mewakili binatang sakral yang disembah. Gejala alam yang menjadi motif hiasan adalah motif matahari yang disebur Uis Neno melambangkan kedudukan tinggi.[2]

Dalam rumah terdapat tiang keramat ni mnasi, tempat menggantungkan benda-benda keramat serta meletakkan sajian.[2] Tempat upacara yang ada di luar rumah disebut Tol Uis Neno yaitu tempat menyembah Dewa Langit atau Dewa Matahari yang disebut Uis Neno. Tempat pemujaan lain adalah Nu'uf, berupa tumpukkan batu berbentuk lingkaran yang terletak di atas bukit kecil di pinggir hutan, sebagai tempat meletakkan sajian bagi dewa langit.[2]

Orang suku Dawan mempunyai tempat pemujaan yang disebut Ume Le'o' untuk melakukan upacara bagi keluarga untuk meminta kesuburan dan kebahagiaan kepada Tuhan. Ume Musu tempat panglima perang, dukun atau kepala adat mengadakan upacara sebelum dan sesudah peperangan, sedangkan Ume Mnasi menjadi tempat menyimpan benda suci atau nono yaitu benda pusaka yang dianggap keramat.[2]

Rumah Adat Suku Manggarai sunting

Suku Manggarai mewarisi arsitektur tradisional terdapat di desa Wae Rebo dengan komplek rumah adat berbentuk kerucut.[6] Rumah adat Mbaru Niang dengan atap berbentuk kerucut itu merupakan warisan leluhur suku Manggarai di desa Wae Rebo, di Manggarai Barat, Flores. Mbaru Niang merupakan bangunan warisan yang dilestarikan oleh penduduk se tempat dengan terus menjalankan ritual tradisi di dalam rumah itu. Ada empat Mbaru Niang dengan ukuran serupa, dan satu rumah sebagai rumah utama untuk melakukan pertemuan adat.[6]

Desa Wae Rebo mendapat julukan sebagai desa di atas awan, karena berada pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut. Di setiap rumah adat itu dihuni enam sampai delapan keluarga yang berperan menjaga keaslian rumah adat dengan kekayaan budaya tradisional.[6]

Rumah adat Mbaru Niang adalah contoh karya arsitektur vernakular yang unik, rumah berbentuk kerucut yang dutupi daun lontar dari atas hingga ke bawah hampir menyentuh tanah. Tingginya mencapai 15 m dengan pembagian beberapa lantai dengan diameter lantai dasar sekitar 15 m dan terbagi atas 5 lantai.[3]

Rumah adat Mbaru Niang secara vertikal terbagi atas 5 lantai yang setiap lantai mempunyai nama serta fungsi masing-masing yaitu:

  1. Lantai pertama atau lantai dasar disebut lutur yang dipakai untuk tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat ini terbagi menjadi tiga, yaitu bagian depan ruangan bersama, bagian dalam adalah kamar-kamar yang dipisahkan dengan papan, dan dapur ada di bagian tengah.[3]
  2. Lantai kedua merupakan loteng yang disebut lobo berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari.[3]
  3. Lantai ketiga dinamakan lentar yaitu tempat untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti benih jagung, padi, dan kacang-kacangan.[3]
  4. Lantai keempat disebut lempa rae, digunakan untuk menyimpan bahan makanan.[3]
  5. Lantai kelima disebut hekang kode sebagai tempat untuk sesajian persembahan kepada para leluhur.[3]

Rumah Tradisional Suku Sikka sunting

Arsitektur tradisional yang ada di kabupaten Sikka, Flores, ialah Lepo Gete, istana Raja Sikka yang dekat di kota Lela.[4] Lepo Gete artinya rumah orang besar atau berpangkat karena mempunyai kedudukan terhormat, yakni rumah yang ditempati oleh Raja Sikka atau Istana Raja. Istana ini terletak di bibir pantai selatan, namun bangunan yang asli hancur tetapi pemerintah Kabupaten Sikka membangunnya kembali di Kampung Sikka atau Sikka Natar supaya dapat disaksikan generasi muda.[4]

Lepo Gete merupakan istana kerajaan Sikka, sekaligus pusat pemerintahan Kerajaan Sikka dalam rentan waktu yang cukup lama dalam masa penjajahan Portugis abad ke XVI dan Belanda abad ke XVII yang menjadi pusat kontak budaya antara penduduk pribumi Sikka dengan bangsa Portugal serta Belanda.[4]

Bangunan Lepo Gete berbentuk rumah panggung dengan panjang 20 meter dan lebar 15 meter beratap tinggi melancip dengan dua sisi air. Ada dua bagian utama yakni Tedang yang berfungsi sebagai pendopo untuk menerima tamu, tempat musyawarah, tempat perjamuan atau pesta. Bagian kedua disebut Une, hanya untuk penghuni rumah atau anggota keluarga terdapat tempat tidur dan tempat menyimpan harta kekayaan yang berharga. Letak Une lebih tinggi dari bagian Tedang yang dihubungkan dengan tangga atau dang dalam bahasa setempat sedangkan tempat menyimpan persediaan makanan ada di bagian belakang yang disebut Awu dan Ronang.[4] Lepo Gete ditopang oleh 25 kayu bulat dari pohon tuak atau lontar yang dipancang berbaris memanjang dan melintang. Terdapat 5 baris dengan masing – masingnya memiliki 5 tiang. Lantai rumah panggung berbahan kayu di topang oleh kayu – kayu yang disusun memanjang.[4]

Rumah Tradisional Suku Sabu sunting

Suku Sabu di kabupanen Sabu Raijua dengan kondisi alam yang banyak ditumbuhi pohon lontar dan kelapa cukup mempengaruhi pembuatan rumah untuk tempat tinggal dan rumah adat atau rumah tradisional. Jenis-jenis bangunan Suku Sabu terdiri dari rumah untuk tempat tinggal, yang dinamakan Ammu Pe, yang terdiri dari Ammu PeDouae Banni Ae sebagai tempat tinggal raja, dan Ammu Pe Mone Aha sebagai timpat tinggal rakyat biasa.[5] Adapun kategori tempat tinggal lainnya dibagi berdasarkan bentuk atap dan tiang-tiang penyangganya, antara lain Ammu Ae Rokoko yaitu rumah yang bentuk balok atapnya sama dengan panjang badan rumah. dan Ammu Iki rumah yang bentuk balok atapnya lebih kecil dari panjang badan rumah.[5]

Ammu Rukoko merupakan rumat adat suku Sabu di tinjau dari segi bentuk memiliki konsep bentuk perahu yang terbalik, karena semua nama elemen konstruksinya di ambil dari perahu. Sedangkan dari segi material dan struktur bangunan ini menggunakan material alami, seperti daun lontar dan kayu.[7]

  1. ^ a b "Kabupaten dan Kota se NTT". nttprov.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-03-07. Diakses tanggal 23/4/2019. 
  2. ^ a b c d e f g h i Melalatoa, M. Junus (31 Agustus 2017). "sejarah-suku-dawan-dari-nusa-tenggara.html". adatnusantara.web.id. Diakses tanggal 23/4/2019. 
  3. ^ a b c d e f g Project, Parsika (13/3/2019). "Rumah Adat Mbaru Niang Wae Rebo Flores". arsitur.com. Diakses tanggal 23/4/2013. 
  4. ^ a b c d e f De Rosary, Ebed (1 Feb 2016). "Lepo Gete, Istana Raja Sikka. Merana di Bibir Pantai Selatan". cendananews.com. Diakses tanggal 23/4/2019. 
  5. ^ a b c Pangaribowo, Aileen Maheswari (15 Agustus 2018). "Arsitektur Tradisional Suku Sabu NTT". budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 24/4/2010. 
  6. ^ a b c Dimyati, Vien (29 Juni 2018). "Desa Terindah di Indonesia Wisata Wae Rebo Seperti Ada di Atas Awan". inews.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-23. Diakses tanggal 23/4/2019. 
  7. ^ Koten, Thomas (18 Desember 2017). "Rumah Adat Daerah Sabu, Nusa Tenggara Timur". netralnews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-24. Diakses tanggal 24/4/2019.