Anak Bajang Menggiring Angin

novel karya Sindhunata

Anak Bajang Menggiring Angin adalah sebuah novel fantasi pewayangan berbahasa Indonesia karya Sindhunata (atau "Rama Sindhu") yang diterbitkan tahun 1983 oleh Gramedia Jakarta. Novel ini merupakan novelisasi dari serial "Ramayana" yang dimuat di harian KOMPAS setiap hari Minggu pada tahun 1981. Dengan beberapa perbaikan dan tambahan oleh Sindhunata, serial tersebut diterbitkan dalam bentuk buku ini.[1]

Anak Bajang Menggiring Angin
PengarangSindhunata
IlustratorHajar Satoto
Perancang sampulIpong Purnama Sidhi
NegaraIndonesia Indonesia
BahasaIndonesia
GenreNovel, fantasi, dewasa
PenerbitGramedia
Tanggal terbit
1981 (Harian KOMPAS)
1983 (Novel)
Jenis mediasampul lunak
Halaman363
ISBNISBN [[Special:BookSources/204 83-147 (GM)
Mulai cetakan keenam:
979-686-147-X (1S8N-10)
978-979-686-147-7 (1S8N-13)|204 83-147 (GM)
Mulai cetakan keenam:
979-686-147-X (1S8N-10)
978-979-686-147-7 (1S8N-13)]] Invalid ISBN

Buku ini telah dicetak ulang beberapa kali oleh Gramedia. Menurut catatan di akhir versi cetakan kedelapan (2007), beberapa pengamat mengatakan bahwa kekuatan buku ini terletak dalam bahasanya yang bergaya sastra, terutama dalam "corak liriknya yang puitis dan ritmis".[1] Judulnya sendiri, "Anak Bajang Menggiring Angin" (dalam bahasa Jawa, "Bajang" berarti "kecil", "kerdil", atau "cacat"; "Anak Bajang" berarti "anak yang sengaja dibuang orang tuanya") adalah sebuah metafor yang dapat diinterpretasi ke banyak arti oleh pembacanya. Perjalanan buku ini telah menjadikannya sebuah karya sastra Indonesia yang klasik, dimana beberapa potongan kisahnya telah menginspirasi lahirnya sejumlah karya seni tari dan teater di Indonesia. Di banyak SMU di Indonesia, buku ini dipakai sebagai bahan pelajaran di bidang sastra.[1]

Latar belakang

sunting

Buku ini merupakan penyempurnaan dari "Kakawin Ramayana" dari versi pewayangan Jawa.[1] Versi ini ditulis oleh Sindhunata dan dimuat di harian KOMPAS setiap hari Minggu pada tahun 1981. Walaupun Sindhunata menulis buku ini dengan sumber dari kisah Ramayana yang populer di masyarakat budaya Jawa, kisah ini dapat dibilang baru karena yang digambarkan dalam buku ini adalah harapan-harapan dan kerinduan dari Sindhunata sendiri, yang diwarnai dan dilatarbelakangi kebudayaan Jawa di mana budaya wayang sangat berperan kuat dalam filsafat kehidupan sehari-hari. Sindhunata menggunakan tokoh-tokoh wayang "Ramayana" yang imajinatif tersebut untuk membantu menuangkan maksudnya tersebut.[1]

Sindhunata menulis buku ini untuk menggugah dan membuat pembacanya berpikir tentang harga dan nilai sebuah cita-cita, di mana dia menampilkan sebuah kisah tentang impian yang seakan-akan tampil sebagai cita-cita dan sebaliknya. Bagi sebagian pengamat sastra, kisah buku ini adalah sebuah representasi perlawanan yang lemah dan tak berdaya menghadapi absurditas nasib dan kekuasaan.[1]

Sinopsis

sunting

Dengan gaya bahasa sastra Sindhunata yang khas, penuh diwarnai imajinasi simbolik, dan dengan penggalian makna-makna filosofis yang dalam, buku ini menyajikan versi Jawa kisah Ramayana, menjadi sebuah penciptaan kembali kisah tradisional Ramayana ke dalam bentuk sebuah kisah sastra. Cerita dalam buku ini menampilkan suatu kisah yang mengandung sesuatu kemustahilan dan asing bagi pengalaman biasa, sesuatu impian kosong bila dipandang dari kenyataan keseharian manusia. Dengan kekuatan tersendiri kisah ini menampilkan impian-impian itu menjadi suatu jalinan kisah insani, yang membuat impian-impian itu tampil sebagai cita-cita yang dirindukan manusia. Siapa dapat memastikan apakah sebuah kenyataan itu sesungguhnya impian dan sebuah impian itu justru sesungguhnya kenyataan? Dengan menggugah pembaca, buku ini merujuk pada harga yang mahal dan nilai yang tinggi yang dimiliki impian manusia.

Sekutip dari kisah buku: "Terimalah perhiasanku ini, Nak," kata Dewi Sukesi. Dan perempuan tua ini pun mengalungkan untaian kembang kenanga di dada Kumbakarna. Mendadak alam pun membalik ke masa lalu. Tanpa malu-malu. Jeritan kedukaan menjadi madah syukur sukacita. Bermain-main anak-anak bajang di tepi pantai, padahal kematian sedang berjalan mengintai-intai. Gelombang lautan hendak menelan anak-anak bajang, tapi dengan kapal kematian anak-anak bajang malah berenang-renang menyelami kehidupan. Hujan kembang kenanga di mana-mana, dan Dewi Sukesi pun tahu, penderitaan itu ternyata demikian indahnya. Di dunia macam ini, kebahagiaan seakan hanya keindahan yang menipu. Sukesi terbang ke masa lalunya, ke pelataran kembang kenanga. Ia tahu kegagalannya untuk memperoleh Sastra Jendra ternyata disebabkan oleh ketaksanggupannya untuk menderita. Ia rindu akan kebahagiaan yang belum dimilikinya, dan karena kerinduannya itu ia malah membuang miliknya sendiri yang paling berharga, penderitaannya sendiri. Dan pada Kumbakarnalah kini penderitaan itu menjadi raja."[2]

Lihat pula

sunting

Panala luar

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f Sindhunata. 1983. "Anak Bajang Menggiring Angin". Penerbit Gramedia Jakarta, 979-686-147-X. 978-979-686-147-7
  2. ^ "Anak Bajang Menggiring Angin" di Gramedia Shop Daring