Al-Farabi

ilmuwan Muslim di bidang filsafat, kedokteran, matematika, musik, dan sosiologi

Al-Farabi (bahasa Arab: ابونصر محمد الفارابی, translit. Abū Nashr Muḥammad Al-Fārābī; (bahasa Kazakh: Әбу Нашр Мұхаммед Әл-Фараби; 259 H/872 M – Rajab 339 H/951 M) adalah seorang ilmuwan dan filsuf muslim yang berasal dari Farab, Turkistan.[2] Dalam beberapa sumber ia bernama lengkap Abū Nashr Muhammad bin Muhammad bin Uzalagh bin Tarkhan[3] Al-Fārābī, namun lebih dikenal dengan nama singkat Abū Nashr Al-Fārābī, atau hanya Al-Farabi, di mana dari nama inilah dia dikenal sebagai Alpharabius di dunia Latin (Barat).

Abū Nashr Al-Fārābī
Abū Nashr Muhammad bin al-Farakh al-Fārābī
Al-Mu'allim al-Tsani (Guru Kedua)
Abū Nashr Muḥammad Al-Fārābī
Lahir872
Otrar, Kazakstan
Meninggal951
Damaskus, Syria
Nama lainAlpharabius
Karya terkenalAl-Mūsīqī al-Kabīr (Buku Besar Musik), Arā Ahlul-Madīna al-Fāḍilah (Negara Utama), Iḥṣāʾ al-ʿUlūm (Klasifikasi Ilmu), Iḥṣāʾ al-īqā'āt (Klasifikasi Irama)
EraZaman Kejayaan Islam
KawasanFilsafat Islam
AliranAristotelianisme, Neoplatonisme, Filsafat Islam
BahasaArab
Minat utama
Metafisika, Filsafat politik, hukum, logika, musik, sains, etika, tasawuf, epistemologi
Gagasan penting
klasifikasi ilmu, negara paripurna

Al-Farabi menulis karya yang beragam, mulai dari epistemologi, metafisika, logika, matematika, sains (filsafat alam), ilmu politik, tata bahasa, dan musik.[2] Namun, minat Al-Farabi yang terbesar adalah soal pendidikan.[2] Karyanya yang berjudul Ihsa Al-'Ulum (Indonesia: Klasifikasi Ilmu; Latin: De Scientiis) merupakan pemikirannya yang paling banyak dikutip dan diterjemahkan dalam bahasa asing. Al-Farabi dijuluki sebagai "Guru Kedua" (al-Mu'allim al-Tsānī) setelah Aristoteles karena dipandang sebagai komentator terbaik "Guru Pertama".[4][5]

Biografi

sunting
 
Al-Farabi, dalam koin Kazakhstan,1993

Dalam kitab Wafayat karya Ibnu Khallikan (wafat 1282), penulis muslim abad ke-13, dikatakan bahwa Al-Farabi lahir pada 259 H/872M dari orang tua berdarah Turkik di Farab,[6] tepatnya di dusun kecil bernama Wasij, dekat provinsi Farab, Turkistan; atau sekarang dekat Otrar, Khazakstan.[7] Penulis lain bernama Ibnu Abi Usaibah (wafat 1270) mengatakan ayah Al-Farabi merupakan keturunan Persia[8] dan seorang komandan tentara Turkik.[2][8][9][10]

Wilayah Farab, yang merupakan dataran subur di sepanjang Sungai Syr Darya, merupakan pusat kebudayaan penting di Jalur Sutra.[7] Beberapa sumber sejarah mengatakan ayah Al-Farabi merupakan komandan tentara di kastil Otrar, yang pada masanya merupakan sebuah kota besar di Asia Tengah. Meski tidak ada data sejarah yang dapat dirujuk, diperkirakan di kota inilah Al-Farabi tumbuh dan mendapatkan pendidikan di masa mudanya.[7]

Menurut cerita lisan, Al-Farabi meninggalkan Otrar dan mulai melakukan perjalanan untuk belajar di Bukhara, Samarkand, Merv, dan Balkh, dan akhirnya tiba di Baghdad pada usia lebih dari 40 tahun.[7] Di ibukota Dinasti Abbasiyah inilah Al-Farabi bertemu Yūhannā bin Haylān (wafat 328 H/941 M), seorang Nestorian, yang menjadi penerjemah dan komentator karya-karya Yunani.[7][8] Padanya Al-Farabi belajar ilmu logika, di antaranya Eisagoge karya Porphyry, serta Kategorisasi, Interpretasi, serta Prior Analitik dan Posterior Analitik dari Organon Aristoteles.[10] Saat Yūhannā bin Haylān pergi ke Harran, yang merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil,[11] dikabarkan Al-Farabi turut serta dan di sana mempelajari astronomi Persia, India, Babilonia dan Khaldea.[7] Dalam Fī Dzuḥūr Al-Falsafah (Kemunculan Filsafat), Al-Farabi mengatakan:[12]

Filsafat, sebagai subjek akademis, mulai tumbuh subur di masa raja-raja Ptolemius di Aleksandria dan berlangsung hingga masa ratu perempuan [Cleopatra]. Pengajaran filsafat tidak banyak berubah sejak kematian Aristoteles hingga raja ketiga belas Dinasti Ptolemius... hingga datangnya era Kristen. Sejak kemunculan Kristen filsafat menghilang dari Roma, namun masih diajarkan di Aleksandria hingga seorang raja Kristen mulai mengawasinya. Para uskup kemudian mengadakan konsili dan memutuskan mana saja pengajaran [filsafat] yang akan dibiarkan hidup dan akan dilarang. Mereka sepakat bahwa pengajaran logika harus diperketat dan hanya diajarkan hingga bagian akhir asertorik [Prior Analytics, 1.7] tetapi tidak yang sesudahnya, karena itu akan membahayakan ajaran Kristen. Maka sejak saat itu pengajaran [bagian akhir] logika dilakukan secara sembunyi-sembunyi; hingga datang era Islam dan pusat pengajaran filsafat berpindah dari Aleksandria ke Antioch. Selama beberapa lama pengajaran filsafat bertahan di Antioch hingga pada akhirnya hanya tersisa satu orang guru logika. Kemudian ada dua murid yang belajar padanya... satu dari Harran dan satu lagi dari Marw. Dari orang Marw kemudian diwariskan kepada Ibrahim al-Marwizi dan Yuhanna Ibnu Haylan. Al-Farabi, menurut pengakuannya, belajar logika Aristoteles kepada Yuhanna Ibnu Haylan hingga Posterior Analytics.

Sekembalinya dari Harran, Al-Farabi tinggal beberapa lama di Baghdad. Ibnu Khallikan mengatakan bahwa Al-Farabi juga belajar pada Abu Bishr Matta bin Yunus (wafat 329 H/942 M). Adapun Ibnu Abi Usaibah mengatakan dia juga belajar tata bahasa pada Ibnu al-Sarraj (wafat 316 H/929 M).[10]

Saat Dinasti Buyid menaklukan Baghdad sekitar tahun 941-942 dan menyebabkan kekacauan politik, Al-Farabi terpaksa melarikan diri ke Aleppo tahun 330 H/945 M dan diterima oleh penguasa Hamanid, Sayf al-Dawlah.[10][13] Nampaknya Al-Farabi memilih untuk tidak tinggal lama di Aleppo, karena di usia tuanya dikabarkan dia mulai menetap di Damaskus hingga wafat pada bulan Rajab 339 H (Desember 950 M).[5]

Al-Farabi menghabiskan sebagian besar hidupnya di Bahgdad zaman Dinasti Abbasiyah, sebelum pindah ke Aleppo di bawah pemerintahan Sayf al-Dawla.[5] Ia melewati periode yang paling kacau karena ketiadaan kestabilan politik Abbasiyah, yakni peralihan dari Khalifah Mu’tamid (869-892 M) dan Khalifah Al-Muthi’ (946-974 M).[14] Dalam kondisi demikian, al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani seperti Plato dan Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara Utama).[11]

Pemikiran dan Pengaruh

sunting
 
Lukisan Al-Farabi dalam uang kertas Republik Kazakhstan

Al-Farabi dipandang sebagai filsuf muslim pertama yang menghadirkan filsafat sebagai suatu sistem yang kohern di Dunia Islam,[9][10] melampaui warisan filsafat skolastik Neoplatonisme yang diwariskan Aleksandria dan filsafat paripatetik Aristotelian yang berkembang di Syria (Antiokhia).[12][15]

Warna Neoplatonisme pemikiran Al-Farabi terlihat pada skema emanasi yang merupakan sentral dalam kosmologinya, meskipun pandangannya jauh lebih maju daripada sistem planet yang diajukan Ptolemaeus; adapun warna Aristotelian menjadi warna umum pemikiran Al-Farabi, bukan saja terlihat dari banyaknya komentar atas berbagai karya Aristoteles, tetapi juga terlihat dari pengajaran logikanya (ilmu mantik) yang sepenuhnya berwarna Aristotelian.[12] Memang, selain berbagai karya dasar seperti Ihṣā al-'Uḷūm, Risalah fi Mā Yanbaghi an Yutaqaddam Qabla Ta'allum al-Falsafah, dan Falsafah Aristhūthālīs, penguasaan Al-Farabi atas naskah-naskah Aristoteles nampak jelas dalam komentarnya atas Organon.[16] Penguasaan Al-Farabi atas filsafat Aristoteles, khususnya logika, membuatnya mendapat julukan al-Mu'allim al-Tsānī (Guru Kedua) setelah Aristoteles yang merupakan Guru Pertama.[12][16]

Dari autobiografi Ibnu Sina, kita mengetahui bahwa Al-Farabi menulis komentar panjang atas Metafisika Aristoteles berjudul Fi Agrādhi Kitāb Mā Ba’da al-Thabi’ah (Penjelasan atas Kitab Metafisika). Dikisahkan oleh Ibnu Sina:[8]

Saya pernah membaca kitab Mā Ba’da al-Thabi’ah (Metafisika, Aristoteles) tetapi tidak mengerti sedikitpun isinya, juga tidak dapat memahami tujuan dari si penulis. Saya membacanya berulang-ulang, bahkan hingga empat puluh kali hingga saya dapat menghapal teksnya di luar kepala. Meski demikian saya tidak kunjung dapat memahaminya ataupun mengerti maksudnya. Dalam keputus-asaan itu saya berkata pada diri sendiri, “Kitab ini mustahil untuk dipahami!” Lalu pada suatu sore saya berjalan-jalan di sebuah pasar buku dan melintasi seorang penjual yang di tangannya terdapat beberapa jilid buku yang sedang ditawarkan. Dia meminta saya untuk membelinya, namun saya tolak dengan kesal karena merasa tidak membutuhkannya. Tetapi kemudian dia berkata, “Belilah, pemilik buku ini sangat membutuhkan uang dan dia menjualnya dengan harga murah. Aku akan menjualnya kepadamu seharga tiga dirham.” Maka saya pun membelinya dan sesaat kemudian baru menyadari bahwa buku itu adalah karya Abu Nashr al-Farabi berjudul Fi Agrādhi Kitāb Mā Ba’da al-Thabi’ah. Saya pun segera pulang ke rumah dan bergegas membacanya. Dikarenakan sebelumnya saya sudah hapal di luar kepala, seketika itu juga tersingkap inti ajaran Metafisika. Saya sangat bersuka-cita atas hal ini, dan oleh karena itu keesokan harinya saya bersedekah dalam jumlah yang banyak kepada orang-orang miskin sebagai tanda syukur kepada Allah Ta’ala.

Selain Aristoteles dan Ptolemaeus, dari berbagai tulisannya kita melihat beberapa pemikir lain yang berpengaruh pada Al-Farabi, di antaranya Plato, Aleksander Aphrodisias, Galen, Proclus, dan Porfirios. Adapun pengaruh Al-Farabi pada generasi kemudian dapat dilihat jejaknya pada Yahya bin Adi, Abu Sulaiman Sijistani, Abu Hasan al-Amiri, Abu Hayyan al Tawhidi, Ibnu Sina, Suhrawardi al-Maqtul, Mulla Sadra, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd; selain itu juga terlihat pada para pemikir non-muslim seperti Maimonides dan Albertus Magnus, hingga Leo Strauss.

Menurut David C. Reisman dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy,[12] secara umum karya-karya Al-Farabi yang beragam dan luas dapat dikategorisasi dalam topik: (a) metafisika dan kosmologi; (b) psikologi dan kejiwaan, dan (c) logika dan filsafat, termasuk di dalamnya matematika dan filsafat alam. Adapun dari sisi otensitas dan kedalaman dapat dibagi ke dalam tiga jenis karya:

  1. Karya pengantar (prologema) untuk belajar filsafat, yang meliputi etika, dasar-dasar logika, dan perkenalan atas pemikiran Plato dan Aristoteles. Dalam jenis ini terdapat judul-judul seperti Tahsil al-Sa'ādah (Mencapai Kebahagiaan atau Eudaimonia), Falsafah Aflātūn (Filsafat Plato), Falsafah Aristhūthālīs (Filsafat Aristoteles), dan juga Al-Jam'u bayna Ra'yi al-Hākimaini: Aflātūn wa Arishū (Harmoni Antara Dua Filsuf: Plato dan Aristoteles).
  2. Karya berupa komentar (syarah) dan parafrase, di antaranya komentar atas Nicomachean Ethics dan Organon Aristoteles, serta karya Isagoge Porfirios.
  3. Karya orisinal, di mana dalam karya jenis ini Al-Farabi melakukan sintesis berbagai pemikiran sebelumnya secara utuh; di mana dalam kategori ini terdapat judul seperti Al-Siyāsah al-Madāniyyah (Prinsip Politik Madani) dan Mabādi' Arā’ Ahlul Madīnah Al-Fadhīlah (Prinsip Masyarakat dari Negara Paripurna).

Pemikiran tentang Asal usul Negara dan Warga Negara

sunting
 
Al Farabi, seorang Filsuf Islam

Menurut Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat terbentuknya negara.[17] Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara.[17] Menurut Al-Farabi, negara atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan, papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah.[11] Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata, menurut al-Farabi, adalah Negara Utama.[11]

Menurutnya, warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara yang diikuti dengan segala prinsip-prinsipnyaprinsip-prinsipnya (mabadi) yang berarti dasar, titik awal, prinsip, ideologi, dan konsep dasar.[11]

Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak serta jenis negara.[11] Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya.[11] Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna di antara mereka.[11]

Negara Utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami, pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna.[11] Ada tiga klasifikasi utama:

  • Pertama, jantung. Jantung merupakan organ pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak diatur oleh organ lainnya.[11]
  • Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini, selain bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur organ-ogan bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti: hati, limpa, dan organ-organ reproduksi.[11]
  • Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya.[11]

Al-Farabi membagi negara ke dalam lima bentuk,[18] yaitu:

  1. Negara Utama (Al-Madinah Al-Fadilah): negara yang dipimpin oleh para nabi dan dilanjutkan oleh para filsuf; penduduknya merasakan kebahagiaan.
  2. Negara Orang-orang Bodoh (Al-Madinah Al-Jahilah): negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
  3. Negara Orang-orang Fasik: negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh.
  4. Negara yang Berubah-ubah (Al-Madinah Al-Mutabaddilah): pada awalnya penduduk negara ini memiliki pemikiran dan pendapat seperti penduduk negara utama, tetapi kemudian mengalami kerusakan.
  5. Negara Sesat (Al-Madinah Ad-dallah): negara yang dipimpin oleh orang yang menganggap dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.

Lebih jauh, Al-Farabi mengklasifikasikan Negara Bodoh (Al-Madinah Al-Jahilah) ke dalam enam bentuk[19]:

  1. Negara Primitif / Darurat (Al-Jahilah Ad-Daruriah): negara rusak yang dimana penduduknya hanya mementingkan untuk kebutuhan pokoknya terpenuhi.
  2. Negara Kapitalis (Al-Jahilah Al-Baddalah): negara dimana penduduknya mementingkan kekayaan dan harta benda.
  3. Negara Gila Hormat (Al-Jahilah Al-Kurama): negara dimana penduduknya hanya mementingkan kehormatan saja.
  4. Negara Hawa Nafsu (Al-Jahilah Al-Hissaw wa Syahwah): negara dimana penduduknya mementingkan perbuatan keji dan foya-foya.
  5. Negara Tirani / Desponis: negara dimana penakhlukkan atau dominasi menjadi dambaan para penduduknya.
  6. Negara Anarkis (Al-Jahilah Al-Jami'iah): negara dimana setiap pendduknya ingin merdeka melakukan keinginan masing-masing.

Pemikirannya Tentang Pemimpin

sunting

Dengan prinsip yang sama, seorang pemimpin negara merupakan bagian yang paling penting dan paling sempurna di dalam suatu negara.[17] Menurut Al Farabi, pemimpin adalah seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).[17]

Disebutkan adanya pemimpin generasi pertama (the first one – dengan segala kesempurnaannya (Imam) Selanjutnya al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah terpenuhi, tetapi kalau kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau tidak ambil bagian dalam suatu pemerintahan, maka Negara Utama tersebut bagai “kerajaan tanpa seorang Raja”.[11] Oleh karena itu, Negara dapat berada diambang kehancuran.[11] dan karena sangat sulit untuk ditemukan (keberadaannya) maka generasi kedua atau generasi selanjutnya sudah cukup, yang disebut sebagai (Ra’is) atau pemimpin golongan kedua.[11]

Bibliografi

sunting

Karya Al-Farabi

sunting

A. Karya utama dan orisinal

sunting
  • Ihṣā al-'Ulūm (Klasifikasi Ilmu Pengetahuan);
  • Mabādi' Arā’ Ahlul Madīnah Al-Fadhīlah (Prinsip Masyarakat dari Negara Paripurna);
  • Al-Siyāsah al-Madāniyyah (Prinsip Politik Madani);
  • Kitāb Musīq al-Kabīr (Buku Besar Musik);
  • Kitāb fī al-Mantiq al-Khithābah (Buku tentang Pengajaran Ilmu Logika).

B. Syarah atau komentar, risalah dan ringkasan:

sunting
  • Falsafah Aristhūthālīs (Filsafat Aristoteles);
  • Falsafah Aflātūn (Filsafat Plato);
  • Al-Jam'u bayna Ra'yi al-Hākimaini: Aflātūn wa Arishū (Harmoni Antara Dua Filsuf: Plato dan Aristoteles);
  • Fī Agrādhi Kitāb Mā Ba’da al-Thabi’ah (Penjelasan atas Kitab Metafisika Aristoteles, sudah tidak ditemukan);
  • Tahsil al-Sa'ādah (Mencapai Kebahagiaan, dalam hal ini sa'adah diambil dari kata eudaimonia Aristoteles);
  • Maqalāt fī Ma’ani al-'Aql (Pendapat-Pendapat tentang Makna Akal);
  • Kitāb al-Ḥurūf (Buku tentang Huruf-Huruf);
  • Risālah fī Itsbat al-Mufaraqāt;
  • Risālah fī Mā Yanbaghi an Yutaqaddam Qabla Ta'allum al-Falsafah.

Karya Penulis Modern tentang Al-Farabi

sunting
  • H. Z. A. Ahmad (1964). Negara Utama: Teori Kenegaraan dari Sardjana Islam Al-Farabi. Jakarta: Penerbit Djambatan.
  • Dr. Ja'far Ali Yasin (1980). Al-Fārābī: Fī Hudūdihi wa Rumūmihi (Al-Farabi: Berbagai Definisi dan Penjelasannya). Beirut: Alim al-Kitab.
  • Muhsin Mahdi, penerjemah (1962). Alfarabi's Philosophy of Plato and Aristotle. New York: Cornell University Press.
  • Nicholas Rescher (1963). Alfarabi's Short Commentary on Aristotle's Prior Analytics. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press.
  • F. W. Zimmerman, penerjemah (1981) Alfarabi’s Commentary and Short Treatise on Aristotle’s De Interpretatione. London: Oxford University Press.
  • Richard Walzer (1985) Alfarabi on the Perfect State. New York, NY. Oxford University Press.
  • Shamas Malik Nanji, tesis (1989). Alfarabi's philosophy of education. Montreal: Institute of Islamic Studies, McGill University.
  • Ian RIchard Netton (1992). Al-Fārābī and His School. New York: Routledge.
  • Charles Butterworth, penerjemah (2001). Alfarabi: The Political Writings. New York: Cornell University Press.
  • Majid Fakhri (2002). Alfarabi: Founder of Islamic Neoplatonism. Oxford: Oneworld Publications.
  • David C. Reisman (2004). Al-Fārābī and the philosophical curriculum, dalam Cambridge Companions to Philosophy. Cambridge University Press.
  • Damien Janos (2012). Method, Structure, and Development in al-Fārābī’s Cosmology. Leiden: Brill.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Brague, Rémi; Brague, Remi (1998). "Athens, Jerusalem, Mecca: Leo Strauss's "Muslim" Understanding of Greek Philosophy". Poetics Today. 19 (2): 235–259. doi:10.2307/1773441. ISSN 0333-5372. JSTOR 1773441. 
  2. ^ a b c d Al-Tālbī, Ammār (1993). "Al-Fārābī" (PDF). Prospects: The Quarterly Review of Comparative Education (dalam bahasa Inggris). Paris: UNESCO: International Bureau of Education. 23 (1): 353–372. doi:10.1007/BF02195045. ISSN 1573-9090. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17/01/2001. 
  3. ^ Fakhry, Majid (2002). Al-Farabi, Founder Of Islamic Neoplatonism: His Life, Works And Influence. Oxford: Oneworld Publications. hlm. 6.  line feed character di |title= pada posisi 44 (bantuan)
  4. ^ Naṣr, Ḥusain (2014). "Why was al-Farabi called the Second Teacher?". Dalam Razavi, Mehdi Amin. The Islamic intellectual tradition in Persia. London: Routledge. hlm. 59–64. ISBN 978-0-7007-0314-2. There are those who say that since al-Farabi was the most learned philosopher after Aristotle, and since he was a great commentator of the 'First Teacher', he was called the 'Second Teacher'. Among the advocates of this view, one can name Muhammad Lu!fi Jum'ah, the contemporary Egyptian writer, and the Dutch scholar T. J. de Boer. 
  5. ^ a b c H. Sirajuddin Zar, 2004. “Filsafat Islam”. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  6. ^ Rescher, Nicholas (1963-09-15). Al-Farabi's Short Commentary on Aristotle's Prior Analytics (dalam bahasa Inggris). University of Pittsburgh Pre. ISBN 978-0-8229-7553-3. 
  7. ^ a b c d e f Karliga, Bekir (2016). ''Al-Farabi: A Civilization Philosopher'', Istanbul International Civilization Studies Center (MED-AR), Istanbul
  8. ^ a b c d Ushaybi’ah, Ibnu Abi (1981). 'Uyūn al-Anbā' fī Thabaqāt al-Athibbā' (dalam bahasa Arab). Dar al-Taqafa. Archived from the original on 2023-06-01. Diakses tanggal 2023-06-01. 
  9. ^ a b Fakhry, Majid (2002). Al-Fārābi, founder of Islamic neoplatonism: his life, works and influence. Great Islamic thinkers. Oxford: Oneworld. ISBN 978-1-85168-302-4. 
  10. ^ a b c d e Gutas, Dimitri (1999). "Fārābī". Encyclopaedia Iranica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-06-01. 
  11. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Eduarny Tarmiji. 2004. “Konsep Al-Farabi tentang Negara Utama”, thesis magister. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia
  12. ^ a b c d e Reisman, David C. (2004). Adamson, Peter; Taylor, Richard C., ed. Al-Fārābī and the philosophical curriculum. Cambridge Companions to Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 52–71. doi:10.1017/ccol0521817439.004. ISBN 978-0-521-81743-1. 
  13. ^ Shamas Malik Nanji, "Alfarabi philosophy of education", hal. 6, sebuah tesis doktoral di Universitas McGiIl, Montreal, Kanada.
  14. ^ Anwarudin Harahap. 1981. “Posisi Abu Nasr Al Farabi dalam Dunia Islam”, skripsi sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
  15. ^ Watt, John W. (2016-01-01). 1 The Syriac Aristotelian Tradition and the Syro-Arabic Baghdad Philosophers (dalam bahasa Inggris). Brill. hlm. 7–43. doi:10.1163/9789004306264_003. ISBN 978-90-04-30626-4. 
  16. ^ a b Janos, Damien (2012). Method, Structure, and Development in al-Fārābī’s Cosmology. Leiden: BRILL. ISBN 978-90-04-21732-4. 
  17. ^ a b c d (Inggris) Al-Farabi, Abu Nasr. ” Mabadi Ara Ahl Al-Madina Al Fadila”, (diterjemahkan oleh R. Walzer.” Al-Farabi on The Perfect State”), Oxford: Claendon Press, 1985
  18. ^ Hujjatul Islam: Al Farabi, Pemikir Besar Muslim Abad Pertengahan (Bagian 4)
  19. ^ Said, Abdullah (2019-09-14). "Filsafat Politik Al-Farabi". Indonesian Journal of Islamic Theology and Philosophy (dalam bahasa Inggris). 1 (1): 63–78. doi:10.24042/ijitp.v1i1.4097. ISSN 2656-8748.