Willem Iskander (lahir dengan nama Sati Nasution lalu bergelar Sutan Iskandar di Pidoli Lombang, Sumatera Utara, Maret 1840 – meninggal di Amsterdam, Belanda, 8 Mei 1876 pada umur 36 tahun)[1] adalah tokoh pendidikan dari daerah Mandailing Natal, Sumatera Utara, Indonesia. Willem mendirikan sekolah guru sepulang dari pendidikan di Belanda. Ia merupakan pujangga bahasa yang menyair tentang pendidikan dan cinta kampung halaman.

Willem Iskander
Potret Willem Iskander, 1874 di Bagas Godang Pidoli sebelum ia berangkat ke Belanda kedua kali
LahirSati Nasution
Maret 1840
Belanda Pidoli Lombang, Hindia Belanda
Meninggal8 Mei 1876 (umur 36)
Amsterdam, Belanda
MakamZorgvlied Begraafplaats, Amsterdam
Dikenal atas
Karya terkenalPendiri Sekolah Kweekschool Voor Inlandsche Onderwijers Tano Bato (1862-1874)
Suami/istriMaria Christina Jacoba Winter
Orang tuaRaja Tinating Nasution dan Si Anggur
Kerabat
  • Sutan Soripada
  • Sutan Kumala
  • Sutan Kasah

Latar belakang sunting

Dilahirkan dengan nama Sati Nasution, gelar Sutan Iskandar, nama yang tertulis dalam akta kelahiran (acte van bakenheld), Surat, belsit, piagam dan surat nikah, Willem Iskander (Nama sesudah ia dibaptis di Arnhem, 1858) lahir di Pidoli, Mandailing Natal. Ia generasi ke 11 dari marga Nasution. Ia anak bungsu dari empat bersaudara.

Pendidikan sunting

Ia mengawali pendidikannya di Sekolah Rendah (Inlandsche Schoolan) di Panyabungan Kota, Mandailing Natal (1853-1855). Februari 1857 ia berangkat ke Belanda bersama Alexander Philippus Godon, Asisten Resident Mandailing-Angkola untuk melanjutkan Sekolahnya. Pertama ia belajar di Vreeswijk, supaya bisa melanjutkan ke sekolah guru. Ia dibantu oleh A P.Ghodon dan Prof. H.C. Milles (Guru Filsafat, Sastra dan Budaya timur di Utrecht) untuk mendapatkan beasiswa dari Kerajaan Belanda, meski mendapat tantangan dari parlemen Kerajaan karna dianggap Kristenisasi dalam pembiayaan pendidikan, tapi Prof. H.C. Milles berhasil meyakinkan anggota Parlemen. Willem akhirnya dapat beasiswa di Sekolah Guru (Oefenschool). Ia lulus dan mendapat ijazah Guru bantu (Hulponderwijzer) 5 Januari 1859.

Tahun 1874 ia pergi Melanjutkan pendidikannya ke Belanda kedua kali untuk mendapatkan Ijasah Guru Kepala Sekolah (Hoofdonderwijzer). Ia berangkat bersama Benas Lubis (Muridnya), Raden Mas Sunarso dari Kwekschool Surakarta, Mas Ardi Sasmita dari Majalengka.

Pengabdian sunting

Setelah lulus Sekolah Rendah di usia 15 tahun, ia diangkat menjadi Guru di Sekolahnya tersebut , ia juga bekerja sebagai jurutulis bumiputra (Adjunct inlandsche sehrijfer) di kantor resident Mandailing-Angkola, menggantikan Haji Nawi yang dipecat.

Sekembalinya dari Belanda tahun 1861 di Batavia, Ia menemui Gubernur Jenderal Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet Van Den Balle untuk mengutarakan niatnya mendirikan Sekolah Guru di Mandailing, Keinginan Willem tersebut di setujui dengan memberikan surat rekomendasi kepada Van Den Bosch (Gubernur Pantai Barat Sumatra), Resident Mandailing-Angkola, Kontrolir, Pejabat-pejabat daerah untuk membantu dan mendirikan sekolah tersebut. Atas dukungan pemerintah Belanda dan Kepala-kepala Kampung, tahun 1862 Willem mendirikan Sekolah Guru (Kweekschool) di Tano Bato secara swadaya dengan gedung sekolah yang sangat sederhana, Tano Bato merupakan Gudang Kopi Pemerintah Hindia Belanda. Willem melakukan terobosan gerakan pencerahan (Aufklarung) melalui pendidikan di Mandailing-Angkola, khususnya di Mandailing Orientasi, Cakrawala, Penalaran, Idealisme, dan Semangat pembaharuan di Mandailing.

Tahun 1874, Sekolah yang ia dirikan ditutup dan dipindahkan ke Padangsidempuan karena Ia pergi ke Belanda melanjutkan sekolah untuk mendapatkan Ijazah Guru Kepala.

Keluarga sunting

Ia menikah dengan Maria Jacoba Christina Winter 27 Januari 1876. Usia pernikahannya hanya 103 hari dan tidak mempunyai keturunan.[2]

Ia meninggal 9 Mei 1876 di Amsterdam dan di makamkan di Zorgvlietbeegrafplaats di Amstelveen di pingggiran kota Amsterdam. Awal 1876 Willem Iskander kawin dengan perempuan Belanda, Maria Christina Jacoba Winter. Seolah sebagai penyempurna bencana itu segera tampak (terlihat) perkawinan itu bukanlah perkawinan yang bahagia, melainkan sebaliknya, Sumber dukacita yang tak habis-habisnya semua itu tidak tertangguhkan oleh willem Iskander, pada 8 Mei 1876 Ia Bunuh diri. Khalff melukiskan secara elastis Willem Iskander menembak kepalanya sendiri di taman Vondel. Tidak lama sebelumnya Ia menulis surat untuk Hekker :

"Hidup ini sangat berat bagi saya, Kesedihan yang akhir-akhir ini saya tanggung membuat hidup saya tak lama lagi... Dengan menarik pelatuk senjata api saya akan serahkan hidup ini kepada Tuhan..."[3]

Pengabadian sunting

Willem Iskander diabadikan sebagai nama jalan di Mandailing Natal dan di Medan. Selain itu merupakan nama sebuah SMK di Mandailing Natal, dan nama Sanggar Seni di Tebet, Jakarta Selatan.

Penghargaan sunting

  • Willem Iskander mendapat penghargaan Hadiah Seni dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional 1978, KEPRES No 101/M/Tahun 1978.

Petikan Sastra sunting

Karya Sastra Willem Iskander dalam Bahasa Mandailing yang di terjemahkan oleh Basyral Hamidy Harahap ke dalam Bahasa Indonesia :

Adong halak ruar
Na mian di Panyabungan
Tibu nian ia aruar
Harana boltok madung busungan

(Indonesia)
Ada orang luar
Yang berdiam di Panyabungan
Moga cepat ia keluar
Karena perutnya sudah Buncit

Laho hita marsarak
Marsipaingot dope au
Ulang lupa paingot danak
Manjalaki bisuk napeto

(Indonesia)
Saat kita akan berpisah
Aku berpesan kepadamu
Jangan lupa mengingatkan anak
Agar selalu mencari kebenaran

Referensi sunting

  1. ^ http://basyral-hamidy-harahap.com/blog/index.php?itemid=28
  2. ^ "Willem Iskander". UNY.ac.id. Diakses tanggal 15 Januari 2015. 
  3. ^ Hary A. Peoze (Sumbangan tulisan dari Cornelis Van Dijk, Inge Van Der Meulen) (2008). Di Negeri Penjajahan (Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950). Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 18.  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)

Catatan kaki sunting