Wayang Cepak atau wayang papak merupakan jenis kesenian wayang yang berkembang di wilayah Cirebon dan sekitarnya, bentuk wayang Cepak hampir mirip dengan wayang Golek Purwa Sunda namun memiliki bentuk mahkota kepala (bahasa Cirebon: sirah-sirahan) yang rata (bahasa Cirebon: cepak), dari bentuk mahkota kepala itulah wayang ini mendapatkan namanya.[1]James Redmond dalam bukunya Themes in Drama: Volume 8, Historical Drama terbitan tahun 1986 menjelaskan bahwa kesenian wayang Cepak ini berkembang di sekitar pantai utara pulau Jawa dari Cirebon hingga Pekalongan.[2] Cerita-cerita yang dipentaskan biasanya terpusat pada tiga hal, pertama, cerita-cerita muslim dari Arab karangan Amir Hamzah, kedua, cerita-cerita dari masa kerajaan Hindu, seperti cerita Panji yang merupakan seorang pangeran dari sekitar tahun 1045 - 1222 dan yang ketiga adalah cerita-cerita lokal yang biasanya bersumber dari babad.

Wayang Cepak Cirebon dengan berbagai hiasan ikat kepalanya
tetaluan (bahasa Indonesia : musik gamelan) Cirebon dengan judul tragtagan (bahasa Indonesia : ruang pagelaran) dengan notasi laras pelog

Sejarah

sunting

James Brandon dan Martin Banham dalam bukunya The Cambridge Guide to Asian Theatre menjelaskan bahwa pada tahun 1553 Sunan Giri membuat sebuah wayang yang bentuknya seperti boneka tangan dari kayu.[3] Wayang tersebut ditujukan agar dapat digelar sebagai dakwah Islam pada waktu siang hari dikarenakan wayang kulit yang merupakan seni pertunjukan bayangan pada masa tersebut hanya dapat digelar pada saat malam hari. Pada sekitar tahun 1583[4] - 1584,[3] Sunan Kudus kemudian melakukan inovasi pada wayang kayu buatan Sunan Giri, hasil inovasi inilah yang kemudian populer di wilayah pantai utara pulau Jawa. Daerah yang pertama kali dimasuki kesenian wayang baru ini adalah Cirebon dengan menampilkan kisah-kisah Menak (bahasa Indonesia: bangsawan) yang memiliki nama-nama seperti Amir, Amir Mukminin, Jaya Dimuri, Jayang Jurit, Jayeng Laga, Jayeng Satru serta lainnya, wayang tersebut kemudian dikenal dengan nama wayang cepak.

Perkembangan masa kesultanan Cirebon

sunting

Pada masa lalu, ketika wayang Cepak berkembang di daerah Cirebon dan sekitarnya, masyarakat pada masa itu menggelar pertunjukan wayang Cepak untuk menyambut para mualaf (bahasa Indonesia: orang yang baru masuk Islam) hal tersebut dikarenakan pada masa lalu ada tiga hal yang harus dipapak (bahasa Indonesia: diratakan / dibuat cepak) dari orang yang baru masuk Islam yaitu kemaluannya disunat (bahasa Cirebon: sunat), giginya diratakan (bahasa Cirebon: pangur) dan rambutnya dirapikan (bahasa Cirebon: pangkas) atau hanya untuk meramaikan acara sunatan anak-anak. Ki Dalang Tanggal Gunawijaya dari wilayah desa sumber (sekarang telah dimekarkan menjadi desa Sumber Lor dan desa Sumber Kidul) kecamatan Babakan,kabupaten Cirebon menceritakan sebuah sejarah lisan[1] bahwa pada masa Pangeran Adining Kesumah (Pangeran Girilaya) berkuasa, Pangeran Sutajaya (senopati kesultanan Cirebon sekaligus penguasa wilayah Gebang) dan sekitarnya memberikan seperangkat wayang Cepak kepada dalang wayang terkenal pada masa tersebut yaitu Ki Dalang Prengut[5] dengan pesan untuk digunakan sebagai sarana dakwah agama Islam, sejak saat itu wayang cepak pemberian Pangeran Sutajaya selalu dipakai oleh Ki Dalang Prengut.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels tahun 1808 -1811 dibuatlah jalan raya pos, kemudian kesenian wayang kayu mulai memasuki wilayah Priyangan, di wilayah ini kesenian wayang kayu kemudian berkembang dengan bentuk yang berbeda dari wayang Cepak yang ada di Cirebon dan oleh masyarakatnya disebut sebagai wayang Golek[5]

Perkembangan masa modern

sunting
 
Ki Dalang Amo Wijaya memainkan Wayang Cepak Cirebon dengan lakon keraton Cangkring desa Baringin pada sebuah hajatan di desa Karang Mekar, kecamatan Karang Sembung, kabupaten Cirebon

Pada masa modern, wayang Cepak selain digunakan sebagai media dakwah Islam juga terkadang digelar setahun sekali di pemakaman desa dengan tujuan untuk menghormati yang telah meninggal.

Bahasa pedalangan

sunting

Wayang Cepak menggunakan bahasa Cirebon sebagai bahasa pengantar dalam pagelarannya

Alat musik dan nayaga

sunting

Para nayaga (bahasa Indonesia: pemain gamelan) yang mengiringi pagelaran wayang Cepak Cirebon biasanya terdiri atas para penabuh yang susunannya tidak jauh berbeda dari nayaga pada pagelaran wayang Kulit Cirebon. Para nayaga tersebut terdiri atas para penabuh ;

  • Saron 2 pangkon
  • Penerus (demung)
  • Bonang (kromong)
  • Kemyang (bonang penerus)
  • Gambang
  • Kenong-jengglong
  • Kendang
  • Beri (simbal)
  • Suling
  • Titil/peking
  • Kebluk (kempyang)
  • Kemanak
  • Klenang
  • Kiwul-gong
  • Sabet-gong.
  • Bedug
  • Keprak (kecrek)

Laras (bahasa Indonesia: intonasi nada) yang digunakan pada pagelaran wayang Cepak Cirebon adalah laras pelog.[6]

Sanggar wayang Cepak

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b Wayang Indonesia - Wayang Cepak
  2. ^ Redmond. James. 1986. Themes in Drama: Volume 8, Historical Drama. Cambridge: Cambridge University Press
  3. ^ a b Brandon, James dan Martin Banham. 197. The Cambridge Guide to Asian Theatre. Cambridge: Cambridge University Press
  4. ^ Sopandi, Atik. 1984. Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priyangan. Bandung: Pustaka Buana
  5. ^ a b Pratama, Ary. 2012. Perancangan font dengan inspirasi bentuk toko Prabu Cakrabuana Wayang Cepak Cirebon. Bandung: Universitas Komputer Indonesia
  6. ^ Sekar Enggal - Gamelan Salendro