Vincentius Bata da Costa

Vincentius Bata da Costa atau disingkat V. B. da Costa (22 Januari 1927 – 11 Februari 2016) ([1]-)([2]) merupakan salah satu politisi Indonesia yang telah aktif di parlemen sejak zaman Orde Lama (melalui Partai Katolik di Konstituante[1]), Orde Baru (Partai Demokrasi Indonesia di DPR RI), dan Reformasi (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di DPR RI periode 1999-2004 dan Partai Demokrasi Pembaruan).[3] Ia merupakan putra daerah asli Paga, Maumere, Flores Timur[4] yang mendapat gelar Sarjana Hukum (SH) dari Universitas Gadjah Mada dan merupakan pencetus istilah Lembaga Permasyarakatan (LP) untuk menggantikan nama penjara.[3]

Vincentius Bata da Costa
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Masa jabatan
1 Oktober 1999 – 1 Oktober 2004
Daerah pemilihanNusa Tenggara Timur
Masa jabatan
1 Oktober 1992 – 1 Oktober 1997
Daerah pemilihanNusa Tenggara Timur
Masa jabatan
28 Oktober 1971 – 1 Oktober 1982
Daerah pemilihanNusa Tenggara Timur
Anggota Konstituante
Masa jabatan
9 November 1956 – 5 Juli 1959
Informasi pribadi
Lahir
Vincentius Bata da Costa

(1927-01-22)22 Januari 1927
Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur
Meninggal11 Februari 2016(2016-02-11) (umur 89)
Jakarta, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Partai politikPartai Katolik (1950—71)
Partai Demokrasi Indonesia (1971—96)
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (1996—2005)
Partai Demokrasi Pembaruan (2005—10)
Suami/istridr. M.I Sriati da Costa MPH
AnakMartina I.V da Costa
Alma materUniversitas Gadjah Mada
PekerjaanPengacara
Politikus
Dikenal karenaAnggota DPR RI
Pengacara
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Riwayat Hidup sunting

Masa Penjajahan Belanda dan Jepang sunting

Tahun 1942 ketika Jepang masuk Indonesia, Sentis (nama kecil VB da Costa) dan rekan-rekan di Schakelschool Ndao, Ende harus pulang kampung. Sekolah tersebut bubar karena para pastor dan guru asal Belanda di Ndao dimasukan Jepang ke dalam kamp internir.

Masa Orde Lama sunting

Setelah Jepang kalah 1946, atas jasa P. van Doormal, SVD, Sentis bisa ikut verklaring examen di Kupang. Tahun 1948, pemuda Sentis bersama Jan Jong dan beberapa tokoh lainnya di Maumere menginisiasi suatu gerakan perlawanan yang disebut Kanilima. Pada tahun 1949, Sentis dikirim Raja Don Thomas ke Makassar untuk melanjutkan pendidikan tingkat atas (MULO). Setamat MULO pada 1951, Sentis yang brilian mendapat beasiswa kuliah hukum di UGM Yogyakarta bersama sahabatnya Ben Mang Reng Say yang mengambil jurusan sosial politik di kampus yang sama. Tahun 1955, saat sedang menyelesaikan skripsi sarjana, keduanya ikut terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Partai Katolik untuk daerah Sunda Kecil[5] (saat itu Bali, NTB, dan NTT masih bergabung dalam Provinsi Sunda Kecil). Saat masih menjadi mahasiswa hukum di UGM Yogyakarta, beliau menjadi Sekretaris Tim Perumus Konstituante pada periode 1956-1959. Adnan Buyung Nasution, SH mencatat bahwa di masa persidangan Konstituante tersebut terdapat 2 tokoh muda Partai Katolik asal Sunda Kecil yang tampil sangat menonjol untuk mempertahankan Pancasila dan UUD 45 dari tekanan kelompok pro-Jakarta Charter yang mengakibatkan terjadinya dead lock dalam Konstituante pada tahun 1959 sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kembali ke Pancasila dan UUD 45.[3][6]

Masa Orde Baru (Fraksi PDI) sunting

Ketika tahun 1980 terjadi pembahasan RUU KUHAP, pro dan kontra tentang berbagai hal menyangkut materi KUHAP sangat kental antara ketiga fraksi di DPR, yaitu Golkar di satu pihak dan PDI serta PPP di pihak lain terutama pada perbedaan terkait masuknya Hak Asasi Manusia/HAM di dalam KUHAP.

Polemik tentang masuknya HAM di dalam KUHAP secara gigih diperjuangkan Da Costa dari F-PDI dan berhasil menunda atau menggagalkan pengesahan RUU KUHAP pada tahun 1980. Penundaan itu menjadi berkah karena melalui penundaan tersebut perjuangan memasukan HAM dalam KUHAP berhasil diusulkan oleh Da Costa dan rekan-rekan dari F-PDI. Usulan tersebut baru dibahas kembali pada 1981 dan disahkan pada tahun yang sama sehingga Indonesia pertama kali memiliki KUHAP tingkat Nasional.

Semua Fraksi pada akhirnya mendapatkan pemahaman yang sama tentang perlunya HAM yang diatur secara jelas dan tegas dalam KUHAP seperti perlunya tersangka didampingi penasehat hukum, mengenai bantuan hukum, pembatasan masa penahanan tersangka, hak tersangka untuk mendapatkan penangguhan penahanan, SP3 dan pra-peradilan. Inilah hal yang secara gigih dipertahankan oleh V.B. da Costa karena masuknya HAM di dalam KUHAP tidak sejalan dengan konsep Polri dan Kejaksaan melalui Golkar di DPR RI. Kegigihan mempertahankan ideologi yang diamanatkan oleh konstitusi bukan dilakukan secara asal-asalan atau asal bunyi tetapi betul-betul dipersiapkan secara baik.[4]

Referensi sunting

  1. ^ a b "Vincentius Bata da Costa - Partai Katholik - Member Profiles - Konstituante.Net". Konstituante.Net. Diakses tanggal 2018-12-02. 
  2. ^ Akhmadi, Yudono Yanuar (2016-02-12). "VB Da Costa Pendiri PDI Meninggal, Mengeluh Sakit Punggung". Tempo.co. Diakses tanggal 2018-12-02. [pranala nonaktif permanen]
  3. ^ a b c "Dari Jejak Kesejarahan, VB da Costa Layak Jadi Pahlawan Nasional". www.mediantt.com (dalam bahasa Inggris). Media NTT. Diakses tanggal 2018-12-02. 
  4. ^ a b SHNet, Redaksi (2016-02-19). "Belajar Sederhana dari VB Dacosta - SHNet". SHNet (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-02. Diakses tanggal 2018-12-02. 
  5. ^ "Konstituante.Net Profil Anggota Profil Anggota". Konstituante.Net. Diakses tanggal 2018-12-02. 
  6. ^ Netralnews.Com. "Netralnews.com - Sepenggal Kisah Perjuangan Om Sentis da Costa". netralnews.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-02. Diakses tanggal 2018-12-02.