Van Heiden Tot Christen

Van Heiden Tot Christen[1] (Keluar dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen). Buku terbitan tahun 1927 yang ditulis oleh Albertus Christiaan Kruyt dari Belanda ini berisi mengenai perjalanan Kekristenan di Sulawesi Tengah dalam diri seseorang dan melihat seberapa dalam Kekristenan mengakar dalam diri mereka.

Anak-anak para pendatang toraja to lampu membaur dengan suku bare'e mohammadisme di sekolah misi di poso-tojo

Di wilayah Sulawesi bagian Poso dan Tojo, dahulunya ada istilah Toraja diciptakan Belanda untuk menamakan Suku Bare'e (Bare'e-Stammen ; Alfouren) yang masih beragama Lamoa (Tuhan PueMpalaburu), tetapi masih sangat banyak juga Suku Bare'e yang beragama Lamoa yang ikut Suku Bare'e yang beragama Islam (Mohammadisme) karena Suku Bare'e tersebut tidak cocok dengan gaya hidup orang Belanda yang berkulit putih dan berambut kuning, dan Alfouren yang mau ikut Belanda inilah yang disebut dengan istilah Toraja.

Alfouren yang diistilahkan Belanda dengan istilah Toradja tersebut harus meninggalkan kebiasaan dari suku lama mereka yaitu Suku Bare'e (Bare'e-Stammen), karena Suku Bare'e telah banyak yang beragama Islam sehingga bagi pihak Belanda kemudian mengistilahkan "Van Heiden tot Christen"[2] untuk penduduk asli suatu wilayah yang wilayahnya dinamakan Belanda dengan nama Grup Poso-Tojo yang memiliki nama lain Toraja Poso-Tojo, atau Toraja Timur (Toradja Bare'e) dengan Suku Bare'e sebagai suku asli pemilik wilayah tersebut, dan istilah "Van Heiden tot Christen" sudah sangat dikenal di wilayah Grup Poso-Tojo, dan orang Toradja (istilah bagi orang Bare'e yang bukan beragama Islam) ini kemudian diberi makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan pengajaran Agama Kristen.

Beberapa puluh tahun setelah perilisan, buku ini dikutip oleh berbagai penulis dan peneliti seperti H.C. Raven, Walter Kaudern, John Sidel, Greg Acciaioli, David Henley, Lorraine Aragon dan masih banyak peneliti lain sebagai salah satu sumber rujukan dalam penulisan tentang Suku Bare'e untuk studi mereka. [3][4] [5]

Sejarah

sunting

Tahun 1888 adalah awal gerakan misionaris di Sulawesi bagian tengah Wilayah Grup Poso-Tojo oleh asisten residen manado Wolter Robert van Hoëvell[6].

Awal gerakan misionaris terjadi pada tahun 1888. Pada periode tersebut, Sulawesi bagian Tengah berada di bawah yurisdiksi Afdeling Gorontalo, yang berpusat di Gorontalo, Wolter Robert van Hoëvell, sebagai Asisten Residen Gorontalo, Wolter Robert van Hoëvell khawatir pengaruh Islam yang begitu kuat di Gorontalo akan meluas ke wilayah Sulawesi bagian Tengah—yang saat itu masih belum dimasuki agama samawi, dan penduduknya sebagian besar masih pagan, penganut animisme, dan memeluk agama suku. Baginya, agama Kristen adalah penyangga yang paling efektif melawan pengaruh Islam. Ia menghubungi lembaga misionaris Belanda, Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG), dan meminta mereka untuk menempatkan seorang misionaris di wilayah ini.

Pada tahun 1892, NZG kemudian mengirimkan misionaris bernama Albertus Christiaan Kruyt, yang ditempatkan di Wilayah Grup Poso-Tojo, dan menemukan 3 batu yang tersisa yang ternyata bernama Watu Mpogaa[7] dibekas sisa Desa Pamona di tepi Danau Poso (Rano Poso/ To Rano).

Suku Bare'e atau bahasa Belandanya BARE'E-STAMMEN (De Bare'e-Sprekende jilid 1 halaman 119)[8] yang pada waktu itu sudah banyak yang beragama Islam yang disebut Belanda dengan nama Mohammadisme, dan sebagian kecil Orang Poso masih beragama Lamoa (Langit), cara Belanda mengidentifikasikan suku asli (alfouren) yang disebut Belanda dengan istilah Toradja yaitu Orang Toraja tersebut berpenampilan seperti Gelandangan yang berbeda penampilannya dengan Suku Bare'e yang memakai inodo, dan Suku Bare'e (Bare'e-Stammen) merupakan Suku Asli di wilayah Grup Poso-Tojo.

Kemudian orang-orang yang berpenampilan seperti gelandangan tersebut diberi nama Alfouren yang kemudian diganti oleh A. C. Kruyt dan Dr. N. Adriani dengan nama Toradja (Toraja), sementara yang sudah beragama Islam masih disebut Suku Bare'e (Bare’e-Stammen).

Setelah mempelajari Watu Mpoga'a[9], para gelandangan yang telah menjadi umat Kristen tersebut mengetahui asal usul mereka sebelum berada di wilayah Grup Poso-Tojo yaitu berasal dari wilayah Wotu.[10]

Wilayah Poso dan Todjo kemudian dinamakan Grup Poso-Tojo (Toraja Poso-Tojo, atau Toraja Timur (Toradja Bare’e) dengan Bahasa Bare’e (Bare’e-Taal)[11] sebagai bahasa asli di wilayah tersebut.

Keagamaan

sunting

Pada zaman penjajahan, Hindia Belanda melarang semua bentuk kepercayaan Lamoa yang bertuhan kepada Puempalaburu, dan membebaskan budaya dan adat yang tidak berhubungan dengan kepercayaan lama seperti Tari Moraego, Tari Mokayori (Kerajaan Tojo), dll..[12]

Pada awal tahun 1900 jalannya Pemerintahan Hindia Belanda di jalur dari pantai timur ke pantai barat terganggu dengan adanya sekelompok "bajing loncat" dari kelompok Raranggonau di sekitar Danau Lindu yang memutuskan semua akses Pemerintahan Hindia Belanda dari pantai timur ke pantai barat, sehingga untuk sementara dibuatlah jalur alternatif sementara dari poso ketempat Pusat Pemerintahan Hindia Belanda terdekat yaitu di wilayah Kerajaan Luwu, dan Pemerintahan Hindia Belanda dari wilayah Poso - Tojo ke wilayah Kerajaan Luwu ini disebut Blok Poso-stretch, dan dari Blok Poso stretch dimanfaatkan oleh Misionaris Belanda dengan mengadakan suatu gerakan yang disebut Monangu Buaja[13] (krokodilzwemmen).

Penolakan istilah Toraja di Sulawesi

sunting

Bugis dan To Luwu adalah masyarakat yang pertama kali menolak penyebutan Toraja untuk Umat Kristen di Sulawesi Selatan, dan hal tersebut diakui oleh Makkole dan Maddika Luwu saat itu, dan juga karena wilayah yang dihuni Suku Toraja adalah wilayah Kerajaan Luwu yang mana wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Morowali[14], dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) sampai ke seluruh wilayah Tana Toraja, oleh karena itu To Luwu menolak terhadap istilah Toraja (Toradja) untuk penyebutan Umat Kristen di Sulawesi Selatan.

Penolakan atas istilah Toraja inilah yang membuat ragu masyarakat Sulawesi pada saat terjadi gerakkan Monangu Buaya oleh Kerajaan Luwu, karena bunyi dari Monangu Buaya adalah sangat bertentangan dengan penolakan istilah Toraja (Toradja) yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, karena bunyi dari Monangu Buaya (Monangu Buaja) adalah "Semua Suku Toraja (Toradja-Stammen) dan Umat Kristen di Tana Poso harus mendukung semua Budaya Luwu termasuk Monangu Buaya", dan itu sangat tidak mungkin terjadi dimana sedang terjadi salah paham dan "pengusiran" antara pihak masyarakat Sulawesi Selatan yang menentang istilah Toraja ciptaan misionaris Belanda dan Budaya Luwu Monangu Buaya yang didukung misionaris Belanda dengan kata lain sedang terjadi permusuhan antara masyarakat Sulawesi Selatan dengan pihak misionaris Belanda sehingga semua masyarakat Sulawesi berkesimpulan bahwa gerakan menarik upeti Monangu Buaya (Monangu Buaja; krokodilzwemmen)[15] adalah bukan dari Kerajaan Luwu tetapi Monangu Buaya adalah ciptaan misionaris Hindia Belanda. Terbukti dari Monangu Buaya mengutip ayat dari Alkitab Injil yaitu " dengan melihat kepada Tokoh Alkitab Injil yaitu "sejarah kematian Lazarus" yang menceritakan bahwa Baju Adat Inodo bukan bajunya umat kristen yang diwakili tokoh Lazarus".[16]

Pada zaman modern para peneliti dan akademisi Sulawesi seperti Priyanti Pakan, Mashudin Masyhuda, Andi Mattulada, dan Lorraine Aragon juga pada awalnya menolak penerapan istilah Toraja bagi penduduk Sulawesi Tengah.[17]

Monangu Buaya

sunting

Monangu Buaya[18] (monangu buaja; krokodilzwemmen) atau "berenang seperti buaya", yakni berenang langsung menuju sasaran tanpa melihat ke kiri dan ke kanan yaitu semacam gerakan menarik upeti ciptaan Misionaris Hindia Belanda untuk memperluas wilayah jajahan mereka, gerakan Monangu Buaya ini ditujukan untuk semua Toradja-Stammen dan Umat Kristen di poso untuk mendukung budaya luwu, jadi semacam taktik mengadu domba antara Kerajaan Tojo dengan Kerajaan Luwu, dengan melihat kepada Tokoh Alkitab yaitu "sejarah kematian Lazarus" yang menceritakan bahwa Baju Adat Inodo bukan bajunya umat kristen yang diwakili tokoh Lazarus.

Dan dari gerakan Monangu Buaya maka suku asli (alfouren) di wilayah Toraja Bare'e dibedakan menjadi Suku Bare'e[19] (Bare'e-Stammen) dan Toraja (Toradja).

Perbedaan Suku Bare'e & Toraja

sunting

Khusus di wilayah Sulawesi bagian tengah (midden celebes) yaitu Wilayah Grup Poso-Tojo Istilah Toraja diciptakan Belanda untuk menamakan Suku Bare'e (Alfouren) yang masih beragama Lamoa (Tuhan PueMpalaburu), dan semua Suku Bare'e (Bare'e-Stammen) yang masih beragama Lamoa harus mengakui dirinya adalah orang Toraja (Toradja) dan bukan lagi Bare'e, tetapi walaupun begitu masih sangat banyak juga Suku Bare'e yang beragama Lamoa yang ikut Suku Bare'e yang beragama Islam (Mohammadisme) karena Suku Bare'e tersebut tidak cocok dengan gaya hidup orang Belanda yang berkulit putih dan berambut kuning.

Maka penduduk asli atau ALFOUREN di wilayah Grup Poso-Tojo dibagi 2 Kelompok yaitu :

1. Bare’e, atau Suku Bare'e[20] (Bare’e-Stammen) yang beragama Islam (Mohammadisme), dan Suku Bare'e yang masih beragama Lamoa (Bertuhan PueMpalaburu), dan

2. Toraja (Toradja)[21] yang Orang-orangnya diambil dari Suku Bare'e (Bare'e-Stammen) yang beragama Lamoa, dan Alfouren yang mau ikut Belanda inilah yang disebut Toraja, sehingga bagi pihak Belanda kemudian mengistilahkan “Van Heiden tot Christen”, yang semua Toraja tersebut berasal dari wilayah wotu, luwu, yang sekarang wilayah dari Kabupaten Luwu Timur, yang dijelaskan dalam buku "De Bare'e-Sprekende de Toradja in midden celebes" jilid 1 halaman 5, sub.bab Vairspriding Toradja poso-Todjo Groupen[22].

Tetapi perkembangannya Suku Bare'e yang beragama Lamoa lebih banyak yang ikut dengan Suku Bare'e yang beragama islam karena belum terbiasa dengan kebiasaan hidup Orang-orang Belanda yang berkulit putih dan bermata biru.

Papa i Wunte

sunting

Setelah takluknya Benteng Jalaja di wotu, dan kemudian penjajah Hindia Belanda mengadakan suatu budaya "Monangu Buaya[23]" di poso-tojo yang memisahkan antara penduduk pendatang dari wotu dengan penduduk asli yang dikenal dengan nama Suku Bare'e, Maka pada tahun 1909 pernah mencatatkan bahwa upacara adat Padungku di jaman Penjajahan Belanda sangat dilarang dirayakan oleh Umat Kristen saat itu, karena Upacara adat Padungku identik dengan Perayaan Pengucapan Rasa Syukur dan Pemujian kepada Tuhan Suku Bare'e yaitu PueMpalaburu, yang mana sewaktu Albertus Christiaan Kruyt mengajarkan injil di wilayah desa Wawo Pebato, Albertus Christiaan Kruyt di tantang oleh Papa I Wunte yaitu seorang kepala desa dari salah satu wilayah di Wawo pebato mengenai cara berladang dengan memakai wurake (dukun) yang ternyata hasilnya masih banyak kekurangannya, dan setelahnya diadakan Festival Panen Padungku yang ternyata dipenuhi "kafir".

Dan pada awalnya, Kruyt, seperti para pendahulunya di bidang misi lainnya, mencoba untuk "membuktikan" bahwa roh-roh dan kekuatan yang ditakuti dan disembah oleh orang Toraja itu tidak nyata, dan tidak ada. Tetapi orang-orang tidak menerima pendapat "ilmiah"-nya. Kruyt memutuskan untuk memahami sikap mereka dan berhenti menyerang agama mereka secara langsung. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa Tuhan dengan pesan yang dia bawa bersamanya adalah lebih kuat daripada dewa lokal dan roh. Ini adalah tingkat berdebat yang bisa dimengerti orang. Dan melihat banyaknya cara berladang Suku Bare'e dengan memakai wurake (dukun), pemerintah Hindia Belanda kemudian melarang semua sistem berladangnya suku bare'e tersebut dan menganggap mereka sebagai Suku Kafir (Van Heiden), apalagi budaya padungku dan wurake adalah termasuk budaya poso-tojo bukan budaya luwu, yang mana semua Suku Toraja dan umat kristen di poso-tojo harus mendukung semua budaya luwu[24]. Budaya padungku dan wurake jauh berbeda dengan Tari Moraego yang diperbolehkan oleh Umat Kristen Belanda sampai ke wilayah pantai barat sulawesi, dan sudah pasti Tari Moraego asalnya dari Suku Bare'e yang semuanya sudah beragama Islam sejak tahun 1770, dan yang sekarang ini PueMpalaburu (Tuhan Pemilik Langit dan Bumi) setelah Suku Bare'e beragama Islam dikenal dengan nama Allah.[25]

Beberapa tahun kemudian, A.C.Kruyt menyerang agama mereka secara langsung, untuk membuktikan hal tersebut. Di sebuah desa ditata dua set kebun: satu disertai dengan ritual adat, yang lain tanpa ritual apa pun, dengan tujuan untuk melihat mana yang akan melakukan lebih baik. Ketika tidak ada perbedaan sama sekali, desa tersebut menyatakan bahwa mereka siap untuk merangkul iman Kristen. Namun, Kruyt berpendapat bahwa "serangan" langsung pada agama tradisional tidak cukup. Seperti pendahulunya dari abad ke-19, dia ingin pesan Injil untuk menembus ke dalam hati orang-orang dan membawa mereka ke pertobatan pribadi. Tapi lebih baik daripada mereka, dia mengerti bahwa untuk menyentuh bagian terdalam dari para pendengarnya, dia harus mengetahui pola yang berlaku dalam pikiran mereka. Jadi dia mulai mempelajari agama dan budaya setempat di beberapa daerah lain di Hindia Belanda dengan intensitas tanpa preseden dalam misi penginjilan, yang membuatnya salah satu ahli etnografi terkemuka pada masanya.[26]

Referensi

sunting
  1. ^ VAN HEIDEN TOT CHRISTEN, [1].
  2. ^ Van Heiden tot Christen, dari agama suku masuk agama kristen [2]", Diakses 31 Mei 2023.
  3. ^ Kaudern 1925, hlm. 45.
  4. ^ Kaudern 1925, hlm. 420.
  5. ^ Raven 1926, hlm. 10.
  6. ^ De Bare'e-Sprekende de Toradja in midden celebess jilid 1, [3]", Diakses 28 Mei 2023.
  7. ^ De Bare'e-Sprekende de Toradja in midden celebess jilid 1 halaman 6, [4]", Diakses 28 Mei 2023.
  8. ^ De Bare'e-Sprekende de Toradja in midden celebes jilid 1 halaman 119, [5]", Diakses 28 Mei 2023.
  9. ^ DATA CAGAR BUDAYA DI SULAWESI TENGAH (per Des 2014) [6]", Diakses 28 Mei 2023.
  10. ^ Idwar Anwar (2005). Ensiklopedi Sejarah Luwu. Collaboration of Komunitas Kampung Sawerigading, Pemerintah Kota Palopo, Pemerintah Kabupaten Luwu, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara, and Pemerintah Kabupaten Luwu Timur. ISBN 979-98372-1-9. 
  11. ^ De Bare'e-Sprekende de Toradja in midden celebes Yhe Series, [7]", Diakses 28 Mei 2023.
  12. ^ Sumber buku "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA BELANDA, dan Kerajaan Todjo melestarikan budaya suku bare'e (selalu membawa Lobo) , [8], Diakses 3 Juli 2023.
  13. ^ "POSSO" HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), menyatakan semua toraja (toradja) desa pamona Watu Mpoga'a berasal dari wotu, luwu timur. [9].
  14. ^ KEDATUAN LUWU WILAYAHNYA HANYA SAMPAI MOROWALI, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH. [10].
  15. ^ Sumber buku "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), menyatakan Monangu buaya yaitu budaya ciptaan Misionaris Belanda dengan meminjam nama dari Kerajaan Luwu , [11], Diakses 30 Juni 2023.
  16. ^ "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), kematian Lazarus yang berbaju apa adanya (To Lampu) berbeda dengan Baju Mewah atau Baju Inodo yang milik dari Suku Bare'e (Bare'e-Stammen), [12].
  17. ^ Aragon 2000, hlm. 2.
  18. ^ "POSSO" HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen). [13].
  19. ^ De Bare'e-Sprekende de Toradja van midden celebes jilid 1 halaman 119, SUKU BARE'E IS TORADJA BARE'E OR BARE'E TORADJA.[14].
  20. ^ De Bare'e-Sprekende de Toradja in midden celebes jilid 1 halaman 119, De Namen of Stamenners [15]", Diakses 28 Mei 2023.
  21. ^ De Bare'e-Sprekende de Toradja in midden celebes jilid 1 halaman 5, Vairspriding Toradja poso-Todjo Groupen [16]", Diakses 28 Mei 2023.
  22. ^ Vairspriding Toradja poso-Todjo Groupen [17]", Diakses 28 Mei 2023.
  23. ^ "POSSO", MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), [18].
  24. ^ "POSSO",page 151: , ingatlah Lazarus dan harus mendukung semua budaya luwu , [19]
  25. ^ AGAMA KAFIR, ditulis oleh N. Adriani dan A.C. Kruyt[20]".
  26. ^ Suku Bare'e, suku asli pemilik wilayah kabupaten poso dan tojo una-una, [21]".