Umar bin Hafidz

ulama Islam Sunni asal Yaman
(Dialihkan dari Umar ibn Hafidz)

Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz yang dilahirkan pada hari Senin, 27 Mei 1963 (Kalender Hijriyah: 4 Muharram 1383),[1] adalah seorang ulama dari Yaman, yang kini tinggal di Kota Tarim, Hadramaut sebagai pimpinan Sekolah Dar-al Musthafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun di bawah manajemennya.[2]

al-Habib
Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz
Habib Umar pada tahun 2018 di Jakarta
Nama asalعمر ﺁبن حفيظ
Lahirعمر
27 Mei 1963 (umur 61)[1]
Tarim, Hadhramaut, Yaman
Tempat tinggalTarim, Hadramaut, Yaman
KebangsaanYaman Yaman
KewarganegaraanYamani
PekerjaanUlama, guru, Da'i
OrganisasiDar-al Musthafa
Dikenal atasPendiri dan ketua
Dar-al Musthafa, Risalah Amman
Orang tuaMuhammad bin Salim bin Hafiz (ayah)
Situs webwww.alhabibomar.com
X: habibomar Modifica els identificadors a Wikidata

Kehidupan awal

sunting

Umar lahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman.[2]

Genealogi

sunting

Ia adalah anak dari Muhammad anak dari Salim anak dari Hafiz anak dari Abd-Allah anak dari Abi Bakr anak dari‘Aidarous anak dari al-Hussain anak dari al-Shaikh Abi Bakr anak dari Salim anak dari ‘Abd-Allah anak dari ‘Abd-al-Rahman anak dari ‘Abd-Allah anak dari al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf anak dari Muhammad Maula al-Daweela anak dari ‘Ali anak dari ‘Alawi anak dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad anak dari ‘Ali anak dari Muhammad Sahib al-Mirbat anak dari ‘Ali Khali‘ Qasam anak dari ‘Alawi anak dari Muhammad anak dari ‘Alawi anak dari ‘Ubaidallah anak dari al-Imam al-Muhajir to Allah Ahmad anak dari ‘Isa anak dari Muhammad anak dari ‘Ali al-‘Uraidi anak dari Ja’far al-Sadiq anak dari Muhammad al-Baqir anak dari ‘Ali Zain al-‘Abidin anak dari Hussain sang cucu laki-laki, anak dari pasangan ‘Ali anak dari Abu Talib dan Fatimah al-Zahra anak dari Muhammad.[2][3]

Masa Kecil

sunting

Umar mampu menghafal Al-Qur'an sejak kecil dan juga menghafal berbagai teks inti dalam fikih, hadits, bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang beraliran sama dengan banyak ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim. Ia juga mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya, Muhammad bin Salim, yang darinya ia semakin mendalami dakwah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan.[2]

Secara tragis, ketika Umar sedang menemani ayahnya untuk salat Jumat, ayahnya diculik oleh golongan komunis dan ia sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan Umar menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang dakwah harus dilanjutkan. Sejak saat itu, ia mulai mengumpulkan orang-orang dan membentuk majelis-majelis dakwah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di masjid-masjid setempat yang di sana ia ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al-Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional.[2]

Dikirim ke kota Al Bayda

sunting

Karena kepandaiannya dalam menghafal kitab suci, Umar kemudian dikirim ke kota Al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara untuk semakin memperdalam bidangnya tersebut.[2]

Kehidupan baru Umar di Kota Al Bayda dimulai. Ia masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ dan belajar ilmu-ilmu tradisional di bawah bimbingan ahli dari Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar dan juga di bawah bimbingan ulama mazhab Syafi‘i Zain bin Sumait. Tak lama kemudian, ia ditunjuk sebagai guru. Ia terus melanjutkan dakwahnya.[2]

Tempat dakwahnya adalah al-Bayda dan kota-kota serta desa-desa di sekitarnya. Ia mendirikan kelas-kelas dan majelis, memulai pengajaran kepada banyak orang. Kegigihannya mulai menunjukkan hasil, banyak pemuda yang tertarik terhadap dakwahnya, terutama para pemuda yang sebelumnya tidak pernah mendapatkan pengajaran seperti ini. Banyak dari mereka yang hidup dengan indentitas baru sebagai orang muslim, mengenakan serban/selendang Islam dan meningkatkan keimanan.[2]

Ibadah haji

sunting

Umar sempat berhaji dan mengunjungi makam Nabi Muhammad di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, ia diberi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama di sana, terutama dari Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang akhirnya menjadikan Umar sebagai murid favoritnya. Ia juga menerima ilmu dan bimbingan dari dua tokoh lain di Hijaz, yakni Ahmed Mashur al-Haddad dan Attas al-Habashi.

Popularitas

sunting

Kepopuleran dan ketenaran yang didapat oleh Umar tidak mengurangi usaha pengajarannya. Bahkan sebaliknya, ini memperkuat tujuan utamanya. Sebagai tokoh spiritual, ia selalu menekankan doktrin iman terhadap orang-orang yang berada di dekatnya. Kedekatannya dengan pengikut-pengikutnya membuat namanya semakin populer hingga ke berbagai belahan dunia lainnya.[2]

Negara Oman menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaruan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok muslim yang ingin belajar kepadanya, ia meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Ia juga memperluas pengaruhnya di Kota Shihr di Yaman Timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Di sana ajaran-ajaran dia mulai mengakar dan dibangunlah Ribat al-Mustafa, sekolah miliknya. Hal ini adalah realisasi dan bukti konkritnya dalam menyebarkan pengajarannya.[2]

Pulang ke Tarim

sunting

Kepulangan Habib Umar ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang dia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang di sekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan doktrin benar atau salah berdasarkan hal yang ia yakini.[2] Pada tahun 1993 M atau sekitar 1414 H, Umar mengabadikan ajaran-ajarannya dengan membangun Dar-al Musthafa atau Pondok Pesantren Darul Musthafa.[4] Pesantren ini didirikan dengan tiga tujuan:

  1. Mengajarkan berbagai disiplin ilmu keislaman secara bertatap muka (talaqqi) dan para pengajarnya adalah para ahli yang memiliki sanad keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.[4]
  2. Menyucikan diri dan memperbaiki akhlak.[4]
  3. Menyebarkan ilmu yang bermanfaat serta berdakwah menyeru kepada jalan yang diridhai Allah swt dan sesuai dengan apa-apa yang diajarkan oleh Muhammad serta para salaf.[4]

Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota.[2][4] Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Komoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Umar.[2][4] Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan Umar.[2] Berdirinya berbagai institusi islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam.

Dakwah di Indonesia

sunting

Awal kedatangan Habib Umar ke Indonesia adalah pada tahun 1994.[5] Ia diutus oleh Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf yang berada di Jeddah untuk mengingatkan dan menggugah ghirah (semangat atau rasa kepedulian) para Alawiyyin Indonesia, disebabkan sebelumnya ada keluhan dari Anis bin Alwi al-Habsyi, seorang ulama dan tokoh asal Kota Surakarta, Jawa Tengah tentang keadaan para Alawiyyin di Indonesia yang dianggap mulai jauh dan lupa akan nilai-nilai ajaran para leluhurnya.[5]

Di Indonesia, Umar sudah beberapa kali membuat kerjasama dengan berbagai pihak bahkan pemerintah Indonesia, dalam hal ini Ditjen Kelembagaan Keagamaan Kementerian Agama Indonesia meminta pembuatan kerjasama dengan Umar dan Dar-al Musthafa untuk pengiriman sumber daya manusia yang berkualitas, khususnya para kiai pimpinan pondok pesantren untuk mengikuti program pesantren kilat selama tiga bulan di bawah bimbingan langsung Umar.[1] Sampai saat ini, sudah banyak santri-santri di Indonesia yang menuntut ilmu di pondok pesantren yang ia pimpin dan telah melahirkan banyak da’i yang meneruskan perjuangan dakwahnya di berbagai daerah di Indonesia.[1]

 
Suasana di Stadion Sanaman Mantikei di acara Tabligh Akbar Habib Umar di Palangkaraya.

Pada tahun 2023, Umar melakukan kunjungan kembali di Indonesia, tepatnya di Kota Palangka Raya. Acara ini dihadiri berbagai Habib di seluruh dunia dan dihadiri 50 ribu jemaah. Umar dan para habib lainnya diundang Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran untuk menghadiri acara tabligh akbar pada September 2023.[6][7]

Penghargaan dan kiprah internasional

sunting
 
The Second Muslim Catholic Forum 2011, at the Baptism Site, Jordan
 
A Common Word Conference with The Archbishop of Canterbury and Cambridge University October 15, 2008
  1. Pada tanggal 22 Februari sampai dengan 2 Maret 2003 (26-29 Dzulhijjah 1423 H) di Dar-al Musthafa, ia merintis upaya persatuan dalam aktivitas dakwah, dengan mengadakan multaqa ulama atau simposium yang dalam pertemuan itu dihadiri oleh berbagai ulama dari belahan dunia, dan kemudian berlanjut pada pertemuan berikutnya di berbagai penjuru dunia dalam skala lokal maupun internasional.[8]
  2. Habib Umar termasuk sebagai salah seorang penandatangan dari dua dokumen internasional yang berpengaruh, yaitu Risalah Amman pada tahun 2005, pada urutan tandatangan nomor 549,[9] dan A Common Word pada tahun 2007 dalam urutan tandatangan nomor 42,[10] yang keduanya ditandatangani oleh tokoh-tokoh muslim dunia, termasuk di antaranya beberapa pemimpin muslim Indonesia.[8]
  3. Di Indonesia, Habib Umar mendeklarasi berdirinya Majelis Al-Muwasholah Bayna Ulama Al Muslimin atau Forum Silaturrahmi Antar Ulama pada tahun 1327 H / 2007 M.
  4. Tahun 2009, New York Times menampilkan al-Habib Umar dan Darul Musthafa dalam salah satu pemberitaannya[8]
  5. Al-Habib Umar bin Hafizh termasuk salah satu dari 50 Urutan teratas dari The Muslim 500: The Wordl's 500 Most Influential Muslims, yang diterbitkan oleh Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, Amerika Serikat, yang dipimpin oleh sarjana studi Islam ternama John Esposito[11][12].


Daftar kitab

sunting

Umar juga merupakan ulama yang produktif dalam menulis, di antara kitab karangan ia adalah:

  1. Is'af at Thalibi[1][13]
  2. Ridha al-Khalaq bi bayan Makarimal Akhlaq[13]
  3. Taujihat at-Thullab[1][1][13]
  4. Syarah Mandzumah Sanad al-'Ulwi.[13]
  5. adz-Dzakirah al-Musyarrafah(Fiqih)[1][3][13]
  6. Dhiyaullami'bidzikri Maulid an-Nabi asy-Syafi'(Maulid Nabi Muhammad SAW)[1][3][13]
  7. Khuluquna[1]
  8. Khulasoh madad an-nabawiy(Dzikir)[1][3]
  9. Syarobu althohurfi dhikri siratu badril budur[1]
  10. Taujihat nabawiyah[1]
  11. Nur aliman(Aqidah)[1][3]
  12. Almukhtar syifa alsaqim[1]
  13. Al washatiah[1]
  14. Mamlakatul qa’ab wa al ‘adha’[1]
  15. Muhtar Ahadits (Hadits)[3]
  16. Durul Asas (Nahu)[3]
  17. Tsaqafatul Khatib (Panduan Khutbah)[3]

Kitab Maulid adh-Dhiya' al-Lami' merupakan karya Umar paling monumental yang berisi syair pujian terhadap Muhammad, umat islam Indonesia telah banyak mengenal dan membaca karya ini, yang juga mengenalnya dengan Maulid al-Habib Umar.[13] Secara bahasa, kitab Maulid adh-Dhiya' al-Lami' berarti Cahaya Yang Terang Benderang. Kitab ini merupakan Kitab Maulid mutakhir.[14]

Di suatu malam, Umar memanggil salah seorang muridnya, lalu diperintahkannya membawa pena dan kertas, seraya berkata: "Tulis..”, lalu ia mengucapkan maulid Dhiya’ullami' itu mulai sepertiga malam, dan sebelum waktu subuh telah selesai.

Maulid ini mulia, karena angka-angkanya disebutkan menuliskan sejarah Nabi SAW, bait-bait shalawat pembukanya berjumlah 12 yang melambangkan kelahiran Muhammad pada tanggal 12 Rabiul Awal.

Alinea pertamanya dipadu dari 3 surat, yaitu surat Al-Fath, surat At-Taubah dan Surat Al-Ahzab. 3 surat ini melambangkan kelahiran Muhammad adalah pada bulan ketiga, yaitu Rabiul Awal, alinea pertama hingga Qiyam jumlahnya 63 yaitu melambangkan usia Muhammad selama 63 tahun, maulid ini angka-angkanya memperhitungkan sejarah, tahun Hijrah, jumlah sahabat, dan lain-lain.

Umar yang ahli dalam bahasa, syairnya bukan hanya Maulid Dhiya’ullami’, namun lebih dari seribu alinea syair telah diterbitkan dari ucapannya dengan jumlah yang mencapai ratusan ribu bait.

Umar diberi gelar Al Musnid, karena setiap menyebut hadits, ia mampu ataupun hafal menyebut sanadnya hingga Muhammad.

Catatan Kaki

sunting

Daftar pustaka

sunting
Website
Sumber Buku Bacaan
  • Tim Pustaka Basma (2012). Memahami Pribadi Suci Baginda Nabi SAW Melalui Maulid Dhiya'ullami. Malang, Indonesia: Pustaka Basma. ISBN 978-979-19699-7-0. 
  • Basyaiban, Muhsin; As-Syamfuriy, Sya'roni (2013). Basyaiban, Muhsin, ed. Majelisnya Pecinta Ulama & Habaib. Yogyakarta, Indonesia: Layar Creativa Mediatama. ISBN 602-148-330-5. 
  • Al Qadri, Alhamid Ja'far (2012). Dairobi, Ahmad, ed. Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat, Telaah atas Pemikiran Al Habib Umar bin Hafizh dalam membina Ukhuwah dan Membangun Dialog. Jakarta, Indonesia: Mizan Pustaka. ISBN 978-979-433-753-0. 

Pranala luar

sunting