Tutur Bwana adalah naskah Sunda kuno yang berisi kisah penciptaan semesta dalam kosmologi Sunda kuno. Ditulis dengan aksara Sunda kuno dan bahasa Sunda kuno. Teksnya berbentuk tutur (prosa naratif).[1] Naskahnya saat ini disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.[2]

Naskah Tutur Buwana disimpan Layanan Koleksi Naskah Kuno Perpustakaan Nasional RI (Lt. 9).
Naskah Tutur Buwana disimpan Layanan Koleksi Naskah Kuno Perpustakaan Nasional RI (Lt. 9).

Pengisahan berpusat pada pertarungan antara Sang Darmajati dan Sang Kalasakti. Darmajati sendiri disebutkan dalam teks Sanghyang Siksa Kandang Karesian sebagai salah satu kisah tua.[3] Sang Kalasakti dapat dikalahkan oleh Sang Darmajati karena Darmajati merupakan dewata yang sangat istimewa yang menguasai hidup dan mati para dewa yang lainnya, beserta kehidupan makhluk dan benda-benda lainnya. Akhirnya Sang Kalasakti dihidupkan kembali oleh Darmajati demi menjaga keseimbangan semesta, sedangkan Darmajati kembali ke pertapaannya yang abadi.[1][2]

Kisah penciptaan lainnya dalam kosmologi Sunda kuno terdapat pada naskah Sanghyang Raga Dewata yang berbentuk prosa koleksi Museum Sribaduga, Bandung.[4] Sedangkan, teks puisi Sunda kuno yang membahas perihal kosmologi yaitu Kawih Paningkes.[5] Beberapa naskah Bali memiliki teks dengan judul serupa dan dapat diperbandingan dengan Tutur Bwana Sunda kuno, misalnya Tutur Buana Sarira[6], dan Tutur Bhuwana Kosa,[7] Bhuwana Sangkșépa[8] yang juga berisi konsep kosmologi.[9]

Inventarisasi sunting

Naskah Tutur Bwana disimpan dalam peti nomor 86 dengan kode L 620, koleksi Perpustakaan Nasional RI.[1] Naskah ini tidak tercatat dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.[10] Berdasarkan hasil rekatalogisasi Holil & Gunawan (2010), naskah diidentifikasi berisi kisah perjalanan alegori Sang Kalasakti menuju Sang Darmajati di kahiangan.[1] Asalnya diperkirakan dari Bandung, yaitu sumbangan bupati Bandung Wiranatakusumah IV (1846-1874).[2] Sampai saat ini naskah merupakan codex unicus.[1]

Deskripsi Fisik sunting

Terdiri dari 40 lempir daun lontar yang dikemas dalam kotak kayu berwarna coklat. Naskah berukuran 26 x 2,6 cm. Setiap lempir berisi empat baris teks yang ditulis dengan aksara Sunda Kuna. Kondisi naskah secar umum masih kokoh, dan tulisan masih terbaca jelas. Sebagian margin kanan di bagian awal patah.[2][1] Tiga halaman tidak berisi tulisan. Tali pengikat berwarna putih. Pada salah satu kayu pengapit tertempel stiker berwarna putih pada sisi kanan dengan keterangan berupa ketikan mesin tik: Peti: 86, nomor: 620, Judul: ?. Sedangkan di sisi kirinya terdapat angka 620 berwarna putih dengan stiker putih yang tampak sudah lama berisi keterangan "No.2"

Penelitian sunting

C. M. Pleyte tampaknya menjadi orang pertama yang membaca dan menyalin teksnya ke dalam aksara Latin. Salinan tangan Pleyte tersimpan di Perpustakaan Nasional dengan kode Plt. peti 121. Peneliti berikutnya yang membaca teks ini adalah Noorduyn, dengan mengutip sebagian teksnya untuk publikasi artikelnya yang berjudul "Traces of and Old Sundanese Ramayana Tradition", dimuat dalam jurnal Indonesia tahun 1970.[1] Penelitian berupa alih aksara, rekonstruksi, suntingan teks dan terjemahan dikerjakan oleh Tien Wartini dkk. tahun 2010. Dalam penelitiannya itu, publikasi Tutur Bwana disertai empat teks mantra Sunda kuno.[2]

Isi Teks sunting

Teks dimulai dengan asal-isil diciptakannya bwana (buana/semesta). Sang Hyang Haro, yang mungkin diidentifikasi sebagai Wisnu, menciptakan isi dunia, terdiri dari siang, malam, rerumputan, pepohonan, lingga, batu, candi, bukit, gunung, dan wujud-wujud dunia. Pada suatu waktu, telur suci (Sang Hyang Hantiga) semesta menetas. Kulitnya menjadi Batara Sang Hening Tunggal, beningnya menjadi Batara Guru, putihnya menjadi Sang Darmajati, lapisan tipisnya menjadi Sang Balibungah (Nusia Awal Larang), lapisan tebalnya menjadi Batara Tunggal. Mereka adalah lima dewata yang menguasa alam semesta. Batara Sang Hening Tunggal berada di dunia atas, Sang Balibungah dan Batara Tunggal tinggal di dunia bawah, ditengah-tengahnya bersemayam Sang Darmajati. Dengan demikian, menurut Tutur Bwana, semesta terdiri dari lima lapisan.[1][2] Konsep ini bisa dibandingkan dengan teks-teks lain dalam tradisi Sunda kuno maupun Jawa kuno tentang tiga lapisan semesta.[11]

Kisah berpusat pada dua tokoh, yaitu Sang Kalasakti dan Sang Darmajati. Sang Kalasakti adalah sosok jagoan yang mengobrak-abrik kahyangan, sedangkan Sang Darmajati adalah sosok dewa yang omniscience. Keduanya memiliki kesaktian yang sama dan sama-sama perkasa. Kalasakti memiliki senjata yang sifatnya merusak, tapi senjata Sang Darmajati sebaliknya, yaitu membawa ketenteraman. Keduanya bertarung di kahyangan dengan kesaktian yang setara.[1][2]

Sang Darmajati bukan dewa sembaranga. Ialah yang menghidupkan segala dewa: Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwah, Ludra, Sangkara dan Sambuh. Demikian juga dewa Yama, Baruna, Kowera, Besawarna, juga dihidupkan oleh Darmajati. Tidak luput juga Buta, Yaksa, Picasa, dan seluruh bangsa raksasa. Darmajati pula yang menciptakan matahari, bulan dan atmosfer. Ada dan tiadanya semua karena Darmajati. Demikian pula hidup-matinya Kalasakti ditentukan oleh Darmajati. Adegan membuhun Kalasakti digambarkan secara simbolis. Kalasakti menemui ajalnya setelah sepuluh pintu indranya (dora sapuluh) ditutup oleh Darmajati. Tiga unsur tak kasat mata (dora tilu), yaitu bayu (nafas, tenaga), sabda (ucapan, kata), dan hedap (pikiran, akal budi) juga ditutup oleh Darmajati.[1][2]

Namun demikian, Sang Darmajati menghidupkan kembali Kalasakti, sebab ia merasa bahwa keberdaan Sang Kalasakti sangatlah penting untuk keseimbangan jagat. Ia kemudian membuka kembali kesepuluh pintu indra (dora sapuluh) dan tiga gerbang (dora tilu) dari Sang Kalasakti, sehingga Sang Kalasakti bangkit kembali. Sang Darmajati kembali naik ke sebuah tempat pertapaan yang disebut sang hang manik nirmala suda malinglang. Ia bersemayam dalam pertapaannya, sang hyang rahasea.[1][2]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h i j k Tata pustaka : sebuah pengantar terhadap tradisi tulis Sunda kuna : kajian. Perpustakaan Nasional (Indonesia),, Masyarakat Pernaskahan Nusantara,. Jakarta. ISBN 978-623-200-245-6. OCLC 1162374023. 
  2. ^ a b c d e f g h i Tutur bwana dan empat mantra Sunda kuna. Wartini, Tien., Perpustakaan Nasional (Indonesia), Pusat Studi Sunda. (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. 2010. ISBN 978-979-008-361-5. OCLC 707922373. 
  3. ^ Sewaka darma (Kropak 408) ; Sanghyang siksakandang karesian (Kropak 630) ; Amanat Galunggung (Kropak 632): transkripsi dan terjemahan. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1987. 
  4. ^ Sunda, Pusat Studi (2004). Fatimah in West Java: moral admonitions to Sundanese gentlewomen dan kajian lainnya mengenai budaya Sunda. Pusat Studi Sunda. 
  5. ^ Darsa, Undang A. (2006). Gambaran kosmologi Sunda, kropak 420: silsilah Prabu Siliwangi, Mantera Aji Cakra, mantera Darmapamulih, ajaran Islam, kropak 421, jatiraga, kropak 422. Kiblat Buku Utama. ISBN 978-979-3631-77-6. 
  6. ^ Tutur Buana Sarira. 
  7. ^ Wayan, Sri Santiati Ni (2015-08-01). "TUTUR BHUWANA KOSA: KAJIAN SEMIOTIKA". Humanis (dalam bahasa Inggris). ISSN 2302-920X. 
  8. ^ Suparta, I. Gede Agus (2020-04-07). "TINJAUAN KOSMOLOGI DALAM LONTAR BHUWANA SANGKȘÉPA". Genta Hredaya: Media Informasi Ilmiah Jurusan Brahma Widya STAHN Mpu Kuturan Singaraja. 3 (2). ISSN 2722-1415. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-26. Diakses tanggal 2020-12-28. 
  9. ^ W, Etty Saringendyanti; Skober, Tanti R. (2010). Percandian di tatar Sunda masa Hindu Budha. Sastra Unpad Press. ISBN 978-602-8795-06-7. 
  10. ^ Behrend, T. E. (1998). Katalog induk naskah-naskah nusantara: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Yayasan Obor. 
  11. ^ International Seminar on Reformulating and Transforming Sundanese Culture, Jatinangor, February 9-10, 2011: proceedings. Faculty of Letters, Universitas Padjadjaran. 2011.