Thio Tjin Boen (Hanzi: 張振文; Pinyin: Zhāng Zhènwén; Pe̍h-ōe-jī: Tiuⁿ Chín-bûn; 1885–1940) dulu adalah seorang jurnalis dan penulis cerita fiksi berbahasa Melayu berlatar belakang Tionghoa-Indonesia.

Biografi

sunting

Lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, pada tahun 1885, Thio tercatat pernah bekerja di sejumlah koran pada awal dekade 1900-an, seperti di Taman Sari, Warna Warta, dan Perniagaan. Di koran-koran tersebut, ia memegang berbagai jabatan, seperti editor, penerjemah, dan penulis. Ia juga diketahui pernah menerbitkan koran sendiri, yakni Asia, tetapi koran tersebut tidak bertahan lama.[1][2]

Ia paling diingat sebagai seorang penulis novel.[1] Novel pertamanya, Tjerita Oeij Se yang diterbitkan pada tahun 1903, menceritakan seorang pedagang muda bernama Oeij Se yang setelah cukup kaya, menjadi rusak akibat kekayaan tersebut. Novel tersebut menunjukkan nuansa anti-Islam yang cukup kuat, dengan Oeij Se menghukum putrinya yang pindah ke agama Islam (agama dari mayoritas Suku Jawa).[1] Dalam novel tersebut, akademisi sastra Indonesia, Jakob Sumardjo, menemukan kecaman terhadap asimilasi etnis Tionghoa secara matrilineal (istri berasal dari etnis Tionghoa dan suami berasal dari etnis lain).[3] Novel tersebut terinspirasi dari kehidupan pengusaha tembakau Oey Thai Lo.[4] Thio juga menerbitkan novel yang terkait, yakni Tambahsia: Soewatoe tjerita jang betoel soedah kedjadian di Betawi antara tahoen 1851-1856, didasarkan pada kehidupan dari putra Oey Thai Lo, yakni Oey Tamba Sia dan persaingannya dengan Lim Soe Keng Sia.[5]

Novel Thio selanjutnya, yakni Tjerita Njai Soemirah (1917), sangatlah berbeda. Dua volume dari novel tersebut menceritakan seorang pria Tionghoa yang jatuh cinta dan menikahi seorang wanita pribumi Indonesia. Sinolog Leo Suryadinata menulis bahwa novel tersebut mengisyaratkan bahwa Thio telah mengubah pandangannya terhadap pernikahan anteretnis atau telah menganggap bahwa pernikahan semacam itu dapat diterima asalkan pihak pria beretnis Tionghoa.[6] Sinolog lain, Myra Sidharta, menulis bahwa novel tersebut diisi dengan banyak kritik terhadap Suku Jawa dan Tionghoa.[7]

Novel lain yang ditulis oleh Thio meliputi Dengan Doewa Cent Djadi Kaja (1920) dan Tan Fa Lioeng, atawa, Moestadjabnja sinsche Hong Soei (1922).[1][2] Thio akhirnya meninggal di Bandung, Jawa Barat, pada tahun 1940.[1]

Warisan

sunting

Menurut Sidharta, aspek unik Thio sebagai seorang penulis adalah kemauannya untuk menunjukkan interaksi antara etnis Tionghoa dengan etnis pribumi.[7] Pada tahun 2000, novel karya Thio, Tjerita Oeij Se dimasukkan ke dalam volume pertama dari Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, sebuah antologi dari sastra Tionghoa-Melayu. Setahun kemudian, dua novel karya Thio, yakni Tjerita Njai Soemirah dan Dengan Doewa Cent Djadi Kaja, dimasukkan ke volume kedua dari antologi tersebut. Ejaan dari novel-novel tersebut telah disesuaikan dengan EYD dan diberi catatan kaki untuk mengklarifikasi kata-kata yang kurang lazim.[8]

Referensi

sunting

Rujukan

sunting