Sejarah temuan ilmiah perubahan iklim

Theophrastus adalah murid dari Aristoteles yang berasal dari Yunani, dianggap sebagai tokoh yang pertama kali menemukan siklus perubahan iklim.[1] Hal ini diakui oleh American Institute of Physics. Theophrastus melakukan penelitian yang menghasilkan spekulasi bahwa tanah rawa yang dikeringkan menyebabkan tanah yang lainnya mengalami dampak. Pendapat lainnya yaitu, hutan yang gundul mengakibatkan suhu bumi naik. Hal ini mengakibatkan tutupan awan di suatu daerah, serta menyebabkan curah hujan menurun dan suhu bumi meningkat.[1] Setelah tiga dekade berlalu dari hasil penelitian Theophrastus, masuklah pada suatu zona yang dinamakan era industri. Pada saat itu Svante Arrhenius mengemukakan bahwa hasil dari pembakaran batu bara mengakibatkan peningkatan jumlah karbon dioksida di udara.[2] Pada tahun 1957, Charles Keeling seorang ilmuwan dari Amerika Serikat memulai penelitiannya mengenai jumlah konsentrasi karbon dioksida yang ada di atmosfer bumi.[2] Pada tahun 1997, istilah global warming atau pemanasan global mulai dipopulerkan oleh Wallace Smith Broecker.[3] Ia berpendapat, bahwa hasil dari pembakaran fosil, dapat menghancurkan bumi secara perlahan.[3]

Peta Penyebaran Iklim di Dunia

Zaman Renaisans hingga Abad ke-19

sunting

Zaman renaisans berlangsung sekitar tahun 1300-1600, yang merupakan perpindahan dari Abad Pertengahan ke Zaman Modern. Pada masa itu terjadi krisis global yang menewaskan 200 juta jiwa penduduk Eropa dan Asia[4]. Tokoh yang paling terkenal pada masa ini yaitu Leonardo da Vinci. Kala itu, Ia mencoba membuat desain kota yang ideal untuk disinggahi. Namun, akibat ide tersebut menyebabkan perubahan iklim secara global. Pada zaman Renaisans juga lahirlah istilah urbanisasi, beberapa bangunan kota yang diciptakan oleh tokoh Renaisans yang terkenal di antaranya pembangunan Benteng kota Palmanova di Italia, rekonstruksi Pienza, dan perluasan Ferrara. Hasil bangunan tersebut dibuat tanpa kajian ilmiah.[4] Ciri khas dari zaman Renaisans yaitu masyarakat mulai melepaskan aturan gereja yang mengikat. Pada zaman inilah pengembangan ilmu pegnetahuan dan teknologi dimulai, dan para peneliti mulai berani menawarkan inovasi penemuan mesin, alat transportasi, dan pengembangan energi.[4]

Puncaknya pada abad ke -18, tepatnya pada tahun 1776 James Watt yang berasal dari Inggris berhasil menemukan mesin uap.[5] Penemuan mesin uap tersebut sering disebut awal dari revolusi industri 1.0. pada zaman tersebut mesin uap mempunyai tugas sebagai alat tenun dibidang tekstil, lalu digunakan sebagai alat bantu transportasi bagi kapal layar. Namun, perubahan ini menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan akibat asap yang keluar dari mesin uap dan limbah-limbah berbahaya dari berbagai pabrik.[6] Kemunculan alat-alat pabrik di abad ke-19 banyak memakan korban. Kala itu belum ada standar operasional bagi pekerja, dampaknya banyak pekerja yang terbunuh oleh mesin pabrik.[7]

Pada abad ke-19 sering disebut masa periode pendinginan atau Zaman Es Kecil,[7] tepatnya kisaran pada tahun 1650-1850. Menurut catatan NASA, pada zaman ini terjadi tiga kali interval dingin yaitu pada tahun 1650, 1770, dan tahun 1850. Menurut ahli, kejadian ini diakibatkan oleh aktivitas bintik matahari, namun pendapat ini masih belum bisa dibuktikan karena belum ada dokumen pendukung lainnya. Pendinginan global pada saat itu ibarat sebuah keajaiban ditengah-tengah bumi yang mulai memanas akibat kemunculan revolusi industri. Emisi gas rumah kaca yang meningkat dan bahan bakar fosil yang dieksploitasi menyebabkan bumi sesak dan panas.[7]

Abad ke-20

sunting

Zaman ini terkenal dengan revolusi industri 2.0, di mana sudah diperkenalkan tenaga listrik untuk membantu manusia menyukupi kebutuhannya.[5] Abad ke-20 merupakan awal terjadinya kekeringan di bumi. Fenomena ini terbagi menjadi tiga periode. Pertama tahun 1900-1949, di Eropa Tengah, Rusia Barat, dan Amerika Tengah mengalami krisis global berupa cuaca panas, sedangkan di negara Indonesia, India, Kanada, Tiongkok Barat, dan Asia Tengah mengalami kondisi hujan yang ringan.[8] Periode kedua, tahun 1950-1975 cuaca kain tak bisa diprediksi. Polusi udara dianggap hal yang wajar, padahal jelas mempengaruhi pembentukan awan, curah hujan, dan suhu.[8] Ketiga, tahun 1970 periode di mana banyak negara yang mengusulkan undang-undang penyelamatan bumi dan udara.[8] Meskipun peraturan itu dibuat, emisi gas rumah kaca tetap meningkat hingga kini.[8]

Abad ke-21

sunting

Organisasi Meteorologi Dunia melaporkan bahwa tahun 2014 merupakan tahun terpanas.[9] Cuaca panas ini silih berganti dengan curah hujan yang tinggi dan banjir yang menhancurkan perekonimian masyarakat. Di belahan bumi utara, suhu mengalami peningkatan yang drastis. Bila dibandingkan dengan kondisi sepuluh tahun ke belakang, suhu di udara dan di laut menunjukkan kenaikan yang sangat pesat.[9] Selain itu, di abad-21 persediaan air bersih mulai berkurang, perubahan iklim menyebabkan permukaan air laut naik dan mengubah perbatasan Negara.[10] Sumber daya alam yang terbatas, berbanding terbalik dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat sehingga untuk mencukupi kebutuhannya sangat terbatas.[10] Sebagai contoh akibat krisis air di Suriah banyak penduduknya yang memutuskan pindah, dan naiknya harga kebutuhan pokok. Pada tahun 2050, diprediksikan kebutuhan air meningkat sebanyak 55%, dan dianggap sama pentingnya seperti kebutuhan minyak bumi.[10]

Kebijakan Global

sunting

Prediksi Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (1988)

Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change) merupakan organisasi tempat bertemunya para ilmuwan yang bersama-sama mempunyai visi dan misi terhadap isu perubahan iklim.[11] Divisi Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

  1. Kelompok kerja satu, mempunyai tugas untuk menilai dan meneliti aspek ilmiah dari perubahan iklim.[12]
  2. Kelompok kerja dua, mempunyai tugas untuk mencari dan mengurus dampak perubahan iklim terhadap kerapuhan sistem manusia.[12]
  3. Kelompok kerja tiga, mempunyai tugas untuk membantu mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kebijakan dan program. Selain itu, tugas lainnya juga melakukan mitigasi perubahan iklim.[12]

Beberapa pertemuan tersebut menghasilkan beberapa prediksi mengenai isu perubahan iklim. Prediksi tersebut di antaranya:

  1. Pada tahun 2030 suhu permukaan bumi meningkat 30oC.[13]
  2. Kenaikan suhu terjadi pula di belahan bumi utara sebesar 8-10oC.[13]
  3. Di daerah kutub, es meleleh. Hal tersebut mengakibatkan permukaan laut naik sekitar 10–32 cm di pertengahan abad ke-21.[13]
  4. Suhu panas, kekeringan, dan hujan angin merupakan dampak dari perubahan iklim yang sangat parah.[13]
  5. Prediksi cuaca, hujan, angin, dan badai akan sulit dilakukan.[13]
  6. Pada tahun 2050, radiasi ultraviolet akan meningkat 20-50%.[13]

Konvensi Kerangka Kerja tentang Perubahan Iklim (1992)

Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim merupakan sebuah upaya lanjutan dari laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim[12]. Tujuan utama dari Konvensi Kerangka Kerja tentang Perubahan Iklim untuk membuat emisi gas rumah kaca stabil di atmosfer juga membatasi kegiatan manusia yang dirasa berbahaya terhadap sistem iklim. Hasil diskusi yang dihadiri oleh 192 negara ini, terwujud dalam suatu kesepakatan yang dinamakan Protokol Kyoto.[12] Pada tahun 1960, Indonesia telah tergabung dalam Organisasi Meteorologi Dunia.[14] Selain itu, Indonesia juga telah menandatangani isi dari Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim di Rio de Janeiro, Brazil, pada tanggal 5 Juni 1992 karena tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.[14]

Protokol Kyoto (1997)

Kurang lebih tiga tahun setelah pelaksanaan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim, tepatnya 12 Desember 1997 ditetapkanlah Protokol Kyoto.[15] Isi dari Protokol Kyoto yaitu mengikat Negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, di kisaran tahun 2008-2012.[12] Negara yang sudah menyetujui Protokol Kyoto diwajibkan untuk melaksanakan dan membantu emisi gas rumah kaca kembali stabil di atmosfer.[12] Oleh karena itu, isi dari Protokol Kyoto bersifat normatif dan mengikat.[15]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Solekha, Amelia; Solekha, Amelia. "Sejarah Dan Fakta Mengenai Penelitian Perubahan Iklim". IDN Times. Diakses tanggal 2019-10-13. 
  2. ^ a b "Irisan Kecil, Menjawab Perubahan Iklim". Kompas.com. Diakses tanggal 2019-10-13. 
  3. ^ a b "Pelopor Perubahan Iklim Wallace Smith Broecker Meninggal Dunia". Tirto.id. Diakses tanggal 2019-10-20. 
  4. ^ a b c Melis, Alessandro. "Meski hidup 500 tahun lalu, Leonardo da Vinci mampu merancang kota melampaui zamannya". The Conversation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-10-27. 
  5. ^ a b "Sejarah dan Perkembangan Revolusi Industri – BINUS University". Diakses tanggal 2019-10-27. 
  6. ^ Rahayu, Ning (2019-05-07). "Mengenal Revolusi Industri dari 1.0 hingga 4.0". Warta Ekonomi. Diakses tanggal 2019-10-27. 
  7. ^ a b c Hany, Arief; Hany, Arief. "5 Bukti Kalau Kehidupan di Abad 19 Itu Mengerikan". IDN Times. Diakses tanggal 2019-10-27. 
  8. ^ a b c d "Sejak Abad ke-20, Manusia Berperan Pada Kondisi Kekeringan di Bumi - Semua Halaman - Nationalgeographic.grid.id". nationalgeographic.grid.id. Diakses tanggal 2019-10-27. 
  9. ^ a b Agestu/Reuters, Ike. "Tahun 2014 Menjadi Tahun Terpanas di Abad 21". CNN Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-10-27. 
  10. ^ a b c Lufkin, Bryan (2017-09-01). "'Politik air' jadi penentu penting pada abad 21" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-10-27. 
  11. ^ "Laporan Pertemuan Intergovernmental Panel on Climate Change ke 47 - Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim". ditjenppi.menlhk.go.id. Diakses tanggal 2019-10-16. 
  12. ^ a b c d e f g Tauli, Victoria (2008). Panduan tentang Perubahan Iklim dan Masyarakat Adat (Edisi Kedua). Philippines: Tebtebba Foundation. hlm. 10–11. ISBN 978-971-93566-3-9. 
  13. ^ a b c d e f "Climate Change: The IPCC 1990 and 1992 Assessments — IPCC". Diakses tanggal 2019-10-16. 
  14. ^ a b "Knowledge Centre Perubahan Iklim - Amanat". ditjenppi.menlhk.go.id. Diakses tanggal 2019-10-20. 
  15. ^ a b "Negotiation: Kyoto Protocol | WWF Indonesia". www.wwf.or.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-20. Diakses tanggal 2019-10-20.