Sejarah Mesir di bawah pemerintahan dinasti Muhammad Ali

Sejarah Mesir di bawah pemerintahan dinasti Muhammad Ali (berlangsung sejak tahun 1805 hingga tahun 1953). Pemerintahan dinasti Muhammad Ali meliputi periode Mesir Utsmaniyah, termasuk Kewalirajaan Mesir yang berada di bawah perlindungan Imperium Britania, serta Kesultanan Mesir dan Kerajaan Mesir. Periode pemerintahan tersebut berakhir ketika terjadinya Revolusi 1952 dan pembentukan Republik Mesir.[1][2]

Naiknya Muhammad Ali ke tampuk kekuasaan sunting

Perebutan kekuasaan Muhammad Ali di Mesir merupakan perang panjang antara Turki Utsmaniyah, Mamluk Mesir yang telah memerintah Mesir selama berabad-abad, yang melawan tentara bayaran Albania. Perang tersebut berlangsung sejak tahun 1803 hingga tahun 1807 dan berhasil dimenangkan pihak Albania yang dipimpin oleh Muhammad Ali Pasha. Kemudian pada tahun 1805 Muhammad Ali Pasha mengambil alih kekuasaan di Mesir, ketika Sultan Ottoman mengakui posisinya.[3][4]

Mesir di bawah kepemimpinan Muhammad Ali sunting

Perang Utsmaniyah-Saudi (1811-1818 ) sunting

Perang Utsmaniyah-Saudi berlangsung sejak tahun 1811 dan berakhir pada tahun 1818. Perang tersebut merupakan pertempuran anatara Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Ali dan Kesultanan Utsmaniyah melawan Tentara Negara Saudi Pertama.

Pada tahun 1802 ketika Wahabbi merebut Mekah, kesultanan Utsmaniyah memerintahkan Muhammad Ali Pasha dari Mesir untuk mulai bergerak melawan Wahabbi untuk menaklukkan dan merebut kembali Mekah dari kekuasaan Wahabi.[5][6]

Kampanye Arab pertama sunting

Pada tahun 1811 atas perintah Porta Ottoman, Muhammad Ali mengerahkan 20.000 pasukannya dan 2.000 kuda untuk melawan Negara Saudi Pertama yang dipimpin oleh putranya yang saat itu masih berusia enam belas tahun yang bernama Tusun Pasha. Perang tersebut kemudian dikenal dengan perang Utsmaniyah-Saudi. Meskipun pasukan yang dipimpin oleh Tusun telah mengalami keberhasilan dalam peperangan, namun pada pertempuran Al-Safra mereka berhasil dipukul telak oleh pihak lawan. Akhirnya mereka memutuskan untuk mundur terlebih dahulu ke Yanbu—yang merupakan pelabuhan penting yang ada di Laut Merah di provinsi Al Madinah, Arab Saudi barat. Tusun akhirnya mendapatkan bala bantuan pada akhir tahun. Lalu dia kembali melakukan serangan dan berhasil merebut Madinah setelah melalui pengepungan dan pertempuran yang panjang. Setelah itu dia juga berhasil merebut Jeddah dan Mekkah, serta mengalahkan Negara Saudi Pertama serta menangkap jenderal musuh.[7][8]

Pada musim panas tahun 1813 Muhammad Ali harus meninggalkan Mesir untuk menyelesaikan suatu masalah, sehingga putranya Ibrahim Pasha yang bertanggung jawab sementara atas negara tersebut. Muhammad Ali menghadapi tantangan yang serius di Arab, namun secara keseluruhan pasukan yang ia pimpin dapat lebih unggul dibandingkan pasukan musuh. Dia berhasil menggulingkan dan mengasingkan Syarif Mekkah, dan setelah kematian Abdullah bin Saud yang merupakan pemimpin Negara Saudi Pertama, Muhammad Ali membuat perjanjian dengan putra dan penerus Abdullah bin Saud pada tahun 1815.

 
Muhammad Ali Pasha

Muhammad Ali menerima laporan bahwa orang-orang Turki dengan licik merencanakan invasi ke Mesir, serta mendengar kabar mengenai pelarian yang dilakukan oleh Napoleon dari Elba, dan takut akan bahaya ke Mesir dari Prancis atau Inggris. Muhammad Ali akhirnya kembali ke Kairo melalui Quseer dan Qena, hingga akhirnya sampai di ibu kota ketika Pertempuran Waterloo.

Kampanye Arab kedua sunting

Tusun kembali ke Mesir setelah dia mendengar kabar mengenai pemberontakan militer yang terjadi di Kairo, Mesir. Akan tetapi Tusun meninggal dunia di awal usia dua puluh tahun pada tahun 1816.[9]

Muhammad Ali yang merasa tidak puas dengan perjanjian yang disepakati dengan Negara Saudi Pertama dan dengan tidak terpenuhinya klausul tertentu. Dia kemudian bertekan untuk mengirim tentara lain ke Arab, dan memasukkan di dalamnya tentara yang baru-baru ini terbukti melakukan kekacauan. Ekspedisi ini dilakukan pada tahun 1816 oleh putra tertua Muhammad Ali yang bernama Ibrahim Pasha.[10] Ekspedisi tersbut merupakan perang berat yang berlangsung lama. Tapi pada tahun 1818 Ibrahim berhasil merebut Diriyah, yang merupakan ibu kota dari Negara Saudi Pertama. Abdullah I bin Saud Al Saud yang merupakan pimpinan mereka dijadikan sebagai tawanan, sedangkan bendahara dan sekretarisnya dikirim ke Istanbul (dalam beberapa referensi dikirim ke Kairo). Terlepas dari janji keselamatan Ibrahim, mereka akhirnya dijatuhi hukuman mati. Pada akhir tahun 1819 Ibrahim kembali setelah menaklukkan semua oposisi yang ada di Arab.

Ekonomi sunting

Ketika Mesir berada di bawah pimpinan Muhammad Ali pada awal abad ke-19, mereka memiliki industri kapas yang paling produktif kelima di dunia (dalam hal jumlah spindel per kapita).[11] Industri kapas tersebut awalnya beroperasi dengan memanfaatkan mesin yang menggunakan sumber energi tradisional. Sumber energi tradisional tersebut berasal dari tenaga hewan, kincir air, maupun kincir angin. Energi-energi tersebut juga merupakan sumber energi utama yang digunakan di Eropa Barat hingga sekitar tahun 1870.[11]

Pada 1551 seorang insinyur Ottoman Mesir yang bernama Taqi ad-Din Muhammad ibn Ma'ruf pernah melakukan uji coba terhadap sumber tenaga uap, ketika dia menemukan sebuah mesin roasting jack yang digerakkan oleh turbin uap.[12][13] Kemudian pada abad ke-19, Mesir memperkenalkan sebuah mesin uap ke industri manufaktur dibawah pemerintahan Muhammad Ali. Meskipun mengalami kekurangan dalam pasokan batu bara di Mesir, para penambang tetap melakukan penambangan cadangan batu bara di sana. Kemudian mereka membuat ketel uap yang digunakan dalam industri Mesir, seperti pabrik besi, pabrik tekstil, pabrik kertas, dan juga pabrik penggilingan. Batu bara juga diimpor dari luar negeri dengan harga yang sama dengan batu bara yang import di Prancis hingga tahun 1830-an, ketika Mesir memperoleh akses ke sumber batu bara yang ada di Lebanon. Yang ketika itu Lebanon memiliki produksi batu bara tahunan sebesar 4.000 ton.

Apabila dibandingkan dengan Eropa Barat, Mesir juga memiliki keunggulan dalam sektor pertanian dan jaringan transportasi melalui sungai Nil yang efisien. Sejarawan ekonomi Jean Batou berpendapat bahwa kondisi yang diperlukan untuk industrialisasi yang cepat ada di Mesir selama periode tahun 1820-an hingga 1830-an.[11] Serta penggunaan minyak sebagai sumber energi potensial yang digunakan pada mesin uap pada abad ke-19.

Perubahan demografis pada masa pemerintahan Muhammad Ali dan penerusnya sunting

Pada masa dinasti Muhammad Ali stagnasi populasi penduduk Mesri mengalami fluktuasi sekitar 4 juta di sebagian besar wilayah, terutama pada tahun 1805, yang berubah sejak pertumbuhan penduduk secara pesat.[14] Pertumbuhan penduduk tersebut terbilang cukup lambat hingga tahun 1840-an, tetapi sejak itu populasi penduduk Mesir tumbuh menjadi sekitar 7 juta pada tahun 1880-an, dan sensus modern pertama mencatat bahwa ada 9.734.405 penduduk di Mesir. Hal tersebut terjadi bersamaan dengan terjadinya penurunan angka kematian secara drastis, dan juga pertumbuhan harapan hidup 10-15 tahun. Hal tersebut tentu saja menunjukan bahwa pada masa dinasti Muhammad Ali dan penerusnya berhasil mencapai kesuksesan dalam modernisasi Mesir dan kualitas hidup sebagian masyarakat Mesir mengalami peningkatan secara signifikan pada abad ke-19.[15] Mesir pada abad ke-19 memiliki pola pertumbuhan penduduk secara eksplisit non-malthusianisme dan dapat dikategorikan sebagai pertumbuhan hiperbolik.

Daftar penguasa dinasti Muhammad Ali sunting

Daftar penguasa dinasti Muhammad Ali selama 148 tahun, yaitu sejak tahun 1805 hingga 1953.[16]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ "Egypt - Muḥammad ʿAlī and his successors (1805–82)". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-07-31. 
  2. ^ "Muḥammad ʿAlī | pasha and viceroy of Egypt". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-07-31. 
  3. ^ "Egypt - Muhammad Ali, 1805-48". countrystudies.us. Diakses tanggal 2020-08-05. 
  4. ^ Fahmy, Khaled (2012-12-01). Mehmed Ali: From Ottoman Governor to Ruler of Egypt (dalam bahasa Inggris). Simon and Schuster. ISBN 978-1-78074-211-3. 
  5. ^ "Wahhabi | Beliefs, Movement, & History". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-05. 
  6. ^ "Saudi Arabia | Geography, History, & Maps". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-05. 
  7. ^ "The Direct Instruments of Western Control over the Arabs: The Shining Example of the House of Saud". www.academia.edu (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-20. 
  8. ^ "The Long Struggle for Supremacy in the Muslim World - WSJ". archive.vn. 2018-10-27. Archived from the original on 2018-10-27. Diakses tanggal 2020-08-20. 
  9. ^ "Ibrahim Pasha Facts". biography.yourdictionary.com. Diakses tanggal 2020-08-16. 
  10. ^ "Ibrahim Pasha | Biography, History, & Facts". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-16. 
  11. ^ a b c Batou, Jean (1991). Between Development and Underdevelopment: The Precocious Attempts at Industrialization of the Periphery, 1800-1870 (dalam bahasa Inggris). Librairie Droz. ISBN 978-2-600-04293-2. 
  12. ^ Hassani, A. M. (1979-06). "Essay Review: Arab Scientists Revisited: IBN Ash-Shatir and Taqi Ed-Din: The Life and Work of Ibn Al-Shatir, an Arab Astronomer of the 14th Century, Taqi Al-Din and Arabic Mechanical Engineering, with the Sublime Methods of Spiritual Machines". History of Science (dalam bahasa Inggris). 17 (2): 135–140. doi:10.1177/007327537901700203. ISSN 0073-2753. 
  13. ^ "Taqi Al-Din | Science & Faith". Science & Faith (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-16. 
  14. ^ Korotayev, Andrey. Introduction to Social Macrodynamics: Secular Cycles and Millennial Trends in Africa (dalam bahasa Inggris). 
  15. ^ McCarthy, Justin A. (1976). "Nineteenth-Century Egyptian Population". Middle Eastern Studies. 12 (3): 1–39. ISSN 0026-3206. 
  16. ^ "Viceroy Mohammed Aly". web.archive.org. 2008-05-16. Archived from the original on 2008-05-16. Diakses tanggal 2020-08-16. 

Pranala luar sunting

  • Egyptian Royaltyby Ahmed S. Kamel, Hassan Kamel Kelisli-Morali, Georges Soliman and Magda Malek.