Program Kehutanan Nasional


Program Kehutanan Nasional atau PKN merupakan kerangka kebijakan kehutanan yang bersifat menyeluruh yang dibuat dalam rangka mencapai tujuan pengurusan hutan suatu negara, yaitu tercapainya pengelolaan hutan lestari atau PHL di negara tersebut. NFP dibuat dengan berlandaskan kepada pendekatan lintas sektoral pada setiap tingkat (nasional, provinsi, kabupaten/kota). pembentukan NFP akan merupakan sebuah proses yang bersifat iteratif dan terus menerus dalam kegiatan pengurusan hutan nasional.[1]

Pengertian PKN sunting

Program Kehutanan Nasional atau PKN merupakan kerangka kebijakan kehutanan yang bersifat menyeluruh yang dibuat dalam rangka mencapai tujuan pengurusan hutan suatu negara, yaitu tercapainya pengelolaan hutan lestari atau PHL di negara tersebut. NFP dibuat dengan berlandaskan kepada pendekatan lintas sektoral pada setiap tingkat (nasional, provinsi, kabupaten/kota), dan bersifat partisipatif dengann melibatkan berbagai pihak yang terkait, dalam keseluruhan proses mencakup: perumusan kebijakan, penetapan strategi, penyusunan rencana kegiatan, implementasi, pemantauan, dan evaluasinya. Proses pembentukan NFP bersifat dinamis, disesuaikan dengan keadaan faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pengurusan hutan yang akan berkembang menurut waktu. Dengan demikian, keseluruhan isi NFP harus selalu dimonitor dan dievaluasi. Beberapa komponen lain, seperti rencana kegiatan dan Teknik penerapannya dapat saja berubah dalam jangka pendek. Oleh karenanya pembentukan NFP akan merupakan sebuah proses yang bersifat iterative dan terus menerus dalam kegiatan pengurusan hutan nasional. Skema proses pembentukan NFP yang bersifat iteratif dapat dilihat pada Gambar Tahapan proses perumusan NFP.

 
Tahapan Proses Perumusan PKN atau NFP

Latar Belakang sunting

Meningkatnya laju deforestasi, meluasnya dampak degradasi lingkungan serta meningkatnya konflik sosial di berbagai belahan dunia, menyebabkan keprihatinan para pihak yang terdiri dari kalangan bisnis di bidang perkayuan dan kehutanan, perwakilan asosiasi dan organisasi hak asasi manusia dan lingkungan. Hal ini memicu terjadinya pertemuan para pihak di California pada tahun 1990, Kelompok multipihak ini menyepakati adanya kebutuhan untuk membangun sistem yang dapat mengidentifikasi hutan yang dikelola secara bertanggung jawab sehingga menghasilkan produk yang dapat dipertanggungjawabkan pula secara lingkungan, sosial,dan ekonomi. Konsep itu muncul untuk pertama kalinya pada pertemuan ini. Dua tahun berselang setelah pertemuan tersebut, yaitu pada tahun 1992 barulah PBB menyelenggarakan Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (KTT Bumi) yang diadakan di Rio de Janeiro. KTT Bumi menghasilkan komitmen terkait pengelolaan hutan, yaitu Agenda 21 dan Prinsip Pengelolaan Hutan yang meskipun tidak mengikat secara hukum namun menyediakan platform yang penting bagi banyak organisasi non-pemerintah untuk hadir dan memberikan dukungan bagi munculnya konsep inovatif terkait skema sertifikasi hutan non-pemerintah yang independen dan berskala internasional.[2]

Tujuan sunting

PKN dibuat dalam rangka tercapainya tingkat pengelolaan hutan lestari dalam suatu negara, sehingga pelaksanaan kegiatan konservasi, pengelolaan, dan pembangunan hutan. Hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan atau barang dan jasa dari hutan pada tingkat lokal, nasional, regional, dan global dapat terjamin dan sesuai dengan aturan-aturan yang bersifat universal serta keadaan khusus disetiap negaranya.[3]

Unsur-unsur PKN sunting

  1. Pernyataan kehutanan nasional (National Forest Statement), Suatu ungkapan politis tentang komitmen suatu negara terhadap pengelolaan hutan lestari dalam rangka kesepakatan tingkat internasional.
  2. Kajian sektor: suatu proses untuk mengembangkan pemahaman atas sektor kehutanan dan kaitannya dengan sektor-sektor lain dalam konteks pembangunan nasional dalam mengidentifikasi isu-isu kunci dan prioritas kegiatan lebih lanjut. Bergantung pada informasi yang afa, tinjauan tersebut bisa merupakan kegiatan utama atau suatu proses yang terus-menerus.
  3. Reformasi kebijakan, legislasi, dan institusi: suatu proses lintas sektoral dalam merumuskan kebijakan dan mengembangkan kelembagaan yang menunjang pengelolaan hutan lestari berdasarkan kajian sektor kehutanan dan dialog dengan semua pelaku, termasuk klasifikasi peran dan mandat masing-masing pelaku. Unsur ini mencakup desentralisasi, penguatan struktur pemerintah regional dan lokal, misalnya melalui penyerahan tanggung jawab perencaanaan dan penganggaran kepada daerah, desentralisasi pembiayaan, serta pengembangan kemampuan lokal.
  4. Pengembangan strategi: strategi untuk menerapkan kebijakn menuju pengelolaan hutan lestari, termasuk strategi pembiayaan berkaitan peran dan potensi sektor pemerintah dan swasta, investasi dalam negeri dan internasional.
  5. Rencana kegiatan: serangkaian langkah yang didasarkan pada analisis kebutuhan dan urutan prioritas yang disetujui Bersama, didefinisikan untuk satu siklus perencanaan sesuai dengan rencana pembangunan nasional (misalnya Renstra).
  6. Program investasi: investasi sektor pemerintah yang diprioritaskan, termasuk bantuan luar negeri merupakan insentif bagi sektor swasta dan non pemerintah dalam strategi pembiayaan untuk pengelolaan hutan lestari. Dalam konteks ini, kemitraan pemerintah-swasta bisa menjadi alat untuk mengatasi hambatan investasi awal dan memanfaatkan potensi pembiayaan sektor swasta untuk kepentingan kehutanan.
  7. Program peningkatan kapasitas: Program pendukung untuk membantu sektor pemerintah dan nonpemerintah dalam menjalankan peran dan mandatnya, dengan perhatian khusus pada penguatan kapasitas pada tingkat lokal.
  8. Sistem pemantauan dan evaluasi: pemantauan berlapis atas PKN dan program kehutanan terdesentralisasi untuk memberikan umpan balik terus-menerus terhadap perkembangan, dampak, dan efisiensi implementasi PKN.
  9. Mekanisme koordinasi dan partisipasi: koordinasi serta komunikasi vertical dan horizontal yang efektif pada semua tingkatan, interaksi dengan dunia internasional dalam kaitan dengan keterlibatan donor, serta komitmen internasional dan regional yang menyangkut kehutanan. Mekanisme tersebut harus melibatkan semua pihak yang terkait untuk menjamin hak-hak intervensi dan proses negosiasi dan kompromi yang adil, misalnya melalui debat publik, forum khusus dan kelompok-kelompok konsultatif. Pada tahap ini, materi yang dibahas harus mencakup definisi dan pembuatan perjanjian kemitraan kehutanan nasional dan internasional sebagai instrument wajib untuk menunjang formulasi dan implementasi PKN secara partisipatif dan terkoordinasi.[4]

Program PKN Di Indonesia sunting

Pengembangan Hutan Rakyat Di Tanah Pemilik sunting

Istilah hutan rakyat sudah lebih lama digunakan dala program-program pembangunan kehutanan dan disebut dalam UUPK (Undang-Undang Pokok Kehutanan) Tahun 1967. Di Jawa hutan rakyat dikembangkan pada tahun 1930-an oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia melanjutkan pada tahun 1952 melalui gerakan “Karang Kitri” (Wartapura 1990). Secara nasional pengembangan hutan rakyat di bawah payung program penghijauan diselenggarakan pada tahun 1960-an, tepatnya saat Pekan Raya Penghijauan pertama tahun 1961.

Sampai saat ini hutan rakyat telah diusahakan di tanah milik yang diakui secara formal oleh pemerintah maupun tanah milik yang diakui pada tingkat lokal (tanah adat). Dalam hutan rakyat diusahakan tanaman pohon-pohon yang hasil utamanya kayu, seperti Sengon (Paraserianthes falcataria), dan Akasia (Acacia auriculiformis). Selain kayu ada juga pohon penghasil getah Kemenyan (Styrax benzoin), Damar (Shorea javanica)) dan pohon penghasil buah seperti Kemiri.[5]

Hutan Serbaguna dan Hutan Kemasyarakatan sunting

Istilah hutan serbaguna mulai dikembangkan dalam Repelita ketiga (1979/1980 sampai 1983/1984). Kegiatan program Hutan Serbaguna mencakup pengembangan persuteraan, lebah madu, rumput untuk ternak, dan kayu bakar. istilah hutan kemasyarakatan sudah diperbincangkan dalam seminar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (PERSAKI) tahun 1985 dan pola pengembangannya dijabarkan oleh Direktorat Penghijauan dan Pengendalian Perladangan tahun 1986. Hutan kemasyarakatan mulai dikembangkan dalam Repelita kelima (1989/1990 sampai 1993/1994). Dalam dokumen Repelita kelima disebutkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu diusahakan agar kawasan hutan mampu memberikan manfaat kepada masyarakat sekitarnya dan dalam jumlah yang lebih banyak dan mutu yang lebih baik melalui hutan kemasyarakatan atau hutan sosial yang dikembangkan di sekitar desa-desa dan dikelola oleh organisasi sosial masyarakat secara mandiri.

Pengembangan praktik hutan serbaguna dan hutan kemasyarakatan saling tumpang tindih. Kedua-duanya dikembangkan di dalam kawasan hutan negara maupun di luar kawasan hutan negara. Pengembangannya di tanah milik tumpangtindih dengan hutan rakyat, namun sedikit berbeda penekanannya (hutan rakyat menekankan hasil utama kayu, sedangkan hasil dari hutan kemasyarakatan dan hutan serbaguna lebih beragam mencakup peternakan, persuteraan, dan lebah madu.[6]

Perhutanan Nasional sunting

Istilah perhutanan sosial digunakan pertama kali dalam penyelenggaraan program oleh Perum Perhutani di Jawa pada tahun 1986 dan proyek percontohan oleh Kantor Wilayah Departemen Kehutanan, yaitu di Belangian, Kalaan dan Selaru, Kalimantan Selatan. Pengembangannya oleh Perum Perhutani di Jawa merupakan penyempurnaan program-program pendekatan kesejahteraan, yaitu intensifikasi tumpangsari dan PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan). Inmas tumpangsari dilaksanakan pada tahun 1972 oleh Perum Perhutani di Jawa. Praktik tumpangsari di Jawa diterapkan pertama kali pada tahun 1883 oleh pemerintah Belanda dalam usaha menarik minat penduduk untuk melaksanakan reboisasi. Orientasi tumpangsari lebih kepada sistem hubungan kerja pengupahan, sedangkas inmas tumpangsari sudah mulai bergeser ke arah membangun mitra kerja, memberika perhatian kepada kesejahteraan tenaga kerja.

Pada awal pembangunannya oleh Perhutani kegiatan Perhutanan Sosial meliputi kegiatan di dalam kawasan hutan, yaitu pengembangan agroforestri dan di luar kawasan hutan, yaitu pengembangan kelompok tani hutan dan usaha produktif lainnya (peternakan, industri rumah tangga, dan perdagangan. Pengembangan agroforestry merupakan upaya pengembangan pola-pola tanam yang lebih intensif sehingga masyarakat memperoleh manfaat yang lebih besar dan lebih lama (selama daur tanaman pokok).

Upaya yang dilakukan antara lain melebarkan jarak tanam tanaman pokok (kehutanan) dan mengusahakan tanaman buah-buahan tahunan (Nangka, Jambu, Srikaya, dan Alpukat). Kelompok tani hutan dibangun untuk meningkatkan komunikasi timbal balik antara petani dan perhutani sehingga dicapai persamaan persepsi dan hubungan yang harmonis untuk mewujudkan mitra sejajar. Kelompok juga sebagai wadah saling belajar antar petani dan mengembangkan usaha bersama. Pengembangan usaha produktif di luar kawasan hutan merupakan kelanjutan dari program PMDH. Pengembangan usaha produktif di luar kawasan hutan lebih dikembangkan lagi melalui program pembinaan USKOP (Usaha Kecil dan Koperasi).[6]

Referensi sunting

  1. ^ Perdana dan, Aulia; Roshetko, James M (2013). "Seri Agroforestri dan Kehutanan di Sulawesi: Laporan hasil penilaian cepat untuk komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan di Sulawesi Selatan dan Tenggara" (PDF). 
  2. ^ "Figure 4—source data 1. FSC data in Excel format". dx.doi.org. Diakses tanggal 2019-11-12. 
  3. ^ Line, Maurice B. (2002-12). "Models for Library Management, Decision‐Making, and Planning20025Robert M. Hayes. Models for Library Management, Decision‐Making, and Planning. San Diego, CA: Academic Press 2001. pp. 278 + xvi and one CD‐ROM, ISBN: ISBN 0 12 334151 5 US$99.95 hardback". The Electronic Library. 20 (6): 519–519. doi:10.1108/el.2002.20.6.519.5. ISSN 0264-0473. 
  4. ^ Suhendang, Endang, VerfasserIn. Pengantar ilmu kehutanan Kehutanan sebagai Ilmu pengetahuan, kegiatan, dan bidang pekerjaan. ISBN 9789794935118. OCLC 1017986584. 
  5. ^ Ardiansyah, Tomi (2017-02-20). "Program-Program Kehutanan Masyarakat di Indonesia". Forester Act !. Diakses tanggal 2019-11-12. 
  6. ^ a b Perdana dan, Aulia; Roshetko, James M (2013). "Seri Agroforestri dan Kehutanan di Sulawesi: Laporan hasil penilaian cepat untuk komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan di Sulawesi Selatan dan Tenggara" (PDF).