Pertanaman tunggal

cara budidaya di lahan pertanian

Pertanaman tunggal atau monokultur adalah salah satu cara budidaya di lahan pertanian dengan menanam satu jenis tanaman pada satu areal. Cara budidaya ini meluas praktiknya sejak paruh kedua abad ke-20 di dunia serta menjadi penciri pertanian intensif dan pertanian industrial. Monokultur menjadikan penggunaan lahan efisien karena memungkinkan perawatan dan pemanenan secara cepat dengan bantuan mesin pertanian dan menekan biaya tenaga kerja karena keseragaman tanaman yang ditanam. Kelemahan utamanya adalah keseragaman kultivar mempercepat penyebaran organisme pengganggu tanaman (OPT, seperti hama dan penyakit tanaman).[1]

Monokultur kentang di Maine, A.S.

Cara budidaya ini biasanya dipertentangkan dengan pertanaman campuran atau polikultur. Dalam polikultur, berbagai jenis tanaman ditanam pada satu lahan, baik secara temporal (pada waktu berbeda) maupun spasial (pada bagian lahan yang berbeda).

Pertanaman padi, jagung, atau gandum sejak dulu bersifat monokultur karena memudahkan perawatan. Dalam setahun, misalnya, satu lahan sawah ditanami hanya padi, tanpa variasi apa pun. Akibatnya hama atau penyakit dapat bersintas dan menyerang tanaman pada periode penanaman berikutnya. Pertanian pada masa kini biasanya menerapkan monokultur spasial tetapi lahan ditanami oleh tanaman lain untuk musim tanam berikutnya untuk memutus siklus hidup OPT sekaligus menjaga kesehatan tanah.

Istilah "monokultur" sekarang juga dipinjam oleh bidang-bidang lainnya, seperti peternakan, kebudayaan (mengenai dominasi jenis aliran musik tertentu), atau ilmu komputer (mengenai sekelompok komputer yang menjalankan perangkat lunak yang sama).

Penggunaannya pada usaha pertanian

sunting

Budi daya tanaman

sunting

Monokultur menghasilkan sejumlah besar hasil pertanian dengan memaksimalkan pertumbuhan dan tidak memberikan kesempatan terjadinya persaingan dengan spesies tanaman lain. Monokultur memanfaatkan luas lahan lebih baik dibandingkan polikultur, namun menghisap nutrisi lebih banyak dibandingkan polikultur, sehingga dapat menyebabkan kesuburan lahan pertanian menurun secara drastis.[2] Perkembangan pertanian monokultur bergerak bersamaan dengan berkembangnya industri pupuk anorganik demi mengkompensasi hilangnya kesuburan tanah yang cepat.[3]

Kehutanan

sunting

Dalam kehutanan, monokultur adalah penanaman satu spesies pohon saja pada pada lahan kehutanan.[4] Disebut juga dengan hutan homogen buatan, penanaman hutan monokultur memberikan hasil yang lebih efisien dibandingkan penanaman hutan campuran karena usia pohon yang relatif panjang dan butuh waktu lama untuk pemanenan. Namun hutan monokultur tidak memberikan keanekaragaman hayati yang cukup bagi hewan liar untuk hidup dan berkembang dengan baik di dalamnya. Karena semua pohon ditanam pada waktu yang sama, maka dipanen juga pada waktu yang sama sehingga terjadi siklus tebang habis dan penanaman kembali yang dapat mengganggu habitat. Penggunaan kendaraan berat untuk menebang dan mengangkut hasil hutan berpotensi memadatkan tanah di dalam hutan sehigga mengganggu habitat di lantai hutan, termasuk organisme penghuni tanah.[5] Penanaman spesies tunggal juga berpotensi memudahkan tersebarnya penyakit pohon[6] dan mengganggu kualitas lingkungan.[7]

Persebaran hama dan penyakit

sunting

Monokultur di pertanian menggunakan satu strain tanaman dengan sifat genetika yang sangat mirip yang dikembangkan untuk menghasilkan hasil pertanian dalam jumlah besar. Karena kemiripan secara genetika, jika satu tanaman terkena hama dan penyakit, maka tanaman lain pun akan mudah terkena hama dan penyakit tersebut. Hal ini jika tidak ditangani dengan baik, dapat menghancurkan seluruh tanaman pada lahan tersebut.

Polikultur, di sisi lain, menanam berbagai jenis tanaman yang bervariasi baik secara spesies dan subspesies sehingga terdapat keanekaragaman genetika di lahan pertanian. Persebaran hama dan penyakit dapat dicegah karena biasanya hama dan penyakit hanya menyerang satu spesies saja. Bahkan jika yang ditanam hanya satu spesies, asalkan memiliki strain yang berbeda, persebaran hama dan penyakit dalam satu lahan dapat dicegah.[8]

Di China, penanaman padi dengan strain yang berbeda dalam kondisi tersebarnya wabah hama dan penyakit mampu menghasilkan beras 89% lebih banyak dibandingkan penanaman padi strain tunggal. Pada kondisi tersebarnya wabah, padi strain tunggal mengalami kerusakan tanaman sebesar 94% lebih banyak dibandingkan lahan padi strain jamak. Hal ini menjadikan penggunaan pestisida berpotensi untuk dikurangi.[9]

Saat ini terdapat kekhawatiran mengenai tersebarnya jamur penyebab karat daun gandum yang telah menghancurkan usaha penanaman di Uganda dan Kenya, dan telah tersebar secara perlahan ke Asia.[10] Revolusi Hijau menjadikan genetika tanaman pertanian menjadi sangat mirip karena pemuliaan tanaman dan bioteknologi yang begitu intensif demi menghasilkan hasil pertanian dalam jumlah besar untuk memberi makan populasi dunia.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ http://www.cropscience.org.au/icsc2004/symposia/2/1/1128_cookrj.htm
  2. ^ "Bananas." Environmental Impacts of Banana Growing /. N.p., n.d. Web. 20 Feb. 2014. <http://community.plu.edu/~bananas/environmental/home.html Diarsipkan 2015-06-18 di Wayback Machine.>.
  3. ^ G. Tyler Miller; Scott Spoolman (24 September 2008). Living in the Environment: Principles, Connections, and Solutions. Cengage Learning. hlm. 279–. ISBN 978-0-495-55671-8. Diakses tanggal 7 September 2010. 
  4. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-02-17. Diakses tanggal 2013-12-12. 
  5. ^ http://www.umich.edu/~nre301/forestry-02.doc
  6. ^ Richardson, Edited by David M. (2000). Ecology and biogeography of Pinus. Cambridge, U.K. hlm. 371. doi:10.2277/ Periksa nilai |doi= (bantuan). ISBN 978-0-521-78910-3. 
  7. ^ "Forestry". 
  8. ^ Zhu, Youyong (2000). "Genetic diversity and disease control in rice". International Weekly Journal Of Science. 406: 718–722. Diakses tanggal 17 August 2000. 
  9. ^ "Genetic Diversity and Disease Control in Rice". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-11-18. Diakses tanggal 2013-12-12. 
  10. ^ Vidal, John (2009-03-19). "'Stem rust' fungus threatens global wheat harvest". The Guardian. London. Diakses tanggal 2010-05-13. 

Pranala luar

sunting