Keanekaragaman hayati pertanian

Keanekaragaman hayati pertanian adalah subbidang keanekaragaman hayati yang mencakup semua bentuk kehidupan yang secara langsung terkait dengan aktivitas pertanian; berbagai varietas benih dan ras hewan, juga fauna tanah, gulma, hama, dan organisme asli daerah yang tumbuh di atas lahan pertanian. Namun bidang ini menaruh lebih banyak perhatian terhadap varietas tanaman yang dibudidayakan dan varietas tanaman asli yang ada di alam liar. Kultivar dapat diklasifikasikan menjadi varietas modern dan varietas petani atau varietas tradisional. Varietas modern merupakan hasil dari pembiakan selektif formal dan dicirikan dengan hasil yang tinggi. Contohnya adalah varietas gandum dan beras yang sempat memicu Revolusi Hijau. Varietas petani atau varietas tradisional merupakan seleksi yang dilakukan oleh petani tradisional berdasarkan pengalaman mereka di lahan. Setiap kawasan pertanian tradisional dapat memiliki varietas tradisional yang berbeda-beda. Semua varietas ini bersama-sama membentuk keanekaragaman hayati yang menjadi fokus utama aktivitas konservasi genetika.

Sekumpulan strain jagung yang tidak biasa

Keanekaragaman hayati pertanian merupakan dasar dari rantai makanan pertanian, yang dikembangkan dan dilindungi bersama-sama oleh petani, peternak, penjaga hutan, nelayan, dan masyarakat pribumi. Keanekaragaman hayati pertanian dapat berkontribusi dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan, terutama pada masa terjadinya perubahan iklim yang dapat memicu stres bagi kultivar yang banyak dipakai saat ini. Karena kekayaan genetika pertanian dapat menjadikan usaha pertanian lebih resilien terhadap perubahan.[1]

Ruang lingkup

sunting

Meski istilah keanekaragaman hayati pertanian terbilang baru dan mencapai pemanfaatan yang luas baru-baru ini, namun konsepnya telah digunakan sejak lama. Keanekaragaman hayati pertanian merupakan hasil dari seleksi yang hati-hati yang dilakukan oleh petani, peternak, dan nelayan selama ribuan tahun. Keanekaragaman hayati pertanian merupakan subbagian yang vital dari keanekaragaman hayati yang memberi makan dan kehidupan manusia sehingga menjaga dan mengelola keanekaragaman sumber daya hayati yang digunakan dalam aktivitas pertanian sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia.[2] Keanekaragaman hayati pertanian dapat mencakup:

Keanekaragaman spesies serangga yang tidak menjadi polinator namun hidup dalam ruang lingkup ekosistem pertanian dapat menjadi indikator kesehatan ekosistem.[4]

FAO (Food and Agriculture Organization) juga memasukan cakupan keanekaragaman hayati pertanian sebagai "varietas dan variabilitas tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme yang mendukung fungsi, struktur, dan proses ekosistem pertanian demi mendukung produksi dan ketahanan pangan".[5] Termasuk juga genetika, populasi, spesies, komunitas, ekosistem, dan komponen lanskap serta interaksinya dengan manusia.[6]

Keanekaragaman perairan juga penting bagi keanekaragaman hayati pertanian. Konservasi dan keberlanjutan penggunaan ekosistem perairan lokal seperti kolam, sungai, dan pantai oleh nelayan dan petani tradisional juga mampu mendukung produksi pangan di tingkat lokal dan membantu mempertahankan varietas tradisional. Praktik pertanian petani dan nelayan tradisional memiliki kekayaan genetika yang tidak dimiliki industri pertanian sehingga penting untuk menjaga dan melestarikannya.

Erosi genetik pada keanekaragaman hayati pertanian

sunting

Erosi genetik pada keanekaragaman hayati pertanian adalah hilangnya keanekaragaman genetika, termasuk gen individu dan hilangnya kombinasi gen tertentu seperti ras atau kultivar tradisional yang sudah beradaptasi dengan kondisi lokal. Istilah erosi genetik dapat digunakan pada ruang lingkup yang sempit seperti hilangnya alel atau gen tertentu, dan dalam ruang lingkup yang lebih luas seperti hilangnya subspesies dan spesies. Penggerak utama terjadinya erosi genetik adalah: penetapan varietas, penebangan habis, eksploitasi berlebih, tekanan populasi, degradasi lingkungan, penggembalaan berlebih, dan perubahan kebijakan pertanian.[7]

Faktor utama adalah penetapan varietas yang mengganti varietas lokal yang sudah beradaptasi dengan varietas baru (varietas komersial atau varietas industri) yang lebih menghasilkan. Seperti penggantian tanaman varietas lokal dengan tanaman transgenik dan pertanian monokultur. Beberapa peneliti percaya bahwa masalah utama yang terkait dengan pengelolaan ekosistem pertanian adalah kecenderungan menuju keseragaman genetika dan ekologi akibat perkembangan dunia pertanian modern.[8][9] Tekanan dari keseragaman ekologi tersebut terhadap petani dan peternak diakibatkan oleh tingginya permintaan dari industri pangan yang menginginkan konsistensi bahan dari produk mereka.

Kebergantungan manusia

sunting

Keanekaragaman hayati pertanian tidak hanya merupakan hasil dari aktivitas manusia. Kehidupan manusia pun bergantung pada makanan dan sumber daya alam yang dihasilkan dari keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati pertanian bermanfaat dalam memproduksi pangan dan produk pertanian lainnya secara berkelanjutan.[10][11] Hal ini didukung penelitian yang dilakukan di komunitas pertanian multifungsional Eropa, pekarangan di seluruh dunia,[12] petani kecil di wilayah tropika,[13][14] dan sebagainya.

Perbandingan antara sistem

sunting

Sebuah kecenderungan umum yang ditunjukan oleh analisis keanekaragaman hayati pada berbagai sistem pertanaman (misal perbandingan antara pertanian industri dan pertanian organik) ditemukan bahwa keanekaragaman tanaman pertanian yang lebih tinggi menghasilkan keanekaragaman hayati yang lebih tinggi pada ekosistem pertanian, meski ini tidak selalu terjadi. Sebuah analisis dari studi yang membandingkan keanekaragaman hayati didapatkan bahwa ketika dibandingkan dengan sistem pertanaman organik, sistem konvensional memiliki kekayaan spesies yang lebih rendah dibandingkan sistem organik. Hanya 16% dari survei tersebut yang menemukan kondisi sebaliknya.[15] Penelitian lainnya menunjukan bahwa penggunaan bahan kimia pertanian (pestisida dan pupuk kimia) yang biasa dilakukan pada sistem pertanian konvensional menyebabkan berkurangnya polinator secara drastis. Pada sistem pertanian organik yang mendayagunakan spesies tanaman yang sama, tidak ditemukan penyusutan populasi polinator.[16]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Frison, E.A.; Cherfas, J.; Hodgkin, T. Agricultural Biodiversity Is Essential for a Sustainable Improvement in Food and Nutrition Security. Sustainability 2011, 3, 238-253.
  2. ^ FAO, (1996). Global Plan of Action for the Conservation and Sustainable Utilization of Plant Genetic Resources for Food and Agriculture. Food and Agriculture Organization of the United Nations, http://www.fao.org/ag/AGP/AGPS/GpaEN/gpatoc.htm Diarsipkan 2008-09-20 di Wayback Machine.
  3. ^ http://www.fao.org/dad-is
  4. ^ Rizali, Akhmad; Buchori, Damayanti; Triwidodo, Hermanu (2002). "Keanekaragaman Serangga pada Lahan Persawahan -Tepian Hutan: Indikator untuk Kesehatan Lingkungan" (PDF). Hayati Journal of Biosciences.  Hapus pranala luar di parameter |journal= (bantuan)
  5. ^ "FAO: SD Dimensions: Environment: Environmental conventions and agreements". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2004-12-13. Diakses tanggal 2013-11-01. 
  6. ^ Jackson, L., Bawa, K., Pascual, U., and Perrings, C. (2005).agroBIODIVERSITY: A new science agenda for biodiversity in support of sustainable agroecosystems. DIVERSITAS Report N°4. 40 pp. [1] Diarsipkan 2011-07-24 di Wayback Machine.
  7. ^ FAO, (1997). The State of the World’s Plant Genetic Resources for Food and Agriculture. Food and Agriculture Organization of the United Nations, http://www.fao.org/WAICENT/FAOINFO/AGRICULT/AGP/AGPS/Pgrfa/pdf/swrfull.pdf Diarsipkan 2006-10-27 di Wayback Machine.
  8. ^ Gao, L.Z., (2003). The conservation of rice biodiversity in China: significance, genetic erosion, ethnobotany and prospect. Genetic Resources and Crop Evolution, 50: 17-32.
  9. ^ Guarino, L., (1995). Assessing the threat of genetic erosion. In: Collecting Plant Genetic Diversity: Technical Guidelines (eds. Guarino L, Rao VR, Reid R) pp. 67-74. CAB International, Wallingford.
  10. ^ Thrupp, L. A. (2000) 'Linking agricultural biodiversity and food security: the valuable role of agrobiodiversity for sustainable agriculture', International Affairs, 76(2): 265-281.pdf
  11. ^ Zuhud, Ervizal A. M. (1989). "Strategi Pelestarian dan Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati Tumbuhan Obat Indonesia" (PDF). Media Konservasi.  Hapus pranala luar di parameter |journal= (bantuan)
  12. ^ Galluzi, G., Eyzaguirre, P. and Negri, V. (2010) 'Home gardens: neglected hotspots of agro-biodiversity and cultural diversity[pranala nonaktif permanen]', Biodiversity and Conservation, 19: 3635-3654.
  13. ^ Kull, C. A., Carriere, S. M., Moreau, S., Rakoto Ramiarantsoa, H., Blanc-Pamard, C. and Tassin, J. (2013) 'Melting pots of biodiversity: tropical smallholder farm landscapes as guarantors of sustainability', Environment, 55(2): 6-15.
  14. ^ Madanijah, Siti; Baliwati, Yayuk Farida; Susilawati, Kelana Indah (2008). "Keanekaragaman hayati hutan kemasyarakatan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan gizi rumah tangga di Kabupaten Lampung Barat" (PDF). Jurnal Gizi dan Pangan.  Hapus pranala luar di parameter |journal= (bantuan)
  15. ^ Bengtsoon, J., et al. (2005). The effects of organic agriculture on biodiversity and abundance: a meta­analysis. Journal of Applied Ecology, 42: 261–269.
  16. ^ Morandin, Lora A., and Mark L. Winston. (2005). WILD BEE ABUNDANCE AND SEED PRODUCTION IN CONVENTIONAL, ORGANIC, AND GENETICALLY MODIFIED CANOLA. Ecological Applications, 15:871–881.

Pranala luar

sunting