Pelopor (Bahá’í)

Pelopor (pioneer) adalah orang-orang Bahá'í yang secara sukarela pergi meninggalkan tempat tinggalnya, dalam rangka mempromosikan ajaran yang mereka anut ke tempat yang sama sekali baru, baik di negara yang sama maupun di negara lain.[1] Kegiatan para pelopor untuk pergi dan mempromosikan ajaran disebut sebagai kepeloporan (pioneering). Para pelopor cenderung menetap di daerah yang baru untuk jangka waktu yang lama. Bahkan, tidak sedikit di antara mereka yang menetap secara permanen di daerah yang menjadi medan kepeloporan mereka tersebut.[2]

Menurut pemahaman masyarakat Bahá'í, pelopor bukanlah misionaris atau pendakwah sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat awam. Hal ini dikarenakan mereka tidak dididik atau dilatih serta tidak pula menerapkan strategi khusus.[1] Alasan-alasan yang melatarbelakangi para pelopor mendatangi tempat yang baru biasanya untuk alasan melanjutkan studi formal, karier dan bisnis, atau semata ingin menghabiskan masa pensiun dengan cara-cara yang kreatif.[2]

Sejarah

sunting

Selama masa hidup Bahá'u'lláh, penyebaran agama Bahá'í masih terbatas pada wilayah Timur Tengah yang didominasi agama Islam. Meskipun demikian, ia menganjurkan beberapa pengikutnya untuk berpindah ke India untuk menyampaikan ajaran Bahá'í.[3] Melalui serangkaian misi dan kepeloporan pada masa kepemimpinan 'Abdu'l-Bahá, barulah agama ini mulai tersebar luas ke luar Timur Tengah, khususnya ke Dunia Barat. Para pelopor, kadang disebut juga sebagai misionaris, datang ke Amerika Serikat dan Kanada pada 1890-an dan pada 1900-an ke Eropa Barat.[4] Komunitas Bahá'í di Amerika Utara pada akhirnya berkembang dan memiliki aktivitas yang menggembirakan. Hal yang sama tidak terjadi di Eropa. Pertumbuhan agama yang efektif di Eropa baru terjadi pasca Perang Dunia II, ketika Shoghí Effendí selaku sosok pengganti 'Abdul'-Bahá mengirimkan misi terorganisasi ke Eropa. Misi tersebut didukung oleh komunitas Bahá'í Amerika. Banyak di antara mereka yang berangkat sebagai pelopor.[4] Shoghí Effendí menjadi kepala agama Bahá’í antara tahun 1921-1957. Pada masa kepemimpinannya, agama Bahá’í tersebar luas ke seluruh dunia melalui rencana-rencana besar, salah satunya yaitu The Second Seven-year Plan (1946-1953) yang memfokuskan pada perkembangan agama di Eropa yang saat itu baru memiliki dua MRN, di Inggris dan Jerman.[5]

Ketika agama Bahá'í mulai berkembang di India, beberapa individu memilih untuk berpindah ke Asia Tenggara sebagai pelopor pada awal dekade 1950-an.[6] Saat itu Bahá'í mulai mendapat perhatian dan berkembang dengan cukup cepat di Vietnam, Indonesia, Malaysia, dan Filipina.[7] Khususnya di Vietnam, antara 1957-1963, komunitas Bahá'í berkembang sebesar tiga kali lipat.[8]

Signifikansi

sunting

McMullen menyebutkan bahwa kepeloporan sebagai sarana menyebarluaskan ajaran Bahá’í merupakan salah satu dari empat faktor utama yang menjadikan Bahá’í sebagai salah satu agama dunia dengan perkembangan yang paling cepat.[9] McMullen menambahkan bahwa pelopor pergi ke suatu tempat di seluruh dunia, kadang di tempat yang sangat jauh dari negara asalnya, bukan cuma untuk memperkenalkan ajaran dan membangun MRS-MRS baru. Para pelopor akan berusaha agar lembaga agama yang baru terbentuk tersebut sedapat mungkin bertahan dan berkembang.[9] Apabila di suatu wilayah yang memiliki MRS, mukmin dewasanya berkurang sehingga jumlahnya di bawah jumlah minimal yang diperlukan –sembilan, pelopor akan datang untuk membantu menyelamatkan majelis tersebut. Apabila tidak, majelis yang dimaksud dapat dibubarkan.[9]

Kepeloporan di Indonesia

sunting

Bahá'í pertama kali dibawa ke Indonesia oleh Jamál Effendí, yang ditemani oleh Siyyid Mustafá Rúmí.[10] Keduanya disebut sebagai guru pejalan (travel-teacher) alih-alih pelopor. Tak banyak yang diketahui soal perkembangan agama Bahá'í pasca kembalinya para guru pejalan ke tempat atau pos pengabdian masing-masing. Hingga akhirnya pada 1949, Shoghí Effendí menginstruksikan agar Majelis Rohani Nasional (MRN) India-Pakistan-Burma melakukan penyampaian ajaran agama ke Asia Tenggara. MRN India-Pakistan-Burma kemudian memanggil beberapa orang yang berpotensi untuk menjadi pelopor ke Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Mereka adalah K.H. Paymán dan K.M. Fozdar. Akhirnya, Paymánlah yang berangkat sebagai pelopor ke Indonesia. Ada pun Fozdar menjadi pelopor di Singapura.[2] Pada Oktober 1950 Paymán mengirimkan surat kepada MRN India-Pakistan-Burma agar mengirimkan beberapa orang lagi untuk membantu proses penyampaian agama di Jakarta. Surat tersebut dijawab pada September 1951. Bersamaan dengan surat tersebut, MRN India-Pakistan-Burma mengirimkan beberapa orang, yakni Borzoo Soheili, seorangpelopor asal Pakistan serta anggota keluarga Paymán yang terdiri dari dua orang saudara kandung dan satu sepupunya (Rustom Pamanian) ke Jakarta.[11]

Pada tahun 1953, Shoghí Effendí mengumumkan rencana sepuluh tahun yang dikenal sebagai Ten Year Crusade. Rencana besar ini bercita-cita untuk memperluas sebaran umat Bahá’í dan membentuk Majelis-majelis Rohani yang baru. Rencana tersebut disambut oleh dokter-dokter asal Persia. Mereka berhasil memasuki Indonesia dan memulai kepeloporan mereka melalui program kerja sama dengan Departemen Kesehatan RI. Masa itu Indonesia masih kekurangan tenaga medis dan tenaga asing sangat diperlukan. Dokter-dokter Persia diterima dan ditunjuk oleh pemerintah untuk mengadi di beberapa daerah. Jumlah mereka berkisar 10 orang, terdiri dari dokter umum dan lulusan sekolah medis. dr. Samandari ditempatkan di Kutacane, kemudian berturut-turut dipindahkan ke Singkil, Medan, dan akhirnya tinggal di Bandung. dr. Nurredin Soraya ditugaskan di Bojonegoro. dr. Astani ditugaskan di Padang dan Bukittinggi. dr. Rahmatu'lláh Muhájir mengabdi di Muara Siberut, Mentawai. Selama kepeloporannya di Mentawai, dr. Muhájir disebut telah menginspirasi lebih dari 2.500 masyarakat asli untuk menerima ajaran Bahá'u'lláh.[12] Adamson bahkan memberikan angka yang lebih tinggi terhadap kepeloporan dr. Muhájir. Ia menyebutkan bahwa hinga 1958, 4.000 masyarakat Mentawai telah memeluk Bahá'í.[13] Kepeloporannya dianggap sebagai ancaman terbesar terhadap usaha penginjilan di Siberut.[12]

Sebelum kedatangan dokter-dokter Persia, di Indonesia, khususnya Jakarta sudah ada beberapa individu Bahá'í seperti Capt. Buys dan Jan P. de Borst, orang Belanda yang memeluk Bahá'í setelah perkenalan mereka dengan seorang pelopor asal Amerika Serikat.[11] Kedatangan dokter-dokter asal Persia ditambah dengan beberapa individu Bahá'í lainnya, termasuk Paymán yang telah menetap di Jakarta sejak 1950, telah memungkinkan mereka mendirikan Majelis Rohani Setempat (MRS) Jakarta. MRS Jakarta didirikan pada tahun 1954 dan merupakan majelis pertama di Indonesia.[14]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Hassall, Graham (1992). Rubinstein, Donald H., ed. "Pacific Bahá'í Communities 1950-1964". Pacific History: Papers from the 8th Pacific History Association Conference. Guam: University of Guam Press & Micronesian Area Research Center. 1 (1): 27. 
  2. ^ a b c Chew, Phyllis Ghim Lian (1996). Khursheed, Anjam, ed. "The Emergence of the Bahá'í Faith in Singapore (1950-1972)". The Singapore Bahá’í Studies Review. Singapore: Association for Baha'i Studies of Singapore. 1 (1): 27. 
  3. ^ Baháʼí History oleh Moojan Momen and Peter Smith
  4. ^ a b Hvithamar, Annika; Warburg, Margit; Warmind, Morten, ed. (2005). Baha'i and Globalisation. Aarhus, Denmark: Aarhus University Press. hlm. 9-10. ISBN 8779348947. 
  5. ^ Martin, J. Douglas; Hatcher, William S. (2002). The Bahá'í Faith: The Emerging Global Religion. Wilmette, Illinois: Bahá'í Publishing. hlm. 69. ISBN 1931847061. 
  6. ^ Sarwal, Anil (1989). "Shirin Fozdar: An Outstanding Pioneer". Baháʼí Digest. Diakses tanggal 2008-02-23. 
  7. ^ Momen, Moojan (1996). "The Baháʼí Today". A Short Introduction to the Baháʼí Faith. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-09. Diakses tanggal 2008-07-19. 
  8. ^ Rabbani, R. (Ed.) (1992). The Ministry of the Custodians 1957-1963. Baháʼí World Centre. hlm. 138, 140, 360. ISBN 0-85398-350-X. 
  9. ^ a b c McMullen, Michael (2000). The Bahá’ís: The Religious Construction of a Global Identity. New Jersey: Rutgers University Press. hlm. 41-42. 
  10. ^ Chew, Phyllis Ghim Lian (1996). Khursheed, Anjam, ed. "The Emergence of the Bahá'í Faith in Singapore (1950-1972)". The Singapore Bahá’í Studies Review. Singapore: Association for Baha'i Studies of Singapore. 1 (1): 24. 
  11. ^ a b "India, Pakistan, Burma". The Bahá’í News (dalam bahasa Inggris). 14. Majelis Rohani Nasional Amerika Serikat. Oktober 1951. hlm. 8. Diakses tanggal 2020-05-20. 
  12. ^ a b Aritonang, Jan; Steenbrink, Karel, ed. (2008). A History of Christianity in Indonesia. Leiden, Belanda: Brill Academic Publishers. hlm. 620. 
  13. ^ Adamson, Hugh C. (2008). Historical Dictionary of the Bahá’í Faith (edisi ke-2). Lanham: Scarecrow Press. hlm. 337. 
  14. ^ Bahá'í World, The: Volume 12 (1950-1954) dikompilasi oleh Majelis Rohani Nasional Amerika Serikat, 1956