Provinsi Pattani

provinsi di Thailand
(Dialihkan dari Pattani)

Provinsi Pattani (Thai: ปัตตานี; pengucapan [pàt.tāː.nīː], diserap dari Sanskerta: पट्टनि, translit. Paṭṭani) merupakan salah satu provinsi (changwat) di selatan Thailand. Provinsi-provinsi yang bertetangga (dari arah selatan tenggara searah jarum jam) adalah Narathiwat (Menara), Yala (Jala) dan Songkhla (Senggora).

Pattani
ปัตตานี
Masjid Agung Pattani
Masjid Agung Pattani
Lambang resmi Pattani
Peta Provinsi Pattani (warna merah) di Thailand
Peta Provinsi Pattani (warna merah) di Thailand
Negara Thailand
IbukotaPattani
Pemerintahan
 • GubernurWiranan Phengchan (sejak October 2016)
Luas
 • Total1.940,4 km2 (7,492 sq mi)
PeringkatPeringkat ke-67
Populasi
 (2014)
 • Total686.186
 • PeringkatPeringkat ke-39
 • Kepadatan0,035/km2 (0,092/sq mi)
 • Peringkat kepadatanPeringkat ke-9
Zona waktuUTC+7 (ICT)
Kode ISO 3166TH-94

Masyarakat Melayu setempat menyebut provinsi mereka, Patani Darussalam atau Patani Raya.

Geografis sunting

Pattani terletak di Semenanjung Melayu dengan pantai Teluk Thailand di sebelah utara. Di bagian selatan terdapat gunung-gunung dan atraksi turisme seperti taman negara Budo-Sungai Padi yang berada di perbatasan provinsi Yala (Jala) dan Narathiwat (Menara). Di sini juga terdapat beberapa tumbuhan yang agak unik seperti palma Bangsoon dan rotan Takathong. Di kawasan perbatasan dengan Songkhla dan Yala pula terdapat sebuah taman rimba yang terkenal dengan gunung terjunnya, Namtok Sai Khao.

Sejarah sunting

Pada awalnya, Pattani merupakan sebuah kerajaan Melayu Islam yang berdaulat, mempunyai kesultanan dan perlembagaan yang tersendiri. Patani adalah sebagian dari 'Tanah Melayu'. Namun pada pertengahan abad ke-19 Patani telah menjadi korban penaklukan Kerajaan Siam.

Pada tahun 1826, penaklukan Siam terhadap Patani mendapat pengakuan Britania Raya. Dalam usahanya untuk mengokohkan kedudukannya di Pattani, pada tahun 1902 Kerajaan Siam melaksanakan undang-Undang Thesaphiban.

Dengan itu, sistem pemerintahan kesultanan Melayu telah dihapuskan. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bangkok pada tahun 1909, Pattani telah diakui oleh Britania sebagai bagian dari jajahan Siam walaupun tanpa mempertimbangkan keinginan penduduk asli Melayu Patani.

Sejak penghapusan pemerintahan Kesultanan Melayu Pattani, masyarakat Melayu-Pattani berada dalam posisi tertekan dan lemah . Seperti yang diungkap oleh W.A.R. Wood, Konsul Britania di Songkhla, penduduk Melayu telah menjadi mangsa sebuah pemerintahan yang tidak diperintah dengan baik. Justru akibat pemaksaan inilah kekacauan sering terjadi di Pattani. Pada tahun 1923, Tengku Abdul Kadir Kamaruddin, mantan Raja Melayu Patani, dengan dukungan pejuang-pejuang Turki, memimpin gerakan pembebasan. Semangat anti-Siam menjadi lebih hebat saat Kerajaan Pibul Songgram (1939-44) mencoba mengasimilasikan kaum minoritas Melayu ke dalam masyarakat Siam melalui Undang-Undang Rathaniyom.

Keterlibatan Siam dalam Perang Dunia Kedua di pihak Jepang telah memberikan harapan kepada orang-orang Melayu Pattani untuk membebaskan tanah air mereka dari penjajahan Siam. Tengku Mahmood Mahyideen, putra mantan Raja Melayu Patani juga seorang pegawai berpangkat Mayor dalam pasukan Force 136, telah mengajukan proposal kepada pihak berkuasa Britania di India supaya mengambil alih Pattani dan wilayah sekitarnya serta digabungkan dengan Tanah Melayu.

Proposal Tengku Mahmud itu selaras dengan proposal Pejabat Tanah Jajahan Britania dalam mengkaji kedudukan tanah ismus Kra dari sudut kepentingan keamanan Tanah Melayu setelah perang nanti.

Harapan itu semakin terbuka saat pihak sekutu, dalam Perjanjian San Francisco pada bulan April 1945, menerima prinsip hak menentukan nasib sendiri (self-determination) sebagai usaha membebaskan tanah jajahan dari belenggu penjajahan.

Atas semangat itu, pada 1 November 1945, sekumpulan pemimpin Melayu Patani dipimpin oleh Tengku Abdul Jalal, bekas wakil rakyat wilayah Narathiwat, telah mengemukakan petisi kepada Kerajaan Britania dengan tujuan membujuk agar empat wilayah di Selatan Siam dibebaskan dari kekuasaan Pemerintahan Siam dan digabungkan dengan Semenanjung Tanah Melayu. Namun sudut pandang Britania terhadap Siam berubah saat Peperangan Pasifik selesai. Keselamatan tanah jajahan dan kepentingan British di Asia Tenggara menjadi pertimbangan utama kerajaan Britania dalam perbincangannya dengan Siam maupun Pattani.

Kerajaan Britania memerlukan kerjasama Siam untuk mendapatkan stok beras untuk keperluan tanah jajahannya. Tidak kurang pentingnya, kerajaan Britania terpaksa menyesuaikan perundangannya terhadap Siam dengan tuntutan Amerika Serikat yang ingin menetapkan wilayah Siam seperti pada tahun 1941.

Kebangkitan Komunis di Asia Tenggara, khususnya di Tanah Melayu pada tahun 1948, menjadi faktor pertimbangan Britania dalam menentukan keputusannya. Kerajaan Britania menganggap Siam sebagai negara benteng terhadap ancaman Komunis China. Karena itu Kerajaan Britania ingin memastikan Siam terus stabil dan memihak kepada Barat dalam persaingan dengan Negara-Negara Komunis. Kerajaan Britania memerlukan kerjasama kerajaan Siam untuk menghapuskan kegiatan teror Komunis di perbatasan Tanah Melayu-Siam.

Kebetulan kerajaan Siam telah memberi jaminan untuk memperkenalkan reformasi di Pattani untuk mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat Melayu. Oleh kerana itu, isu Pattani yang awalnya dianggap kurang penting malah kembali dibangkitkan akan memperkuat hubungan dengan Siam.

Setelah Persidangan Songkla pada awal Januari 1949, pihak berkuasa Britania di Tanah Melayu atas tuntutan pihak Siam mulai mengambil tindakan terhadap pemimpin-pemimpin pejuangan Pattani. GEMPAR juga telah dilarang. Tengku Mahmood Mahyideen ditekan, sementara Haji Sulung dihukum penjara. Pergerakan politik Pattani semakin lemah dengan kematian Tengku Mahmood Mahyideen dan Haji Sulung pada tahun 1954.

Demografi sunting

Pattani merupakan salah satu daripada empat provinsi Thailand yang mempunyai mayoritas penduduk beragama Islam (80%). Nama Pattani berasal dari dua perkataan Bahasa Melayu logat setempat yaitu "Pata" ("Pantai") dan "Ni" ("Ini"). Sebagai salah satu wilayah baru yang terbentuk dari Negara Patani awal, demografinya tidak jauh berbeda dengan provinsi-provinsi mayoritas Melayu Islam yang lain seperti Narathiwat (Menara), Yala (Jala), Satun (Sentul) dan Songkhla (Senggora).

Al-Fattani adalah dari perkataan Bahasa Arab bermaksud kebijaksanaan atau cerdik, karena di situ tempat lahirnya banyak ulama dan cendekiawan berbagai golongan dari tanah melayu (jawi). Banyak juga yang menjadi ahli tafsir Al-quraan, pengarang kitab bahasa Arab dan bahasa Melayu serta banyak juga yang telah menjadi tenaga pengajar di tanah Arab kebanyakan dari Fattani maka orang-orang Arab menggelar mereka adalah orang Fattani

Fattani adalah serambi Mekah di gelar Fattani Darulsalam

Simbol sunting

Lambang wilayah Pattani memaparkan sebuah meriam yang "Sri Patani" atau dalam bahasa siam "Phya Tani", yang dihasilkan di Pattani oleh penduduk Pattani. Meriam ini dibawa ke Bangkok pada 1785 dan sekarang dipamerkan di depan bangunan Departemen Pertahanan di Bangkok.

Simbol-simbol yang lain termasuk bunga raya (Hibiscus rosa-sinensis), dan pohon Chengal Kampung (Hopea odorata).

Pembagian administratif sunting

 
Peta Amphoe

Pattani terbagi kepada 12 kawasan administratif (Amphoe), dibagi lagi menjadi 115 daerah swapraja/komunitas (tambon) dan 629 kampung (mubaan).

  1. Mueang Pattani/Patani
  2. Khok Pho/Kuk Pur
  3. Nong Chik/Nung Chik
  4. Panare/Penarik
  5. Mayo/Maja
  6. Thung Yang Daeng
  1. Sai Buri/Selindung Bayu atau Telube
  2. Mai Kaen
  3. Yaring/Jaring atau Jamu
  4. Yarang/Cegar
  5. Kapho
  6. Mae Lan

Huru-hara sunting

Sejak awal tahun 2004, beberapa insiden kerusuhan dan huru-hara telah melanda selatan Thailand, terutama di wilayah-wilayah Narathiwat, Yala, dan Pattani. Kawasan-kawasan ini didiami oleh mayoritas penduduk Melayu Islam dan aktivitas gerakan pejuang kemerdekaan telah aktif sejak tahun 1980-an. Penduduk-penduduk di sini tidak merasa senang dengan reaksi keras pemerintah pusat terhadap aktivitas gerakan pejuang kemerdekaan tersebut. Kebanyakan mereka juga tidak puas hati dengan beberapa kebijakan kerajaan pusat yang memperlakukan mereka dengan cara berbeda dari kaum etnis Thai.

Pada 26 Oktober 2004, 78 orang tewas akibat sesak napas setelah kesemuanya dimasukkan di dalam truk polisi akibat ditangkap di atas tuduhan rusuhan di daerah tersebut dan sekelilingnya. Statistik yang diberikan oleh seorang pengamat independen menjelaskan bahwa 6 orang mati serta merta terkena tembakan, 78 orang mati di rumah sakit, 35 mayat ditemui terapung di dalam sungai, kebanyakan para korban mati lemas dan beberapa di antaranya mengalami patah tulang leher dan 1298 orang mengalami luka-luka Hingga awal tahun 2006, sedikitnya 1.000 orang telah tewas akibat kekacauan yang terjadi di Thailand bagian selatan sejak Januari 2004.

Pranala luar sunting

Lihat pula sunting