Nyalawena

salah satu upacara keagamaan di dunia


Nyalawena merupakan ritual cara memanen ikan yang dilaksanakan oleh masyarakat di Pantai Apra, Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur.[1] Nyalawena berasal dari kata nyalawean atau salawe. Dalam bahasa Sunda kata ini menunjukkan penyebutan jumlah untuk angka 25. Hal ini sesuai dengan pelaksanaan nyalawena yang dilaksanakan setiap tanggal 25 dalam perhitungan bulan di kalender Islam.[2] Pada tanggal tersebut masyarakat Sindangbarang biasanya berbondong-bondong menangkap ikan impun (ikan teri) yang sedang melakukan migrasi dari laut menuju hulu sungai. Masyarakat juga sering menyebut upacara Nyalawena dengan istilah “Ngala Impun” yang berarti menangkap ikan kecil atau impun. Sebelum dilaksanakan penangkapan ikan impun diadakan upacara ritual sebagai wujud penghormatan terhadap penguasa Laut Kidul yaitu Nyi Roro Kidul dan Si Pacul agar selalu mendapatkan lindungan dan hasil tangkapan ikan yang berlimpah.[1] Walaupun Nyi Roro Kidul tidak terlihat dan sifatnya mistis, namun kepercayaan terhadap dirinya sangat melekat dengan kuat. Hal ini tercermin pada pada saat berlangsungnya upacara Nyalawena. Masyarakat dari berbagai kalangan turun langsung mengikuti ritual tersebut dengan suka cita. Jaring berbentuk persegi adalah alat yang digunakan masyarakat untuk menangkap ikan impun, tak lupa jaring itu diikatkan pada empat potong kayu.[3] Kayu tersebut memiliki panjang satu meter. Setelah tahap persiapan selesai, masyarakat langsung berburu ikan impun yang ada di pantai. Masyarakat dilarang melakukan kegiatan yang melanggar seperti tindakan asusila pada pelaksanaan Nyalawena. Karena menurut ketua adat di daerah tersebut, barang siapa yang melanggar pantangan tersebut akan megalami kejadian yang tidak diinginkan atau musibah. Oleh karena itu, masyarakat setempat maupun pendatang (wisatawan) yang berkunjung tidak berani mengusik pada saat berlangsungnya tradisi tersebut. Alam lingkungan di sekitar pantai pun sangat dijaga, tidak ada yang berani mengubahnya. Wilayah kekuasaan Nyi Roro Kidul terhitung sepanjang laut pantai selatan Pulau Jawa.[1]

Pelaksanaan Ritual sunting

Secara emosional, ketertarikan masyarakat Cianjur Selatan, khususnya di Kecamatan Sindangbarang masih tertarik untuk melihat dan melaksanakan tradisi Nyalawena.[1] Pada setiap tanggal 25 di bulan Rajab, Mulud, atau para peringatan hari besar Islam lainnya, antusias pada tradisi Nyalawena lebih ramai dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Karena, pada bulan tersebut dipercaya bahwa nelayan dan masyarakat akan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak.[1] Sebelum pelaksanaan, masyarakat biasanya memberikan sesajen terlebih dahulu yang dipersembahkan untuk Nyi Roro Kidul dan Si Pacul. Tahapan-tahapan upacara Nyalawena, adalah sebagai berikut:

  1. Melihat tanda-tanda alam yang menunjukan akan datangnya ikan kecil atau impun dari tengah lautan. Kegiatan ini dilakukan oleh tokoh adat yang dipercayai oleh masyarakat. Tanda-tanda yang terlihat adalah ombak yang besar di pantai, dan halilintar yang sangat besar di tengah lautan.[1]
  2. Setelah tanda-tanda terlihat, melakukan persiapan untuk sesajen berupa rujak-rujakan yang terdiri dari tujuh jenis, yaitu kemenyan, cerutu, kopi pahit, telur, dan lain-lain.[1]
  3. Pemberian sesajen di sekitar pantai Apra untuk Nyai Roro Kidul dan Si Pacul. Pemberian dilakukan dengan disimpan di sekitar pantai dan sebagian lagi dilemparkan ke laut.[1]
  4. Persiapan penangkapan ikan dimulai oleh ketua adat, kemudian dilakukan secara serentak oleh seluruh peserta upacara Nyalawena yang berdatangan dari berbagai wilayah di Kabupaten Cianjur. Pedatang atau wisatawan juga boleh ikut menangkap ikan.[1]
  5. Pelaksanaan upacara Nyalawena dilaksanakan sekitar 3-7 hari tergantung pada banyak tidaknya ikan impun yang ada. Setelah selesai, seluruh peserta pulang ketempatnya masing-masing. Sedangkan ketua adat, harus melakukan upacara pemberian sesajen lagi sebagai ungkapan terima kasih kepada Nyi Roro Kidul dan Si Pacul. Serta bentuk pengharapan untuk bulan depan di tanggal 25 tahun Hijriah pendapatan ikan impun akan lebih banyak lagi.[1]

Tujuan sunting

Tujuan dari sebuah tradisi adalah untuk memberikan simbol dan identitas bagi sekumpulan masyarakat.[4] Sifatnya kolektif dan bisa menumbuhkan rasa loyalitas antar masyarakat. Tradisi Nyalawena menumbuhkan rasa gotong royong antar masyarakat di Sindangbarang. Masyarakat memanfaatkan tradisi Nyalawena untuk mencari nafkah atau penghasilan tambahan.[5] Karena pada momen itu banyak wisatawan yang datang ke pantai Apra untuk melihat tradisi Nyalawena. Sedangkan bagi masyarakat lokal, mereka memanfaatkannya untuk silaturahmi sekaligus ajang perkenalan dan pencarian jodoh bagi muda-mudi.[5] Sementara itu, agar hasil tangkapan mempunyai daya jual yang tinggi, biasanya masyarat mengolah ikan impun menjadi berbagai macam makanan. Makanan paling terkenal hasil olahan ikan impun yaitu jalangkring. Tokoh adat percaya bahwa Nyalawena merupakan ritus keagamaan yang tidak dipisahkan dari kebiasaan bagi masyarakat yang tinggal di pesisir.[5]

Mitos Si Pacul dan Nyi Roro Kidul sunting

Mitos sendiri mempunyai pengertian sebagai sebuah cerita rekaan yang berkaitan dengan dunia sastra.[6] Mitos sering dikaitkan dengan hal yang mistis. Padahal kedua hal itu sangat berbeda. Tidak semua hal yang mistis adalah mitos, dan semua hal yang berbau mitos kemungkinan mistis. Dalam hal ini, cerita mitos mengenai Si Pacul dan Nyi Roro Kidul erat kaitanya dengan tradisi Nyalawena. Legenda ini berkembang di masyarakat Sindangbarang, Kabupaten Cianjur. Cerita ini diawali dengan kedatangan seorang yang mau bekerja di daerah Sindangbarang. Orang tersebut menurut masyaratakat bekerja tanpa mengenal waktu di daerah dekat pantai.[1] Dia tidak mengindahkan peringatan masyarakat agar berhenti dahulu ketika waktu salat. tidak bekerja pada hari Jumat, dan jangan bekerja menjelang magrib. Namu peringatan ini tidak dipedulikan oleh orang tersebut, sehingga pada suatu hari orang tersebut hilang tanpa bekas, dan yang tertinggal hanya sebuah pacul di sawah. Kejadian tersebut dipercaya oleh masyarakat Sindangbarang sebagai kejadian luar biasa, dan menghilangnya orang tersebut dipercaya telah dibawa ke Negara di bawah sagara laut untuk dijadikan pengawal Nyi Roro Kidul yang terkenal penguasa sebagai Ratu Pantai Selatan.[1]

Tokoh Si Pacul merupakan gambaran tentang seseorang yang tidak patuh terhadap aturan adat. Sebagai bentuk pengingat, maka masyarakat di Sindangbarang sering memberikan sesajen untuk Si Pacul. Oleh karena itu, masyarakat dan para pendatang (wisatawan) diharapkan patuh terhadap adat di tempat tersebut dan jangan melanggaar aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh masyaraka tokoh adat. Karena sudah jelas, setiap yang melanggar pasti ada ganjarannya dan disetiap pelaksanaan Nyalawena tidak ada yang berani melanggar aturan-aturan yang ada di pantai Apra, Sindangbarang.[7]

Hubungan Nyi Roro Kidul dengan upacara adat Nyalawena yaitu suatu mitos dan rasa penghormatan.[7] Hal ini dikarenakan, tradisi Nyalawena dilaksanakan di salah satu pantai selatan yaitu Apra. Bentuk penghormatan itu bisa berupa pengharapan atau doa, agar kegiatan yang dilakukan di panntai selatan berjalan lancar. Ritual Nyalawena dilaksanakan tepat di pinggir pantai Apra. Letak geografis pantai di Sindangbarang memang sangat berbahaya karena ombak yang dihasilkan sangat besar. Bila ditinjau dari ilmu pengetahuan, letak pantai Apra berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia. Makna mitos mengenai Nyi Roro Kidul, di Cianjur Selatan, adalah agar masyarakat tidak sewenang-wenang memperlakukan pantai. Intinya agar kelestariannya pantai tetap terjaga. Hal itu pula yang diterapkan dalam tradisi Nyalawena, agar seluruh peserta ritual tidak menentang aturan yang sudah dibuat.[7]

Geografis sunting

 
Peta penyebaran lokasi pelaksanaan Nyalawena di Jawa Barat

Nyalawena dilaksanakan di Pantai Apra, Cianjur Selatan. Pantai Apra merupakan salah satu pantai yang terletak di kecamatan Sindangbarang, Cianjur Selatan.[8] Apabila patokannya dari Alun-Alun Sindangbarang, jarak tempuhnya hanya berkisar 300 meter. Selain dari Alun-Alun Sindangbarang, untuk menuju tempat ini ada beberapa alternatif dari berbagai rute. Bila berangkat dari arah Jakarta, jarak tempuhnya sekitar 150 km. apabila berangkat dari kota Bandung, jarak tempuhnya 120 km. sedangkan, bila berangkat dari kota Cianjur jarak yang ditempuh sekitar 20 km. Para wisatawan biasanya datang ke patai Apra untuk berenang, berjemur, olahraga pantai, atau sekadar menyalurkan hobi fotografi dengan objek pemandangan di sekitar pantai Apra. Selain digunakan untuk ritual adat Nyalawena, pantai ini juga terkenal sebagai tempat yang bersejarah. Pantai ini merupakan tempat terjadinya pemberontakan Angkatan Perang Rakyat Semesta (APRA). Selain bersejarah dan berbudaya, tempat ini juga menyimpan kekayaan yang sangat berpotensi bagi Indonesia. Potensi tersebut berupa pasir besi yang sangat banyak. Pasir besi yang terdapat di pantai Apra memiliki kualitas yang sangat baik, oleh karena itu disebutkan bahwa pantai Apra merupakan pantai yang sangat berpotensi. Latar belakang pelaksanaan Nyalawena sangat berhubungan dengan letak geografis di sepanjang pantai Apra. Ombak di pantai Apra sangat tinggi, oleh karena itu meskipun masyarakat tinggal di daerah pantai jarang sekali yang berprofesi sebagai nelayan. Jumlah nelayan di tempat ini bisa terhitung. Jumlah perahunya pun masih ada satu. Masyarakat di sini lebih tertarik menjadi petani atau pedagang.[7] Cara melaut dan menangkap ikan masih menggunakan teknik tradisional. Mereka percaya bahwa pantai Apra sangat angker. Untuk para wisatawan juga diharapkan berhati-hati karena posisi pantai yang curam.[1]

Selain di Pantai Apra, Nyalawena juga dilaksanaka di Kabupaten Garut. Yang menjadi perbedaan yaitu, bila di Cianjur pelaksanaan Nyalawena dilaksanakan di sepanjang pantai Apra, sedangkan di Kabupaten Garut pelaksanaan Nyalawena dilaksanakan di sepanjang sungai Cikandang dan pantai Cijayana.[9] Objek kegiatannya masih sama yaitu memanen ikan impun. Bila ritual Nyalawena di laksanakan satu kali di Cianjur, hal ini sangat berbeda dengan di Garut. Di Garut pelaksanaan Nyalawena dilaksanaka sebanyak 6 kali, yaitu dibulan Rajab, Rewah, Ramadan, Syawal, Hapit dan Rayagung.[9] Namun sayang, populasi ikan impun di daerah Garut berkurang. Masyarakat juga lebih saering menjaring dibanding menangkapnya secara langsung. Oleh karena itu tradisi ini mulai ditinggalkan.[9]

Transformasi sunting

Perubahan bentuk dan fungsi dalam penyajian kesenian sudah biasa dilakukan. Tujuannya untuk mempermudah dan menyesuaikan dengan zaman. Perubahan tersebut biasa disebut transformasi. Transformasi mengembangkan tradisi Nyalawena menjadi Tari Nyalawena diinisiasi oleh Tatang Setiadi pada tahun 1993.[5] Alasan dilakukannya trasnformasi yaitu untuk melestarikan tradisi Nyalawena yang sudah dilakukan oleh masyarakat. Hal ini dilakukan agar Nyalawena tetap lestari dan dilaksanakan meskipun dengan format yang berbeda. Selain tari Nyalawena, Tatang juga beberapa kali membuat transformasi dari ritual menjadi tarian. Hasil karyanya di antaranya, drama musikal Nini Anteh, tari Kuda Kosong, tari Pelung Manggung.[10] Selain dibidang seni, Tatang juga aktif dalam dunia sastra. Hal ini dibuktikan pada tahun 2012, dia mendapatkan Hadiah Samsudi atas karyanya yang berjudul Asal-Usulna hayam Pelung jeung Dongeng-dongeng Cianjur Lianna.[11] Tari Nyalawena dipentaskan oleh 60 orang. Penampilannya berdurasi 45 menit.[5] Tari ini pernah dipentaskan dalam Kirab Seni Tradisi Se-Jawa Barat, di Taman Budaya Jawa Barat pada tahun 2007 dan dipentaskan dalam Gelar Tradisi Banda Cianjur, pada tahun 2008.[12]

Hingga kini, tari Nyalawena menjadi tarian tradisional Sunda yang tumbuh dan berkembang di Kabupaten Cianjur.[13] Kesenian ini mempunyai suatu gerakan yang menjadi ciri khas dari tari Nyalawena. Gerakan yang dihasilkan dari tarian tersebut yaitu mengayun. Gerak mengayun mempunyai makna sebagai gambaran dari gerakan seseorang yang sedang menangkap ikan. Sesuai aslinya, bahwa Nyalawena merupakan kegiatan menangkap ikan secara bersama-sama. Tak berbeda dengan ritual Nyalawena, tarinya pun mempunyai makna sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas rezeki bagi masyarakat di pinggir pantai. Rezeki atas nikmat sehat, dan telah diberikan keselamatan ketika melaut. Tarian ini sangat mudah dipelajari oleh masyarakat, karena lebih sederhana penyajiannya. Tidak ada ritual khusus, seperti sesajen untuk memulainya. Serta, tarian ini bisa ditampilkan di ruangan tertutup.[13]

Selain mempunyai makna, tari ini juga kaya akan simbol.[14] Tari ini juga mempunyai simbol dari perasaan masyarakat yang tertuang melalui sebuah pementasan (penampilan). Perasaan itu berupa rasa suka cita akan hasil panen ikan yang melimpah.[13] Walaupun sudah ditransformasi menjadi sebuah tarian, sebisa mungkin masyarakat tetap menjalankan tradisi tersebut satu tahun sekali pada saat menyambut panen impun. Selain ciri khas yang telah disebutkan, ada beberapa karakteristik lain mengenai tari Nyalawena. Karakteristik tersebut di antaranya:

  1. Tari Nyalawena hampir sama dilaksanakan setiap satu tahun sekali di tanggal 25 perhitungan kalender Islam. Namun, terkadang tari ini juga dipentaskan dalam kegiatan-kegiatan gelar budaya atau acara kedianasan.[13]
  2. Peserta yang menjadi penari dalam tarian Nyalawena dihimpun dengan jumlah yang banyak. Jumlahnya sekitar 50-100 orang. Jumlah tersebut disesuaikan dengan tempat pementasan. Bila di dalam ruangan, jumlah penari yang dibutuhkan sebanyak 10-25 orang.[13]
  3. Tari Nyalawena mengandung banyak makna posisitif, dan diharapkan mampu dapat diterima oleh masyarakat. Karena erat kaitannya dengan ritual, terkadang Nyalawena sering dianggap bertentangan dengan agama.[13]
  4. Tari Nyalawena bisa ditampilkan di dalam ruangan, dan dapat dengan mudah dipelajari oleh berbagai kalangan. Tidak terikat oleh aturan adat, selama tidak mengubah makna dan tujuan dari tari tersebut.[13]

Rujukan sunting

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m Drs, Rosyadi (2017). Kearifan Masyarkat Jawa Barat dalam Pelestarian Lingkungan Hidup (Wilayah Priangan Barat). Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat. hlm. 49-51. 
  2. ^ irvansetiawan (2016-11-07). "Upacara Nyalawena di Pantai APRA Kabupaten Cianjur". Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-28. 
  3. ^ Gumilar, Gun Gun. "Seperti Ini Lho Tradisi 'Ngala Impun' di Sindangbarang Cianjur". cianjur.pojoksatu.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-03. Diakses tanggal 2019-04-29. 
  4. ^ "Pengertian Tradisi, Tujuan, Fungsi, Macam-Macam, Contoh, Penyebab Perubahan Terlengkap". Sepengetahuan.Co.Id (dalam bahasa Inggris). 2017-10-20. Diakses tanggal 2019-04-29. 
  5. ^ a b c d e "BAB I PENDAHULUAN. Cianjur merupakan suatu kabupaten yang luas wilayahnya +/ ,48 - PDF". docplayer.info. Diakses tanggal 2019-04-28. 
  6. ^ "Pengertian Mitos". Kanal Informasi. 2019-03-20. Diakses tanggal 2019-04-29. 
  7. ^ a b c d Setiawan, Irvan (2009-06-01). "MITOS NYI RORO KIDUL DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT CIANJUR SELATAN". Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya. 1 (2): 188–200. doi:10.30959/patanjala.v1i2.248. ISSN 2598-1242. 
  8. ^ "Pantai Apra-Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat". www.disparbud.jabarprov.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-07-04. Diakses tanggal 2019-04-28. 
  9. ^ a b c Thea, Rendy (2014-12-29). "Pantai Cijayana "Laut Diatas Awan"". Di Garut. Diakses tanggal 2019-04-29. 
  10. ^ Nurhazizah, Ulfah (2015-10-15). "Tatang Setiadi". M2Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-28. 
  11. ^ "Tatang Setiadi, Pemenang Hadiah 'Samsudi' 2012 | Percéka Art Centre". Diakses tanggal 2019-04-28. 
  12. ^ "Tari Nyalawena (1993) | Percéka Art Centre". Diakses tanggal 2019-04-28. 
  13. ^ a b c d e f g Muninggar, Pramesti (2015-02-23). "STUDI TENTANG PENGEMBANGAN NILAI-NILAI CIVIC CULTURE MELALUI KESENIAN TARI NYALAWENA: Studi Deskriptif di Sanggar Perceka Art Centre Kabupaten Cianjur" (dalam bahasa Inggris). Universitas Pendidikan Indonesia. 
  14. ^ Indonesia, Tokoh. "Loyalis Rumpun Tari Rakyat | TOKOH INDONESIA | TokohIndonesia.com | Tokoh.id" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-29.