Nomo Koeswoyo

penyanyi laki-laki asal Indonesia

Koesnomo bin Koeswoyo atau Nomo Koeswoyo (21 Januari 1938 – 15 Maret 2023) adalah salah satu musikus Indonesia dari grup Koes Bersaudara yang beranggotakan kakak beradik keluarga Koeswoyo. Pada grup tersebut ia berposisi sebagai drummer dan pengisi vokal.

Nomo Koeswoyo
nomo koeswoyo 1997
Nomo Koeswoyo dalam video klip "Pusing 7 Keliling" 1997
LahirKoesnomo
(1938-01-21)21 Januari 1938
Tuban, Hindia Belanda
Meninggal15 Maret 2023(2023-03-15) (umur 85)
Magelang, Indonesia
PekerjaanPenyanyi, Pencipta lagu, Aktor
Suami/istriFatimah Francisca (meninggal)
AnakChicha Koeswoyo (Mirza Riandiani Kesuma)
Hellen Koeswoyo (Hellen Atmisuri)
Reza Wicaksono Koeswoyo
Taufiq Koeswoyo
Orang tuaRaden Koeswoyo dan Rr. Atmini
Karier musik
GenrePop, Rock, Etnik Jawa
InstrumenDrum, Vokal
Tahun aktif19582023
LabelDimita Moulding Company, Ltd
Remaco
Yukawi Record
Liman Record
Anggota
Mantan anggota
Musicbrainz: 6c652b47-ff97-4d5c-90c7-0b215accf482 Discogs: 5924596 Modifica els identificadors a Wikidata

Masa Kecil

sunting

Nomo Koeswoyo adalah anak kelima dari sembilan bersaudara keturunan pasangan Raden Koeswoyo (10 Oktober 1895 – 6 Agustus 2000) dan Rr. Atmini (16 September 1900 – 3 Desember 1969) di Tuban, asal Tuban. Berikut adalah urutan kakak-beradik keluarga Koeswoyo.

  1. Tituk (perempuan) (15 Mei 1930), meninggal sewaktu bayi.
  2. Koesdjono (Djon alias John Koeswoyo) (5 Agustus 1932 – 2 Desember 2022).
  3. Koesdini (Dien ~ perempuan) (7 Oktober 1934).
  4. Koestono (Ton alias Tonny Koeswoyo) (19 Januari 1936 – 27 Maret 1987).
  5. Koesnomo (Nom alias Nomo Koeswoyo) (21 Januari 1938 – 15 Maret 2023).
  6. Koesyono (Yon alias Yon Koeswoyo) (27 September 1940 – 5 Januari 2018).
  7. Koesroyo (Yok alias Yok Koeswoyo) (3 September 1943).
  8. Koestami (Miyi ~ perempuan) (6 Januari 1945).
  9. Koesmiani (Ninuk ~ perempuan) (16 Januari 1947).

Dari silsilah keluarga, mereka termasuk generasi ke 7 keturunan (trah) Sunan Muria di Tuban. Ibu mereka adalah keponakan dari Bupati Tuban pada zaman penjajahan Belanda saat itu.

Masa kecil Nomo dilalui di Tuban bersaudara saudara-saudaranya. Tahun 1952 keluarga Koeswoyo pindah ke Jakarta mengikuti mutasi Sang ayah berkarier hingga pensiun sebagai pegawai negeri di Kementrian Dalam Negeri. Di Jakarta mereka sekeluarga menempati rumah di jalan Mendawai III, No. 14, Blok C, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Dalam keluarganya ia biasa dipanggil dengan sebutan Nom. Pada masa remajanya ia dikenal bandel dan berjiwa keras, sehingga kerap berkelahi dengan temannya di luar. Ia adalah satu-satunya anak Koeswoyo yang pernah dipukul sampai pingsan oleh ayahnya karena kenakalannya. Ia juga pernah dipukul kepalanya dengan kayu kaso oleh adiknya Yok, sewaktu mereka bertengkar. Ia pula di antara saudara-saudaranya yang sempat merantau ke beberapa kota untuk mencari kerja, selepas menyelesaikan pendidikan SMA di Jakarta. Ia menyelesaikan sekolahnya di SMP XI dan SMA Taman Madya, di Jakarta. Ayahnya berharap Nomo menjadi sarjana, tapi Nomo ingin bekerja setamat sekolah menengah atas. Ayahnya tak mengizinkan, lalu Nomo memilih berkelana.[1] Hal itu dilakoninya mulai dari Surabaya sampai ke Belawan, Sumatera Utara. Pekerjaan kasar dilakukan demi mencari kehidupan yang lebih baik, di antaranya sebagai tukang sapu, bersih-bersih rumah juragan genteng di Surabaya, sampai menjadi buruh kasar di luar pulau.[2] Hal itu memompa kuat semangatnya untuk menjadi seorang yang berkepribadian tangguh.

Karier

sunting

Koes Bersaudara

sunting

Grup ini mulai berkarier sejak tahun 1958 dengan nama Kus Brothers yang beranggotakan 5 orang kakak beradik keluarga Koeswoyo (Jon Koeswoyo pada Bass, Tonny Koeswoyo pada gitar, Nomo Koeswoyo pada drum, Yon Koeswoyo pada vokal, dan Yok Koeswoyo pada vokal) dan seorang dari luar keluarga Koeswoyo yang bernama Jan Mintaraga dan Tommy Darmo sebagai gitaris pada awalnya. Nomo merupakan anggota keluarga Koeswoyo yang paling akhir bergabung dalam grup yang dibentuk saudara-saudaranya ini. Saat saudara-saudaranya sudah tekun berlatih selama beberapa tahun, ia masih berkelana di luar Jakarta. Sebelum Nomo pulang dari berkelananya, posisi drum diisi sementara oleh Iskandar. Jan , Tommy Darmo dan Iskandar adalah tetangga mereka di Jakarta. Setelah pulang dari rantaunya, Nomo minta ikut bergabung. Oleh Tonny, ia diarahkan untuk menjadi penggebuk drum. Nomo kemudian dibantu oleh Iskandar, karena kala itu ia belum begitu mahir bermain drum. Setelah menguasai permainan drum, posisi drummer dipegang sepenuhnya oleh Nomo. Kala itu ia sempat hendak belajar bermain drum lebih intens kepada Domingo Roda di Kemayoran. Namun tak disetujui Tonny, karena gaya bermain drumnya tak sesuai dengan konsep bermusik yang diusung Tonny. Mereka berhasil merekam album pertama pada tahun 1962. Setelah Jan Mintaraga dan Tommy Darmo mengundurkan diri, grup ini berganti nama menjadi Kus Bersaudara pada tahun 1963.

Beberapa waktu kemudian pada tahun 1964 kakak tertua mereka Jon Koeswoyo yang telah berkeluarga pun mengundurkan diri, sehingga menyisakan 4 personel kakak beradik yang dipimpin oleh Tonny Koeswoyo. Grup ini kemudian kembali mengganti namanya menjadi Koes Bersaudara. Mereka meraih kesuksesan dalam beberapa album rekaman berikutnya selama beberapa tahun sebelum dipenjarakan oleh rezim Orde Lama Soekarno di Penjara Glodok pada tanggal 29 Juni 1965. Mereka dianggap memainkan lagu-lagu ngak-ngik-ngok (kebarat-baratan) yang terlarang masa itu. Saat terjadi penangkapan terhadap para personil Koes Bersaudara di rumahnya, Nomo sedang berada di luar, sehingga ia luput dari pencidukan. Namun dengan kesadaran sendiri ia pun mendatangi kantor polisi pada sore harinya untuk meminta ditahan sebagai wujud solidaritas kepada saudara-saudaranya. Keempatnya mendekam di penjara tanpa proses pengadilan selama 3 bulan. Mereka dibebaskan pada tanggal 29 September 1965 (tepat sehari sebelum pecahnya Gerakan 30 September PKI). Selepas itu karier bermusik mereka kembali berjalan.

Keluar dari Koes Bersaudara

sunting

Meski meraih kesuksesan dalam bermusik, tetapi kehidupan anggota grup ini tetap dalam kesulitan ekonomi. Hal itu dirasakan oleh seluruh personel Koes bersaudara. Tahun 1968-1969 merupakan saat-saat surut bagi Koes Bersaudara. Setiap malam Koes Bersaudara manggung di banyak tempat hiburan. Kondisi Nomo yang sudah berkeluarga tidak memungkinkannya harus menggantungkan hidup dari bermusik. Saat itu Nomo, selain bermusik juga mempunya pekerjaan sampingan. Di saat yang sama abangnya, Tonny Koeswoyo masih belum menikah, sehingga masih belum mempunyai banyak tanggungan hidup.

Nomo kerap berkata kepada Tonny untuk bisa mengatur jadwal latihan musik dengan pas, agar ia bisa mengikuti dengan baik. Tidak seperti saat itu di mana latihan seperti tidak mengenal waktu, mulai pagi sampai seharian penuh. Perbedaan pendapat yang diawali pada 1968 desas-desus antara sang abang Tonny Koeswoyo dan Nomo akhirnya kian meruncing. Nomo yang memiliki jiwa bisnis menginginkan agar Koes Bersaudara tidak mengandalkan hidupnya pada musik saja, harus ada usaha lain. Pendapat ini tidak disetujui Tonny, bahkan ia disuruh memilih untuk fokus pada musik di Koes Bersaudara atau kerja di luar. Dengan terpaksa, ia pun memilih untuk bekerja.

Posisi drummer yang ditinggalkan Nomo Koeswoyo kemudian digantikan oleh Kasmuri (dikenal dengan panggilan Murry) yang berasal dari Surabaya. Murry adalah mantan gitaris dan drummer dari grup band Patas. Murry direkomendasikan oleh Yon kepada Tonny lewat temannya yang bernama Tommy Darmo. Saat itu, Tommy Darmo hendak melamar menjadi drummer, tetapi permainan drumnya tak sesuai keinginan Tonny. Karena belum menemukan pemain drum yang pas, Tonny kemudian meminta tolong kepada Dimas Wahab yang merupakan seorang pemain bass kepada sahabat Dimas yang bernama Totok AR. Totok ternyata juga merekomendasikan Murry kepada Tonny. Yon pun kemudian meminta tolong Tommy Darmo untuk membawa Murry ke tempat mereka, karena Tommy kenal Murry sejak dari Surabaya.

Saat masuknya Murry, Nomo sedang sibuk dalam bisnis sampingannya, sehingga ia tidak mengetahui posisinya telah digantikan. Penggantian ini sempat menimbulkan masalah dalam diri adik laki-laki terkecil mereka yakni Yok Koeswoyo yang keberatan dengan orang luar dalam band keluarga. Keputusan tegas Tonny mengeluarkan Nomo menimbulkan protes keras Yok yang memutuskan untuk ikut keluar dari band. Nomo dan Yok sempat mengamuk dengan melarang Tonny dan Yon memakai alat musik mereka untuk band baru itu. Mereka mengatakan agar band dibubarkan saja. Bahkan Nomo dan Yok sempat hampir menghajar Tommy Darmo dan Dimas Wahab karena dikira membawa Murry dan Totok AR. Namun, Tonny tetap bersikukuh meneruskan kiprahnya bermusik dengan adiknya Yon. Posisi Yok kemudian diganti oleh Adji Kartono atau biasa dikenal dengan nama Totok AR (Totok Adji Rahman).

Tonny merekrut Murry dan Totok AR menjadi anggota band di luar keluarga Koeswoyo. Grup ini pun mengubah namanya menjadi Koes Plus yang di kemudian hari berhasil meraih kesuksesan menjadi salah satu grup legendaris di Indonesia. Pada album kedua, Yok memutuskan bergabung dengan Koes Plus menggantikan posisi Totok AR.

Mendirikan Grup No Koes

sunting

Nomo Koeswoyo berujung meninggalkan posisinya sebagai penabuh drum pada tahun 1969. Ia memilih berusaha di luar bidang musik sebagai pedagang untuk menghidupi keluarganya. Nomo bersikap lebih pragmatis dan memiliki prinsip yang berbeda dengan sang kakak, karena saat itu ia telah menikah dan telah memiliki 1 orang anak (Chicha). Akhirnya pada tahun 1969 mereka menempuh jalanya masing-masing.

Nomo akhirnya lebih menonjol sebagai pengusaha yang meraih sejumlah kesuksesan. Namun akhirnya ia pun kemudian tertarik kembali masuk dalam dunia musik yang pernah membesarkan namanya. Ia lalu mendirikan grup musik sendiri pada awal tahun 73, bersama beberapa pemusik lain yaitu: Usman pada rhythm, Sofyan pada drum, Said pada bass, Bambang Arsianti (Bambang Sampurno Karsono) pada lead guitar dan Pompy Suryadarma (Pompy S) pada keyboard, Grup musik ini ia beri nama No Koes.

No Koes berhasil mengeluarkan LP I yang diberi judul ”Sok Tahu”. Seluruh lagu-lagunya diciptakan oleh Nomo, iramanya tidak jauh berbeda dengan Koes Plus. Dalam grup ini ia menciptakan sebagian besar lagu, dan menyanyikan sendiri lagu ciptaannya. Namun pada album berikutnya anggota lainnya juga memberikan lagu ciptaan mereka. Grup ini pun meraih kesuksesan dalam percaturan tangga musik nasional pada tahun 1970an. Menghasilkan cukup banyak album dari berbagai jenis aliran musik seperti Pop, Dangdut, Melayu, Jawa, dsb. Album-albumnya antara lain berjudul Sok Tahu, Dicari, Permisi Numpang Lewat, Rindu, Hidup Ini Sementara, Remaja & Cinta, Bermain & Berhitung (Pop Anak-anak), Kulo Nuwun (pop Jawa), Gondal Gandul (pop Jawa), Tergoda Asmara, Bebas, Penuh Misteri (Pop Melayu), dll. Popularitas No Koes mampu menyaingi kepopuleran Koes Plus yang diawaki oleh saudara-saudara kandungnya ataupun kelompok-kelompok musik lainnya pada periode awal tahun 1970an.

Group No Koes menghilang pada tahun 1980-an, tetapi sempat dihidupkan lagi oleh Nomo pada tahun 1990-an hingga awal periode tahun 2000-an dengan personel yang berubah-ubah. Mereka lebih banyak berkiprah di panggung hiburan saja, mengiringi Nomo dalam bernyanyi.

Selain No Koes ia pun sempat membuat sebuah group band lain yang diberi nama NoBo. Lagu-lagu Band ini bernuansa mirip dengan lagu-lagu Band Bimbo, sehingga banyak yang mengira ini adalah transformasi dari Bimbo. Namun band ini tidak berumur panjang karena lebih terlihat seperti session band saja bagi proyek rekamannya.

Selain dari band, Nomo juga mendapatkan tawaran dari beberapa produk untuk dibuatkan jingle iklan seperti Jamu Cap Potret Nyonya Meneer dan Pasta Gigi Delident.

Dukungan Keluarga

sunting

Koeswoyo Sang Ayah, disamping memberikan banyak sumbangan lagu untuk Koes Plus, juga banyak memberikan lagu ciptaannya kepada Nomo untuk direkam di group No Koes. Kontribusi keadilan sang ayah ini menjadikan ada unsur rasa kesamaan dalam nuansa musik Koes Plus dan No Koes dari lagu-lagu mereka. Umumnya lagu ciptaan ayahnya bergenre Pop dan juga Keroncong.

Dibalik persaingan antara Koes Plus dan No Koes ternyata ada pula bentuk dukungan lain di antara keluarga Koeswoyo kepada Nomo. Adik laki-laki terkecilnya Yok Koeswoyo kerap pula memberikan sumbangan lagu-lagu ciptaanya kepada No Koes. Yok memang sangat dekat dengan Nomo, sehingga mereka kerap berdiskusi masalah musik di luar band mereka. Karya-karya Yok, bisa didengar lewat enam lagu keras yang diciptakan Yok buat Nomo Koeswoyo, dalam album ‘No Koes in Hard Beat. Selain itu dalam beberapa album juga ada permainan bass dari Yok mengiringi beberapa lagu yang dibawakan Nomo dalam band No Koes.

Mempopulerkan Penyanyi Lain

sunting

Nomo juga sempat mendirikan studio rekaman yang bernama Yukawi Record bersama temannya Darmawan dan sebuah studio rekaman lain yang bernama Lieman. Studio ini banyak merekam rekaman (grup musik) No Koes serta artis-artis lainnya. Selain itu ia pun ikut melahirkan beberapa penyanyi populer masa itu seperti grup musik Usman Bersaudara. Usman adalah bekas anggota band No Koes yang kemudian diorbitkannya menjadi penyanyi. Band ini mengingatkan orang akan Koes Bersaudara. Selain itu juga penyanyi kembar (Jacob dan Alex) dalam Bar Bros yang kemudian berubah menjadi Kembar Grup. Bar Bros seakan melungguhkan kembali kharisma pop duet Yon-Yok. Kedua band ini akhirnya meraih popularitas hingga tahun 1980-an. Ia juga sempat mengorbitkan sebuah band bernama Dedelan Grup, hingga menghasilkan rekaman sebanyak 4 (empat) album pada sekitar tahun 1976.

Nomo juga adalah orang di balik suksesnya beberapa penyanyi terkenal seperti Franky Sahilatua, Enny Haryono, dan Oma Irama. Saat itu Nomo berani berkata bahwa tidak ada produser rekaman yang berani menolak tawarannya. Artis-artis yang diorbitkannya pun pada akhirnya meraih kesuksesan dan popullaritas pada masa itu.

Mengorbitkan Anak

sunting

Musik dan bisnis juga membawanya berhasil mengorbitkan putrinya sendiri, Chicha Koeswoyo, pada tahun 1975 dengan lagu Heli yang disusul lagu-lagu lainnya seperti "Bersinar Matahari", "Pulang Sekolah" dalam belasan album yang meraih sukses di pasaran blantika lagu anak-anak. Ia pun kemudian mengorbitkan anak keduanya Hellen Koeswoyo yang juga sempat mengeluarkan beberapa album pada periode yang hampir bersamaan, meski tidak sepopuler kakaknya. Umumnya lagu-lagu yang dibawakan anak-anaknya adalah ciptaan Nomo. Disamping itu ia pun melibatkan para personil No Koes untuk menciptakan lagu dan menangani penyanyi cilik anak-anaknya Chicha dan Helen. Bahkan album keponakannya Sari Yok Koeswoyo pun direkam di studio Lieman miliknya. Terakhir anak laki-laki bungsunya, Reza Koeswoyo pada awal tahun 1990an diorbitkannya dengan single hits ciptaan Nomo yang berjudul "Batman".

Reuni Koes Bersaudara

sunting

Tahun 1977, atas desakan keluarga dan penggemar, Koes Bersaudara kembali bersatu sebagai sebuah grup musik dengan ditandai lagu "Kembali" yang direkam di album Koes Bersaudara Seri Perdana tahun 1977. Awal tahun 1977, Tonny Koeswoyo akhirnya bersedia menghidupkan kembali group musik Koes Bersaudara yang telah dikuburnya sejak tahun 1969. Ia memanggil kembali adiknya Nomo untuk kembali bersatu sebagai sebuah grup musik bersama adiknya Yon dan Yok. Keempat Koeswoyo bersaudara ini pun bertemu dan menyetujuinya. Album I Koes Bersaudara Pop Indonesia vol I berhasil mereka rilis dengan salah satu andalannya bertajuk Kembali. Lagu dan album ini ternyata amat meledak, dan hingga kini bisa dikatakan sebagai lagu wajib para penggemar Koes Plus/Bersaudara. Kebersatuan mereka ini juga mendapat dukungan penuh dari keluarga besar Koeswoyo. Ayah mereka Koeswoyo Sr ikut menyumbangkan lagu berjudul Demi Cinta. Begitu pula abang tertua mereka Jon berkontribusi dengan sebuah lagu berjudul Haru dan Bahagia yang digarapnya bersama Yon. Nomo pun turut menggubah sebuah lagu berjudul Ayah yang mengungkapkan rasa hormatnya pada sang ayah yang berperan besar dalam menyatukan mereka.

Kesuksesan album ini kemudian diikuti 4 buah album berikutnya hingga tahun 1978. Dalam reuni ini, Nomo ikut menyumbangkan lagu dan sebagian menyanyikan sendiri lagu-lagu ciptaannya. Koes Bersaudara mulai era ini mencirikan setiap personelnya membuat lagu dan umumnya menyanyikan sendiri lagu ciptaannya. Namun album-album tersebut tak begitu sukses di pasaran. Popularitas grup Koes Plus yang sudah begitu kuat di pasaran era 1970-an tak bisa ditandingi oleh kembalinya Koes Bersaudara yang pernah populer pada era 1960-an. Grup ini akhirnya bubar dan ketiga saudaranya kembali mengusung Grup Koes Plus.

Tahun 1979 - 1980 Koes Bersaudara mencoba kembali bersatu dengan dukungan keluarga yang sangat besar. Bahkan kali ini beberapa lagu disumbangkan oleh salah satu adik perempuan mereka Ninoek Koeswoyo. Mereka berhasil melempar 2 buah album ke pasaran. Namun juga tak begitu sukses di pasaran, karena image Koes Plus masih kuat di mata penggemarnya. Grup ini pun kembali vakum selama beberapa tahun kemudian. Ketiga saudaranya kembali kepada grup Koes Plus, sedangkan Nomo berkarier sebagai penyanyi solo sembari menekuni bisnisnya yang cukup sukses di kala itu.

Pada tahun 1986 Koes Bersaudara kembali bersatu dan mengeluarkan 6 buah album pada tahun 1987. Grup ini sempat meraih kesuksesan dengan lagu "Kau Datang Lagi" pada album yang sama yang direkam tahun 1987. Namun kebersamaan itu tak berlangsung lama, karena pada tahun 1987 itu pula kemudian sang kakak Tonny Koeswoyo meninggal dunia karena penyakit kanker yang dideritanya. Sepeninggal Tonny, Koes Bersaudara masih sempat mengeluarkan 8 buah album pada tahun 1988 dan 2 buah album pada tahun 2000.

Sebelum meninggalnya Tonny Koeswoyo, Nomo bersama Koes Bersaudara sempat merilis album “Dia Permata Hatiku” dan tampil bersama 2 keponakannya yang juga menjadi penyanyi cilik populer masa itu yakni anaknya Chicha Koeswoyo dan keponakannya Sari Yok Koeswoyo di acara Selekta Pop Artis Safari TVRI.

Nomo kemudian melanjutkan karier bermusik solonya dengan mengeluarkan sebuah lagu hits yang cukup meledak di penghujung tahun 1980-an berjudul "Layar Tancap". Pada tahun 2012 Ia masih sempat mengeluarkan sebuah album solo Pop Jawa berjudul "Album Pop Jawa Nomo Koeswoyo." Di sela itu mereka masih kerap bermain bersama saudaranya dalam grup Koes Bersaudara dalam moment off air tanpa mengeluarkan album baru lagi. Salah satu di antaranya adalah tampil secara live bersama abangnya Jon, serta adik-adiknya Yon dan Yok dalam acara Kick Andy yang ditayangkan MetroTV pada tahun 2008 mengenang kebesaran Koes Bersaudara dan Koes Plus.

Kehidupan pribadi dan sosial

sunting

Nomo sempat menjalani pernikahan beda agama dengan seorang wanita yang bernama Francise Loen (lahir di Depok) biasa dipanggil Meis, teman sekelas Nomo di SMA di Jakarta. Dari pernikahannya ini mereka memiliki tiga orang anak, Chica Koeswoyo (Mirza Riandiani), Hellen Koeswoyo (Hellen Atmisuri), dan Reza Wicaksono Koeswoyo. Sang istri wafat di Jakarta pada tanggal 18 Desember 2002, setelah 4 (empat) bulan sebelumnya sempat menjadi Mualaf mengikuti jejak anak tertuanya Chica Koeswoyo dan Hellen Koeswoyo. Namanya pun sempat diganti menjadi Fatimah Francisca sebagaimana tercantum dalam nisannya.

Di antara keluarga Koes Bersaudara kehidupan Nomolah yang paling sukses, karena selain bermusik ia juga seorang pengusaha dan produser. Keinginannya untuk meraih sukses sudah terlintas dalam benaknya sejak awal mereka rekaman album Koes Besaudara I. Suatu hari, pukul 16.00, mereka menunggu oplet untuk pulang di daerah Tosari, Jakarta Pusat. Pelawak S. Bagio lewat mengendarai mobilnya. Bagio menyapa dan melanjutkan perjalanan. “Kapan ya saya bisa punya mobil sendiri,” gumam Nomo kala itu.“ [1] Hal itu menjadi pelecut semangatnya untuk berhasil.

Dalam kesuksesannya ia pun tak lupa membantu ekonomi kehidupan keluarga abang tertuanya Jon Koeswoyo yang berjasa pada awal terjunnya mereka ke dunia musik. Juga saat abang keduanya Tonny Koeswoyo menderita sakit menjelang wafatnya, Nomo pulah yang menanggung biaya pengobatannya. Sayang kebesaran bisnis yang dikelolanya tidak bertahan karena salah dalam pengelolaan. Ketika masih berjaya sebagai seorang artis papan atas, ia bisa melakukan bisnis dan mendapatkan uang, kekuasaan, alkohol, senjata, bahkan perempuan dengan mudah. Bahkan ia pernah kalah berjudi di Las Vegas dan Macau yang membuatnya nyaris bangkrut. Semuanya menjadikannya sadar akan kehidupan jasmani yang tak abadi di penghujung usia senjanya.

Nomo menghabiskan masa tuanya dengan lebih banyak di rumah peristirahatannya yang luas di kota Magelang, Jawa Tengah bersama putra bungsunya, Reza yang telah berkeluarga. Uniknya Reza menikah dengan putri dari Murry Koes Plus yang bernama Anggi Risti pada tahun 2014. Di sana mereka membuka usaha bengkel body-repair mobil. Sementara di sekitar kompleks Koes Plus di Jalan Haji Nawi, Cipete, Nomo juga membuka bengkel.[3]

Pada tanggal 15 Maret 2023 Nomo meninggal dunia pada usia 85 tahun di Magelang dan dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta.

Filmografi

sunting
Tahun Judul Peran Keterangan
1976 Chicha
1985 Gejolak Kawula Muda Sebagai penata musik

Referensi

sunting

Pranala luar

sunting