Ngile, Tulakan, Pacitan

desa di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur

Ngile adalah sebuah desa di Kecamatan Tulakan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, Indonesia.

Desa Ngile
Balai desa Ngile
Balai desa Ngile
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Timur
KabupatenPacitan
KecamatanTulakan
Kode pos
63571
Kode Kemendagri35.01.10.2011
Luas-
Jumlah penduduk-
Kepadatan-


Tempat kemping di Gunung Lanang.
Gunung Lanang, Ngile, Tulakan, Pacitan.
Masjid Krajan, desa Ngile.
Makam di belakang Masjid

Geografi sunting

Ngile termasuk daerah dataran tinggi yang dikelilingi dengan pegunungan yang sangat sejuk dengan dialiri sungai di tengah desa yang berfungsi sebagai irigasi. Tanaman produktif yang terkenal adalah padi, ketela/gaplek, kelapa, cengkih, mlinjo, bambu, angsana, dan sengon.Usaha kecil yang ada adalah lanting, kripik pisang, gula merah, minyak kelapa, kerupuk singkong, pembuatan genteng, batu-bata, dan mebel. Sedangkan peternakan yang cocok adalah sapi, kerbau, kambing, dan domba. Keadaan alam yang sejuk dan indah berpotensi dikembangkan sebagai daerah wisata pegunungan apabila pimpinannya mempunyai visi kesana. Kendala yang dihadapi desa ngile adalah masalah pemasaran hasil usaha dikarenakan lokasi yang terpencil, jalur transportasi yang sulit, dengan kondisi jalan yang terjal dan berliku (koordinat: 8°7′45″LS,111°15′6″BT).

Jalan sunting

Sampai saat ini jalan menuju desa Ngile masih belum banyak perubahan aspal yang sudah rusak dan banyak berlubang dengan tanjakan dan tikungan tajam membuat para pengguna jalan harus sangat berhati-hati. Lebih lebih jalan di dalam desa kondisinya sangat memprihatinkan karena jalan desa hanya dibangun dari swadaya masyarakat desa tersebut, dikerjakan secara kerja bhakti oleh warga desa, sekarang karena sudah ada dana desa maka dimanfaatkan untuk pembangunan jalan-jalan di dalam desa tersebut. Siapa yang ingin melakukan uji nyali mengendarai kendaraan bermotor maka kunjungi desa ngile dengan berkeliling desa menjajal jalan-jalan menanjak, menikung, dan berbatuan sangat menantang adrenalin para pengendara.

Keadaan masyarakat sunting

Mata pencaharian warga desa Ngile adalah bertani,berdagang, pegawai negeri. Sebagian besar pemuda/pemudi merantau ke berbagai kota-kota seperti Surabaya, Solo, Jakarta, Sumatra, Kalimantan dan kota-kota lain. Ngile dengan wahana gunung cendani yang sangat asri kerap di kunjungi oleh pecinta Alam kususnya pada hari minggu dan hari libur lainnya. Dan masih banyak lagi gunung-gunung seperti ruketel, cagak gentong, silap.[1]

Fasilitas umum sunting

Di desa Ngile terdapat beberapa tempat ibadah dan masjid, salah satunya adalah masjid Krajan. Masjid Krajan ini dirintis dan didirikan pada awal-awal tahun 1900 oleh kyai dan sesepuh desa Ngile, alm. Kyai Haji Muhammad Noer yang wafat pada tahun 1973 dan makamnya berada di belakang masjid ini. Selain itu di desa ini juga terdapat fasilitas lembaga pendidikan, seperti sekolah dasar negeri dan taman kanak-kanak, dan juga Puskesmas serta lapangan olah raga. Kendala yang berkaitan dengan fasilitas lain adalah masalah air bersih terutama di musim kemarau, warga biasanya memanfaatkan sumber-sumber air di sekitar tempat mereka dan dialirkan ke rumah masing-masing. Sebetulnya kalau pemerintah desa peduli dan bisa memanfaatkan sumber air dari gunung Cendani atau gunung Lanang, maka dari sumber air tersebut dapat dibuatkan penampungan dan dialirkan ke seluruh desa Ngile. Selain itu desa ini juga mempunyai tempat berkemah yang terdapat di Gunung Lanang dan berada di wilayah perbatasan antara Desa Ngile Kecamatan Tulakan dan Desa Gedangan, Kecamatan Arjosari, Pacitan, gunung ini memiliki ketinggian lebih dari 750 Mdpl. [2]

Batas Administrasi sunting

Arah Mata Angin Berbatasan dengan
utara Desa Ngreco Kecamatan Tegalombo
selatan Desa Gasang
timur Desa Bubakan
barat Desa Kalikuning

Sejarah sunting

Asal mula dari Desa Ngile mulai pada jaman Majapahit-akhir, yang saat itu masih berupa hutan belantara dan belum ada penghuninya, namun keadaan tanahnya sangat subur, banyak sumber air dan pohon-pohonan. Seorang pengembara bernama Ki Bendung yang berasal dari Gunung Kendeng datang menetap dan tinggal di kaki gunung (desa Ngile) bersama pendatang lain bernama mbah Kendal yang ditunjuk sebagai pemimpin atau demang pada saat itu dibantu oleh seorang prajurit utusan raja bernama Bambang Sumantri. Ki Bendung mempunyai 3 orang anak laki – laki yang sakti: Onggosemito,Ronggo Jati dan Ronggo Sekti. Masing-masing disuruh untuk membuka/membabat alas/hutan di sebelah utara (yang kemudian menjadi desa Ngreco, Kecamatan Tegalombo), dan wilayah Gulupayung di dusun Jenggring sekarang, serta sebelah timur (yang menjadi desa Bubakan). Bambang Sumantri akhirnya menetap di sini sehingga wafat dan dimakamkan di pemakaman Sugih Manik yang dikenal sebagai daerah Pundung/ mundung, karena ada gundukan tanah besar pada makamnya yang dibuat oleh rayap, yang kemudian dipepundi (Punden) oleh masyarakat.

Demang pertama Mbah Kendal menjabat sampai wafat dan dimakamkan di makam Jaten beserta keturunannya (yang berada di belakang masjid Krajan). Kemudian jabatan demang diteruskan oleh anaknya, demang kedua: mbah Karso Atmojo. Selanjutnya secara turun temurun jabatan demang itu diteruskan kepada demang ketiga yaitu Karso Sudiro > demang ke-4: Parto Wiyono > Kasan Direjo > Kasan Raji (sebagai demang ke-6 wafat pada tahun 192.) > Sumowiyono atau demang ke-7. Sementara K. H. Muhammad Noer (datang dari daerah Nglorok) merupakan menantu dari demang Kasan Raji yang menikah dengan anak ketiganya (perempuan bernama Nyi Saringatoen). Sejak itu pemimpin desa dinamakan lurah dan ditentukan dari hasil pemilihan rakyat dan Adi Sasmito terpilih sebagai lurah ke-8 pada tahun 1964. Setelah itu jabatan lurah digantikan oleh Kusmiati sebagai lurah (Kepala Desa) yang kesembilan dan kemudian digantikan oleh Subroto, dst. [1].

Referensi sunting

Pranala luar sunting