Teungku Chik di Tiro
Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman (Tiro, Pidie, 1 Januari 1836 – Aneuk Galong, Aceh Besar, 31 Januari 1891) adalah seorang pahlawan nasional dari Pedir.
Muhammad Saman Tiro | |
---|---|
Nama asal | Muhammad Saman |
Lahir | 1 Januari 1836 Tiro, Pidie, Kesultanan Aceh Darussalam |
Meninggal | 31 Januari 1891 Aneuk Galong, Aceh Besar, Kesultanan Aceh Darussalam | (umur 55)
Sebab meninggal | Meninggal karena diracun oleh Belanda |
Tempat pemakaman | Meureu,Indrapuri, Aceh Besar 5°24′52.3″N 95°28′29.2″E / 5.414528°N 95.474778°E |
Dikenal atas | Ulama Pahlawan Kemerdekaan Aceh |
Lawan politik | Hindia Belanda |
Anak | 1.Fatimah 2.Muhammad Amin, 3.Mahyiddin, 4.Ubaidillah, 5.Muhammad Ali Zainal Abidin, dan 6.Teungku Lambada. |
Orang tua | Teungku Sjech Abdullah Siti Aisyah |
Kerabat | Teungku Chik Dayah Tjut di Tiro (Paman) |
Keluarga | Teungku Ma'at Di Tiro (Cucu) Teungku Hasan Tiro (Cicit) |
Penghormatan | Pahlawan Kemerdekaan Aceh |
Riwayat
suntingTeungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada 1 Januari 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.
Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil.[1]
Memimpin perjuangan
suntingPada 1880, ketika pasukan Belanda dipimpin Jenderal Karen van der Heyden telah menaklukkan daerah Aceh Besar, pejuang Aceh yang bersembunyi di kaki Gunung Seulawah datang berkumpul di Gunung Biram, Lamtamot. Mereka memikirkan langkah yang harus diambil: menyerah atau melawan. Hasil pertemuan itu adalah mereka meminta bantuan dengan mengirim utusan ke daerah Pidie.
Ketika utusan Gunung Biram tiba di Pidie, mereka mendapat kesan dari ulama dan uleebalang Pidie bahwa pusat pimpinan ulama Pidie adalah di Tiro. Mereka kemudian menemui Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut, paman Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman. Kepadanyalah utusan Gunung Biram menyampaikan amanat yang dibawanya itu.
Setelah kedatangan utusan Gunung Biram, ulama Tiro menggelar rapat dua kali di Dayah Krueng dan Daya Lampoh Raja. Hasil pertemuan itu menyepakati bahwa ulama Tiro harus segera membantu perjuangan di Aceh Besar. Namun, utusan Gunung Biram meminta seorang pemimpin dari Tiro, karena semangat perlawanan di sana sudah luntur sehingga membutuhkan pemimpin yang dapat membangkit kembali semangat mengusir Belanda. Pemimpin itu juga harus ikut ke medan perang.
Orang-orang yang hadir dalam rapat itu tidak ada yang ingin mengemukakan diri menjadi sosok pemimpin perlawanan terhadap Belanda di Aceh Besar. Tiba-tiba, Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut mengatakan bahwa keponakannya, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang baru pulang dari Mekkah, hendak berbicara. Dia mengatakan bersedia memimpin perang di Aceh Besar.[2]
Di bawah pimpinan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman dalam perang sabil, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya.
Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun 1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda.[3] Selama ia memimpin peperangan terjadi 4 kali pergantian gubernur Belanda yaitu Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883), Philip Franz Laging Tobias (1883-1884), Henry Demmeni (1884-1886) dan Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891)
Belanda akhirnya memakai siasat lain dengan cara meracunnya. Muhammad Saman akhirnya meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.[4]
Lain-lain
suntingSalah satu cucunya adalah Hasan di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.[5]
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ "Teungku Chik Ditiro" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-06-27. Diakses tanggal 2020-04-29.
- ^ Razali, Habil (16 April 2021). "Jejak Perang di Masjid Tuha: Tempat Ulama Tiro Berjihad Usir Belanda". kumparan/acehkini. Diakses tanggal 2021-08-09.
- ^ Tengku Tjhik Di-Tiro (Muhammad Saman): pahlawan besar dalam Perang Atjeh (1881-1891)
- ^ Fitri, Aulia. "Mengenal Pahlawan Teungku Cik di Tiro di Aceh Besar". detikcom. Diakses tanggal 2020-04-29.
- ^ Kyodo, Indonesia to reopen ties with Sweden following Aceh peace deal Diarsipkan 2007-03-11 di Wayback Machine., 2 Januari 2006
Pranala luar
sunting- Yakub, Ismail. 1960. Tengku Tjhik Di-Tiro (Muhammad Saman): pahlawan besar dalam Perang Atjeh (1881-1891). Jakarta: Bulan Bintang
- Ishak, Jauhari. 1984. Pahlawan-pahlawan nasional dari Aceh: Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Teungku Chik Di Tiro, Panglima Polem, Cut Meutia, Teuku Nyak Arif. Jakarta: Meudanghara Putra
- (Indonesia) "Panglima Perang Aceh" Bio Teungku Cik Di Tiro di Ensiklopedi Tokoh Indonesia Diarsipkan 2012-01-14 di Wayback Machine.