Eyang Djugo

tokoh spiritual Indonesia
(Dialihkan dari Mbah Djugo)

Eyang Djugo (wafat pada 22 Januari 1871[1] atau 1879[2] di Kesamben, Blitar; dikenal juga dengan nama

R.M. Soerjokoesoemo, Kiai Zakaria II, Mbah Djugo, Mbah Kromodi Redjo, atau Taw Low She 大老师) adalah seorang guru spiritual yang jenazahnya dimakamkan di Pesarean Gunung Kawi. Beliau dikenal sebagai guru yang konon menyembuhkan pagebluk kolera di Jawa Timur.

Eyang Djugo adalah sosok yang dianggap sebagai guru spiritual besar oleh sebagian masyarakat Jawa, Madura dan Tionghoa. Makamnya di Pesarean Gunung Kawi banyak dikunjungi orang dari etnis-etnis tersebut.[3] Ia juga dipuja di banyak klenteng, termasuk Kim Tek Ie, klenteng tertua di Jakarta.[4]

Nama sunting

Eyang Djugo dikenal dengan banyak nama, antara lain:

  • R.M. Soerjokoesoemo/꧋ꦫꦣꦺꦤ꧀ꦩꦱ꧀ꦱꦺꦴꦮꦺꦂꦗꦺꦴꦏꦺꦴꦮꦺꦱꦺꦴꦮꦺꦩꦺꦴ, nama bangsawannya
  • Kiai Zakaria II/كياي زكريااِثْنَانِ , mengikuti ayahnya, nama yang ia pilih setelah berganti nama dari nama bangsawan[1]
  • Mbah Kromodi Redjo ꧋ꦩ꧀ꦧꦃꦏꦿꦺꦴꦩꦺꦴꦣꦶꦉꦣ꧀ꦗꦺꦴ[5]
  • Taw Low She 大老师, dalam pinyin dibaca menjadi dà lǎoshī, sebuah julukan yang secara harfiah berarti "guru besar" atau "guru agung", namun sering diartikan menjadi "guru besar pertama" dengan R.M. Iman Soedjono menjadi Dji Low She 二老师 atau "guru besar kedua".[6][7]

Kehidupan sunting

Hanya sedikit keterangan yang menguraikan kehidupan awal Mbah Djugo. Riwayat tertulis tentang Mbah Djugo terdapat dalam Riwayat Ejang Djugo, panembahan Gunung Kawi oleh Im Yang Tju.

Status sebagai bangsawan sunting

Eyang Djugo dikenal oleh Keraton Yogyakarta sebagai seorang bangsawan dengan nama R.M. Soerjokoesoemo atau R.M. Soeryodiatmodjo. Dalam naskah yang dikeluarkan oleh pengageng keraton, ia dinyatakan merupakan keturunan penguasa Kesultanan Mataram. Naskah itu menjelaskan bahwa Pakubuwana I memiliki putra bernama Bandoro Pangeran Harjo Diponegoro, yang kemudian memiliki putra bernama Kanjeng Kiai Zakaria. Menurut naskah tersebut, Eyang Djugo adalah anak dari kiai itu, dan ia mengubah namanya mengikuti ayahnya:[1][8]

Maka atas perkenan Kanjeng Susuhunan Paku Buwono V, R.M. Soerjokoesoemo mengubah namanya sesuai Peparing Dalem Asmo, nunggak semi dengan ayahandanya menjadi Kanjeng Kyai Zakaria II.

Penasihat spiritual dan pengawal sunting

Terdapat dua versi tentang periode kehidupan Mbah Djugo sebelum kemunculannya di desa Jugo.

Eyang Djugo dikatakan pernah menjadi penasihat spiritual dan pengawal Pangeran Diponegoro.[7] Setelah kekalahan dan pengasingan Pangeran Diponegoro ke Manado pada tahun 1830, ia dikabarkan melepas atribut kebangsawanannya dan pergi mengembara.[5]

Eyang Djugo mengembara dari Yogyakarta, menuju Sleman, Nganjuk, Bojonegoro, dan berujung di Blitar. Di kota Blitar, ia terkejut dengan keberadaan kadipaten Belanda dan merasa masih terlalu dekat. Ia berpindah 60 km ke desa Sonan di kecamatan Kesamben, di tepi Sungai Brantas.[9] Sumber lain mengatakan rutenya adalah Pati, Begelen, Tuban, kemudian berakhir di Kepanjen, Malang dan berlanjut ke Kesamben, Blitar.[10] Kedua sumber bersetuju mengatakan bahwa pengembaraan Mbah Djugo berakhir di Kesamben.

Setelah beberapa tahun tiba di Kesamben, Eyang Djugo kemudian didatangi oleh murid dan putra angkatnya, Raden Mas Iman Soedjono (Eyang Sudjo). Eyang Sudjo juga turut mengembara setelah pembuangan Pangeran Diponegoro dan berujung di desa tempat Eyang Djugo tinggal.[10]

Versi lain dari cerita ini mengatakan bahwa beliau merupakan punggawa di bawah Hong Xiuquan (1813–1864), pimpinan Pemberontakan Taiping di Dinasti Qing. Setelah pemberontakan berakhir, ia hidup menyepi sebagai petapa di Gunung Kawi dan mendapatkan sejumlah murid Jawa. Pada versi ini, dikatakan bahwa Eyang Djugo wafat pada tahun 1879.[11]

Kemunculan di Desa Jugo dan asal-usul nama Djugo sunting

Im Yang Tju menuliskan bahwa Eyang Djugo tiba-tiba muncul di depan sekelompok anak-anak penggembala di desa Jugo. Setelah kemunculannya itu, ia kembali lagi ke dalam hutan tempatnya datang dan baru muncul kembali beberapa hari kemudian sambil berjalan menuju kandang sapi yang sudah tidak terpakai. Di situlah ia menetap. Pembawaannya yang tenang dan sikapnya yang berwibawa membuat masyarakat segan mendekatinya.[5]

Di Jugo, ia bertemu dengan Tosiman yang menanyai asal-usulnya. Agar tidak dicurigai, Mbah Jugo lalu mengatakan dirinya sedang sajugo (bahasa Jawa untuk "sendirian"). Tosiman salah sangka dengan ucapan ini, mengira nama beliau adalah Sayugo, dan itulah asal-usul nama Djugo.[12] Nama tersebut beliau pergunakan dan masih populer hingga kini.[13]

Eyang Djugo diperkirakan mengganti namanya agar tidak diketahui status kebangsawanannya oleh orang lain, terutama orang Belanda. Perilaku ini juga dikenal dalam kisah pewayangan; seorang ksatria yang sedang mengembara biasanya mengganti nama.[14]

Kemampuan mengobati penyakit sunting

Di Kesamben, ia bersama dengan Eyang Sudjo tinggal dan mendakwahkan Islam, ajaran moral, cara bercocok tanam, pengobatan, serta keterampilan lain.

Dari penceritaan Im Yang Tju,[15] pada tahun 1860an, kolera kembali merebak di kawasan tinggal Eyang Djugo. Ia dikabarkan keluar dari hutan, tinggal di kandang sapi, dan meminta warga yang terkena penyakit ini untuk membawakan air. Air yang dibawa tersebut kemudian didoakan dan orang yang meminta air itu akan sembuh setelah meminumnya. Bagi yang tidak bisa bangkit dari tempat tidur, air yang telah didoakan tersebut akan dibawakan langsung kepada mereka.[1]

Menurut penceritaan lain yaitu Drs. Tashadi yang menulis dalam Budaya Spiritual dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1994, penyakit yang disembuhkan adalah "wabah penyakit hewan di desa Sonan" pada tahun 1860. Tidak dituliskan secara khusus wabah penyakit yang disembuhkan.[16]

Tan Kie Lam, seorang murid Eyang Djugo, pernah sakit. Oleh Eyang Sudjo, ia kemudian dimandikan dengan guci peninggalan Eyang Djugo. Sakitnya sembuh dan ia pun menjadi murid di padepokan Eyang Sudjo dan tinggal di Gunung Kawi. Merasa ingin mengikuti ritual Tionghoa untuk menghormati kedua guru besar tersebut, ia kemudian membangun klenteng di dekat padepokan.[17]

Pendirian padepokan dan pesarean sunting

Setelah berhasil menyembuhkan penyakit, Eyang Djugo dikabarkan mendapatkan undangan dari regent Blitar, yang kala itu dijabat oleh Kanjeng Pangeran Warsokoesoemo. Warsokoesoemo meminta Eyang Djugo untuk turut menyembuhkan penyakit di daerah Blitar yang lain. Sebagai gantinya, ia diberikan hadiah tanah seluas 7 hektare. Tanah seluas 7 hektare ini kemudian dibuka oleh Eyang Sudjo menjadi sebuah padepokan. Ia tinggal di Kesamben sampai akhir hayatnya.[1][16]

Sebelum wafat, Eyang Djugo mewasiatkan agar jenazahnya dimakamkan di lereng Gunung Kawi. Akhirnya, Eyang Sudjo dengan Ki Moeridun dan beberapa orang murid lainnya pergi ke lereng selatan Gunung Kawi untuk mencari tempat yang cocok untuk menjadi pesarean. Dalam perjalanan, Eyang Sudjo dan murid-murid Eyang Djugo mendirikan beberapa tempat singgah di beberapa tempat. Kini tempat-tempat tersebut telah menjadi perkampungan. Di tempat Eyang Sudjo tinggal, berdirilah tempat yang kini menjadi Pesarean Gunung Kawi.[10]

Wafat sunting

Sebelum wafat, beliau dikatakan melaksanakan tapa ngelowong, sebuah metode pertapaan tanpa minum dan makan, hanya menghirup udara selama 36 hari. Di hari ke-37, beliau masuk ke liang lahatnya, duduk bersila, dan menghembuskan nafas terakhirnya.[2]

Eyang Djugo wafat di Gunung Kawi, pada malam Senin Pahing, 22 Januari 1871 atau Minggu 22 Januari 1871 Masehi (dalam kalender Jawa: Ngahad Lêgi 1 Dulkangidah Dal 1799).[16] Sumber lain mengatakan beliau meninggal pada tahun 1879 dan pernah menggali liang lahatnya sendiri di tahun 1872.[2]

Lokasi pengebumian Eyang Djugo diadakan sesuai wasiatnya, di tempat yang kini menjadi pesarean (makam) Gunung Kawi. Perjalanan dari desa padepokan Eyang Djugo ke tempat tersebut memakan waktu tiga hari. Pada malam Jumat Legi, Eyang Sudjo yang memimpin prosesi pemakaman dan upacara pengebumian pun mengadakan tahlilan akbar.[18]

Eyang Sudjo wafat tidak lama kemudian, pada hari Rabu Kliwon tanggal 12 Suro pada tahun 1876 Masehi. Mereka dimakamkan dalam satu liang lahat di Pesarean Gunung Kawi.[18][19]

Penghormatan oleh masyarakat sunting

Kegiatan setiap malam Jumat Legi sunting

Tahlilan adalah sebuah kegiatan yang kerap dilakukan di pesarean setiap malam Jumat Legi, mengikuti hari prosesi pemakaman dan upacara pengebumian Eyang Djugo. Umumnya, pesarean mengalami lonjakan kunjungan pada malam itu. Selain melakukan tahlilan, peziarah juga meletakkan sesajen, membakar dupa, dan melakukan semadi. Kegiatan ini biasanya dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan keturunan Eyang Sudjo.[20]

Perayaan Satu Suro sunting

Perayaan setiap tanggal 1 Suro (dalam kalender Jawa) dilakukan oleh masyarakat Wonosari. Kegiatan ini terpusat di Pesarean Gunung Kawi. Pada malam sebelumnya, masyarakat melakukan pengajian, pertunjukan wayang kulit semalam suntuk, serta membagikan angpau kepada barongsai. Di tanggal yang bersangkutan, masyarakat melakukan kirab dan arak-arakan sejauh 3 km, semuanya terpusat di pesarean. Puncak ritual ini adalah pembakaran sebuah patung raksasa yang menyimbolkan angkara murka sifat manusia di dunia.[21]

Pemujaan oleh masyarakat Tionghoa sunting

Masyarakat Tionghoa dikenal memuja Eyang Djugo, selain di pesarean dan klenteng yang dibangun di dekatnya, juga di klenteng-klenteng di luar Gunung Kawi. Misalnya, beliau merupakan salah satu obyek pemujaan di Kim Tek Ie, klenteng tertua di Jakarta, serta di Vihara Dharma Jaya (Pasar Baru), Vihara Tunggal Dharma, Vihara Sapto Ranggo, dan Vihara Mahabrahma di Bogor.[11]

Pada hari-hari tertentu, seperti Imlek dan Tahun Baru Islam, jumlah masyarakat Tionghoa yang berziarah ke Pesarean Gunung Kawi lebih banyak dibandingkan masyarakat Jawa.[18][22]

Eyang Djugo memiliki banyak murid Tionghoa yang bertemu langsung dengannya, juga hubungan yang erat dengan masyarakat Tionghoa. Terdapat beberapa murid Tionghoa yang turut pergi dengan Eyang Sudjo untuk membangun daerah untuk pesarean.[10] Tan Kie Lam adalah salah satu murid yang sembuh di pesarean. Selain itu, Ong Hok Liong, pendiri perusahaan multinasional Bentoel Group, mendapatkan anjuran untuk menamakan perusahaannya dari juru kunci pesarean ini.[17]

Peninggalan sunting

Eyang Djugo meninggalkan putra angkatnya, Eyang Sudjo. Selain itu, ia tidak beristri dan berkeluarga.[23]

Peninggalan yang ada antara lain rumah padepokan di Kesamben berikut masjid dan halamannya; pusaka berbentuk tombak, topi, alat-alat pertanian dan tiga buah guci tempat air minum yang dilengkapi dengan filter dari batu. Guci ini dinamakan "janjam" dan dibawa ke Gunung Kawi oleh Eyang Sudjo.[24]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e Kusumo, Rizky. "Mbah Jugo, Sosok Tabib Sakti yang Jinakkan Wabah Kolera di Jawa". Good News From Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-15. Diakses tanggal 2022-01-29. 
  2. ^ a b c Arif, Solichan (2021-08-14). "Kisah Mbah Djugo, Sebelum Meninggal Lakukan Tapa Ngelowong". Okezone.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-14. Diakses tanggal 2022-01-29. 
  3. ^ Hartik, Andi (2019-05-15). Ika, Aprillia, ed. "Pesarean Gunung Kawi, Jejak Perjuangan Pengawal Diponegoro serta Wujud Toleransi Etnis dan Agama". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-01. Diakses tanggal 2022-01-29. 
  4. ^ Anugrahadi, Ady (2019-02-03). Lubabah, Raynaldo Ghiffari, ed. "Menengok Persiapan Klenteng Kim Tek Le Sambut Tahun Baru Imlek". Merdeka.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-14. Diakses tanggal 2022-01-29. 
  5. ^ a b c "Cerita Mbah Jugo di Pesarean Gunung Kawi - JejakPejalanKaki". JejakPejalanKaki. 2021-09-22. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-02. Diakses tanggal 2022-01-29. 
  6. ^ Im dalam Sulistyorini (2021), hlm. 53.
  7. ^ a b Sulistyorini, Dwi (2021-03-31). "MISTISISME ISLAM-JAWA DALAM RITUAL HAUL R.M. IMAN SOEDJONO DI PASAREAN GUNUNG KAWI". Kejawen. 1 (1): 26–36. doi:10.21831/kejawen.v1i1.40113. ISSN 1858-294X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-14. Diakses tanggal 2022-01-31. 
  8. ^ Surat Keterangan dari Pengageng Kantor Tepas Darah Daken Kraton Yogyakarta Hadiningrat nomor 55/TD/1964 yang ditandatangani oleh Kanjeng Tumenggung Danoehadiningrat, 23 Juni 1964
  9. ^ Suwachman, dkk. (1993) dalam Drs. Tashadi, dkk. (1993), hlm. 18–19.
  10. ^ a b c d "Pesarehan Gunung Kawi". gunungkawi.synthasite.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-01. Diakses tanggal 2022-01-29. 
  11. ^ a b "Mbah Djugo". encyclopedia.jakarta-tourism.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-29. Diakses tanggal 2022-01-29. 
  12. ^ Drs. Tashadi, dkk (1994). Budaya Spiritual dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur (PDF). Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 18–19. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-07-13. Diakses tanggal 2022-01-31. 
  13. ^ Soeryowidagdo, RS (1989). Pasarean Gunung Kawi, Tata Cara Ziarah dan Riwayat Makam Eyang Penembahan Djoego, Eyang Raden Mas Imam Sudjono. Gunung Kawi, Malang. 
  14. ^ Drs. Tashadi dkk (1994), hlm. 18.
  15. ^ Okezone, Tim (2021-08-14). "Cerita Mbah Djugo, Tabib Sakti yang Jinakkan Wabah Kolera di Tanah Jawa". Okezone.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-30. Diakses tanggal 2022-01-30. 
  16. ^ a b c Drs. Tashadi dkk (1994), hlm. 19.
  17. ^ a b Said, SM (2015-05-25). "Gunung Kawi, Pusat Klenik Jawa-China". Sindonews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-31. Diakses tanggal 2022-01-31. 
  18. ^ a b c Herwiratno, Martinus (2012-08-27). "Eyang Djoego dan Eyang RM Iman Soedjono : Dua bangsawan Jawa yang Dihormati Masyarakat Tionghoa". Budaya-Tionghoa. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-30. Diakses tanggal 2022-01-30. 
  19. ^ Sulistyorini (2021), hlm. 29.
  20. ^ Rahmaniah, Aniek (2015). "Etnografi Masyarakat Gunung Kawi Kabupaten Malang". repository.uin-malang.ac.id (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-13. Diakses tanggal 2022-01-30. 
  21. ^ Rahmaniah (2015), hlm. 47–49.
  22. ^ Rahmaniah (2015), hlm. 49.
  23. ^ Drs. Tashadi, dkk (1993), hlm. 21.
  24. ^ Drs. Tashadi, dkk. (1993) hlm. 19–20.

Bacaan lebih lanjut sunting