Masyarakat adat Ngata Toro


Masyarakat adat Ngata Toro adalah sekelompok masyarakat adat (lokal) yang bermukim di sekitar kawasan penyangga Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Masyarakat adat ini terbentuk ratusan tahun yang lalu dan telah mewujudkan sebuah komunitas yang mapan sejak masa pra-kolonial di wilayah Sulawesi Tengah. Keseluruhan wilayah Ngata Toro, termasuk wilayah adat yang diklaimnya, didominasi oleh daerah pegunungan. Di dalam wilayah itu mengalir beberapa sungai besar seperti: Sungai Sopa, Biro, Pangemoa, Alumiu, Pono, Bola, Mewe dan Kadundu. Wilayah pemukiman dan pertanian mereka merupakan sebuah hamparan lembah yang dikelilingi pegunungan dengan dua barisan bukit yang menjulur keluar. Dengan kontur seperti ini perkembangan perkampungan mengikuti kontur fisik yang ada dan membentuk serupa huruf "W" apabila dilihat dari sisi kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Wilayah pemukiman penduduk terkosentrasi di salah satu potongan yang hampir simetris, sementara wilayah persawahan tersebar di sepanjang jari-jari huruf “W“ tersebut.[1]

Sejarah

sunting

Komunitas Masyarakat adat Ngata Toro diyakini telah terbentuk beberapa abad yang lalu bersamaan dengan terbentuknya desa (dalam Bahasa setempat disebut sebagai ngata) Toro. Tidak ditemukan sumber tertulis tertentu yang mampu menjelaskan hal itu, namun penuturan dari beberapa orang tua di sana menjelaskan bahwa pada masa pra-kolonial, masyarakat adat Ngata Toro mengalami tiga periode kepemimpinan, yaitu di bawah kepemimpinan Mpone, Ntomatu, dan Menanca (Balawo). Kisah lisan ini disertai penegasan tambahan bahwa periode masing-masing tokoh ini berlangsung cukup lama.

Mpone disebut sebagai tokoh utama yang merintis cikal bakal terbentuknya komunitas masyarakat adat Ngata Toro. Mpone adalah kepala rombongan yang mengungsi dari Malino, perkampungan asal mereka yang lokasinya berada sekitar 40 km ke arah barat daya dari Desa Toro saat ini. Perpindahan rombongan itu sendiri terjadi karena sebelumnya perkampungan asal mereka (Malino) diserang oleh makhluk halus (bunian). Akibat serangan makhluk halus tersebut, hampir seluruh penduduk Maliho musnah dan hanya menyisakan beberapa keluarga saja yang berhasil menyelamatkan diri. Setelah beberapa lama berpindah-pindah mencari tempat hidup baru, penduduk Maliho yang dipimpin oleh Mpone itu akhirnya menetap di Toro. Mereka kemudian dianggap sebagai generasi pertama di Desa Toro yang selanjutnya juga disebut sebagai penduduk asli Toro.[2]

Namun demikian, kegiatan pembukaan lahan hutan dan penataan pemukiman yang lebih sistematis baru berlangsung ketika masa kepemimpinan Menanca (Balawo). Pembukaan lahan hutan untuk pemukiman tersebut dilakukan karena jumlah penduduk yang ada di Desa Toro menjadi semakin meningkat. Peningkatan itu sendiri terjadi karena banyaknya pendatang yang berasal dari Rampi, sebuah daerah yang kini termasuk wilayah Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Para pendatang tersebut oleh Balawo diberikan lahan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan kemudian hidup menetap menjadi penduduk asli Toro melalui hubungan perkawinan.[3]

Pada masa pra-Kolonialisme, komunitas masyarakat adat Ngata Toro yang berdiam di Desa Toro menjadi sebuah komunitas politik otonom. Mereka memiliki harta kekayaan sendiri dan memiliki wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Sementara itu, Kerajaan Islam yang berkuasa saat itu tidak menjadikan Desa Toro sebagai perhatian karena letaknya yang jauh di pedalaman. Kerajaan Islam banyak berfokus pada hubungan perdagangan di daerah pesisir dengan perhatian. Selain itu, komunitas masyarakat adat Ngata Toro juga banyak membangun kerjasama dengan desa-desa di sekitarnya. Mereka membentuk sebuah federasi yang fleksibel dimana setiap desa memiliki otonomi sendiri dalam mengatur kehidupan desanya. Hubungan kerjasama dan federasi tersbeut lebih dibentuk untuk memenuhi kebutuhan politik dan pertahanan dalam menghadapi perang antarsuku, hubungan ekonomi, kekerabatan, dan solidaritas.[1] Semenjak saat itu, komunitas masyarakat adat Ngata Toro perlahan-lahan bertransformasi menjadi kelompok masyarakat lokal yang mampu menjangkau berbagai lini kehidupan paling vital, seperti keagamaan, pemerintahan, transformasi tata lahan, dan perubahan-perubahan sosial lainnya.

Bagi masyarakat adat Ngata Toro, mitos bukanlah cerita kosong tanpa makna. Mitos terbentuk melalui proses panjang yang dialami oleh masyarakat lokal mulai dari peristiwa nyata, realitas sosial, dan lingkungan fisik kelompok yang bersangkutan. Meskipun sulit ditemui di dunia nyata, mitos mampu menggambarkan “angan-angan sosial” yang ikut membentuk identitas pada kelompok dan makna pada sejarahnya.

Ada tiga mitos yang hidup di tengah masyarakat adat Ngata Toro dan mampu menjelaskan asal-usul dan identitas kolektif mereka. Mitos tersebut adalah:[4]

1. Mitos tentang tempat

Dijelaskan bahwa desa mereka dahulu didiami oleh etnis Uma. Perkampungan mereka kemudian dilanda banjir besar dan tanah tanah longsor yang menyebabkan penduduknya meninggalkan perkampungan. Perkampungan tersebut lalu berubah menjadi sebuah danau besar setelah terjadinya banjir deras saat itu. Bencana banjir deras itu terjadi setelah adanya pertengkaran dua kakak beradik di perkampungan itu. Salah satu di antara keduanya kemudian memotong kaki kucing dan digunakan untuk menabuh tambur emas (karatu bulawa) dengan keras. Padahal, kucing dipercaya sebagai binatang yang tidak boleh disakiti apalagi dibunuh. Setelah pertengkaran tersebut berlangsung, sore harinya terjadi hujan lebat selama tiga hari penuh yang disusul dengan tanah longsor. Perkampungan mereka kemudian hancur lebur.[4]

2. Kisah tentang pelarian orang Malino

Berpindahnya orang Malino dari perkampungan asalnya bermula karena adanya makhluk halus yang menyerang mereka. Konon, hampir seluruh penduduk Malino meninggal dunia. Hanya tersisa beberapa keluarga yang kemudian mampu menyelamatkan diri dan berpindah ke perkampungan Toro. Munculnya makhluk halus di perkampungan Malino bermula ketika anak-anak penduduk Malino dan anak orang Bunian bermain gasing. Anak orang Bunian menggunakan gasing dari emas dan mampu mengalahkan gasing milik anak-anak Malino. Anak-anak Malino mengadukan kekalahan mereka kepada orang tuanya. Tanpa pikir panjang, orang tua dari anak Malino membunuh anak yang memakai gasing dari emas dan mengambil gasing emas tersebut. Beberapa lama kemudian, terdengar suara gemuruh berupa parang dan tombak yang beterbangan saling menyerang. Rupaya, itu adalah makhluk halus yang menuntut balas karena tidak terima anaknya telah dibunuh oleh orang Malino. Semenjak saat itu, hampir seluruh penduduk Malino meninggal dan hanya tersisa tujuh rumah tangga. Mereka akhirnya lari dan membangun pemukiman di Desa Toro.[4]

3. Kisah Penguasaan Tempat

Mitos tentang penguasaan tempat terjadi ketika seorang bangsawan Kulawi yang dikenal senang berburu ingin mencari sebuah daerah buruan baru. Ia menjelajahi semua tempat, mulai dari lembah hingga gunung. Kemudian, ia menemukan sebuah lembah subur yang terbentuk karena bekas danau yang surut. Tempat itu rupanya adalah bekas pemukiman yang ditinggalkan penduduknya karena bencana alam. Setelahnya, sang pemburu bersama dengan orang pelarian dari Malino melakukan tawar-menawar dengan Mpone untuk membeli tempat tersebut berikut gunung dan lembah yang ada. Tanah tersebut dihargai dengan tujuh gumplan emas sebesar burung pipit. Lama kelamaan, orang Malino yang bermukim di tempat tersebut menjadi semakin banyak hingga kemudian wilayah itu diberi nama “Toto” yang berarti didiami karena pelarian sisa-sisa orang Malino.[4]

Aturan Adat dan Sumber Daya Alam

sunting

Sejak tahun 1993, masyarakat adat Ngata Toro telah menggencarkan berbagai prakarsa untuk menegaskan identitas budaya mereka. Prakarsa itu meliputi aturan adat, lembaga adat, dan penggalian serta upaya transformasi tradisi dalam rangka pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas yang lestari dan membawa manfaat bagi seluruh anggota komunitas. Semua tindakan kolektif ini pada dasarnya memiliki tiga tujuan pokok, yaitu: menjaga keberlanjutan ekosistem hutan tropis di sekeliling komunitas ini—yang kini telah ditetapkan sebagai Taman Nasional Lore Lindu—melalui pranata sosial-budaya dan kepemimpinan lokal; memperoleh manfaat optimal dari perlindungan Ekosistem Hutan tropis dalam rangka menjamin keberlanjutan komunitas dan seluruh struktur sosial politiknya dan aktivitas ekonomi lokal yang bergantung pada pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam setempat; menjamin keadilan antar generasi dalam akses, kontrol, dan pemanfaatan atas sumber daya alam setempat.[5]

Masyarakat adat Ngata Taro juga mengembangkan konsep pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam berbasis kearifan lokal di lingkungan mereka. Dalam hal kepemilikan tanah, mereka tidak serta merta memperolehnya melalui perampasan atau mengambil tanah orang lain tanpa izin, melainkan melalui suatu transaksi dan mempunyai keabsahan yang kuat menurut hukum adat mereka.[1] Masyarakat adat Ngata Toro membagi hak kepemilikan atas Sumber daya alam dalam dua kategori, yakni hak kepemilikan bersama (katumpuia hangkani) dan hak pemilikan individu (katumpuia hadua). Kedua komponen hak kepemilikan tersebut adalah aturan adat yang sangat dipatuhi oleh masyarakat adat Ngata Toro. Selain itu, secara turun-temurun, masyarakat adat Ngata Toro sudah dibekali dengan aturan yang dinamakan Mopahilolonga Katuvua (mengurus alam secara arif). Menurut aturan tersebut, di bumi persada ada tiga unsur kehidupan yang mempunyai hubungan timbal balik, tumbuh dan berkembang biak serta saling menghidupi, yaitu manusia (tauna), hewan (pinatuvua), tumbuhan (tinuda). Pandangan tersebut juga memuat aturan-aturan yang harus diperhatikan dalam membuka lahan baru, diantaranya keadaan tempat yang direncanakan dibuka, apakah penjaga hutan itu memberikan lahan itu untuk dibuka atau tidak, saling menghimbau satu dengan yang lain agar senantiasa memperhatikan hulu sungai dan kemiringan yang terjal (Taolo), adat dan budaya tidak membenarkan menebang kayu sembarangan untuk dijadikan ramuan rumah utamanya di hulu air atau di kemiringan yang terjal, terlebih lagi kalau kayu yang di tebang diperjualbelikan di tempat lain.[6]

Dalam mengatur dan memanfaatkan sumber daya alam, masyarakat adat Ngata Taro selalu berpegang pada tradisi leluhur dan kearifan lokal yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu toipetagi (larangan) dan toipopalia (pantangan). Toipetagi (larangan) meliputi: tidak diperkenankan membuka hutan atau mengolah hutan di mana ada mata air ue ntumu, mata air ue bohe; larangan memangkas dan menebang pohon yang tumbuh di palungan sungai atau kali-kali kecil yang ada dalam hutan ataupun kali kecil yang melewati pemukiman penduduk; dilarang menebang habis pohon yang diketahui mempunyai khasiat obat tradisional seperti pohon beringin dan melinjo; dilarang menebang pohon/membuka lahan perkebunan di daerah kemiringan yang terjal; larangan keras pembukan lahan di Wana ngkiki dan Wana; dilarang membuka kebun di bekas Pangale, Oma, Balingkea,Pohawa pongko orang lain. Sedangkan toipopalia (pantangan) meliputi: dilarang membawa hasil hutan seperti Rotan, pandan hutan, bambu mentah dalam jumlah yang banyak ke rumah melewati persawahan pada masa padi dalam keadaan berbuah, dilarang mengilir rotan di sungai pada masa padi akan keluar buah, karena akan mempengaruhi keberhasilan panen (buah padi banyak yang hampa/kurang berisi); larangan membuka hutan di mana diketahui ada pohon damar; larangan menebang kayu yang diketahui sebagai makanan pokok burung-burung dalam hutan.[6]

Sanksi Adat

sunting

Aturan-aturan adat tersebut memiliki konsekuensi atau sanksi apabila dilanggar oleh masyarakat adat Ngata Taro. Dalam penelitian Mahfud dan Tohake juga mengungkapkan beberapa sanksi adat yang akan diterima oleh pelanggar. Beberapa di antaranya adalah kepemilikan yang tidak berdasarkan hukum adat dikenakan sanksi adat berupa Tolu Ongu, Tolu Mpulu, Tolu Ngkau (tiga ekor hewan kerbau atau sapi, tiga puluh dulang, dan tiga lembar kain Mbesa) yang apabila dirupiahkan bernilai 5 juta rupiah; pengelolaan hasil hutan kayu, rotan, pakanangi, gaharu, dan Damar (pohon) yang tidak berdasarkan ketentuan hukum adat dikenakan sanksi adat berupa Tolu Ongu, Tolu Mpulu, Tolu Tigkau (tiga ekor hewan kerbau atau sapi, 30 dulang, dan 30 lembar kain Mbesa); pemasangan jerat untuk hewan yang dilindungi (anoa dan babi rusa), dikenakan sanksi adat yaitu Tolu Ongu, Tolu Mpulu, Tolu Ngkau. (Tiga ekor hewan kerbau atau sapi, 30 dulang, 30 (kain Mbesa); penangkapan ikan yang menggunakan alat kimia, strom, racun, dikenakan sanksi adat: Rongu, Rompulu, Rongkau (dua ekor kerbau atau sapi, 20 dulang, 2 lembar kain Mbesa), setara dengan 3 juta rupiah; penggunaan senjata api, senapan angin, bedil dikenakan sanksi adat yaitu: Hangu, Hampulu, Hongkau (Satu ekor hewan kerbau atau sapi, 10 dulang, satu lembar kain Mbesa) yang apabila dirupiahkan sekitar 1,5 juta rupiah.[1]

Hubungan Masyarakat dengan Pemerintah

sunting

Hubungan masyarakat adat Ngata Toro dengan pemerintah tercermin dengan dilakukannya beberapa program yang memiliki tujuan untuk mengonservasi lingkungan. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Ngata Toro memiliki peran penting dalam memelihara dan menjaga Kawasan konservasi Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Sejak tahun 2000, pemerintah secara resmi memberikan otonomi kepada masyarakat adat Ngata Toro untuk ikut merencanakan dan memantau pemanfaatan sumber daya alam di kawasan hutan Taman Nasional Lore Lindu.[6] Pemberian otonomi tersebut tidak terlepas dari kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Toro sebagaimana yang dikemukakan oleh Fremerey bahwa penguasaan, distribusi dan penggunaan pengetahuan masyarakat adat Toro memungkinkan untuk mengembangkan pola pembelajaran secara organisasional sebagai prasyarat untuk pengelolaan hutan secara berkelanjutan.[6] Pemberian otonomi oleh pemerintah kepada masyarakat adat Ngata Toro merupakan bentuk perhatian pemerintah yang “mengakui” keberadaan masyarakat lokal. Namun demikian, hal itu tidak serta merta membuat masyarakat adat tersebut bebas memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitar kawasan. Masyarakat Adat Ngata Toro juga perlu "mengakui" keberadaan pemerintah sebagai pemangku jabatan yang juga memiliki kepentingan atas kawasan tersebut, terutama berkaitan dengan upaya-upaya konservasi. Sikap "saling mengakui antar-keduanya ditunjukkan dengan disepakatinya Kesepakatan Konservasi Masyarakat.

Implementasi KKM di kawasan Taman Nasional Lore Lindu diwujudkan dalam beberapa langkah, di antaranya:[6] pembatasan pengambilan sumber daya alam untuk waktu yang ditentukan yang dikenal masyarakat setempat dengan istilah “Ombo”; pengembangan jenis tanaman asli Taman Nasional Lore Lindu, yaitu Eucalyptus deglupta (leda), Agathist sp. (damar), Aleurites moluccana (kemiri); pembuatan batas hidup Taman Nasional Lore Lindu (living boundary) dengan pengembangan tanaman kemiri dan damar yang mampu memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat sekitar; monitoring partisipatif wilayah kesepakatan yang melanggar diproses melalui sidang adat oleh lembaga adat desa; pengembangan obat-obatan tradisional, madu hutan, bahkan kerajinan pandan hutan dan tanaman produktif lain di wilayah penyangga TNLL; mengembangkan pola pengelolaan multipihak untuk Danau Lindu dan DAS Mui; dan monitoring kesehatan hutan secara partisipatif dan ilmiah.

Pemerintah meyakini bahwa masyarakat lokal penting untuk dilibatkan mengingat penguasaan mereka atas kawasan yang terjadi jauh sebelum hadirnya klaim lain di atas kawasan tersebut. Masyarakat juga telah mempraktikan sistem pengelolaan dan tatanan Konservasi yang muncul atas insiatif mereka sendiri. Inisiatif tersebut lahir sebagai buah dari pengetahuan lokal yang mereka miliki. Pengetahuan masyarakat lokal dalam upaya konservasi kawasan dibuktikan dengan adanya aturan dan praktik lokal yang masih ditaati oleh komunitas setempat. Upaya konservasi Keanekaragaman hayati yang dilakukan oleh masyarakat lokal tersebut sesungguhnya telah berkembang sejak lama.[7] Konservasi berbasis masyarakat menjadi sangat penting karena dapat mempertemukan kepentingan ekonomi masyarakat lokal dan kepentingan pemerintah terkait Lingkungan hidup. Harmonisasi kepentingan tersebut diharapkan dapat menciptakan iklim yang kondusif sehingga upaya-upaya konservasi kawasan dapat berjalan optimal.

Untuk menjembatani kearifan lokal masyarakat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, pemerintah menciptakan program KKM (Kesepakatan Konservasi Masyarakat) atau Community Conservation Agreement. KKM menjadi alat untuk melaksanakan dan mengendalikan proses pelimpahan wewenang pengelolaan sumber daya alam dari pemerintah kepada masyarakat. KKM juga berfungsi untuk membagi tanggung jawab pengelolaan sumber daya alam di antara para pihak, menjamin diakuinya hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan membuktikan bahwa kedua belah pihak saling mengakui dan menghormati kehadiran masing-masing. Melalui KKM, proses di mana para pihak yang berkepentingan dapat bertemu untuk saling mengenal, saling menyampaikan aspirasi dan saling menyesuaikan, termasuk dalam hal meredam konflik di lapangan dan membawanya ke meja perundingan. Dalam bahasa sederhana, KKM dapat menjadi sarana untuk mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak –pemerintah dan masyarakat lokal– sehingga mampu menciptakan hubungan yang harmonis untuk mengoptimalkan upaya konservasi kawasan.

Kendati keberadaan KKM sangat penting, tidak semua kawasan Konservasi di Indonesia, termasuk taman nasional, menerapkan konsep KKM. Kearifan lokal masyarakat juga tidak jarang diabaikan atau justru sengaja diabaikan oleh pemerintah. Alhasil, masih banyak ditemukan sejumlah konflik yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat lokal terkait pengelolaan kawasan konservasi. Menurut Departemen Kehutanan (2007), di hampir seluruh taman nasional di Indonesia yang berjumlah 50-an lembaga, selalu melekat di dalamnya konflik. Beberapa contoh konflik di kawasan konservasi (c.q. taman nasional) yang berlarut-larut terjadi di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon Banten, Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung Sulawesi Selatan, Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi, Taman Nasional Gunung Halimun Salak Jawa Barat, dan kawasan taman nasional lainnya. Konflik-konflik tersebut sangat meresahkan sebab mengganggu upaya-upaya konservasi yang digagas oleh pemerintah. Untuk meredamnya, pemerintah harus lebih memperhatikan keberadaan masyarakat lokal berikut kearifan lokal yang mereka miliki. Pun masyarakat lokal, harus turut memperhatikan upaya-upaya konservasi kawasan yang diinisiasi oleh pemerintah.[8]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d Mufid, Rizal dan Rukmini Paata Toheke. 2013. Masyarakat Adat Ngata Toro Sulawesi Tengah. Lihat di http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/hutan-untuk-masa-depan-pengelolaan-hutan-adat-di-tengah-arus-perubahan-dunia
  2. ^ "Hutan untuk Masa Depan - Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia | Down to Earth". www.downtoearth-indonesia.org. Diakses tanggal 2017-10-25. 
  3. ^ Administrator. "Melestrikan Lore Lindu Bersama Masyarakat". lorelindu.info (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-10-16. Diakses tanggal 2017-10-25. 
  4. ^ a b c d [1]
  5. ^ Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). 2008. Melestarikan Lore Lindu bersama Masyarakat. Lihat di http://lorelindu.info/index.php/component/content/article/47-home/76-melestrikan-lore-lindu-bersama-masyarakat Diarsipkan 2017-10-16 di Wayback Machine.
  6. ^ a b c d e Rachman, Imran. “Model Pengelolaan Sumber Daya Hutan pada Pembangunan Kawasan Penyangga Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah”. (Disertasi S3 Ilmu Kehutanan Universitas Gadjah Mada: 2013)
  7. ^ United States Agency for International Development (USAID). 2008. Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan & Kebijakan. Lihat melalui http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnadu286.pdf
  8. ^ Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Kesepakatan Konservasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Dilihat melalui http://www.rareplanet.org/sites/rareplanet.org/files/PNACM597.pdf Diarsipkan 2017-03-29 di Wayback Machine.