Laisasi atau laikalisasi (bahasa Inggris: defrocking, unfrocking, laicization) kaum klerus adalah penghapusan hak-hak mereka untuk melaksanakan fungsi-fungsi pelayan tertahbis. Hal ini dapat disebabkan karena putusan bersalah dari pengadilan, masalah disipliner, ketidaksetujuan atas doktrin atau dogma, tetapi dapat juga terjadi atas permintaan mereka karena alasan-alasan pribadi seperti menjalankan jabatan sipil, mengambil alih bisnis keluarga, menurunnya kesehatan atau telah lanjut usia, keinginan untuk menikah yang berlawanan dengan aturan bagi klerus atau rohaniwan dalam suatu gereja partikular, atau suatu perselisihan yang tak terselesaikan. Prosedurnya bervariasi tergantung pada denominasi Kristen terkait. Istilah Inggris "defrocking" mengimplikasikan laisasi secara paksa karena pelanggaran, sementara "laicization" merupakan suatu istilah yang lebih netral dalam bahasa Inggris, dapat diaplikasikan bagi klerus yang mengajukan permohonan untuk dibebaskan dari sumpah-sumpah tahbisan mereka.

Linguistik

sunting

Secara linguistik, tindakan laisasi merujuk pada pelepasan jubah kaum klerus dan para pelayan, khususnya yang digunakan dalam layanan ibadah, pembaptisan, pernikahan, pemakaman, dan persekutuan. Biasanya jubah klerikal mengacu pada alba yang panjangnya hingga pergelangan kaki, stola berwarna terkait dengan jabatan pewartaan, ataupun kasula yang dikenakan para pelayan dalam perayaan Ekaristi.

Gereja Katolik

sunting

Tindakan laisasi atau laikalisasi membuat kaum klerus dari Gereja Katolik kehilangan statu klerikal yang disandangnya. Istilah Inggris "defrocking" umumnya tidak digunakan dalam Gereja Katolik, meskipun laporan-laporan jurnalistik tentang laisasi klerus Katolik terkadang menggunakannya.[1] Laisasi berbeda dengan suspensi. Yang terakhir disebutkan merupakan suatu "censura" (sanksi medisinal) yang melarang tindakan-tindakan tertentu untuk dilakukan oleh seorang klerus, entah tindakan-tindakan itu adalah dari suatu karakter sakramental yang berasal dari tahbisannya ("perbuatan kuasa tahbisan") atau adalah pelaksanaan dari kuasa kepemimpinannya ataupun dari hak dan fungsi yang melekat pada jabatannya.[2] Sebagai suatu censura, suspensi dimaksudkan untuk dihentikan ketika orang yang terkena suspensi menunjukkan penyesalan. Sebaliknya, laisasi adalah suatu tindakan permanen, yang atas suatu alasan yang cukup seorang klerus sejak saat itu secara yuridis diperlakukan sebagai seorang awam. Laisasi terkadang dikenakan sebagai suatu hukuman (bahasa Latin: ad poenam),[3] atau dapat juga diberikan sebagai suatu kemurahan hati (bahasa Latin: pro gratia) atas permintaan imam itu sendiri.[4] Peraturan-peraturan baru yang dikeluarkan pada tahun 2009 berkaitan dengan para imam yang meninggalkan pelayanan mereka selama lebih dari lima tahun dan yang perilakunya merupakan penyebab skandal serius semakin memudahkan para uskup untuk memastikan laisasi imam-imam tersebut sekalipun mereka tidak menginginkannya.[5]

Gereja Ortodoks Timur

sunting

Doktrin Ortodoks Timur tidak menyatakan bahwa imamat menganugerahkan suatu karakter yang tak terhapuskan pada jiwa seseorang. Laisasi menghapuskan sepenuhnya status tahbisan.[6] Sejak saat laisasi, semua tindakan dari sang mantan klerus yang dianggap sakral umumnya dianggap tidak sah/valid.

Laisasi seorang klerus mungkin merupakan dampak dari permintaan untuk dibebaskan dari tahbisan suci, atau merupakan hukuman gerejawi. Dalam kasus pertama, yang sering kali terjadi, sang klerus dapat meminta untuk dilaisasi agar dapat menikah untuk yang kedua kalinya setelah perceraian atau kematian pasangannya. Dalam kasus ini, pria tersebut tetap berada dalam hubungan yang baik dengan Gereja namun ia bukan lagi seorang klerus.

Laisasi secara paksa atau pelepasan dari tahbisan suci merupakan suatu bentuk hukuman gerejawi, yang dikenakan oleh uskup pemimpin klerus tersebut karena pelanggaran tertentu. Menurut prosedur kanonik, jika sang klerus terbukti bersalah melakukan suatu pelanggaran terhadap sumpah suci, penyesatan tanpa menyesalinya, melanggar hukum kanon ataupun disiplin gerejawi, maka ia dapat ditangguhkan untuk melaksanakan semua fungsi klerikal. Seandainya, dengan menyampingkan suspensinya, ia terus melaksanakan fungsi liturgis atau tidak menyesali perbuatannya, ia dapat dilepaskan secara permanen dari tahbisan suci (dalam bahasa umum: "laisasi"). Kendati pelepasan tersebut dapat diajukan banding di pengadilan gerejawi, tetapi, dalam praktik modern, keputusan uskup biasanya sudah final.

Laisasi sebagai suatu hukuman gerejawi mungkin disertai dengan ekskomunikasi sang mantan klerus dari Gereja untuk jangka waktu tertentu, atau tanpa batas waktu. Anatema, yakni tindakan permanen ekskomunikasi, terhadap seorang umat ataupun seorang mantan klerus biasanya dikenakan melalui keputusan sinode para uskup atau konsili gerejawi. Dalam kasus tersebut, sang mantan klerus tidak hanya dilaisasi tetapi juga dilarang masuk ke dalam suatu gereja Ortodoks, menerima Ekaristi dan sakramen lainnya, ataupun menerima berkat dari seorang imam.

Referensi

sunting