Khoe Woen Sioe

Wartawan Indonesia

Khoe Woen Sioe (05 Mei 1906 – 06 Juni 1966) adalah salah satu tokoh penting keturunan Tionghoa dalam Baperki (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dan LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa). Mengenyam pendidikan di THHK Batavia, Sekolah Bible, MULO Batavia dan AMS Bandung. Ia mulai bekerja pada usia 18 tahun di harian Sin Po, kemudian pindah ke harian Keng Po dan selanjutnya ia berhasil meneruskan kepemimpinan harian tersebut hingga pernah mencapai rekor sebagai koran berbahasa Indonesia terbesar dengan tiras mencapai 70.000 eksemplar per hari pada dasawarsa 1950-an.

Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945) ia dimasukkan ke dalam kamp interniran Jepang di Cimahi karena surat kabar yang dipimpinnya mengecam Jepang sebagai fasis. SeIama di daIam tahanan pandangan politiknya banyak dipengaruhi Injo Beng Goat, pemimpin redaksi Keng Po yang sama-sama ditahan dan banyak berhubungan dengan Jan de Kadt, seorang yang berpandangan sosialis dari Belanda. Setelah keduanya dibebaskan, Khoe dan Injo sepakat menerbitkan kembali berkala mereka yang ditutup. Mula-mula mereka menerbitkan majalah Star Weekly pada 6 Januari 1946 dan kemudian harian Keng Po pada 2 Januari 1947. Khoe kemudian menjadi pemimpin umumnya, sedang pimpinan redaksi dijabat Injo Beng Goat.

Kontribusi Publisistik sunting

Khoe memulai menerbitkan majalah Star Weekly. Awalnya, majalah itu terbit 8 halaman, tanpa sampul muka, dan dijual seharga harga f2 serta tidak menerima permintaan berlangganan. Khoe dibantu beberapa orang yang sebelum pendudukan Jepang pernah menerbitkan majalah serupa seperti Tan Hian Lay dan Ie Tek Oen.[1] Isinya antara lain pengalaman mantan wartawan yang diinternir semasa perang, pemandangan luar negeri, cerita bersambung, cerita pendek, dan kritik sosial. Mula-mula, Star Weekly ditujukan sebagai bacaan golongan Tionghoa peranakan, namun kemudian meluas menjadi bacaan keluarga dan semua kalangan.

Perluasan ini terjadi sesudah 1951 ketika salah seorang wartawan Keng Po, Mr. Auwjong Peng Koen (kemudian Petrus Kanisius Ojong) ditugaskan memimpin Star Weekly sebagai pemimpin redaksi. Nama Auwjong tercatat sejak 6 Mei 1951. Saat itu, tiras Star Weekly sudah mencapai 15.000 eksemplar dengan harga eceran Rp1,25. Isi yang lebih berbobot antara lain karena sidang pembaca dan penulisnya bukan lagi golongan Tionghoa peranakan semata-mata, melainkan juga memuat tulisan Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, dan lain-lain.

Sementara Star Weekly bernasib mujur, Keng Po yang kritis terhadap kebijakan penguasa ternyata menemui nasib yang tidak beruntung. Pada 1 Agustus 1957, Keng Po dilarang terbit tanpa sebab yang jelas. Khoe mula-mula berinisiatif agar menerbitkan kembali surat kabar dengan nama baru Pos Indonesia. Sayang, surat kabar ini pun diasumsikan penguasa masa itu sebagai penerus Keng Po dan karenanya tetap dilarang terbit juga. Nasib yang sama ternyata juga menimpa Star Weekly. Majalah ini dilarang terbit oleh penguasa karena rubrik "Pemandangan Luar Negeri" yang dianggap tidak menguntungkan politik luar negeri Indonesia dan memuat kritik yang terlalu pedas kepada pemerintah. Star Weekly terbit terakhir 7 Oktober 1961 untuk nomor 823 tahun XVI[2]

Khoe memiliki intuisi bahwa segala yang mendera harian yang ia pimpin adalah karena pandangan politiknya yang berhaluan sosialisme demokratis dan antikomunis. Karena itu, alih-alih membiarkan perusahaan dan percetakannya digunakan oleh kelompok sayap kiri yang menerbitkan Harian Rakyat, Khoe berinisiatif mendirikan P.T. Kinta dan menganjurkan kelompok bukan komunis untuk menerbitkan surat kabar sendiri dengan dukungan P.T. Kinta. Lahirlah majalah Varia yang berisi hiburan, musik, dan film; majalah Djaja yang memuat informasi pembangunan Daerah Khusus Ibukota Jakarta masa itu; harian sore Sinar Harapan yang dikelola pendukung Partai Kristen Indonesia; serta majalah Intisari yang berisi gagasan humaniora dan pengetahuan ilmiah-populer. "Dukungan aparat Kinta [untuk terbitnya Intisari] itu tentu saja sangat menguntungkan," ungkap Jakob Oetama beberapa tahun kemudian[3]

Selain P.T. Kinta yang memfasilitasi sejumlah berkala tersebut, Khoe turut andil dalam membentuk Penerbit "Saka Widya" yang menerbitkan buku-buku yang ditulis oleh mantan wartawan Star Weekly yang dibredel. Beberapa buku yang diterbitkan antara lain dua jilid Perang Eropa dan Perang Pasifik yang berisi kumpulan artikel sejarah yang ditulis oleh Petrus Kanisius Ojong semasa memimpin Star Weekly.

Pekerjaan Sosial sunting

Selain berkontribusi dalam bidang publisistik, Khoe Woen Sioe juga bergiat dalam organisasi sosial Perkumpulan Sin Ming Hui yang didirikan oleh kelompok peranakan Tionghoa pada 29 Januari 1946. Lembaga sosial ini mula-mula ditujukan untuk membantu korban Kerusuhan Tangerang 1946, namun kemudian diperluas menjadi lembaga sosial yang bertujuan menggerakkan asimilasi di lapangan pendidikan, kebudayaan, kesehatan, dan rekreasi. Khoe diangkat sebagai ketua pertamanya, dengan Injo Beng Goat memimpin bagian perburuhan. Dalam pandangan Khoe, Sin Ming Hui haruslah menolak sikap-sikap eksklusif dari kelompok sosial terdahulu yang mengangkat pemimpin berdasarkan umur dan kekayaan. Karenanya, Sin Ming Hui memilih pemimpin berdasarkan kecakapan, dedikasi, dan kesanggupan bekerja[4]

Sin Ming Hui kemudian memperluas kegiatannya dengan mendirikan berbagai organisasi lain seperti Rumah Sakit Sumber Waras, Universitas Tarumanagara, krematorium di Jelambar, dan Panti Asuhan Ati Suci. Kelak, ketika ada anjuran pergantian nama, organisasi sosial ini kemudian berganti nama menjadi "Tjandra Naja" (EYD: Candra Naya) yang gedungnya (beralamat di Jl. Gajah Mada 188, Jakarta) menjadi salah satu warisan cagar budaya.

Teladan Kepemimpinan sunting

Kepribadian Khoe sebagai seorang pemimpin kemudian menjadi inspirasi dan teladan banyak orang. Khoe dikenal sebagai pemimpin yang sederhana, jujur, serta bersedia menyibukkan diri dalam berbagai kegiatan sosial. Dalam salah satu artikel panjang di harian Kompas, 5 Juni 1976, Petrus Kanisius Ojong menulis mengenai teladan Khoe bagi dirinya dalam memimpin Kompas Gramedia.

Dalam artikel tersebut, Ojong menuturkan bagaimana Khoe menandai kesuksesan perusahaannya sesudah didirikan kembali, tidak dengan memberi barang mewah dan kendaraan pribadi, melainkan membeli sebidang tanah di Cipanas, Jawa Barat seluas 10.000 meter persegi yang di atasnya ia dirikan kompleks rumah peristirahatan yang dapat dipergunakan setiap karyawannya, dari petugas percetakan hingga direksi. "Kalau sekolah sedang libur, lebih dari seratus orang (karyawan dengan sanak familinya) menikmati fasilitas bungalow, keindahan alam, dan hawa sejuk di Pacet itu," papar Ojong.

Filosofi lain dari kepemimpinan Khoe adalah keteladanan sederhana kepada karyawan. Khoe pernah memeriksa percetakan di waktu malam dengan menumpang becak[5] dan menggunakan oplet untuk pulang ke rumah pada waktu istirahat makan siang[6] agar membuktikan bahwa sebagai pemimpin umum, ia tidak menggunakan kendaraan dinas untuk keperluan pribadi.

Selain kesederhanaan, Khoe mencontohkan kemauan keras untuk belajar. Khoe, yang berlatar belakang pendidikan sastra, tidak segan-segan untuk belajar dari nol bagaimana kiat mengelola perusahaan penerbitan dan konsekuensinya (mempelajari pasaran tinta, harga kertas, mengorganisasi kepala-kepala produksi, dan lain-lain).[7] Berbekal kemauan keras, bagi Khoe, tiada halangan bagi orang dengan latar belakang pendidikan apapun untuk menekuni bidang baru dan sesuatu yang sama sekali berlainan dengan latar belakang pendidikannya. Ojong menyimpulkan dalam artikel itu, syarat kepemimpinan terpenting bagi Khoe bukanlah prestasi tinggi dan angka-angka yang besar, melainkan watak yang baik.

Referensi sunting

  1. ^ Ishwara, Helen (2001). P.K. Ojong: Hidup Sederhana Berpikir Mulia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 53. ISBN 978-979-709-837-7. 
  2. ^ Ishwara, Helen (2014). P.K. Ojong : Hidup Sederhana Berpikir Mulia. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS. hlm. 165. ISBN 978-979-709-837-7. 
  3. ^ Ishwara, Helen (2014). P.K. Ojong : Hidup Sederhana Berpikir Mulia. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS. hlm. 210. ISBN 978-979-709-837-7. 
  4. ^ Ishwara, Helen (2014). P.K. Ojong : Hidup Sederhana Berpikir Mulia. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS. hlm. 56. ISBN 978-979-709-837-7. 
  5. ^ Ishwara, Helen (2014). P.K. Ojong : Hidup Sederhana Berpikir Mulia. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS. hlm. 187. ISBN 978-979-709-837-7. 
  6. ^ Ishwara, Helen (2014). P.K. Ojong : Hidup Sederhana Berpikir Mulia. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS. hlm. 95. ISBN 978-979-709-837-7. 
  7. ^ Ishwara, Helen (2014). P.K. Ojong : Hidup Sederhana Berpikir Mulia. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS. hlm. 191. ISBN 978-979-709-837-7.