Ketamakan berasal dari kata tamak (bahasa Inggris: greed, avarice, cupidity, covetousness; bahasa Latin: avaritia), atau disebut juga keserakahan. Ketamakan pada umumnya diartikan sebagai keinginan yang sangat besar untuk memiliki kekayaan, barang atau benda bernilai abstrak, dengan maksud menyimpannya untuk dirinya sendiri, jauh melebihi kenyamanan dan kebutuhan dasar untuk hidup yang berlaku pada umumnya. Pengertian ini diterapkan pada keinginan yang besar dan mencolok dalam upaya mengejar kekayaan, status sosial, dan kekuasaan.

Avarice (Ketamakan)

Pandangan psikologi

sunting

Erich Fromm—seorang filsuf humanis, psikoanalis, dan psikolog sosial—menggambarkan ketamakan sebagai suatu jurang tanpa dasar yang menguras energi seseorang dalam upaya tanpa henti untuk memenuhi satu kebutuhan tanpa pernah mencapai kepuasan; egoisme juga dipandangnya sebagai satu jenis ketamakan.[1]:IV Dalam buku larisnya, "Seni Mencintai" (The Art of Loving), Fromm mengatakan bahwa orang yang tamak adalah budak dari hasrat atau gairahnya, aktivitasnya dalam kenyataannya adalah pasif karena ia dikendalikan; orang tersebut adalah 'si penderita', bukan 'sang aktor'. Iri hati, kecemburuan, ambisi, dan semua jenis ketamakan adalah hasrat; sebaliknya cinta adalah suatu aktivitas atau tindakan, suatu praktik kekuatan manusia yang mana hanya dapat dipraktikkan dalam kebebasan dan tidak pernah sebagai akibat dari paksaan.[2]:I

Pandangan agama

sunting
 
Avaritia (Ketamakan) dalam "Tujuh Dosa Mematikan dan Empat Hal Terakhir", karya Hieronymus Bosch

Katolik

sunting

Santo Thomas Aquinas mendefinisikan ketamakan sebagai "cinta yang tidak wajar dalam kepemilikan", karena keinginan untuk memiliki atau mempertahankan barang-barang duniawi yang menyimpang dari ukuran wajar akan kegunaan barang-barang tersebut untuk kelangsungan hidupnya. Menurutnya, secara alamiah seseorang menginginkan hal-hal duniawi sebatas kewajaran dari tujuan penggunaannya; namun ketamakan adalah penyimpangan dari kewajaran tersebut, sehingga merupakan dosa. St Thomas juga menegaskan kalau ketamakan mengakibatkan dosa berat jika ketamakan seseorang menyebabkannya melakukan perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, mengambil hak orang lain dengan tidak adil—yang mana adalah pencurian (Lihat: Bobot Dosa).[3]:A1,A4.

Katekismus Gereja Katolik (KGK) mengutip ayat Kitab Suci yang menuliskan bahwa orang tamak tidak pernah memiliki uang yang cukup dan tidak pernah penghasilannya terpuaskan (Pengkhotbah 5:9).[4]:2536 Secara eksplisit Santo Paulus mengatakan bahwa cinta akan uang adalah akar segala kejahatan, menyebabkan seseorang dapat menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya sendiri (1 Timotius 6:10); menggambarkan betapa seriusnya dosa pokok ini. Tidak kalah keras, St Yohanes Maria Vianney mengatakan bahwa seorang yang tamak adalah bagaikan seekor babi, yang mencari makanannya dalam lumpur, tanpa peduli darimana makanan itu berasal.[5]

Setiap orang diharapkan untuk melawan dosa ketamakan dengan mengembangkan keutamaan kemurahan hati, mengingat bahwa ketamakan dapat mengakibatkan dosa berat berupa pelanggaran terhadap perintah ke-7 dan ke-10 dari "Sepuluh Perintah Allah".[6] Dalam Summa Theologia, St Thomas Aquinas mengutip kata-kata St Basilius Agung yang menggambarkan bahwa setiap orang terikat kewajiban untuk memberi kepada orang-orang yang miskin atau membutuhkan, baik dengan cara takut akan keinginan mereka (atas barang duniawi) ataupun takut memilikinya terlalu banyak.[3]:A4.2

Menurut Islam, orang tamak adalah orang yang kufur nikmat dan sangat malas untuk bersyukur kepada Allah. Islam juga menggambarkan secara detail sikap orang yang tamak yaitu orang yang tidak pernah merasa cukup, sehingga ia selalu ingin menambah apa yang diinginkannya, tanpa mengenal hak orang lain. Ibnu Taimiyah juga menyebutkan bahaya-bahaya bagi muslim yang tamak yaitu dapat merusak Islam dan ini lebih hebat dari dua serigala lapar yang memburu domba yang menyendiri. Secara kehidupan, Islam menyuruh umat manusia untuk mencari harta untuk bekal hidup di dunia. Islam juga menyebut sikap salah satu orang tamak yaitu selalu menumpuk harta demi harta tanpa memikirkan nasib orang di sekitarnya.[7]

Referensi

sunting
  1. ^ (Inggris) Erich Fromm (1941). Escape from Freedom (edisi ke-2013). Open Road Media. ISBN 978-1-4804-0201-0. 
  2. ^ (Inggris) Erich Fromm (1956). The Art of Loving (edisi ke-2013). Open Road Media. ISBN 978-1-4804-0200-3. 
  3. ^ a b (Inggris) Thomas Aquinas. "The Summa Theologica II-II.Q118 (The vices opposed to liberality, and in the first place, of covetousness)" (edisi ke-1920, Second and Revised Edition). New Advent. 
  4. ^ (Inggris) "Catechism of the Catholic Church - The Tenth Commandment". Holy See. 
  5. ^ St. Yohanes Maria Vianney. "Katekese tentang Ketamakan". www.indocell.net/yesaya. 
  6. ^ Ingrid Listiati. "10 Perintah Allah & 7 dosa pokok". katolisitas.org. 
  7. ^ https://nasional.republika.co.id/berita/q4gmqx70021843723000/tamak-pangkal-segala-kemungkaran