Kerusuhan rasial Jawa Tengah 1980

Kerusuhan rasial Jawa Tengah 1980 (atau beberapa pihak lokal saat itu menyebut sebagai Kerusuhan/Huru-hara Urip Sumohardjo/ Warung Pelem) merupakan serentetan peristiwa kerusuhan rasial yang terjadi di kota-kota dan kabupaten-kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1980 (20 November 1980). Awal mula penyebab kerusuhan rasial ini adalah masalah sepele yang terjadi di kota Surakarta.[1][2][3] Dampak dari kerusuhan ini adalah rusaknya beberapa fasilitas umum yang ada di kota Surakarta serta menimbulkan luka bagi kaum keturunan Tionghoa di Surakarta yang sangat mendalam bahkan hingga saat ini.

Kerusuhan rasial Jawa Tengah 1980
Tanggal20 November - 22 November 1980
LokasiSolo
Semarang
Kabupaten Semarang
SebabTerserempetnya seorang anak SGO (Pipit Supriyadi) oleh seorang preman keturunan Cina (Kicak)
TujuanAksi anti-Tionghoa yang bersifat anarkis
MetodePembakaran
penjarahan
StatusSelesai
Tokoh utama
Eddy Wibowo (mahasiswa tingkat II Fakultas Sastra Budaya Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta)
Hari Mulyadi
Endu Marsono

Kronologi

sunting

Awal Mula Peristiwa

sunting

Serempetan sepeda Pipit dan Kicak

sunting

Berawal dari perselisihan siswa SGO (Sekolah Guru Olahraga) di Surakarta bernama Pipit Supriyadi yang menyerempet pemuda keturunan Tionghoa bernama Kicak atau Ompong alias Maryono pada hari Rabu,19 November 1980, pukul 12:00 di Perempatan Warung Pelem (Jalan Ir. Juanda, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta). Tiga siswa Sekolah Guru Olahraga (SGO) Solo, Jawa Tengah pulang sekolah dengan menaiki sepeda. Di Jalan Urip Sumoharjo, sepeda Pipit Supriyadi, seorang siswa, menyenggol seorang pemuda keturunan Tionghoa bernama Kicak alias Ompong yang tengah menyeberang. Kicak dikenal sebagai preman yang terkenal di Surakarta. Kicak yang dikeroyok kemudian mengambil batu dan memukulkannya ke kepala Pipit lalu ia melarikan diri masuk ke Toko 'Orlane' yang dikenal milik keluarga Kingkong, yang masih ada hubungan kekerabatan dengannya (Kingkong dikenal sebagai tokoh preman tua di kota Surakarta).[4][5][6][7][8]

Balas Dendam Pipit

sunting

Pipit, yang kebetulan menjabat sebagai Ketua OSIS, kembali ke sekolahnya dengan luka di kepala. Di sekolah, yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari lokasi kejadian, ia mengajak sekitar 50 temannya untuk mendatangi Toko 'Orlane'. Akan tetapi, mereka tidak dapat menemukan kicak sehingga mereka mengancam pemilik Toko 'Orlane' agar segera menyerahkan Kicak. Malamnya, Pipit menghimpun lagi para siswa SGO untuk menyiapkan aksi pada pagi berikutnya. Paginya, bersama hampir seluruh siswa SGO, ia kembali mendatangi Toko 'Orlane' untuk menyerahkan Kicak. Pulang dengan tangan hampa, mereka kemudian kembali ke sekolah dengan melampiaskan amarah. Para siswa lalu melempari rumah-rumah dan toko di pinggir jalan dengan batu.[6][7]

Kodim 0735 Turun Tangan

sunting

Persoalan mereka sebetulnya sudah selesai setelah ditengahi oleh Kodim dan mereka telah membuat surat kesepakatan damai.[9][10] Aparat kemudian segera bertindak dengan menurunkan pasukan di sepanjang Jalan Urip Sumoharjo. Pipit lalu dibawa ke kantor Kodim 0735 dan Ia diminta menandatangani sebuah perjanjian tertulis yang isinya tidak akan mengulangi aksi anarkis serupa. Akan tetapi, ia meminta aparat juga menangkap Kicak.[6]

Provokasi Tiga Mahasiswa UNS

sunting

Sepulang dari Kodim, tiga mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) menguntit Pipit. Mereka menghasut untuk meneruskan aksi anarkis seperti sehari sebelumnya. Gayung bersambut. Pada hari Jumat, 21 November 1980, di dekat Jembatan Jurug (jembatan yang menghubungkan Kota Surakarta dengan wilayah timur menuju Karanganyar, Sragen dan Ngawi), para mahasiswa, sejumlah pimpinan ormas dan para ketua OSIS se-Kota Solo bertemu. Perhelatan yang diprakarsai oleh Hari Mulyadi dan Endu Marsono[11][12] itu menghasilkan kesepakatan di antaranya mengadakan aksi anti-Tionghoa anarkis yang dipimpin oleh Eddy Wibowo (mahasiswa tingkat II Fakultas Sastra Budaya UNS). Setelah terjadinya pertemuan Pipit dan mahasiswa UNS tersebut, kemudian beredar isu bahwa Pipit telah meninggal. Isu tersebut berkembang semakin liar dan disebutkan bahwa ada orang pribumi dibantai oleh pemuda keturunan Tionghoa. Hanya dalam waktu beberapa hari issue tersebut telah menyebar ke berbagai kota yang ada di Jawa Tengah dan sekitarnya.[6][10]

Kerusuhan yang Meluas

sunting

Sabtu, 22 November 1980, ratusan pelajar bergerak mengendarai sepeda motor. Mereka melempari rumah dan toko-toko milik warga keturunan Tionghoa. Para pelajar juga membawa poster dan meneriakkan yel-yel anti-Tionghoa. Aksi kemudian kian membesar dengan adanya isu meninggalnya Pipit (seperti yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya). Hari-hari berikutnya, aksi-aksi serupa segera merembet ke kota-kota lain. Aksi anarkis ini merembet cepat ke Boyolali, Ambarawa, Salatiga, Banyubiru, Candi, dan Semarang. Setiap ditemukan orang Tionghoa, mereka langsung memukuli dan meludahinya. Peristiwa paling parah terjadi di Semarang pada hari Selasa, 25 November 1980.[2][6][13]

Semarang

sunting

Massa saat itu bergerak bagai dikomando. Mereka bergerak menjarah, merusak, serta membakar rumah, toko, dan pabrik yang ditengarai milik orang Tionghoa. Massa juga menganiaya warga keturunan yang ditemui di jalan-jalan. Huru-hara tidak hanya terjadi di pusat kota seperti Jalan Imam Bonjol, Siliwangi, Mataram, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Depok tetapi juga sampai daerah pinggiran kota seperti Mrican dan Kedungmundu.[14] Pecinan dan Kranggan yang menjadi konsentrasi permukiman warga Tionghoa di Semarang sempat menjadi sasaran amuk massa. Akan tetapi, sebelum berlanjut, aparat buru-buru mengamankan kawasan itu. Dibandingkan kota-kota lain, kerusuhan di Semarang merupakan yang kerusuhan yang terparah. Jam malam diberlakukan selama hampir sepekan. Untuk menghindarkan serangan perusuh, warga membuat tulisan mencolok di depan toko, rumah, dan aset-aset mereka: “Milik pribumi asli”, “Ini toko wong Jowo”, “Milik Haji Fulan”, dan lain-lain.[6]

Tindakan Pasca-Kerusuhan

sunting
 
Pangkopkamtib saat itu, Sudomo yang bergerak cepat untuk segera melakukan tindakan pemulihan keamanan di Jawa Tengah

Aparat kemudian bertindak tegas. Mereka melokalisir agar huru-hara tak meluas. Pangkopkamtib Laksamana Soedomo bahkan mengeluarkan instruksi tembak di tempat terhadap pelaku kerusuhan. Tindakan juga dilakukan oleh Wali Kota Surakarta, Ignatius Soekatmo Prawirohadisebroto, SH. Ia menyatakan warga agar tidak terpancing isu yang tidak jelas kabarnya dan akan segera menindak pihak-pihak terkait yang memicu kerusuhan. Kerugian material ditaksir mencapai puluhan miliar rupiah. Kerugian terbesar adalah kebangkrutan sosial yaitu hancurnya relasi sosial antara masyarakat pribumi dengan warga Tionghoa.[5][6][15]

Selain itu, Pangkopkamtib Sudomo mengeluarkan keputusan kontroversial yang di kemudian hari dikritik oleh Komisi I DPR RI yaitu melarang media cetak di ibu kota untuk memberitakan pengerusakan harta dan aset milik warga keturunan yang ada di Surakarta dan Semarang.[16]

Analisis

sunting

Banyak yang menganggap sebenarnya peristiwa ini termasuk gunung es dari kecemburuan sosial masyarakat pribumi terutama Jawa-Surakarta yang cemburu akan kesuksesan ekonomi warga keturunan yang ada di Kota Surakarta. Hal tersebut tertulis di dalam memorandum HIPMI Surakarta pada 26 November 1980. Ini terlihat dari kerusakan dan lokasi kerusuhan yang kebanyakan berada pada daerah yang banyak didominasi oleh kaum keturunan serta terdapat kegiatan ekonomi seperti daerah Jalan Urip Sumoharjo, Surakarta.

Referensi

sunting
  1. ^ "Takkan Pernah Kulupa; Kerusuhan Rasial 1980". Redaksi Indonesia | Jernih - Tajam - Mencerahkan. 2016-03-18. Diakses tanggal 2017-11-12. 
  2. ^ a b "Mengancam Ahok dengan sejarah kelam Tionghoa". Rappler. Diakses tanggal 2017-11-12. 
  3. ^ Indonesia, Sri Lestari Wartawan BBC. "Toleransi antar etnis di "Kota Cina Kecil" Lasem". BBC Indonesia. Diakses tanggal 2017-11-12. 
  4. ^ 1957-, Haris, Syamsuddin,; Indonesia., Lembaga Ilmu Pengetahuan (2007). Partai dan parlemen lokal era transisi demokrasi di Indonesia : studi kinerja partai-partai di DPRD kabupaten/kota. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. ISBN 9789797990527. OCLC 225655544. 
  5. ^ a b Putro, Yahya Ariyanto; Atmaja, Hamdan Tri; Sodiq, Ibnu (2017-12-26). "Konflik Rasial Antara Etnis Tionghoa Dengan Pribumi Jawa di Surakarta Tahun 1972-1998". Journal of Indonesian History (dalam bahasa Inggris). 6 (1). ISSN 2549-0370. 
  6. ^ a b c d e f g Siswoyo, P. Bambang (1981). Huru hara Solo, Semarang: suatu reportase (edisi ke-Cet. 1). Indonesia: Bhakti Pertiwi. 
  7. ^ a b "toko orlane yang dilempari batu oleh pelajar sgo negeri solo - DATATEMPO". www.datatempo.co (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-09-14. 
  8. ^ "kerusuhan anti cina di solo - DATATEMPO". www.datatempo.co (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-09-14. 
  9. ^ Hirose,, Nishihara, Ayano; Masaei,, Matsunaga,; 1935-, Nonaka, Ikujirō,; 1952-, Yokomichi, Kiyotaka,. Knowledge creation in community development : institutional change in Southeast Asia and Japan. Cham, Switzerland. ISBN 9783319574813. OCLC 1002899282. 
  10. ^ a b Rochmi, Muhammad Nur (2016-03-20). "Diskriminasi ras yang tak tuntas". https://beritagar.id/ (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-13. Diakses tanggal 2017-11-12.  Hapus pranala luar di parameter |newspaper= (bantuan)
  11. ^ "Endu Marsono Alumni UNS yang Terus Berkarya | Joglosemar". edisicetak.joglosemar.co. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-13. Diakses tanggal 2017-11-12. 
  12. ^ Yonathan, Ronny. "KBR :: KENALI CALEG - ENDU MARSONO". Diakses tanggal 2017-11-12. 
  13. ^ "Belajar dari Geger Brondongan (Semarang) | KPS – Komunitas Pegiat Sejarah Semarang". pegiatsejarah.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-13. Diakses tanggal 2017-11-12. 
  14. ^ "kerusuhan anti cina di jalan siliwangi semarang - DATATEMPO". www.datatempo.co (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-09-14. 
  15. ^ 1944-, Widyatmadja, Yosef P. (Yosef Purnama), (2010). Yesus & wong cilik : praksis diakonia transformatif dan teologi rakyat di Indonesia (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: BPK Gunung Mulia. ISBN 9789796877546. OCLC 649930085. 
  16. ^ Administrator (1980-12-13). "Ada Blackout, Ada Desas-Desus". Tempo (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-10-21.