Keluarga Kwee dari Ciledug

Keluarga golongan Cabang Atas

Keluarga Kwee dari Ciledug dulu adalah sebuah keluarga Cabang Atas berpengaruh di Hindia Belanda (kini Indonesia).[1][2][3] Mulai pertengahan abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20, sejumlah anggota keluarga ini menjadi bagian dari birokrasi di Jawa sebagai pejabat Cina, dan memainkan peran penting di industri gula.[3] Seperti keluarga Cabang Atas lain, keluarga ini mempelopori adopsi pendidikan dan modernitas ala Eropa di Hindia Belanda.[3] Selama Revolusi Indonesia, keluarga ini juga menjadi tuan rumah dari sebagian besar negosiasi yang akhirnya mengarah ke Perjanjian Linggarjati pada tahun 1946.[3]

Keluarga Kwee dari Ciledug
Cabang Atas
NegaraHindia Belanda
Indonesia
Belanda
Tempat asalKekaisaran Qing
Didirikan1820-an (meninggalkan Fujian)
PendiriKwee Giok San
Gelar
Keluarga terkait

Awal mula

sunting

Keluarga ini merupakan keturunan dari Kwee Giok San, seorang migran asal Tiongkok yang meninggalkan Fujian pada dekade 1820-an ke Nanyang, sebelum akhirnya menetap sekitar dekade 1840-an di Ciledug, sebuah kota kecil di Karesidenan Cirebon di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah.[2][3] Pada pertengahan abad ke-19, Kwee telah menjadi bagian dari Cabang Atas melalui istrinya, Oei Tjoen Nio, yang kemungkinan merupakan saudara ipar dari Tan Kim Lim, Kapitan Cina (kakek dari Tan Tjin Kie, Mayor-tituler Cina), yang mana sejumlah anggota dari keluarganya telah menjadi pejabat Cina sejak awal abad ke-19 di Cirebon dan Batavia, ibu kota Hindia Belanda.[1][3] Pada dekade 1860-an, Kwee telah memiliki pabrik gula sendiri.[3]

Kwee dianugerahi dua orang putra, yakni Kwee Ban Hok dan Kwee Boen Pien.[1][2][3] Anak bungsunya, Kwee Boen Pien, membeli Pabrik Gula Djatipiring pada bulan Agustus 1873.[3] Pada bulan Oktober 1874, Kwee Boen Pien diangkat menjadi Letnan Cina Sindanglaut, Losari, dan Ciledug, sehingga ia menjadi anggota keluarga Kwee pertama yang diangkat menjadi pejabat Cina.[4] Pada tahun 1884, Letnan Kwee Boen Pien meninggal dan digantikan oleh anak keduanya, Kwee Keng Liem, baik sebagai Letnan Cina maupun sebagai pemilik Pabrik Gula Djatipiring.[2] Pada tahun yang sama, Kwee Keng Eng, putra dari Kwee Ban Hok, diangkat menjadi Letnan Cina Cirebon.[5] Kwee Keng Eng juga merupakan pemilik dari Pabrik Gula Kalitandjoeng.[2]

Pada generasi keempat, anak sulung dari Letnan Kwee Keng Liem, yakni Kwee Zwan Hong, menggantikan ayahnya pada tahun 1908 sebagai Letnan Cina Sindanglaut, Losari, dan Ciledug, serta kemudian diangkat menjadi Kapitan-tituler Cina pada tahun 1924.[3] Kapitan-tituler Kwee Zwan Hong menjabat hingga tahun 1934, saat sistem pejabat Cina dihapus di Jawa.[1][2] Sementara itu, saudara tirinya, Kwee Zwan Lwan, berhasil menjadi anggota Dewan Daerah Cirebon pada tahun 1925, dan pada dekade 1930-an, ia telah menggantikan Kwee Zwan Hong sebagai pemimpin dan tokoh masyarakat de facto di Cirebon.[3]

Pernikahan strategis

sunting

Seperti Kwee Giok San, keturunannya juga melakukan pernikahan strategis dengan keluarga Cabang Atas lain.[1][2] Generasi ketiga dari keluarga ini melakukan pernikahan strategis sebagai berikut: Letnan Kwee Keng Eng menikahi Tan Oen Tok Nio, saudari dari Mayor-tituler Tan Tjin Kie, sementara sepupu Letnan Kwee Keng Eng, yakni Letnan Kwee Keng Liem menikahi sepupu dari Mayor-tituler Tan Tjin Kie, yakni Tjoa Swie Lan Nio.[1][2] Setelah Tjoa Swie Lan Nio meninggal, Letnan Kwee Keng Liem menikahi Tan Hok Nio, keponakan dari Letnan Tan Kong Hoa dari Batavia dan Letnan Tan Yoe Hoa dari Bekasi.[2] Selain Kapitan-tituler Kwee Zwan Hong dari pernikahan pertamanya, Letnan Kwee Keng Liem dianugerahi satu orang putri dan tiga orang putra dari pernikahan keduanya, yakni Kwee Der Tjie, Kwee Zwan Lwan, Kwee Zwan Liang, dan Kwee Zwan Ho.[3]

Pada generasi keempat, Kapitan-tituler Kwee Zwan Hong menikahi Lim Ke Tie Nio, putri dari Lim Goan Tjeng, Letnan Cina Batavia, sementara saudari tirinya, Kwee Der Tjie, menikahi Han Tiauw Bing, putra dari Kapitan Han Hoo Tjoan dari Pasuruan yang merupakan bagian dari Keluarga Han dari Lasem.[1][2] Saudara mereka, yakni Kwee Zwan Lwan, Kwee Zwan Liang, dan Kwee Zwan Ho masing-masing menikahi Jenny Be Kiam Nio, putri dari Be Kwat Koen, Mayor-tituler Cina Surakarta; Roos Liem Hwat Nio, pewaris dari sebuah keluarga asal Surabaya dan keponakan dari Letnan Liem Bong Lien dari Pasuruan; dan Betty Tan Ing Nio, cucu dari Tan Goan Piauw, Kapitan Cina Buitenzorg dan tuan tanah Tegalwaroe.[2][3]

Pelopor modernitas dan pandangan internasional

sunting

Menurut sejarawan Belanda, Peter Post, generasi keempat dan kelima dari keluarga ini yang hidup pada dekade 1910-an merupakan 'agen perubahan' dan 'pembawa modernitas', terutama anak-anak dari pernikahan kedua Letnan Kwee Keng Liem.[3] Kwee Keng Liem dan istrinya mempekerjakan tutor dan pengasuh asal Eropa untuk memberi pendidikan modern ala Barat kepada anak-anaknya. Ia kemudian menitipkan sejumlah anaknya ke keluarga Eropa di Batavia agar anaknya dapat bersekolah di lembaga pendidikan bergaya Eropa di sana.[3] Putri di keluarga Kwee, sebagaimana putra, menikmati banyak kebebasan dan mengadopsi modernitas bergaya Barat.[3]

Contoh lain dari modernitas keluarga ini adalah antusiasme keluarga ini terhadap mobil.[3] Mobil pertama di Hindia Belanda dimiliki oleh Pakubuwono X, Susuhunan Surakarta, yang membeli satu unit mobil Mercedes-Benz pada tahun 1894, sehingga menjadi raja pertama di dunia yang memiliki mobil.[3] Salah satu sepupu dari keluarga Kwee, Tan Gin Han, putra dari Mayor Tan Tjin Kie, membeli satu unit mobil Fiat sepanjang enam meter pada tahun 1914.[3] Pada tahun yang sama, keluarga Kwee akhirnya juga membeli satu unit mobil Lancia Theta Coloniale.[3] Pada tahun 1916, keluarga Kwee telah memiliki empat unit mobil, dan pada dekade 1920-an, keluarga Kwee telah memiliki dua unit mobil mewah, yakni satu unit mobil Pierce-Arrow (juga dimiliki oleh Kaisar Hirohito dan Reza Shah) dan satu unit mobil Marmon.[3]

Pada tahun 1929, keluarga Kwee dari Ciledug menjamu Raja Rama VII dari Siam di Pabrik Gula Djatipiring berkat perantaraan dari mertuanya, Mayor-tituler Be Kwat Koen dari Surakarta, yang sebelumnya telah menjamu ayah dari Raja Rama VII, yakni Raja Chulalongkorn, pada tahun 1896.[6][3] Perjamuan tersebut pun mengangkat gengsi dari keluarga Kwee.[3]

Di luar gula, revolusi, dan eksil

sunting

Akibat krisis gula selama Depresi Besar, generasi keempat keluarga Kwee akhirnya menjual Pabrik Gula Djatipiring pada tahun 1931.[3] Kwee Zwan Liang lalu pindah ke Bandung, ibu kota Jawa Barat, sementara saudaranya, Kapitan-tituler Kwee Zwan Hong, Kwee Zwan Lwan, dan Kwee Zwan Ho pindah ke Linggarjati, sebuah dataran tinggi di dekat Cirebon, di mana mereka membangun vila.[3] Kediaman dan taman milik keluarga Kwee di Linggarjati lalu menjadi destinasi wisata terkenal di Jawa Barat hingga dekade 1930-an. Keluarga Kwee juga kerap menjamu pejabat tinggi di sana.[3]

Selama Revolusi Indonesia (1945—1949), keluarga Kwee berteman dengan tetangga mereka di Linggarjati, Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia pertama, dan menawarkan kediaman mereka sebagai lokasi negosiasi damai antara Belanda dan Indonesia,[3] karena kebetulan Linggarjati terletak di tengah antara Batavia dan Yogyakarta. Pada saat itu, Batavia merupakan lokasi kantor pusat NICA, sementara Yogyakarta merupakan lokasi kantor pusat pemerintah Indonesia.[3] Kediaman keluarga ini kemudian menjadi lokasi negosiasi yang akhirnya menghasilkan Perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 November 1946.[3]

Seiring dengan makin meningkatnya radikalisasi di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno pada dekade 1950-an, anggota keluarga Kwee dari Ciledug mulai pindah ke Belanda, di mana sebagian besar dari keluarga ini masih tinggal hingga saat ini.[3]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g Haryono, Steve (2017). "Chinese officers in Cirebon". Wacana (dalam bahasa Inggris). 18 (1): 216–236. doi:10.17510/wacana.v18i1.578 . ISSN 2407-6899. Diakses tanggal 11 November 2019. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k Haryono, Steve (2017). Perkawinan Strategis: Hubungan Keluarga Antara Opsir-opsir Tionghoa Dan 'Cabang Atas' Di Jawa Pada Abad Ke-19 Dan 20 (dalam bahasa Inggris). Utrecht: Steve Haryono. ISBN 9789090302492. Diakses tanggal 11 November 2019. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad Post, Peter (2019). The Kwee Family of Ciledug: Family, Status, and Modernity in Colonial Java (dalam bahasa Inggris). Volendam: LM Publishers. ISBN 9789460224928. Diakses tanggal 11 November 2019. 
  4. ^ "Officiëele Berichten". Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie. Bruining. 31 October 1874. Diakses tanggal 11 November 2019. 
  5. ^ "Bestuur over Vreemde Oosterlingen". Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie. Bruining. 9 April 1884. Diakses tanggal 11 November 2019. 
  6. ^ Rush, James R. (2007). Opium to Java: Revenue Farming and Chinese Enterprise in Colonial Indonesia, 1860-1910 (dalam bahasa Inggris). Singapore: Equinox Publishing. ISBN 9789793780498. Diakses tanggal 11 November 2019.