Alas kaki

(Dialihkan dari Kasut)

Alas kaki atau kasut adalah produk seperti sepatu dan sandal yang dipakai untuk melindungi kaki terutama bagian telapak kaki. Alas kaki melindungi kaki agar tidak cedera dari kondisi lingkungan seperti permukaan tanah yang berbatu-batu, berair, udara panas, maupun dingin. Alas kaki membuat kaki tetap bersih, melindungi dari cedera sewaktu bekerja, dan sebagai gaya busana.

Sepatu wanita, contoh alas kaki

Sepatu dibuat oleh pengrajin sepatu atau tukang sepatu, sedangkan ahli memperbaiki sepatu disebut tukang sol sepatu. Bahan-bahan untuk alas kaki diantaranya adalah kayu, plastik, karet, kulit, tekstil, dan serat tanaman. Alas kaki seperti sepasang sandal bisa dibuat pengrajin hanya dengan menggunakan peralatan sederhana seperti pisau, jarum, dan benang. Sementara itu, sepatu olahraga dibuat di pabrik sepatu dengan bantuan mesin-mesin.

Sebelum memakai alas kaki, orang sering mengenakan kaus kaki atau stoking agar kaki lebih nyaman dan tidak lecet. Selain itu, kaus kaki berfungsi sebagai penyerap keringat dan kelembapan sehingga kaki lebih bersih dan higienis. Dalam kebudayaan Barat, orang boleh tidak melepas alas kaki sewaktu berada di dalam rumah, sehingga berkembang perabot rumah tangga seperti kursi. Sebaliknya dalam kebudayaan Asia Timur, alas kaki dilepas sewaktu berada di dalam rumah.

Sejarah

sunting
 
Calceus

Dari lukisan Mesir Kuno di Thebes, Mesir diketahui bahwa orang Mesir sudah mengenakan alas kaki sekitar abad ke-15 SM. Dalam lukisan digambarkan pengrajin yang duduk di kursi pendek. Seorang pengrajin sibuk bekerja membuat sandal, sedangkan seorang lagi sedang menjahit sepatu. Sandal dibuat dari bahan-bahan seperti kain, daun palem, papirus, kulit, atau bahan serupa yang dianyam.

Bagi orang Yunani dan Romawi kuno, alas kaki merupakan salah satu gaya busana yang elegan. Sandal yang disebut baxa atau baxea dibuat dari anyaman daun palem. Pemakainya adalah kalangan bawah seperti filsuf dan pendeta. Apuleius menulis bahwa pendeta muda memakai sandal dari daun palem seperti yang dikenakan orang Mesir. Pengrajin sandal disebut baxearii atau solearii. Alas kaki ringan yang dipakai di dalam rumah disebut solea, sedangkan sepatu (calceus) dipakai di luar rumah. Alas kaki yang menutupi bagian atas kaki disebut soccus, dan dikenakan di dalam rumah seperti slipper (selop) dalam kebudayaan Barat. Sepatu bot bertali yang memperlihatkan seluruh jemari kaki disebut cothurnus. Bagian alas (sol) cothurnus sering dibuat tebal dengan sisipan gabus. Pemakainya adalah penunggang kuda, aktor drama tragedi, pemburu, dan bangsawan yang ingin tampak lebih tinggi dan gagah.

Prajurit Romawi mengenakan sandal bertali dengan jari-jari yang terbuka. Bila mereka berperang di kawasan perbukitan, bagian bawah sandal dilengkapi dengan gerigi yang tajam atau paku. Bentuk dan warna sepatu bot menunjukkan jabatan dan pekerjaan. Senator Romawi mengenakan sepatu berwarna hitam dengan hiasan bulan sabit berwarna emas atau perak di bagian atas sepatu. Kaisar Romawi menghiasi sepatu bot dengan batu permata dan emas. Kaisar Aurelian melarang laki-laki mengenakan sepatu berwarna merah, kuning, putih, atau hijau karena warna-warna tersebut yang dikhususkan untuk wanita. Sementara itu, Kaisar Heliogabalus melarang wanita menghias sepatu dengan emas dan permata.

Sepatu kalangan bangsawan Eropa pada abad ke-12 dipenuhi dengan berbagai hiasan mewah. Sepatu bot Henry II berwarna hijau dengan garis-garis emas. Dari makam Henry VI dari Sicilia yang wafat tahun 1197 ditemukan sepatu dengan bagian atas dari kain emas berhias mutiara. Bagian sol dibuat dari gabus berlapis kain emas. Sepatu menutupi hingga bagian pergelangan kaki, dan dikencangkan dengan kancing kecil. Permaisuri Constance yang wafat tahun 1198 mengenakan sepatu dari kain emas berhiaskan permata, dengan pengencang berupa sabuk kulit yang diikat dengan tali.

Mekanisasi pembuatan alas kaki secara massal dimulai sejak abad ke-18 Masehi sebagai bagian dari Revolusi Industri. Alas kaki menjadi produk yang mengalami produksi massal setelah munculnya teknologi inovatif seperti alat tenun listrik, mesin pemisah kapas dan mesin jahit.[1]

Bahan baku

sunting

Bahan baku pembuatan alas kaki utamanya adalah kulit, karet, kayu, kain atau plastik.[2] Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan alas kaki harus telah melalui uji ketahanan abrasi.[3]

Berdasarkan metode pembuatannya

sunting

Alas kaki rajutan

sunting

Alas kaki dengan bahan rajutan bersifat lentur. Sifat ini membuatnya dapat mengikuti bentuk kaki dan tidak memberi tekanan yang keras pada kaki. Alas kaki dengan bahan rajutan lebih nyaman digunakan dibandingkan dengan alas kaki lainnya.[2]

Berdasarkan modelnya

sunting

Alas kaki berhak

sunting

Alas kaki tanpa hak membuat pemakainya cepat lelah. Kelelahan dapat dikurangi dengan mengenakan alas kaki berhak rendah. Tinggi hak antara 1–3 cm. Alas kaki dengan hak rendah memberikan penampilan yang modis. Pemakaiannya sesuai untuk pemakai yang memerlukan keseimbangan tubuh seperti ibu hamil dalam masa hamil tua. Sementara itu, alas kaki dengan hak tinggi juga mempercepat kelelahan pada pemakainya. Pengguna alas kaki dengan hak tinggi juga dapat merasakan sakit pada bagian pergelangan kaki atau punggung ketika terlalu sering memakainya.[4]

Produksi

sunting

Pada tahun 2018, negara produsen alas kaki dengan jumlah produksi terbanyak di dunia secara berturut-turut adalah Tiongkok, India, Vietnam dan Indonesia.[5] Tiongkok berperan sebagai negara pengekspor alas kaki terbesar di dunia. Peran Tiongkok menimbulkan kerentanan bagi negara-negara produsen alas kaki  terhadap proteksionisme dan perang dagang. Alasannya adalah terjadinya perang dagang Amerika Serikat–Tiongkok.[6]

Pemakai

sunting

Pasien

sunting

Alas kaki biasanya digunakan oleh pasien yang sedang mengikuti tes berjalan dan waktu habis.[7] Pasien memerlukan alas kaki ketika ada risiko terjatuh.[8]

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Organisasi Perburuhan Internasional 2019, hlm. 1.
  2. ^ a b Hastutie, Ratu Sri (2010). Sepatu dan Sandal Rajut. Surabaya: Tiara Aksa. hlm. 7. ISBN 978-979-012-215-4. 
  3. ^ Sani, Ridwan Abdullah (Mei 2019). Hastuti, Sri Budi, ed. Karakterisasi Material. Jakarta: PT Bumi Aksara. hlm. 1. ISBN 978-602-444-553-9. 
  4. ^ Nisrina (Januari 2021). Buku Panduan untuk Cewek. Anak Hebat Indonesia. hlm. 204. ISBN 978-623-244-972-5. 
  5. ^ Sulamit, T., dan Sari, D. G. P., ed. (Juli 2019). "Opini WTP". Majalah Solusi. 9 (2): 3. 
  6. ^ Organisasi Perburuhan Internasional 2019, hlm. 8.
  7. ^ Julianti, dkk. 2021, hlm. 19-20.
  8. ^ Julianti, dkk. 2021, hlm. 21.

Daftar pustaka

sunting

Bacaan lanjutan

sunting

Pranala luar

sunting